BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Insidensi TB di Asia Tenggara pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 3.17 juta kasus baru/tahun, dan angka ini merupakan sepertiga dari beban TB di dunia. Secara global Indonesia sekarang berada pada ranking keempat setelah India, Cina dan Afrika, negara dengan beban TB tertinggi di dunia (WHO, 2013). Secara global insiden TB anak sekitar 11 % dari kasus TB dewasa, dari 9 juta kasus TB dewasa dilaporkan terdapat sekitar 1 juta kasus diderita oleh anakanak berusia kurang dari 15 tahun. Sembilan puluh lima persen dari kasus TB anak ini terdapat di 22 negara yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan beban tuberkulosis tinggi. Insidensi kasus TB anak di 22 negara tersebut bervariasi antara 3 % sampai dengan lebih dari 25 % (WHO, 2006). Situasi epidemiologi TB di Indonesia berdasarkan Global Tuberculosis Control tahun 2009 (data tahun 2007) bahwa pada tahun 2007 insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk, insidensi kasus baru TB BTA positif sebesar 102 per 100.000 penduduk, sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari (WHO, 2009). Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB pada tahun 2000-2007 berkisar 0,6%-0,8%. 1
2 Pada tahun 2000-2007 belum semua kasus anak terlaporkan. Mulai pada tahun 2008 pencatatan penemuan kasus TB telah terperinci menurut kelompok umur dan tipe kasus TB termasuk kasus TB Anak. Pada tahun 2010 triwulan I proporsi pasien TB anak sebesar 9,9% (masih kurang dari 15%). Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB per provinsi pada tahun 2010 triwulan I yang berkisar pada angka 15% adalah provinsi DKI Jakarta. Untuk provinsi dengan angka < 15% sebanyak 30 provinsi dengan angka terendah pada provinsi Sulawesi Selatan sebesar 1,1% dan tertinggi pada provinsi Jawa Tengah sebesar 13,5%. dan provinsi dengan angka > 15% sebanyak 2 provinsi yaitu provinsi Papua dan Jawa Barat (WHO, 2009). Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 orang dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%- 14.1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,69%) sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5% (Rahajoe, 2007). Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman. Pengobatan selama 6 bulan pada sebagian besar kasus TB anak cukup adekuat. Evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang dapat dilakukan setelah pemberian obat 6 bulan. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti maka pengobatan bisa dihentikan (Depkes RI, 2007).
3 Pengobatan tuberkulosis saat ini adalah rifampisin, pirazinamid, isoniazid. Terdapat 2 fase pengobatan TB pada anak yaitu fase intensif selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4 bulan. Selama fase intensif anak meminum obat isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan pada fase lanjutan meminum obat isoniazid dan rifampisin (Rahajoe, 2008). Selain dilakukan evaluasi terhadap pengobatan juga perlu dilakukan evaluasi terhadap efek samping pengobatan. Obat-obat tuberkulosis dapat menimbulkan berbagai efek samping yaitu berupa gangguan gastrointestinal, hepatotoksik dan skin reaction (ruam dan gatal). Efek samping pengobatan TB yang paling penting adalah hepatotoksik. Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid berpotensi menyebabkan hepatotoksik. Seiring angka kejadian tuberkulosis yang meningkat maka akan banyak pasien dengan risiko untuk terjadinya efek samping akibat obat antituberkulosis (WHO, 2006). Hepatotoksik akibat obat antituberkulosis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh peningkatan serum aspartat aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) sampai 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total >1,5 mg/dl, serta peningkatan AST/ALT dengan nilai berapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan muntah (Rahajoe, 2008). Disebutkan pula suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan serum bilirubin >3 mg/dl dan kenaikan ALT 2 kali dari batas atas nilai normal dan disertai gejala kinis (Benichou, 1990). WHO membagi derajat hepatotoksik menjadi empat, yaitu derajat 1 bila peningkatan enzim ALT 1-2,5 kali nilai normal, derajat 2 bila peningkatan enzim
4 ALT 2,5-5 kali nilai normal, derajat 3 bila peningkatan enzim ALT 5-10 kali nilai normal, derajat 4 bila peningkatan enzim ALT >10 kali nilai normal (WHO, 1992). Insidensi hepatotoksik akibat obat antituberkulosis berkisar 2% - 28% (Tostmann 2008). Penelitian kohort prospektif pada 339 pasien tuberkulosis dewasa didapatkan hasil kejadian hepatotoksik sebesar 19,76% (Mahmood, 2007). Penelitian pada 58 penderita tuberkulosis dewasa yang mendapat obat antituberkulosis menunjukkan adanya gangguan faal hati untuk kelompok yang mendapatkan obat pada 1 & 2 bulan sebanyak 28%, untuk kelompok pada 3 & 4 bulan sebanyak 27% dan untuk kelompok pada 5 & 6 bulan 57% (Arsyad, 1996). Penelitian kohort prospektif pada 50 pasien tuberkulosis dewasa menunjukkan 8% pasien mengalami hepatotoksik (Shakya 2006). Penelitian kohort retrospektif pada 99 pasien tuberkulosis anak yang menjalani pengobatan antituberkulosis di Jepang tahun 1995-1999 didapatkan hasil 8 anak mengalami hepatotoksik (Ohkawa 2002). Penelitian kohort retrospektif pada 1582 pasien tuberkulosis anak yang menjalani pengobatan antituberkulosis di California tahun Januari 2005- Agustus 2011 didapatkan hasil 13 anak mengalami hepatotoksik (Chang 2014). Penelitian kohort retrospektif pada pasien tuberkulosis anak di Yogyakarta dari Januari 2001- Agustus 2006 menunjukkan bahwa terdapat 31 anak yang terdiagnosis hepatotoksik dan gizi buruk merupakan faktor risiko terjadinya hepatotoksik pada anak yang mendapat terapi antituberkulosis (Rusmawati 2009).
5 Onset terjadinya hepatotoksik pada terapi antituberkulosis bervariasi, onset hepatotoksik paling sering terjadi pada fase intensif pengobatan antituberkulosis, yaitu 2 minggu sejak dimulai pengobatan antituberkulosis (Prihatni 2005; Mahmood 2007; Akura 2009; Khalili 2009), pada 1 bulan sejak dimulai pengobatan (Ohno 1999; Chang 2007) dan pada < 3 bulan pengobatan, 3-6 bulan pengobatan dan > 6 bulan pengobatan (Chang 2014). Penelitian untuk melihat faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian hepatotoksik pada pasien dengan terapi antituberkulosis telah banyak dilakukan. Faktor risiko yang berpengaruh yaitu usia muda, jenis kelamin wanita, malnutrisi, serum albumin rendah dan derajat keparahan penyakit tuberkulosis yang diderita (Shakya 2006), riwayat alkoholisme, pengobatan yang bersamaan dengan paracetamol (Mahmood 2007). Faktor risiko yang lain adalah usia <5 tahun dan penggunaan pirazinamid dalam pengobatan antituberkulosis (Ohkawa 2002). Hasil dari beberapa penelitian menyimpulkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian hepatotoksik pada pengobatan antituberkulosis adalah usia lanjut, jenis kelamin perempuan, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat memiliki penyakit hati sebelumnya dan status asetilasi lambat (Tostmann 2008). Status asetilasi adalah kemampuan tubuh dalam memetabolisme isoniazid. Isoniazid dan obat-obat seperti dapson, hidralazine, procainamide, sulfonamide mengalami metabolisme secara asetilasi. Kemampuan tubuh untuk memetabolisme obat dipengaruhi oleh genetik, dan sifat ini ditentukan oleh suatu gen otosom, yakni sifat status asetilasi cepat ditentukan oleh gen dominan otosom
6 sedangkan sifat status asetilasi lambat oleh gen resesif otosom. Dalam hal kemampuan asetilasi isoniazid maka individu-individu dalam populasi akan terbagi secara tegas menjadi fenotipe status asetilasi cepat dan status asetilasi lambat (Ganiswarna, 2001). Proporsi status asetilasi cepat sebanyak 61,3% dan status asetilasi lambat sebanyak 38,7% (Dwi Indria Anggraini, 2010). Kadar isoniazid di dalam sirkulasi individu dengan status asetilasi cepat berkisar 30-50% dari kadar status asetilasi lambat. Sekitar 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam bentuk metabolit. Ekskresi isoniazid terutama dalam bentuk acetylisoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi (Ganiswarna, 2001). Penderita dengan status asetilasi cepat memiliki kadar isoniazid dalam serum lebih rendah bila dibandingkan dengan status asetilasi lambat (Dwi Indria Anggraini, 2010). Hepatotoksik terjadi karena metabolit obat (acetylhidrazine) merupakan radikal bebas dan dapat terikat secara kovalen ke sel-sel hati yang kemudian dapat menyebabkan hepato injury (Saukkonen 2006). Faktor risiko untuk terjadinya akumulasi acetylhidrazine di dalam hati adalah status asetilasi lambat, GST M1 Null genotype dan konsentrasi rifampisin yang tinggi dalam serum (Fukino 2008). Individu dengan genotype status asetilasi lambat memiliki risiko lebih besar untuk terjadi kenaikan serum transaminase bila dibandingkan dengan individu dengan genotype status asetilasi cepat (Ohno 2000). Penelitian tentang status asetilasi dan hubungannya dengan hepatotoksik akibat obat antituberkulosis pada anak masih terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara status asetilasi dan efek
7 samping hepatotoksik yang ditandai dengan peningkatan enzim transaminase pada anak dengan terapi antituberkulosis. B. Perumusan Masalah Indonesia termasuk kelompok negara dengan beban tuberkulosis tinggi dan menempati peringkat ketiga dunia setelah India dan Cina dengan insidensi kasus TB anak antara 3% sampai dengan lebih dari 25% (WHO, 2006). Pengobatan tuberkulosis berisiko untuk terjadi efek samping. Efek samping yang perlu diwaspadai adalah efek hepatotoksik. Awal menuju keadaan hepatotoksik ditandai dengan adanya peningkatan enzim transaminase. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya hepatotoksik telah diteliti sebelumnya yaitu status asetilasi lambat, gizi buruk dan usia muda. Perlu dilakukan penelitian untuk melihat hubungan antara status asetilasi, status gizi dan usia dalam hubungannya dengan peningkatan enzim transaminase pada anak C.Pertanyaan Penelitian Apakah ada hubungan yang bermakna antara status asetilasi lambat dan peningkatan kadar enzim transaminase pada anak dengan terapi antituberkulosis. D.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Mengetahui hubungan antara status asetilasi lambat dan kadar enzim transaminase. 2. Tujuan khusus: - Mengetahui proporsi status asetilasi cepat dan lambat pada anak dengan pengobatan antituberkulosis.
8 - Mengetahui proporsi peningkatan enzim transaminase pada anak dengan pengobatan antituberkulosis. - Mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap peningkatan enzim transaminase. E. Keaslian Penelitian No Peneliti Desain Tujuan Hasil dan Kesimpulan 1. Pande (1996) 2. Ohno (2000) casecontrol cohort prospektif (3 bl) Mengetahui faktor risiko hepatotoksik pada pengobatan tuberkulosis Hub antara genotype asetilasi dg hepatotoksik pd 77 pasien tuberkulosis dg nilai transaminase serum normal sebelum memulai pengobatan di Jepang tahun 1996-1998. Usia tua (p<0.001), Hipoalbumin (p<0.001), riwayat alkohoisme berat (OR=4-76, 95% CI 2-25 to 10-05; p<0-001) dan status asetilator lambat (OR= 272; 95% CI1-16 to 6-57, p<0-01) merupakan faktor risiko 18,2% mengalami hepatotoksik pd 1 bln setelah pengobatan. Ada hub yg signifikan antara genotype asetilasi dengan hepatotoksik. Bila dibandingkan antara genotype asetilasi cepat& intermediate dengan hepatotoksik (RR 4.0; 95% IK 1.94 6.06). Bila dibandingkan antara genotype asetilasi cepat dan lambat dgn hepatotoksik (RR 28.0 ; 95% IK 26.0-30.0).
9 3. Huang (2002) 4. Shimizu (2005) 5. Hyun- Jung Cho et al., (2007) 6. Possuelo (2008) 7. Bozok (2008) Cohort prospektif (6 bl) Cohort prospektif (3 bl) Cohort prospektif (6 bln) Cohort prospektif (2 bln) Case control Hub genotype asetilasi dg hepatotoksik pada 224 pasien tuberkulosis di Taipei tahun 1998-2000. Hub genotype asetilasi dengan hepatotoksik pada 42 pasien tuberkulosis di Jepang Hubungan antara genotype asetilasi dgn hepatotoksik pada 132 pasien tuberkulosis di Korea pada Juni 2004- Des 2005. Hubungan antara genotype asetilasi dengan hepatotoksik pada 254 pasien tuberkulosis di Brazil pada tahun 2005-2007 Hubungan antara phenotype asetilasi dgn hepatotoksik pada 100 pasien tuberkulosis; dimana kelp kasus : 30 pasien yg mengalami hepatotoksik. Kelp kontrol: 70 pasien yang tidak hepatotoksik. 14,7% pasien mengalami hepatotoksik dan faktor risiko yang berpengaruh adalah asetilator lambat [OR], 3.66; 95% CI, 1.58-8.49; P =0.003) dan usia tua (OR, 1.09; 95% CI, 1.04-1.14; P <.001). 23,8% pasien mengalami hepatotoksik. Asetilator lambat lebih berisiko terjadi hepatotoksik bila dibandingkan dengan asetilator cepat (OR 3,69 ; p=0,006). 13,6% pasien mengalami hepatotoksik. Kejadian hepatotoksik didapatkan lebih tinggi pada asetilator lambat dibandingkan dg asetilator cepat (36,8% vs 9,7%, p = 0,005). 5,5% pasien mengalami hepatotoksik pada 2 bulan fase pengobatan. Penyakit HIV dan asetilator lambat merupakan faktor risiko untuk hepatotoksik (p<0,01) Proporsi asetilator lambat didapatkan lebih banyak pada kelompok kasus bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,001).
10 8. Yamada (2010) Case control Hubungan antara genotype asetilasi dengan hepatotoksik pada 170 pasien tuberkulosis dewasa dengan terapi antituberkulosis. tidak ada hubungan yang bermakna antara genotype asetilasi lambat dengan kejadian hepatotoksik. Keaslian penelitian ini terletak pada sampel, yaitu pada anak, dimana penelitian sebelumnya dilakukan pada dewasa. F. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penelitian ini dapat memberi masukan bagi klinisi tentang proporsi dari status asetilasi pada anak. 2. Praktis/klinis Membuat suatu evidence based medicine dalam tatalaksana pengobatan tuberkulosis paru anak.