BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mycobacterium tuberculosis. Insidensi TB di Asia Tenggara pada tahun 2008

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB V. KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. anti tuberkulosis akhir fase intensif pada 58 subyek penelitian ini. V.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

I. PENDAHULUAN. mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru,

BAB I PENDAHULUAN. infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Tuberculosis menyebabkan 5000 kematian perhari atau hampir 2 juta

I. PENDAHULUAN. prevalensi tuberkulosis tertinggi ke-5 di dunia setelah Bangladesh, China,

BAB 1 : PENDAHULUAN. membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemberian OAT fase awal di BP4 (Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia

BAB I PENDAHULUAN. global.tuberkulosis sebagai peringkat kedua yang menyebabkan kematian dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

I. PENDAHULUAN. Rifampisin (RFP) dan isoniazid (INH) merupakan obat lini pertama untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini dan termasuk ke dalam global emergency. TB adalah

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

I. PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Menurut World Health Organization (WHO)

BAB 1 : PENDAHULUAN. tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. komplikasi berbahaya hingga kematian (Depkes, 2015). milyar orang di dunia telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis.

BAB 1 PENDAHULUAN. TB sudah dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia (global epidemic). World

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. mencanangkan TB sebagai kegawatan dunia (Global Emergency), terutama

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh sejenis mikroba atau jasad renik. Mikroba ini

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff,H, 2006). Penyakit ini juga

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan tuberkulosis yang menyerang organ diluar paru-paru disebut

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. satu di dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan

Asia Tenggara termasuk dalam region dengan angka kejadian TB yang tinggi. Sebesar 58% dari 9,6 juta kasus baru TB pada tahun 2014 terjadi di daerah As

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak lepas terkait dengan status gizi ataupun kesehatan setiap. individu. Indikator yang digunakan salah satunya adalah Indeks

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

INTISARI. Hubungan Kadar Hidrazin (Metabolit Isoniazid) dengan Kadar SGPT pada Akhir Fase Intensif Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh Mycobacterium tuberculosis dan bagaimana infeksi tuberkulosis (TB)

BAB I PENDAHULUAN. penyakit di seluruh dunia, setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). negatif dan 0,3 juta TB-HIV Positif) (WHO, 2013)

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Insiden Seluruh Kasus

BAB 1 PENDAHULUAN. yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998).

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

BAB 1 PENDAHULUAN. dan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah, sedangkan insiden penyakit menular masih tinggi. Salah satu penyakit

Angka Insidensi T B Tahun 2011 (WHO, 2012)

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang menular yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bakteri Mycobacterium Tuberculosis atau tubercel bacillus dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) bahwa kurang lebih 3

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Insidensi TB di Asia Tenggara pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 3.17 juta kasus baru/tahun, dan angka ini merupakan sepertiga dari beban TB di dunia. Secara global Indonesia sekarang berada pada ranking keempat setelah India, Cina dan Afrika, negara dengan beban TB tertinggi di dunia (WHO, 2013). Secara global insiden TB anak sekitar 11 % dari kasus TB dewasa, dari 9 juta kasus TB dewasa dilaporkan terdapat sekitar 1 juta kasus diderita oleh anakanak berusia kurang dari 15 tahun. Sembilan puluh lima persen dari kasus TB anak ini terdapat di 22 negara yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan beban tuberkulosis tinggi. Insidensi kasus TB anak di 22 negara tersebut bervariasi antara 3 % sampai dengan lebih dari 25 % (WHO, 2006). Situasi epidemiologi TB di Indonesia berdasarkan Global Tuberculosis Control tahun 2009 (data tahun 2007) bahwa pada tahun 2007 insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk, insidensi kasus baru TB BTA positif sebesar 102 per 100.000 penduduk, sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari (WHO, 2009). Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB pada tahun 2000-2007 berkisar 0,6%-0,8%. 1

2 Pada tahun 2000-2007 belum semua kasus anak terlaporkan. Mulai pada tahun 2008 pencatatan penemuan kasus TB telah terperinci menurut kelompok umur dan tipe kasus TB termasuk kasus TB Anak. Pada tahun 2010 triwulan I proporsi pasien TB anak sebesar 9,9% (masih kurang dari 15%). Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB per provinsi pada tahun 2010 triwulan I yang berkisar pada angka 15% adalah provinsi DKI Jakarta. Untuk provinsi dengan angka < 15% sebanyak 30 provinsi dengan angka terendah pada provinsi Sulawesi Selatan sebesar 1,1% dan tertinggi pada provinsi Jawa Tengah sebesar 13,5%. dan provinsi dengan angka > 15% sebanyak 2 provinsi yaitu provinsi Papua dan Jawa Barat (WHO, 2009). Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 orang dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%- 14.1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,69%) sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5% (Rahajoe, 2007). Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman. Pengobatan selama 6 bulan pada sebagian besar kasus TB anak cukup adekuat. Evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang dapat dilakukan setelah pemberian obat 6 bulan. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti maka pengobatan bisa dihentikan (Depkes RI, 2007).

3 Pengobatan tuberkulosis saat ini adalah rifampisin, pirazinamid, isoniazid. Terdapat 2 fase pengobatan TB pada anak yaitu fase intensif selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4 bulan. Selama fase intensif anak meminum obat isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan pada fase lanjutan meminum obat isoniazid dan rifampisin (Rahajoe, 2008). Selain dilakukan evaluasi terhadap pengobatan juga perlu dilakukan evaluasi terhadap efek samping pengobatan. Obat-obat tuberkulosis dapat menimbulkan berbagai efek samping yaitu berupa gangguan gastrointestinal, hepatotoksik dan skin reaction (ruam dan gatal). Efek samping pengobatan TB yang paling penting adalah hepatotoksik. Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid berpotensi menyebabkan hepatotoksik. Seiring angka kejadian tuberkulosis yang meningkat maka akan banyak pasien dengan risiko untuk terjadinya efek samping akibat obat antituberkulosis (WHO, 2006). Hepatotoksik akibat obat antituberkulosis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh peningkatan serum aspartat aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) sampai 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total >1,5 mg/dl, serta peningkatan AST/ALT dengan nilai berapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan muntah (Rahajoe, 2008). Disebutkan pula suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan serum bilirubin >3 mg/dl dan kenaikan ALT 2 kali dari batas atas nilai normal dan disertai gejala kinis (Benichou, 1990). WHO membagi derajat hepatotoksik menjadi empat, yaitu derajat 1 bila peningkatan enzim ALT 1-2,5 kali nilai normal, derajat 2 bila peningkatan enzim

4 ALT 2,5-5 kali nilai normal, derajat 3 bila peningkatan enzim ALT 5-10 kali nilai normal, derajat 4 bila peningkatan enzim ALT >10 kali nilai normal (WHO, 1992). Insidensi hepatotoksik akibat obat antituberkulosis berkisar 2% - 28% (Tostmann 2008). Penelitian kohort prospektif pada 339 pasien tuberkulosis dewasa didapatkan hasil kejadian hepatotoksik sebesar 19,76% (Mahmood, 2007). Penelitian pada 58 penderita tuberkulosis dewasa yang mendapat obat antituberkulosis menunjukkan adanya gangguan faal hati untuk kelompok yang mendapatkan obat pada 1 & 2 bulan sebanyak 28%, untuk kelompok pada 3 & 4 bulan sebanyak 27% dan untuk kelompok pada 5 & 6 bulan 57% (Arsyad, 1996). Penelitian kohort prospektif pada 50 pasien tuberkulosis dewasa menunjukkan 8% pasien mengalami hepatotoksik (Shakya 2006). Penelitian kohort retrospektif pada 99 pasien tuberkulosis anak yang menjalani pengobatan antituberkulosis di Jepang tahun 1995-1999 didapatkan hasil 8 anak mengalami hepatotoksik (Ohkawa 2002). Penelitian kohort retrospektif pada 1582 pasien tuberkulosis anak yang menjalani pengobatan antituberkulosis di California tahun Januari 2005- Agustus 2011 didapatkan hasil 13 anak mengalami hepatotoksik (Chang 2014). Penelitian kohort retrospektif pada pasien tuberkulosis anak di Yogyakarta dari Januari 2001- Agustus 2006 menunjukkan bahwa terdapat 31 anak yang terdiagnosis hepatotoksik dan gizi buruk merupakan faktor risiko terjadinya hepatotoksik pada anak yang mendapat terapi antituberkulosis (Rusmawati 2009).

5 Onset terjadinya hepatotoksik pada terapi antituberkulosis bervariasi, onset hepatotoksik paling sering terjadi pada fase intensif pengobatan antituberkulosis, yaitu 2 minggu sejak dimulai pengobatan antituberkulosis (Prihatni 2005; Mahmood 2007; Akura 2009; Khalili 2009), pada 1 bulan sejak dimulai pengobatan (Ohno 1999; Chang 2007) dan pada < 3 bulan pengobatan, 3-6 bulan pengobatan dan > 6 bulan pengobatan (Chang 2014). Penelitian untuk melihat faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian hepatotoksik pada pasien dengan terapi antituberkulosis telah banyak dilakukan. Faktor risiko yang berpengaruh yaitu usia muda, jenis kelamin wanita, malnutrisi, serum albumin rendah dan derajat keparahan penyakit tuberkulosis yang diderita (Shakya 2006), riwayat alkoholisme, pengobatan yang bersamaan dengan paracetamol (Mahmood 2007). Faktor risiko yang lain adalah usia <5 tahun dan penggunaan pirazinamid dalam pengobatan antituberkulosis (Ohkawa 2002). Hasil dari beberapa penelitian menyimpulkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian hepatotoksik pada pengobatan antituberkulosis adalah usia lanjut, jenis kelamin perempuan, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat memiliki penyakit hati sebelumnya dan status asetilasi lambat (Tostmann 2008). Status asetilasi adalah kemampuan tubuh dalam memetabolisme isoniazid. Isoniazid dan obat-obat seperti dapson, hidralazine, procainamide, sulfonamide mengalami metabolisme secara asetilasi. Kemampuan tubuh untuk memetabolisme obat dipengaruhi oleh genetik, dan sifat ini ditentukan oleh suatu gen otosom, yakni sifat status asetilasi cepat ditentukan oleh gen dominan otosom

6 sedangkan sifat status asetilasi lambat oleh gen resesif otosom. Dalam hal kemampuan asetilasi isoniazid maka individu-individu dalam populasi akan terbagi secara tegas menjadi fenotipe status asetilasi cepat dan status asetilasi lambat (Ganiswarna, 2001). Proporsi status asetilasi cepat sebanyak 61,3% dan status asetilasi lambat sebanyak 38,7% (Dwi Indria Anggraini, 2010). Kadar isoniazid di dalam sirkulasi individu dengan status asetilasi cepat berkisar 30-50% dari kadar status asetilasi lambat. Sekitar 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam bentuk metabolit. Ekskresi isoniazid terutama dalam bentuk acetylisoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi (Ganiswarna, 2001). Penderita dengan status asetilasi cepat memiliki kadar isoniazid dalam serum lebih rendah bila dibandingkan dengan status asetilasi lambat (Dwi Indria Anggraini, 2010). Hepatotoksik terjadi karena metabolit obat (acetylhidrazine) merupakan radikal bebas dan dapat terikat secara kovalen ke sel-sel hati yang kemudian dapat menyebabkan hepato injury (Saukkonen 2006). Faktor risiko untuk terjadinya akumulasi acetylhidrazine di dalam hati adalah status asetilasi lambat, GST M1 Null genotype dan konsentrasi rifampisin yang tinggi dalam serum (Fukino 2008). Individu dengan genotype status asetilasi lambat memiliki risiko lebih besar untuk terjadi kenaikan serum transaminase bila dibandingkan dengan individu dengan genotype status asetilasi cepat (Ohno 2000). Penelitian tentang status asetilasi dan hubungannya dengan hepatotoksik akibat obat antituberkulosis pada anak masih terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara status asetilasi dan efek

7 samping hepatotoksik yang ditandai dengan peningkatan enzim transaminase pada anak dengan terapi antituberkulosis. B. Perumusan Masalah Indonesia termasuk kelompok negara dengan beban tuberkulosis tinggi dan menempati peringkat ketiga dunia setelah India dan Cina dengan insidensi kasus TB anak antara 3% sampai dengan lebih dari 25% (WHO, 2006). Pengobatan tuberkulosis berisiko untuk terjadi efek samping. Efek samping yang perlu diwaspadai adalah efek hepatotoksik. Awal menuju keadaan hepatotoksik ditandai dengan adanya peningkatan enzim transaminase. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya hepatotoksik telah diteliti sebelumnya yaitu status asetilasi lambat, gizi buruk dan usia muda. Perlu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara status asetilasi, status gizi dan usia dalam hubungannya dengan peningkatan enzim transaminase pada anak C.Pertanyaan Penelitian Apakah ada hubungan yang bermakna antara status asetilasi lambat dan peningkatan kadar enzim transaminase pada anak dengan terapi antituberkulosis. D.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Mengetahui hubungan antara status asetilasi lambat dan kadar enzim transaminase. 2. Tujuan khusus: - Mengetahui proporsi status asetilasi cepat dan lambat pada anak dengan pengobatan antituberkulosis.

8 - Mengetahui proporsi peningkatan enzim transaminase pada anak dengan pengobatan antituberkulosis. - Mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap peningkatan enzim transaminase. E. Keaslian Penelitian No Peneliti Desain Tujuan Hasil dan Kesimpulan 1. Pande (1996) 2. Ohno (2000) casecontrol cohort prospektif (3 bl) Mengetahui faktor risiko hepatotoksik pada pengobatan tuberkulosis Hub antara genotype asetilasi dg hepatotoksik pd 77 pasien tuberkulosis dg nilai transaminase serum normal sebelum memulai pengobatan di Jepang tahun 1996-1998. Usia tua (p<0.001), Hipoalbumin (p<0.001), riwayat alkohoisme berat (OR=4-76, 95% CI 2-25 to 10-05; p<0-001) dan status asetilator lambat (OR= 272; 95% CI1-16 to 6-57, p<0-01) merupakan faktor risiko 18,2% mengalami hepatotoksik pd 1 bln setelah pengobatan. Ada hub yg signifikan antara genotype asetilasi dengan hepatotoksik. Bila dibandingkan antara genotype asetilasi cepat& intermediate dengan hepatotoksik (RR 4.0; 95% IK 1.94 6.06). Bila dibandingkan antara genotype asetilasi cepat dan lambat dgn hepatotoksik (RR 28.0 ; 95% IK 26.0-30.0).

9 3. Huang (2002) 4. Shimizu (2005) 5. Hyun- Jung Cho et al., (2007) 6. Possuelo (2008) 7. Bozok (2008) Cohort prospektif (6 bl) Cohort prospektif (3 bl) Cohort prospektif (6 bln) Cohort prospektif (2 bln) Case control Hub genotype asetilasi dg hepatotoksik pada 224 pasien tuberkulosis di Taipei tahun 1998-2000. Hub genotype asetilasi dengan hepatotoksik pada 42 pasien tuberkulosis di Jepang Hubungan antara genotype asetilasi dgn hepatotoksik pada 132 pasien tuberkulosis di Korea pada Juni 2004- Des 2005. Hubungan antara genotype asetilasi dengan hepatotoksik pada 254 pasien tuberkulosis di Brazil pada tahun 2005-2007 Hubungan antara phenotype asetilasi dgn hepatotoksik pada 100 pasien tuberkulosis; dimana kelp kasus : 30 pasien yg mengalami hepatotoksik. Kelp kontrol: 70 pasien yang tidak hepatotoksik. 14,7% pasien mengalami hepatotoksik dan faktor risiko yang berpengaruh adalah asetilator lambat [OR], 3.66; 95% CI, 1.58-8.49; P =0.003) dan usia tua (OR, 1.09; 95% CI, 1.04-1.14; P <.001). 23,8% pasien mengalami hepatotoksik. Asetilator lambat lebih berisiko terjadi hepatotoksik bila dibandingkan dengan asetilator cepat (OR 3,69 ; p=0,006). 13,6% pasien mengalami hepatotoksik. Kejadian hepatotoksik didapatkan lebih tinggi pada asetilator lambat dibandingkan dg asetilator cepat (36,8% vs 9,7%, p = 0,005). 5,5% pasien mengalami hepatotoksik pada 2 bulan fase pengobatan. Penyakit HIV dan asetilator lambat merupakan faktor risiko untuk hepatotoksik (p<0,01) Proporsi asetilator lambat didapatkan lebih banyak pada kelompok kasus bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,001).

10 8. Yamada (2010) Case control Hubungan antara genotype asetilasi dengan hepatotoksik pada 170 pasien tuberkulosis dewasa dengan terapi antituberkulosis. tidak ada hubungan yang bermakna antara genotype asetilasi lambat dengan kejadian hepatotoksik. Keaslian penelitian ini terletak pada sampel, yaitu pada anak, dimana penelitian sebelumnya dilakukan pada dewasa. F. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penelitian ini dapat memberi masukan bagi klinisi tentang proporsi dari status asetilasi pada anak. 2. Praktis/klinis Membuat suatu evidence based medicine dalam tatalaksana pengobatan tuberkulosis paru anak.