PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KONTESKTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS VIII MTsN LUBUK GADANG TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Deni Novalita 1), Hendra Syarifuddin 2), Nilawasti ZA 3) 1 ) FMIPA UNP : email: deninovalitajuga@gmail.com 2,3 )Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP Abstract Mathematical problem solving Ability is the mouth of learning math in school. Based on tests of mathematical problem solving ability that is given to students of class VIII MTsN Lubuk Gadang note that math problem solving abilities students is still low. The purpose of this study was to determine whether the use of contextual learning model in learning mathematics grade VIII MTsN Lubuk Gadang gives mathematical problem solving ability is better than the use of conventional learning model. This type of research was quasi experimental research. The research design used was the control group only randomize design. The population in this research is grade VIII MTsN Lubuk Gadang lesson years 2013/2014. Withdrawal of samples is carried out by simple random sampling technique. Research instrument used is the test of mathematical problem solving ability. When ability test data given information that using contextual teaching and learning in learning math can to addition ability of problem solving ability of student. Keyword : mathematical problem solving, contextual learning model,conventional learning model PENDAHULUAN Matematika merupakan ratunya ilmu pengetahuan sekaligus pelayannya. Hal ini disebabkan banyak ilmu pengetahuan lain yang penemuan dan pengembangannya berdasarkan pada matematika. [1] Dalam peraturan menteri pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 terdapat 5 point tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah. Dari 5 point tujuan tersebut, 4 diantaranya bermuara pada kemampuan pemecahan masalah matematika. Siswa dikatakan memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik ketika siswa tersebut mampu memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau biasa dikenal dengan indikator pemecahan masalah matematika. Akan tetapi, tidaklah mudah untuk memenuhi kriteria tersebut. Salah satunya adalah di MTsN Lubuk Gadang. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran matematika siswa kelas VIII MTsN Lubuk Gadang, diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa masih rendah. Oleh karena itu dilakukan pengamatan dan wawancara pada tanggal 7,10 dan 14 Januari 2014 untuk mendapatkan informasi lebih lanjut bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di sekolah ini. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII MTsN Lubuk Gadang masih rendah. Hal ini terungkap saat guru memberikan beberapa soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah matematika. Terlihat saat pengamatan, sebagian besar siswa kesulitan dalam menjawab soal tersebut. Siswa tidak mampu memahami permasalahan yang diberikan dengan baik. Selain itu, siswa kesulitan dalam menganalisis informasi apa saja yang diberikan dari soal. Hal ini menyebabkan hasil belajar kemampuan pemecahan masalah matematika siswa masih rendah. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap soal kemampuan pemecahan masalah matematika yang diberikan guru, diketahui bahwa masih banyak siswa yang nilainya tidak mencapai Kiteria Ketuntasan 12
Minimum (KKM). KKM mata pelajaran matematika di MTsN Lubuk Gadang adalah 78. Kenyataan ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: TABEL I PERSENTASE SISWA KELAS VIII MTSN LUBUK GADANG YANG TUNTAS BERDASARKAN KKM PADA TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA. No Kelas Jumlah Siswa yang tuntas siswa Jumlah Persen 1 VIII.1 32 3 9,375 2 VIII.2 43 1 2,32 3 VIII.3 40 0 0 4 VIII.4 42 2 4,76 5 VIII.5 42 4 9,52 Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa diketahui bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematika disebabkan bentuk soal yang tidak seperti biasanya. Siswa bingung untuk mengidentifikasi apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal. Hal ini menyebabkan siswa tidak tahu apa yang harus dilakukan sehingga siswa tidak mampu menjawab soal tersebut dengan benar. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka ditawarkan suatu solusi berupa penggunaan [2] model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika. [6] Terdapat 8 komponen utama dan 7 prinsip dasar dalam model pembelajaran kontekstual yang sangat berguna untuk memenuhi setiap indikator pemecahan masalah yang ditetapkan. 8 komponen yang terdapat dalam model pembelajaran kontekstual adalah:1) menjalin hubungan-hubungan yang bermakna; 2) mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berrti; 3) melakukan proses belajar yang diatur sendiri; 4) mengadakan kolaborasi; 5) berpikir kritis dan kreatif; 6) memberikan layanan secara individual; 7) mengupayakan pencapaian standar yang tinggi; 8) menggunakan asesmen autententik. Adapun 7 prinsip dasar pelaksanaan model pembelajaran kontekstual adalah konstruktivisme, inquiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Dengan melaksanakan 8 komponen dan 7 prinsip dasar model pembelajaran kontekstual di atas, maka guru secara bertahap dapat melatih kemampuan berpikir kris siswa. Karena kemampuan pemecahan masalah matematika menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi. Selain itu, kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan muara dari tujuan yang ingin dicapai dari pemebalajaran matematika. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, maka perlu ditingkatkan kemampuan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya diawali dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII MTsN Lubuk Gadang dibandingkan model pembelajaran konvensional. METODE PENELITIAN Berdasarkan masalah yang akan diteliti, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen karena dalam pelaksanaannya tidak memungkinkan untuk dilakukan pengontrolan terhadap variabel secara penuh. Adapun desain atau rancangan penelitian yang digunakan adalah randomize control group only design [5] yang dapat digambarkan pada tabel berikut: TABEL II RANCANGAN PENELITIAN RANDOMIZE CONTROL GROUP ONLY DESIGN [6] Kelas sampel Treatment Tes akhir Eksperimen X X Control - X Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika dalam bentuk tes uraian. Sebelum digunakan sebagai tes akhir kemampuan pemecahan masalah matematika, terlebih dahulu dilakukan ujicoba di Pondok Pesantren Bustanul Huda yang memiliki kesamaan karakteristik dengan 13
MTsN Lubuk gadang. Karakteristik yang dimaksud adalah letak geografis, KKM, latar belakang sekolah serta input (siswa yang masuk). Setelah dilakukan ujicoba, maka langkanh selanjutnya adalah melakukan analisis validitas, reliabelitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda terhadap soal ujicoba tersebut. Berdasarkan hasil analisis, maka disimpulkan bahwa ada 7 soal yang akan digunakan sebagai tes akhir dalam penelitian. Tes akhir kemampuan pemecahan masalah matematika pada kedua kelas sampel dilakukan pada hari yang sama yaitu pada hari Jumat tanggal 14 Februari 2013. Materi yang diujikan adalah teorema phytagoras. Penilaian tes mengacu pada rubrik penskoran tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dimodifikasi dari rubrik penskoran tes unjuk kerja yang dimodifikasi dari Iltavia. Hasil yang diperoleh kemudian dikonversikan dengan rentangan nilai antara 0 sampai 100 dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Sudijono [4] berikut: Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari tes akhir kemampuan pemecahan masalah matematika. Adapun yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah jumlah siswa kelas VIII MTsN Lubuk Gadang, serta jumlah siswa yang tuntas berdasarkan KKM pada tes kemampuan pemecahan masalah yang diberikan guru. Data sekunder diperoleh dari guru yang mengajar. Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika dianalisis untuk menarik kesimpulan apakah hipotesis penelitian diterima atau tidak. Uji hipotesis penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas dan uji homogenitas variansi terhadap nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dari kedua kelas sampel. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setelah diberikan tes akhir berupa 7 butir soal kemampuan pemecahan masalah matematika kepada kedua kelas sampel, maka diperoleh data sebagai berikut: TABEL III DESKRIPSI HASIL TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS EKSPERIMEN DAN KELAS KONTROL Deskripsi nilai Kelas Eksperimen Kelas control Jumlah siswa 42 42 Nilai tertinggi 100 91.43 Nilai terendah 58.57 45.71 Rata-rata 83.27 73.94 variansi 77.78 126.51 Simpangan baku 8.82 11.25 Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari pada nilai rata-rata siswa kelas kontrol. sebaliknya, variansi kelas eksperimen lebih rendah dari pada kelas kontrol. Untuk melakukan penarikan kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas variansi sebagai langkah awal untuk melakukan uji hipotesis. Hipotesis statistik yang akan di uji adalah: H o : H 1 : merupakan rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen, sedangkan merupakan rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas kontrol. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan sofware minitab. Untuk uji homogenitas variansi dan uji hipotesis selain menggunakan sofware minitab juga dilakukan dengan menggunakan rumus masingmasingnya sebagai berikut: Uji gomogenitas variansi (1) Dengan derajat bebas dan, kriteria penerimaannya adalah terima H 0 jika F hitung < F tabel 14
Dengan dimana: Uji Hipotesis (4) Kriteria pengujian yaitu tolak jika t hitung > dimana didapat dari tabel distribusi t dengan taraf nyata α. (2) (3) Uji normalitas dilakukan menggunakan uji Anderson darling. Dari hasil pengujian diperoleh nilai P-value kelas eksperimen sebesar 0,520 sedangkan p-value kelas kontrol adalah 0,510. Karena p-value yang diperoleh lebih besar dari maka dapat dikatakan bahwa kedua data berdistribusi normal. Uji homogenitas variansi dilakukan dengan menggunakan uji-f. Uji F menggunakan sofware minitab memberikan nilai p-value sebasar 0.059. Dengan demikian, p-value yang diperoleh lebih besar dari. pengujian menggunakan rumus yang terdapat dalam Syafriandi (1999:152) memberikan nilai f hitung = 0,55. Berdasarkan kedua perhitungan ini, maka dapat dikatakan kedua data mempunyai variansi yang homogen. Uji hipotesis dilakukan dengan uji-t karena nilai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dari kedua kelas sampel berdistribusi normal dan memiliki variansi yang homogenn. Hasil uji hipotesis menggunakan sofware minitab memberikan p-value sebesar 0.000. Dengan demikian, p-value yang diperoleh kurang dari. Pengujian penggunakan rumus yang terdapat dalam Syafriandi (1999: 167) memberikan nilai t hitung = 5,67. Berdasarkan kedua perhitungan ini maka dapat dikatakan bahwa hipotesis Ho ditolak. Artinya, cukup bukti unttuk mengatakan bahwa rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen lebih besar daripada siswa kelas kontrol. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika siswa kelas VIII MTsN Lubuk Gadang memberikan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan model pembelajaran konvensional. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa untuk masing-masing indikator pemecahan masalah diberi skala sesuai dengan rubrik penilaian kemampuan pemecahan masalah matematika yang digunakan. Persentase skor kemampuan pemecahan masalah matematika untuk masing-masing indikator dideskripsikan sebagai berikut: 1. Menunjukkan pemahaman masalah. Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi informasi yang diberikan dari permasalahan yang ada. Siswa harus mampu memilah antara apa yang sudah ditentukan, belum ditentukan, dan apa yang harus ia tentukan dari permasalahan yang diberikan. Selain itu, siswa dituntut untuk mampu mencari informasi dari berbagai sumber yang dapat membantunya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting, karena seseorang siswa akan mampu menyelesaikan suatu permasalahan dengan baik ketika ia mampu memahami permasalahan tersebut dengan baik. Untuk indikator ini diberikan skor antara 0,1 atau 2. Hasil analisis terhadap tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat dilihat pada Gambar I berikut: GAMBAR 1 PERSENTASE SKOR KEMAMPUAN SISWA KELAS SAMPEL DALAM MENUNJUKKAN PEMAHAMAN MASALAH 15
Gambar di atas menunjukan bahwa untuk setiap item soal yang diberikan, persentase kemampuan siswa kelas eksperimen dalam menunjukkan pemahamannya terhadap permasalahan yang diberikan lebih baik dari pada siswa kelas kontrol. Hal ini disebabkan siswa kelas eksperimen yang belajar dengan model pembelajaran kontekstual dibiasakan untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi permasalahan yang diberikan. Kemampuan dalam memahami permasalahan yang diberikan merupakan kunci untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tanpa memahami permasalahan tidak mungkin siswa dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Dilain pihak, kesuksesan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan juga sangat tergantung dari apa yang mereka ketahui dan bagaimana melakukannya. Dalam model pembelajaran kontekstual, siswa dibiasakan untuk memahami permasalahan dengan mengajukan permasalahan kontekstual setiap mengawali proses pembelajaran. Hal ini menuntut siswa untuk terus berlatih dan berkolaborasi dalam memahami permasalahan. Pembelajaran ini menuntuk guru untuk mampu mencapai standar yang tinggi dalam pembelajaran. Sehingga, dengan menggunakan model ini kemampuan siswa kelas eksperimen dalam memahami permasalahan yang diberikan lebih baik dari pada siswa kelas kontrol. 2. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah Langkah ini merupakan tindak lanjut dari langkah sebelumnya. Kemampuan melakukan fase ini sangat tergantung bagaimana siswa menunjukan pemahamannya terhadap masalah yang diberikan. Pada umumnya, semakin siswa memahami permasalahan yang diberikan, maka akan semakin banyak informasi yang dapat ia gunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa matematika merupakan bahasa simbol dan bahasa numerik [3]. Dengan demikian, ketika diberikan permasalahan matematika yang belum memuat simbol-simbol matematika yang dibutuhkan, siswa harus mampu mengorganisasikan informasi yang diberikan dari permasalahan tersebut kedalam simbolsimbol matematika yang tepat. Langkah ini sangat menentukan keakuratan hasil yang nantinya diperoleh siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Selain dituntut untuk mampu memodelkan permasalahan yang diberikan kedalam bentuk simbol matematika yang sesuai dengan kesepakatan yang telah ada, siswa juga harus mampu mengelompokkan antara konsep yang dapat dan yang tidak dapat ia gunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Cara lain yang dapat dilakukan siswa adalah dengan merencanakan penyelesaian yang logis menurut logikanya sendiri seperti dengan cara membuat sketsa, gambar, dan sebagainya. Pada indikator ini, jawaban siswa masing-masingnya diberi skor antara 0,1,2, atau 3. Berdasarkan analisa dari lembar jawaban siswa, diketahui bahwa persentase skor kemampuan siswa kelas eksperimen dalam mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah lebih baik dari pada siswa kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4 berikut: GAMBAR II. PERSENTASE SKOR SISWA KELAS SAMPEL DALAM MENUNJUKKAN KEMAMPUAN MENGORGANISASI DATA DAN MEMILIH INFORMASI YANG RELEVAN DALAM PEMECAHAN MASALAH Gambar di atas menunjukkan bahwa untuk setiap item soal, persentase skor kemampuan siswa kelas eksperimen dalam mencapai indikator ini lebih baik dari pada siswa kelas kontrol. Siswa kelas eksperimen yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual 16
dibiasakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, menemukan sendiri konsep matematika yang sedang ia pelajari melalui kegiatan diskusi dan tanya jawab, lalu memodelkan konsep tersebut melalui kegiatan refleksi yang dilakukan dengan bimbingan guru. Dengan kegiatan ini, siswa kelas eksperimen dapat lebih lama mengingat konsep yang telah ia pelajari, sehingga ia dapat menggunakannya saat menyelesaikan permasalahan yang diberikan. 3. Mengembangkan strategi pemecahan masalah Jika berbagai informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan telah didapat, maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan strategi pemecahan masalah yang tepat sesuai dengan informasi yang telah dihimpun sebelumnya. Berbagai strategi pemecahan masalah dapat diajarkan pada siswa dengan maksud untuk memberikan pengalaman agar mereka dapat memanfaatkannya saat menghadapi masalah yang bervariasi. Sebagai mana diketahui bahwa matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat [3]. Dengan demikian, setelah memilih konsep yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan, siswa dituntut untuk mampu menelaah polapola yang diberikan dari permasalahan yang ada kemudian mengembangkannya menjadi suatu strategi yang tepat. Penyelesaian yang diperoleh akan lebih bermakna ketika siswa mampu menjawab permasalahan yang diberikan dengan berbagai cara. Hal ini tergantung bagaimana siswa tersebut mengembangkan strategi pemecahan masalah yang ia pilih pada langkah sebelumnya. Semakin baik kemampuan siswa dalam mengembangkan strategi kemampuan pemecahan masalah yang dipilih, maka akan semakin baik kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru dituntut untuk mampu mengembangkan daya berpikir siswa agar dapat memahami makna dari setiap kata yang muncul dalam permasalahan yang diberikan. Selain itu, untuk memperkuat daya aplikatif bagi siswa, guru juga dituntut untuk mampu melaksanakan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba, melakukan, mengalami sendiri, dan bahkan sebagai pendengar yang pasif untuk menerima setiap informasi yang diberikan kepadanya. Kemampuan siswa dalam melaksanakan indikator ini sangat tergantung pada informasi yang dipilihnya pada tahap kedua. Semakin banyak siswa berlatih dalam menyelesaikan permasalahan matematik, maka akan semakin bervariasi pengalaman mereka dalam mengembangkan strategi yang dipilihnya untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Skor yang diberikan untuk indikator ini berkisar antara 0,1,2 atau 3. Persentase skor siswa kelas sampel dalam memenuhi indikator ini dapat dilihat pada gambar berikut: GAMBAR III. PERSENTASE SKOR SISWA KELAS SAMPEL DALAM MENUNJUKKAN KEMAMPUAN MENGEMBANGKAN STRATEGI PEMECAHAN MASALAH Gambar di atas menunjukkan bahwa kemampuan siswa kelas eksperimen dalam mengembangkan strategi pemecahan masalah lebih baik dari pada siswa kelas kontrol. Dapat dikatakan bahwa, siswa kelas eksperimen mampu mengembangkan strategi yang dipilihnya untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan 4. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah Langkah terakhir yang harus dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan adalah 17
membuat dan menafsirkan kembali model matematika yang diperoleh dari langkah-langkah yang telah dilakukan sebelumnya. Siswa akan kesulitan dalam memenuhi indikator ini ketika mencari jawaban yang benar menjadi satu-satunya tujuan yang ingin dicapainya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Ada yang berpendapat bahwa matematika adalah bahasa simbol, bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur, emosional, dan majemuk. Dengan demikian, dalam setiap simbol matematika yang digunakan terdapat makna yang harus ditafsirkan sehingga penyelesaian yang diperoleh menjadi lebih berarti. Dalam model pembelajaran kontekstual siswa dibiasakan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berarti dan menjalin hubungan-hubungan yang bermakna. Hal ini sangat membantu siswa dalam menafsirkan model matematika dari masalah yang diberikan kepadanya. Selain itu, salah satu prinsip utama dalam model pembelajaran kontekstual adalah pemodelan. Tahap ini merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi kesalahan yang sering terjadi dalam memenuhi indikator ini. Skor yang diberikan untuk indikator ini berkisar antara 0,1, dan 2. Persentase kemampuan siswa dalam membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah dapat dilihat pada gambar berikut: GAMBAR 4. PERSENTASE SKOR SISWA KELAS SAMPEL DALAM MENUNJUKKAN KEMAMPUAN MEMBUAT DAN MENAFSIRKAN MODEL MATEMATIKA DARI SUATU MASALAH Gambar di atas menunjukkan bahwa kemampuan siswa kelas eksperimen dalam membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah leih baik dari siswa kelas kontrol. Siswa kelas eksperimen mampu membuat kesimpulan dari hasil yang diperolehnya dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Diakhir langkah penyelesaian yang dilakukannya, siswa kelas eksperimen mampu memaknai kembali hasil yang diperolehnya sesuai apa yang ditanyakan dalam permasalahan yang diberikan. Sebaliknya, sebagian besar siswa dari kelas kontrol hanya mampu melaksanakan langkah-langkah penyelesaian tanpa mampu memaknai kembali apa yang diperolehnya sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam permasalahan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika siswa kelas VIII MTsN Lubuk Gadang memberikan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan model pembelajaran konvensional. Hal ini terjadi karena dalam model pembelajaran kontekstual terdapat 8 komponen utama dan 7 prinsip dasar yang sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan dari penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka saran yang dapat disampaikan adalah: 1. Guru diharapkan menjadikan model pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa 2. Siswa diharapkan terus berupaya untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematikanya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan memperbanyak berlatih mengerjakan soal dan mencari informasi dari berbagai sumber yang dapat digunakan untuk mengembangkan daya berpikirnya sehingga lebih kritis dan kreatif dalam menghadapi permasalahan yang diberikan. 18
3. Bagi rekan peneliti selanjutnya yang tertarik dengan model pembelajaran kontekstual ini hendaknya dapat mencobakan pada materi yang menuntut kompetensi dan indikator matematika yang berbeda dan dapat mengembangkannya pada indikator pemecahan masalah matematika yang lebih luas. 4. Sekolah hendaknya menyediakan lebih banyak sumber belajar yang dapat mendukung proses pembelajaran karena keterbatasan sumber belajar juga sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. REFERENSI [1].Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorata Pendidikan Dasar dan Menengah. [2].Rusman.2011. Model-Model Pembelajaran mengem bangkan profesionalisme Guru. Jakarta:Rajawali pers. [3].Suherman, Erman,dkk. 2003. Strategi pembelajara matematika kontemporer (common textbook). Bandung:JICA-Universitas Pendidikan Indonesia [4].Sudijono, Anas. 2009. Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta:Rajawali Pers. [5].Suryabrata, Sumadi. 2006. Metodologi penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 19