BAB I PENDAHULUAN. masalah (Schneidman dalam Maris, Berman, Silverman, dan Bongar, 2000). Bagi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dewasa ini, bunuh diri telah dipandang sebagai salah satu penyelesaian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan manusia, termasuk kesulitan ekonomi, lapangan pekerjaan, pendidikan,

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin suicidium, dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. memahami perubahan dan perkembangan di dunia pendidikan dan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Lanjut usia (lansia) adalah perkembangan terakhir dari siklus kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepuasan tersendiri, karena bisa memperoleh uang dan fasilitas-fasilitas yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. disertai suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas. 1. Gangguan afektif bipolar adalah salah satu gangguan mood yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mutu pendidikan yang rendah merupakan problem besar yang melanda dunia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tingkat angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia sudah pada taraf yang

2014 GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PROKRASTINASI AKAD EMIK D ALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI PAD A MAHASISWA PSIKOLOGI UPI

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki segala keunikan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja adalah tahap umur berikutnya setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang di akibatkan karena merokok berakhir dengan kematian. World

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) (WHO), Setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar tujuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang harus ditemukan dalam kehidupannya. Motivasi dasar manusia bukanlah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mengingat pentingnya pendidikan pemerintah membuat undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

Bab I Pendahuluan. Setiap individu memiliki berbagai gagasan-gagasan mengenai dirinya, dimana gagasan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pada masa remaja, seorang individu banyak mengalami perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. dewasa madya, dan dewasa akhir. Masa dewasa awal dimulai pada umur 18

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. memiliki kontribusi dan mampu memprediksikan apatisme politik pada

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Namun, pendidikan di sekolah sampai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu komponen utama kebutuhan manusia. Melalui

ASSALAMU ALAIKUM WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUH

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seseorang yang mengkonsumsinya (Wikipedia, 2013). Pada awalnya, alkohol

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI DI RSJD. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Oleh : AGUNG NUGROHO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Solihah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. remote control, komputer, lift, escalator dan peralatan canggih lainnya

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Allah berfirman dalam Q.S Ali Imran, ayat 185 yang berbunyi: Tiap-tiap yang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. pertolongan medis dengan harapan dapat menghilangkan keluhan-keluhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini, masalah kegemukan ( overweigth dan obesitas) menjadi

BAB I PENDAHULUAN. adalah penyebab sepertiga kematian pada anak-anak muda di beberapa bagian

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap harinya manusia dihadapkan dengan berbagai macam tugas, mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mental yang terjadi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Transisi ini melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. menandakan jumlah lansia dari tahun ke tahun akan bertambah. Di negara maju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan kematangan fisik hingga emosi. Kematangan emosi yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan terhadap golongan pelajar ini dapat menyebabkan pola tidur-bangun. berdampak negatif terhadap prestasi belajarnya.

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. konsekuensi bahaya atas tindakan yang dilakukan. Individu yang memiliki kontrol

KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. lalu lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga, setelah penyakit jantung koroner

xvi BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. tahap-tahap perkembangan mulai dari periode pranatal sampai pada masa usia lanjut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. terapi lingkungan untuk pasien dengan depresi yaitu Plant therapy di mana tujuan dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa kini semakin banyak orang menyadari arti pentingnya pendidikan.

Pengaruh Terpaan Peringatan Pesan pada Iklan Rokok terhadap Sikap untuk Berhenti Merokok pada Remaja. Skripsi

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan

BAB 1 PENDAHULUAN. teknologi yang memudahkan semua kegiatan, seperti diciptakannya remote control,

BAB I PENDAHULUAN. lain yang diciptakan Allah SWT. Manusia diberikan akal dan pikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG I'm just tired of dealing with all the bullshit. Tired of dealing with all the pain and rage I have inside of me. I'm tired of being unloved, unliked, unappreciated and judged. I'm tired of just getting more **** for my brain to deal with every day. More to cry about and more to want to scream uncontrollably about. Tired of my body, of all the pain and hardship it creates. It's hard to have any hope whatsoever when you just feel like a piece of **** every day. (I Hate Myself & I Want To Die (2008). http://www.experienceproject.com.) Dewasa ini, bunuh diri telah dipandang sebagai salah satu penyelesaian masalah (Schneidman dalam Maris, Berman, Silverman, dan Bongar, 2000). Bagi sebagian orang, bunuh diri telah menjadi satu-satunya jalan menuju solusi dari masalah hidup yang menekan. Bagai melihat melalui celah pipa, tidak ada harapan dan penyelesaian lain yang tersisa. Sakit yang dirasakan dan pikiran yang berkecamuk sungguh tak bisa lagi dibendung. Mereka melihat tidak ada titik terang di masa depan dan sulit bagi mereka menemukan alasan untuk hidup lebih lama lagi. Mengakhiri hidup menjadi alternatif untuk bebas dari masalah hidup. Bunuh diri telah menjadi suatu masalah global. Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 melaporkan bahwa setiap tahunnya di dunia terdapat 10-20 juta orang yang berupaya melakukan bunuh diri dan 1 juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri. WHO memperkirakan angka ini sama dengan satu orang melakukan bunuh diri setiap menit dan satu orang mencoba bunuh diri setiap 3 detik. Berdasarkan data dari Direktur WHO Bidang

Kesehatan Mental dan Kekerasan, Benedetto Saraceno (2005) jumlah rata-rata penduduk Indonesia yang meninggal akibat bunuh diri mencapai 24 orang dari 100 ribu penduduk. Dengan jumlah populasi Indonesia yang sekarang sebanyak 220 juta orang, berarti ada 50 ribu orang yang bunuh diri setiap tahunnya dengan usia rata-rata korban yang bervariasi dari belasan tahun sampai dengan 65 tahun. Prevalensi ini cenderung meningkat setiap tahunnya (Surilena, 2005). Merespon angka kematian yang begitu tinggi, hendaknya bunuh diri tidak dipandang sebelah mata. Meskipun demikian, bunuh diri juga bukanlah hal yang mudah untuk dipahami. Perilaku bunuh diri sendiri tidak terbatas hanya pada perilaku bunuh diri yang berhasil dilakukan, tetapi juga pada percobaan bunuh diri, pikiran bunuh diri, dan perilaku melukai diri baik dengan intensi mati ataupun tidak mati (Maris dkk., 2000). Bunuh diri yang berhasil dilakukan biasanya didahului oleh percobaan dan pikiran bunuh diri. Oleh sebab itu, meskipun setiap jenis perilaku tersebut memiliki pengertian yang berbeda, populasi yang melakukannya tumpang tindih (Linehan, dalam Maris dkk.,2000). Di samping itu, bunuh diri sulit untuk dipahami secara keseluruhan karena perbedaan individual seperti yang diungkapkan Alvarez bahwa Suicide means different things to different people at different times (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003: hlm 213 ). Hal ini berarti walaupun setiap orang yang melakukan bunuh diri pernah memikirkan atau mencoba bunuh diri, akar masalah yang mengantarkan mereka ke pikiran tersebut bisa bervariasi. Meskipun tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk mencegah bunuh diri yang telah terjadi, pertambahan angka bunuh diri bisa dicegah melalui percobaan

bunuh diri yang pernah dilakukan. Sebelum berhasil bunuh diri, sekitar 30-40 % pelaku bunuh diri pernah melakukan setidaknya satu kali percobaan bunuh diri (Maris dkk., 2000). Di samping itu, dari kasus-kasus percobaan bunuh diri yang terjadi, sebanyak 25-50% beresiko mengulangi upaya bunuh diri (Beck & Steer, dalam Dieserud, Roysamb, Braverman, Dalgard, & Ekeberg, 2003). Angka pengulangan bunuh diri tersebut lebih tinggi untuk orang yang sudah mencoba bunuh diri berulang kali daripada untuk yang baru pertama kali melakukannya. Percobaan bunuh diri telah dikenal sebagai salah satu faktor prediktif yang paling menentukan perilaku bunuh diri di masa mendatang (Skogman & Ojehagen, 2003; Freedenthal, 2001). Salah satu faktor untuk memprediksi percobaan bunuh diri baik yang dilakukan untuk pertama kali maupun yang berulang kali adalah pikiran bunuh diri (suicidal ideation). Pikiran bunuh diri merupakan antecedent yang selalu mendahului percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan (Arria, O Grady, Caldeira, Vincent, Wilcox, & Wish, 2009). Jadi, sebelum seseorang mencoba bunuh diri, dia pastilah terlebih dahulu memikirkan tentang bunuh diri. Umumnya, berpikir tentang bunuh diri bisa dikategorikan pasif dan aktif, dimana pasif berarti ketika memikirkan tentang bunuh diri, subjek bukan pelaku langsung (Saya berharap seseorang menabrakku hingga mati), sedangkan aktif berarti subjek merupakan pelaku langsung (Saya ingin gantung diri). Kemudian, dia akan memilih metode untuk mengakhiri hidupnya, bersamaan dengan pikiran bagaimana tubuh mereka akan terlihat ketika ditemukan orang lain, seberapa cepat hal itu akan berlangsung, seberapa sakit yang akan dirasakan, memikirkan untuk

mengganti metode, dan lain sebagainya. Setelah memilih metodenya, dia akan menentukan waktu yang tepat kecuali jika orang tersebut tergolong impulsif. Walaupun begitu, banyak orang yang pernah memikirkan tentang bunuh diri tetapi tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri ataupun bunuh diri (Maris dkk., 2000). Mereka hanya merencanakan, mempertimbangkan, merenungi, dan berfantasi mengenai ide tentang bunuh diri tanpa ada intensi untuk melakukannya. Linehan (dalam Maris dkk., 2000) memperkirakan 24 % dari populasi dunia pernah memikirkan tentang bunuh diri pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan. Oleh sebab itu, pastilah terdapat perbedaan kognitif pada orang yang suicidal dan non-suicidal. Levensen mengatakan orang yang suicidal memiliki beberapa gaya berpikir yang unik atau karakteristik kognitif tertentu yang menghambat kemampuannya untuk mencari solusi yang mungkin dari masalah hidup dan mengurangi kapasitas untuk mengatasi tekanan hidup. Sedangkan Schneidman menyatakan bahwa suicidal cognition itu kaku, tidak logis, dan bersifat dikotomi. Adapun beberapa karakteristik suicidal cognition antara lain kekakuan kognisi (cognitive rigidity), berpikir dikotomi (dichotomous thinking), kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (deficient problem-solving), keputusasaan (hopelessness), perfeksionisme, konsep diri negatif, gaya berpikir rumiatif (ruminative response style), dan memori autobiografi (autobiographical memory) yang kurang. Dengan memiliki karakteristik kognitif tersebut, seseorang berkemungkinan besar memiliki pikiran bunuh diri (dalam Ellis & Rutherford, 2008).

Beberapa penelitian mengenai karakteristik pikiran bunuh diri masih terus berkembang hingga saat ini. Salah satu penelitian oleh Marzuk, Leon, Hartwell, & Portera (2005) mendapatkan bahwa pikiran untuk melakukan bunuh diri merupakan sebuah keputusan eksekutif yang dilakukan oleh area prefrontal cortex pada otak. Area ini biasanya bertugas menimbang alternatif yang ada dan menghasilkan alternatif baru, membuat strategi untuk bebas dari jalan buntu, memulai dan melaksanakan suatu rencana. Semua fungsi area ini akan terhambat jika individu memiliki kekakuan kognisi (cognitive rigidity). Menurut Marzuk dkk. (2005), pikiran orang yang bunuh diri diciri-cirikan dengan kekakuan kognisi (cognitive rigidity) yang meliputi berpikir secara dikotomi (dichotomous thinking) dan kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (deficient problem-solving). Individu yang berpikir secara dikotomi mengkonsepkan masalah-masalah dalam dua kutub yang berlawanan seperti baik atau buruk, benar atau salah, sekarang atau tidak akan pernah lagi, dan lain sebagainya. Cara berpikir dikotomi pada individu yang ingin melakukan bunuh diri dapat berujung pada situasi yang membahayakan. Ketika mereka harus mengatasi masalah yang terjadi, pilihan yang terlihat adalah antara hidup dengan menyedihkan atau mati. Di samping itu, kekakuan kognisi juga menyebabkan individu tidak mampu untuk memikirkan solusi alternatif untuk mengatasi masalahnya sehingga meningkatkan keputusasaan (hopelessness) dalam diri individu. Dengan meningkatnya keputusasaan, individu memiliki resiko yang lebih besar untuk bunuh diri. Karakteristik lain yang telah diteliti adalah perfeksionisme. Perfeksionisme telah diidentifikasi sebagai salah satu variabel yang penting untuk

menjelaskan perbedaan individual pada distress psikologi yang dialami individu, seperti depresi, keputusasaan (hopelessness), dan perilaku bunuh diri (O Connor, O Connor, & Marshall, 2007). Melalui penelitian O Connor dkk., (2007), didapatkan bahwa efek-efek maladaptif dari perfeksionisme dimediasi oleh gaya berpikir yang disebut brooding (brooding ruminative response style). Sehubungan dengan ruminative response style, yaitu gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya, Chan dkk., (2009) menyatakan bahwa kejadian hidup yang negatif berdampak pada kecenderungan bunuh diri melalui brooding ruminative response style dan depresi. Gaya berpikir ini sendiri juga berhubungan langsung dengan pikiran bunuh diri tanpa adanya simtom depresi. Di samping itu, brooding juga diasosiasikan dengan usaha mengatasi masalah (coping style) yang pasif seperti menolak, menghindari, dan mencoba mengabaikan kehadiran stresor. Berdasarkan hasil penelitian Chan dkk. (2009), ditemukan bahwa brooding dapat mempengaruhi keputusasaan (hopelessness) melalui kecenderungan individu mengatribusi kejadian negatif yang terjadi dengan sebab yang stabil dan global. Dengan kata lain, individu dengan gaya berpikir brooding yang mengalami kejadian hidup negatif akan cenderung mengatribusikan sebab kejadian tersebut sebagai sesuatu yang menetap sehingga keputusasaan akan meningkat dan menyebabkan munculnya pikiran bunuh diri. Atribusi diri sebagai sebab kejadian hidup yang negatif merupakan bukti dari konsep diri yang negatif. Berkaitan dengan konsep diri, Ellis dan Rutherford (2008) menyatakan bahwa konsep diri yang negatif berkontribusi besar pada pembentukan pikiran

bunuh diri. Konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang terhadap dirinya sendiri yang dibentuk secara sadar dan dielaborasi dari pengalaman-pengalaman, yang kemudian dapat mempengaruhi proses informasi tentang diri dan cara individu memandang dunia (Weiten & Lloyd, 2006)....aku tidak cukup kompeten untuk melakukan sesuatu dengan benar. Aku adalah pengecut terbesar di sekolah... Aku pendek, jelek, mukaku seperti kartun, dagu yang bengkak, kulit yang jelek, mata yang asimetris, dan rambut di mukaku yang tidak tumbuh tepat...teman-teman selalu menertawaiku. Aku tidak punya kemampuan, ketrampilan, atau bakat. Aku tidak berharga. Aku tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan dan tidak akan pernah punya itu. Aku lebih baik mati daripada hidup dengan membenci diriku. Setiap melihat cermin, aku marah dan sedih dengan pantulan yang ada di depanku... (Think About Suicide (2007).http://www.experienceproject.com) Konsep diri negatif yang merupakan karakteristik pikiran bunuh diri tercermin dari pernyataan orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri di atas. Menurut Bandura, penilaian diri yang disfungsional terutama perceivedinefficacy mempunyai peran penting dalam kecemasan dan depresi (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005). Di samping itu, Baumeister memperkenalkan istilah self-concept confusion dimana individu yang memiliki harga diri yang rendah sebenarnya hanya tidak mengenal diri mereka dengan baik sehingga mengatribusikan hal-hal yang negatif pada diri mereka (dalam Weiten & Lloyd, 2006). Penelitian lain mengenai konsep diri menunjukkan bahwa individu yang melakukan bunuh diri berulang-ulang mempunyai harga diri yang lebih rendah daripada individu yang hanya mencoba bunuh diri sekali. Sebagai tambahan, penelitian oleh Merwin & Ellis (2004), mengemukakan bahwa konsep diri juga menjadi indikator kemampuan coping yang maladaptif pada remaja, dimana ketidakmampuan mengatasi konflik dengan orang tua, perubahan status dalam

kelompok teman sebaya, isolasi sosial, penolakan, pemutusan hubungan romantis menimbulkan keputusasaan yang membuat para remaja mencoba melakukan bunuh diri. Meskipun konsep diri yang negatif bisa berakibat pada pikiran bunuh diri, sebagian orang yang melakukan tindakan bunuh diri malah memiliki konsep diri yang dimotivasi oleh kebermaknaan. Dalam proses membangun makna dan memperkuat self-transcendence, para teroris pelaku bom bunuh diri membentuk konsep diri yang dimotivasi oleh makna personal. Mereka memilih identitas tersebut dan merasa bebas untuk mengadopsi identitas dan menerima segala konsekuensi dari perilakunya yang ekstrim. Hal ini dapat mengurangi dan mengeliminasi perasaan bersalah atas apa yang dilakukan. Terlebih lagi, dalam melakukan perilaku destruktif tersebut, mereka menemukan arti hidup dan tujuan hidup yang dianggap mulia. Proses pemaknaan ini membantu individu membangun identitas dan memperkuat self-worth. Oleh sebab itu, para pelaku bom bunuh diri mendefinisikan diri mereka dengan konsep diri yang bermakna sehingga melakukan perilaku destruktif dapat meningkatkan harga diri dan selfworth (Morgan, 2007). Beberapa faktor resiko yang bisa menyebabkan munculnya pikiran bunuh diri juga telah diteliti. Depresi telah lama dikenal sebagai salah satunya, namun mayoritas individu yang mempunyai pikiran bunuh diri tidak memenuhi kriteria simtom depresi yang tinggi (Arria dkk., 2009). Penelitian lain juga mengatakan bahwa mayoritas orang yang mengalami peraasaan depresi dan putus asa malah tidak melakukan percobaan bunuh diri (Pirelli & Jeglic, 2009). Kurangnya

dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor resiko pikiran bunuh diri terutama pada tahap perkembangan dewasa awal. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan keluarga antara lain konflik dengan orang tua, komunikasi yang buruk, rendahnya dukungan yang dirasakan, dan ketidakberfungsian keluarga. Pikiran bunuh diri juga diasosiasikan dengan ketidakteraturan afektif dan gangguan penggunaan alkohol (Arria dkk.,2009). Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa karakteristikkarakteristik pikiran bunuh diri saling berinteraksi satu sama lain untuk memperkuat kemungkinan munculnya pikiran bunuh diri yang akhirnya berujung pada percobaan bunuh diri. Meskipun demikian, faktor kognitif dalam perilaku bunuh diri merupakan topik baru yang masih terus berkembang. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran pikiran bunuh diri pada individu pelaku percobaan bunuh diri. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui: bagaimana gambaran pikiran bunuh diri pelaku percobaan bunuh diri? C. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pikiran bunuh diri pelaku percobaan bunuh diri. D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai pikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri. 2. Manfaat Praktis a. Secara praktis penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat dipahami bagaimana sebenarnya pikiran seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. b. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat diketahui apa yang melatarbelakangi munculnya pikiran bunuh diri. c. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini, dapat menambah wawasan pembaca mengenai bagaimana karakteristik pikiran bunuh diri berkontribusi pada terjadinya percobaan bunuh diri. d. Dengan memahami pikiran bunuh diri, penulis berharap dapat memberikan saran yang tepat untuk subjek penelitian. E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan suicidal cognition dan konsep diri. Bab III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, definisi operasional, metode pengambilan subjek, metode pengambilan data, metode analisis data, dan kredibilitas penelitian. Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori yang relevan. Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.