BAB II KAJIAN PUSTAKA. bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. modal yang dimiliki melalui kegiatan tertentu yang dipilih. Suharto (2009:29)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Kajian Pustaka. Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil community

PETATAH PETITIH KEARIFAN LOKAL EKONOMI DAN BISNIS MASYARAKAT MINANG PEDAGANG RANTAU DI JAKARTA

MENGKAJI TEORI SOSIOLOGI MODERN: TEORI JARINGAN. Untuk Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah: Metode Penelitian Sosial. Dosen Pengampu : Drs. Prijana, M.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. disekelilingnya. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa manusia itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dibutuhkan untuk pengembangan bisnis agar lebih maju. Prinsip pelayanan merupakan

SOCIAL CAPITAL. The important thing is not what you know, but who you know

BAB I PENDAHULUAN. biasanya dengan maksud kembali pulang, dan; (6) merantau ialah lembaga sosial

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pengembangan atau pemberdayaan terhadap sumber daya manusia dalam

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diperoleh dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggota koperasi. Kemudian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. menentukan. Strategi utama yang harus dilakukan oleh pedagang waralaba Tela-Tela

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (2002 : 115) mengemukakan beberapa persyaratan sebuah kelompok sosial.

Sosiologi. Kelompok & Organisasi Sosial MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 07

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

PENDEKATAN SOSIOLOGIS TENTANG EKONOMI

Keterlekatan (embeddesness)

6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Kota Sibolga merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara,

BAB I PENDAHULUAN. dari waktu ke waktu pasar mengalami evolusi bentuk tempat dan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. LANDASAN TEORI. falsafah baru ini disebut konsep pemasaran (marketing concept). Konsep

Kelopok Sosial. Fitri dwi lestari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diversifikasi pekerjaan. Diversifikasi pekerjaan ini lebih diarahkan tidak untuk

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. keadaan lingkungan, permasalahan, dan faktor lain yang dimiliki oleh pelakunya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. Pengertian dinamika menurut wibowo, ( 1998 : 41) bahwa dinamika adalah

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian petani adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan

PENDAHULUAN. merupakan bentuk kelompok sedangkan budaya berararti nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

BAB V PENUTUP. 1. Modal sosial memiliki peran penting dalam perkembangan industri. Bangsal. Dalam perkembanganya norma, kepercayaan, resiprositas dan

BAB II KERANGKA TEORI. tindakan pada kurun waktu tertentu, oleh suatu kelompok tertentu atau keseluruhan

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

BAB VI HUBUNGAN PELANGGAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

August Comte Selo Soemardjan Soelaeman Soemardi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan dan diharapkan untuk selalu

BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL JAMES S. COLEMAN DAN TEORI. KEBUTUHAN PRESTASI DAVID McCLELLAND. dianggap relevan untuk mengkaji permasalahan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala

BAB I PENDAHULUAN. digunakan secara tepat, modal sosial akan melahirkan serangkaian nilai-nilai atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial

BAB V KESIMPULAN. A. Melihat Pola Relasi Rentenir dan Pedagang Pasar Tradisional dalam. Rentenir pasar merupakan sebuah fenomena yang nyata adanya di

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan abad ke-19 sebagai sebuah kota berpenduduk majemuk, baik dari

2015 NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ETNIS MINANGKABAU SEBAGAI PEDAGANG DI PASAR AL-WATHONIYAH, CAKUNG, JAKARTA TIMUR

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

BAB II TINJAUN PUSTAKA. socialnya (action theory), yaitu mengenai tindakan yang dilakukan seseorang

BAB VI PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP TAHAPAN PEROLEHAN KREDIT MIKRO. 6.1 Pengaruh Modal Sosial terhadap Perolehan Kredit Mikro

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Modal Sosial (Social Capital)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

PENGERTIAN KOMUNIKASI KELOMPOK

RINGKASAN BAB VII KERANGKA KONSEPTUAL FASB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989,

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. adil atau tidak adil, mengungkap perasaan dan sentimen-sentimen kolektif

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Arab lebih bermanfaat yang kemudian karena

Modal Sosial Pedagang di Pasar Bintan Center Kota Tanjungpinang. (Nanik Rahmawati, S.Sos, M.Si) Abstrak

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melihat tentang penguatan modal sosial untuk pengembangan mafkah

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB IV ANALISA DATA. 1. Komunikasi Organisasi Top Down Antara Pengurus Dan Anggota. Karang Taruna Setya Bhakti Dalam Membangun Solidaritas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup

MAKALAH Syarat dan Ciri Kelompok Sosial Sosiologi & Antropologi

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157). Dalam melihat aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu fenomena secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas variasi bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif. Dalam hal ini analisis jaringan sosial lebih ingin mempelajari keteraturan individu atau kelompok berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Wafa, 2006:162). Analisis jaringan sosial memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama dalam kajian sosiologis adalah mempelajari struktur sosial dalam menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggota-anggota kelompoknya. Granovetter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu seperti tindakan yang melekat dalam

hubungan pribadi konkrit dan dalam struktur (jaringan sosial) terhadap hubungan itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai seperti kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Menurut Wellman dalam teori jaringan sosial terdapat sekumpulan prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu sebagai berikut: 1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang semakin besar atau semakin kecil. 2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas. 3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan nonacak. Disatu pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C. 4. Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu. 5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata.

6. Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya. Jaringan yang terbangun adalah modal terpenting dalam mempertahankan kelangsungan usaha dagang ke pekan, dengan kondisi yang serba terbatas baik fasilitas dan permodalan pedagang akan berusaha untuk membangun jaringan yang kuat baik antara sesama pedagang, pedagang dengan pedagang grosiran maupun antara pedagang dengan pelanggan di pekan. Jaringan yang terbangun antara sesama pedagang akan memudahkan mereka dalam hal permodalan dan tempat berjualan di pekan, pedagang pekan membangun jaringan berdasarkan kedekatan emosional serta kenyataan bahwa pedagang tersebut berasal dari satu kampung dan masih berhubungan keluarga. Jika jaringan antara pedagang telah terbentuk, akan terjadi sistem pinjam-meminjam uang yang digunakan untuk tambahan modal untuk berbelanja barang dan pinjam-meminjam uang ini berlangsung bergantian. Selain itu akan mempermudah memperoleh barang jualan karena akan mendapat informasi dari pedagang lainnya. Jaringan antara pedagang dengan pelanggan juga akan mempermudah pedagang untuk memprediksi barang dagangan yang diinginkan pembeli karena dari jaringan dengan pelanggan para pedagang akan memperoleh informasi tersebut. Selain itu jaringan juga berfungsi untuk memberikan kepastian terhadap pedagang untuk mengukur penghasilan mereka tiap kali berjualan.

Jaringan antara pedagang pekan dan pedagang pelanggan juga berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha dagang pekan ini karena pasokan barang akan mudah didapat jika telah terjalin komunikasi dan saling mengenal antara pedagang pekan dan pedagang grosiran. Jaringan yang terbangun juga berfungsi untuk mempermudah pasokan barang serta untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari pedagang gosiran tersebut bahkan jika jaringan telah mencapai tahap kepercayaan, pedagang grosiran akan memberikan kemudahan dengan mempersilahkan pedagang pekan untuk membawa barang terlebih dahulu dengan pembayaran yang menyusul kemudian ketika pedagang pekan kembali turun berbelanja. 2.2 Trust (Kepercayaan) Kepercayaan adalah unsur penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Dengan menjaga suatu kepercayaan, orang-orang bisa bekerja sama secara efektif. Social Capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Social Capital bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh kelompok-kelompok lain yang ada diantaranya (Fukuyama, 2002:37). Kepercayaan memiliki dampak positif terhadap efisiensi biaya-biaya transaksi, artinya antara pedagang dan pelanggan telah memiliki kepercayaan (saling mempercayai) satu sama lain. Adanya rasa kepercayaan akan membuat transaksi jual beli terus berjalan sekalipun telah terjadi perjanjian hutang-piutang

dalam transaksi ekonomi tersebut. Qianhong Fu, (Hasbullah, 2006:12 dikutip dari skripsi: modal sosial pada pasar tradisional oleh Dedy Kurnia Putra) membagi tiga tingkatan trust yaitu pada tingkatan individual, relasi sosial dan pada tingkatan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada tingkatan hubungan sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai yang berkembang menurut sistem sosial yang ada. Trust juga dipandang sebagai komponen ekonomi yang relevan pada kultur yang ada pada masyarakat dan membentuk kekayaan modal sosial. Kepercayaan akan menimbulkan kewajiban sosial dengan mempercayai seseorang akan menimbulkan kepercayaan kembali dari orang tersebut (resiprositas). Dalam kaitannya dengan resiprositas dan pertukaran, Pretty dan Ward, dalam (Badaruddin, 2005:32) mengemukakan bahwa adanya hubunganhubungan yang dilandasi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran akan menumbuhkan kepercayaan karena setiap pertukaran akan dibayar kembali (repaid and balanced). Hal ini merupakan pelicin dari suatu hubungan kerjasama yang telah dibangun agar tetap konsisten dan berkesinambungan. Banyak peneliti merujuk bahwa trust bersumber dari jaringan itu sendiri, jaringan merupakan sumber penting tumbuh dan hilangnya trust dimaksud (Hasbullah, 2006:12). Seperti hubungan yang terjalin antara seorang pedagang di Tanah Abang, Jakarta Pusat yang memberi cicilan jual beli barang kepada pedagang lain yang merupakan pelanggannya yang berasal dari Ujung Pandang (Damsar, 2002:33). Cicilan dibayar setiap kali pedagang yang berutang tersebut datang ke Jakarta untuk membeli barang. Dalam perilaku ekonomi tersebut

melekat konsep kepercayaan (trust). Pendekatan aktor teratominasi melihat bahwa kepercayaan merupakan institusi sosial yang berakar dari hasil evolusi kekuatankekuatan politik, sosial, sejarah dan hukum dipandang sebagai solusi yang efisien terhadap fenomena ekonomi tertentu. Sebaliknya pendekatan aktor yang lebih tersosialisasi memandang bahwa kepercayaan merupakan moralitas umum dalam perilaku ekonomi. Sedangkan pendekatan keterlekatan mengajukan pandangan yang lebih dinamis yaitu bahwa kepercayaan tidak muncul dengan seketika tetapi terbit dari proses hubungan antar pribadi dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kepercayaan bukanlah merupakan barang baku (tidak berubah) tetapi sebaliknya, kepercayaan terus menerus ditafsirkan dan dinilai oleh para aktor yang terlibat dalam hubungan perilaku ekonomi. Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola hubungan sosial resiprosikal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan berkelanjutan. Adanya trust menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya hubungan resiprosikal. Hubungan resiprosikal menyebabkan social capital dapat melekat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan (fairness) diantara sesama individu (Wafa, 2006:46). Coleman, dalam (Wafa, 2006:60) menegaskan bahwa kelangsungan setiap transaksi sosial ditentukan adanya dan terjaganya trust (amanah atau kepercayaan) dari pihak-pihak yang terlibat. Artinya hubungan transaksi antara manusia sebagai

individu maupun kelompok baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi hanya mungkin terjadi apabila ada kelanjutan trust atau rasa saling percaya dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Individu-individu yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi memungkinkan terciptanya organisasi-organisasi bisnis yang fleksibel yang mampu bersaing dalam ekonomi global. 2.3 Kelompok atau Group Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena sebagain besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelompok didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung, yang saling bergabung untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu. Kelompok dapat bersifat formal dan informal di dalam sistem sosial, kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai struktur organisasi dengan pembagian kerja yang jelas. Sedangkan kelompok informal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai aliansi yang tidak terstruktur secara formal atau tidak ditetapkan secara organisasi. Kelompok informal ini terbentuk secara alamiah dalam suasana kerja yang muncul sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial. Robert Biersted mengklasifikasikan jenis-jenis kelompok dengan menggunakan indikator atau kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu sebagai berikut (Kamanto, 2004:126) : 1. Organisasi 2. Hubungan sosial di antara anggota kelompok 3. Kesadaran jenis

Berdasarkan ketiga kriteria atau indikator tersebut Biersted kemudian membedakan ada empat jenis-jenis kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Kelompok statistik (statistical group) 2. Kelompok kemasyarakatan (societal group) 3. Kelompok sosial (social group) 4. Kelompok asosiasi (associational group) Soekanto (2002:115) mengemukakan beberapa persyaratan sebuah kelompok sosial adalah sebagai berikut: 1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagaian dari kelompok yang bersangkutan. 2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya. 3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama misalnya dan dapat pula menjadi faktor pengikat atau pemersatu diantara mereka. 4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku. 5. Bersistem dan berproses. Menurut Sumner masyarakat manusia terdiri dari in-groups dan out-groups atau we-groups dan other-groups yang artinya kelompok dalam dan kelompok

luar atau kelompok mereka (Kamanto, 2004:130). Seseorang itu termasuk kedalam beberapa kelompok yang baginya adalah kelompok dalam dan selebihnya baginya adalah kelompok luar. Dalam in-group terdapat perasaan persaudaraan sedangkan dalam out-group terdapat perasaan yang lebih dingin. Anggota-anggota dalam in-group menunjukkan adanya kerja sama, hubungan yang baik (good will), saling membantu, dan saling menghormati. Mereka mempunyai perasaan solidaritas, kesetiaan terhadap kelompoknya dan kesediaan berkorban demi kelompoknya. Tetapi sikap mereka terhadap orang lain atau luar kelompoknya selalu menunjukkan kebencian, perasaan menghina, dan permusuhan. 2.4 Aspek Moral Ekonomi Pedagang H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92) mengemukakan bahwa moral ekonomi pedagang timbul ketika mereka menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual beli. Para pedagang seringkali mengalami dilema. Moral ekonomi pedagang, menurut H.D. Evers timbul karena adanya pertentangan dalam diri pedagang sendiri. Apabila yang menjual dengan harga yang tinggi, maka dagangannya tidak akan laku atau laris. Apabila pedagang menjual dagangannya dengan harga murah, sedangkan modal sangat mahal, maka kerugian yang akan dialami. Dalam keadaan seperti itu, menurut H. D. Evers dalam Damsar (2000: 92) pedagang berusaha mencari jalan keluar sendiri. Di antaranya adalah dengan memilih jalan untuk merantau atau membuka usaha di negeri orang. Sehingga pertentangan batin pun tidak ada lagi. H.D. Evers memandang bahwa pedagang

adalah manusia yang kreatif dan dinamis. Hal didasarkan kepada para pedagang tidak tertumpu pada norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Mereka bisa menyelesaikan permasalahan pribadi tanpa melanggar norma-norma yang ada. Menurut Damsar (2000), pada dasarnya setiap manusia yang terlibat dalam aktivitas perekonomian akan mengalami hal sama. Baik masyarakat nelayan maupun masyarakat metropolis. Apabila mereka menghadapi masalah yang disebut dengan masalah subsistensi (keselamatan pribadi) atau resiprositas maka mereka akan mencoba untuk melakukan tindakan-tindakan yang baru, seperti menjual, menggadai, meminjam uang (berhutang) dan lain sebagainya atau bahkan mencuri sekalipun. Tujuan dari itu semua adalah untuk mengamankan posisi mereka dalam aktivitas perekonomian guna menghadapi persaingan yang ada. Melihat dilema yang dialami oleh pedagang tersebut, Hans Dieter Evers dalam Damsar (2000) menemukan lima solusi atau jalan keluar yang berbeda dengan apa yang dilakukan pedagang dalam menghadapi dilema tersebut, yaitu: 1. Imigrasi Penduduk Minoritas Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui imigrasi atau dengan etnogenesis yaitu munculnya identitas baru. Cara diferensiasi etnis dan budaya tersebut secara efektif dapat mengurangi dilema pedagang. Untuk menghindari dilema tersebut maka lebih baik merantau (migrasi) ke daerah lain dan melakukan aktivitas perdagangan di sana. 2. Pembentukan Kelompok-Kelompok Etnis atau Religius

Muncul dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerjasama tetapi tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang ada di Sumatera Barat, mereka dibutuhkan oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai pemasok kebutuhan sandang baru sedangkan pedagang sendiri memperoleh untung yang relatif besar karena harga ditetapkan relatif lebih tinggi dari harga pasaran. Ini berarti terdapat hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat pedesaan Sumatera Barat dan pedagang kredit yang masing-masing memiliki komunitas moral sendiri yaitu agama Islam dan agama Kristen. 3. Akumulasi Status Kehormatan (Budaya) Melalui akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan derajat kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Sesuai dengan studi Geertz tentang peranan santri pada sektor perdagangan orang Jawa bahwa kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan ibadah haji yang dilakukan kaum santri memberi dampak kepada akumulasi modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari dari cemoohan masyarakat sebagai orang kikir dan tamak tetapi sebaliknya dianggap orang yang berbudi baik dan bermurah hati. 4. Munculnya Pedagang Kecil yang bercirikan Ada Uang Ada Barang Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, Evers melihat bahwa para pedagang bakul kurang ditundukkan oleh tekanan solidaritas jika dibandingkan dengan pedagang yang lebih besar. Pedagang bakul akan bersikeras melakukan transaksi dalam bentuk ada uang ada barang dan menghindari masalah utang piutang dengan pelanggan. Apabila ada

permintaan kredit maka akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan sangat dibatasi sehingga tidak muncul resiko perkreditan. Dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh pedagang kecil tersebut, memungkinkan pedagang untuk menghindari dilema yang biasanya dialaminya. 5. Depersonalisasi (ketidakterlekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi Jika ekonomi pasar berkembang dan relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi maka dilema pedagang ditransformasikan ke dalam dilema sosial pasar ekonomi kapitalis. Evers melihat bahwa suatu ekonomi modern memerlukan rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan keunggulan produktivitas di satu sisi dan di sisi yang lain keadilan sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk mempertahankan legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya. Aspek moral yang muncul dari sikap para pedagang tidak lepas dari munculnya keterlekatan baik antar sesama pedagang maupun dengan para pembeli. Menurut Granovetter dalam Damsar (2002:146) keterlekatan adalah tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Ini tidak hanya terbatas pada tindakan aktor individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Aspek moralitas pedagang juga muncul akibat adanya jaringan sosial, jaringan sosial memberikan berbagai kemudahan untuk mengakses berbagai macam barang dan sumber daya langka seperti informasi, barang, jasa kekuasaan dan sebagainya. Ketika seorang pembeli dan penjual pada suatu pasar tradisional berinteraksi dalam suatu transaksi bisnis dan berakhir dengan jual beli maka hal tersebut bisa

menjadi simpul bagi terbentuknya ikatan pelanggan antara mereka berdua. Adapun keuntungan yang mungkin akan diperoleh pembeli antara lain kepastian dan ketepatan informasi harga suatu barang, diskon, kredit (hutang) dan lainnya. Sedangkan keuntungan dipihak pedagang adalah kepastian pembeli. Jika ada kepastian pembeli dimasa akan datang, maka kepastian akan memperoleh laba merupakan konsekuensi logis dari keadaan sebelumnya. Ikatan pelanggan yang terajut antara keduanya dapat memudahkan pembentukan hubungan baru dengan pihak lain, ikatan pelanggan antara kedua belah pihak dimungkinkan diperluas dengan mengikutkan beberapa orang lain yang memiliki hubungan dengan pihak pembeli misalnya dengan anggota keluarga luas dari pembeli seperti; kakak, adik, orang tua, paman, tante, dan lainnya. Ikatan pelanggan menuntun para individu baik pembeli maupun penjual untuk berpikir, berperilaku, dan bertindak seperti harapan peran yang seharusnya dimainkan oleh masing-masing pihak sesuai dengan posisi dan status masingmasing. Dalam ikatan pelanggan, antara pembeli dan penjual memiliki suatu derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan bersama antara kedua belah pihak. Melalui derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan yang diperoleh mereka terikat satu sama lain, berbagai kemudahan yang diperoleh para anggota kelompok untuk mengakses bermacam barang atau jasa dan sumber langka lainnya seperti informasi, barang, jasa, kekuasaan dan sebagainya. Misalnya ketika seorang pengunjung yang berasal dari Sumatera Barat pergi ke pasar induk Tanah Abang Jakarta untuk membeli busana baik untuk keperluan konsumsi pribadi maupun untuk kepentingan bisnis untuk di perdagangkan kembal, akan berusaha untuk mendapat berbagai kemudahan melalui keanggotaan dari suatu

kelompok etnik yaitu sebagai seorang suku Minangkabau. Ketika dia mengetahui bahwa sipenjual dari barang diperlukannya adalah orang Minangkabau pula maka dia akan mencoba menjalin ikatan kelompok suku Minangkabau. Melalui ikatan kelompok suku Minangkabau, aktor pembeli merajut simpul jaringan melalui komunikasi yang dilakukan melalui bahasa daerah Minangkabau dan menelusuri jejak keminangkabauan melalui percakapan yang dilakukan. Dalam kenyataannya, cara seperti itu akan melicinkan para aktor untuk mendapat harga yang lebih miring dibanding dengan pembeli yang berasal dari etnik lain. 2.5 Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial : Variabel-variabel Berpola Teori Parsons yang umum sifatnya (general theory) mengenai tindakan sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan normatifnya. Bagi Parsons, dalam Doyle Paul Jhonson (1990: 113) orientasi orang yang bertindak terdiri dari dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, sedangkan orientasi nilai menunjukkan pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihanpilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Menurut Parsons, variable-

variabel berpola di atas memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil seseorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja, yaitu : 1. Afektivitas versus netralitas afektif. 2. Orientasi diri versus orientasi kolektivitas. 3. Universalisme versus partikularisme. 4. Askripsi versus prestasi (achievement). 5. Spesifitas versus kekaburan (diffuseness). Dalam penelitian ini, konsep Parsons mengenai dikotomi orientasi diri versus orientasi kolektif digunakan untuk melihat tindakan sosial para pedagang pekanan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau komunal dalam aktivitas perdagangannya. Dikotomi ini menunjukkan dilema yang berhubungan dengan kepentingan yang harus diutamakan, orientasi diri berarti bahwa kepentingan pribadi orang itu sendirilah yang mendapat prioritas sedangkan orientasi kolektif berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektif secara keseluruhan yang diprioritaskan atau dalam artian dimensi moral kolektiflah yang diutamakan (Jhonson, 1990: 116).