Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

dokumen-dokumen yang mirip
Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. telah mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional karena. pembangunan ekonomi diharapkan dapat menjadi motor penggerak

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebagai acuan / pedoman pelaku percontohan budidaya lele dengan menggunakan pakan (pellet) jenis tenggelam.

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

PEMBESARAN BANDENG DI KERAMBA JARING APUNG (KJA)

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

1. PENDAHULUAN. sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar

Bab III Karakteristik Desa Dabung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) DI TAMBAK, KECAMATAN SEDATI, SIDOARJO, JATIM 1

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

1. PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

ANALISIS EKONOMI USAHA BUDIDAYA TAMBAK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

GAMBAR KAWASAN TAMBAK 74,2

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

PENDAHULUAN. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

I. PENDAHULUAN. Lele (Clarias) merupakan salah satu dari berbagai jenis ikan yang sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan

ANALISIS KOMPARASI USAHATANI UDANG WINDU ORGANIK DAN NONORGANIK (STUDI KASUS: BATANG KILAT KOTA MEDAN PROPINSI SUMATERA UTARA)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perairan pantai Indonesia yang cukup luas adalah merupakan

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah laut Indonesia mempunyai lebih dari pulau dan dikelilingi garis

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN 1. URUSAN PERIKANAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilakukan selama 2 bulan pada bulan Februari-April 2015,

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

MANAJEMEN BUDIDAYA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DI KAMPUNG LELE, KABUPATEN BOYOLALI, JAWA TENGAH

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

BAB I PENDAHULUAN. tujuan strategis dari Food and Agriculture Organization (FAO) yaitu mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. banyak diminati masyarakat untuk dikonsumsi. Usaha budidaya ikan lele dibedakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Balai Benih Ikan Inovatif ( BBII ) merupakan unit pelaksanaan teknis daerah

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian dan perkebunan memegang peranan penting dan

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

Transkripsi:

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak yang diusahakan oleh masyarakat masing-masing oleh Bapak Syukur dan Bapak Ridho Octavianus dan 1 tambak milik pemerintah yang dikelola oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (dkp) sebagai percontohan yang nantinya diharapkan dapat diikuti oleh masyarakat. Tambak silvofishery yang menjadi obyek penelitian adalah tambak udang windu. Jarak lokasi penelitian ke pusat desa sekitar 3 km atau kurang lebih 15 menit perjalanan dengan motor air. Lokasi tambak-tambak ini bersama dengan tambak konvensional (bukan silvofishery) lainnya berada tidak jauh dari sungai sehingga memudahkan aksesibilitas. Pemilihan lokasi seperti ini juga dimaksudkan untuk menjaga suplai air tawar yang diperlukan bagi pertumbuhan udang. Berikut gambaran ke-3 tambak silvofishery tersebut : Tambak Silvofishery Bapak Syukur atau Tambak A Berdasarkan hasil survey lapangan diketahui bahwa tambak A ini pada saat pembuatan awalnya bukanlah diperuntukkan untuk tambak silvofishery. Tambak ini adalah typical tambak pada umumnya yang ada di Desa Dabung, di mana hamparan mangrove ditebang dalam luasan tertentu, sebagian dibangun kolam untuk tambak, sedangkan sisanya dibiarkan sebagai hamparan lahan kosong. Yang membedakan tambak A dengan tambak-tambak lainnya dan menjadikan alasan penulis memasukkannya sebagai salah satu tambak silvofishery yang dibahas dalam penelitian ini adalah karena pemiliknya membiarkan vegetasi mangrove baru tumbuh di tengah-tengah kolam (di hamparan lahan kosong). 63

Namun persentasenya belum mencapai syarat pembuatan tambak silvofishery di mana ratio antara luas kolam dan tambak adalah berkisar antara 20-40% dan 80-60% (Quarto; Hikmawati, 2001). Sekarang ini vegetasi mangrove yang tumbuh hanya mencapai 30% dari total luas area yang ada. Gambar IV.2. Tambak Silvofishery Bapak Syukur atau Tambak A Tambak yang dibangun di lahan seluas 8,5 ha ini adalah salah satu tambak perintis di Desa Dabung yang sekarang sudah memasuki tahun ke-8. Secara teknis tambak ini dikelola dengan cukup baik. Bahkan pemiliknya dijadikan panutan oleh masyarakat dalam hal pengembangan usaha tambak. Ini merupakan kondisi yang menguntungkan terutama bagi pengembangan tambak selanjutnya asalkan pengelolaan tambaknya sesuai dengan persyaratan tambak silvofishery serta daya dukung alam yang ada. Hanya saja tambak A ini masih memerlukan perbaikan-perbaikan. Misalnya dari sisi perbandingan antara luas kolam dan hutan mangrove sebesar 30 : 70, masih belum memenuhi syarat, apalagi tambak ini dibangun pada kawasan ekositem mangrove yang masih utuh. Persentase tersebut dapat ditingkatkan menjadi 80 : 20 dengan menanami areal yang kosong dan atau sepanjang tanggul pematang dengan mangrove. 65

Tabel IV.1. Rangkuman Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung No. Deskripsi Tambak A Tambak B Tambak C 1 2 3 4 5 1. Tahun Juni 1999 Maret 2003 2005 dibangun 2. Kepemilikan Pribadi Bersama Pemerintah 3. Luas 8,5 Ha 2 Ha 5 Ha 4. Jumlah tambak 1 unit 1 unit 3 unit 5. Teknologi Tradisional plus Tradisional plus Tradisional plus 6. Perbandingan 30 : 70 80 : 20 60 : 40 mangrove dan kolam 7. Luas mangrove 2,55 ha / 5,95ha 1,6 ha / 0,4 ha 3 ha / 2 ha / luas kolam 8. Sistem Silvofishery Terjadi suksesi vegetasi mangrove pada hamparan lahan kosong di dalam kolam bekas penebangan hutan mangrove sewaktu terjadi pembukaan lahan untuk pembangunan tambak. Dan vegetasi ini dibiarkan terus tumbuh Pada saat pembangunan tambak, hutan mangrove tidak ditebang habis, hanya dilakukan tindakan penjarangan. Penjarangan dimaksudkan agar intensitas cahaya matahari lebih banyak masuk ke dalam kolam. Penebangan terhadap hutan mangrove hanya dilakukan pada areal yang akan dijadikan kolam sedangkan areal hutan mangrove yang berada di tengah-tengah tambak dibiarkan tetap tumbuh secara alami. 9. Produksi/panen 1.230 kg 300 kg 310 kg 10. Produksi ratarata/ha 206,72 kg/ha 750 kg/ha 155 kg/ha 11. Ukuran udang 18-30 gram 30 gram 30 gram saat panen 12. Frekuensi 3 kali 3 kali 3 kali panen/tahun 13. Jumlah benih /ha 7563 ekor 25000 ekor 7500 ekor 66

1 2 3 4 5 14. Pola Empang parit Empang parit Empang parit silvofishery tradisional tradisional disempurnakan 15. Sumber benih Anyer Anyer Situbondo 16. Jenis dan Ikan Runcah Pelet sebanyak Pelet sebanyak jumlah pakan sebanyak 1.875 150 kg 225 kg kg dan pelet sebanyak 375 kg 17. Perbandingan 1,83 0,5 0,73 pakan dan produksi (FCR) 18. Kebutuhan air bersih Mengandalkan pasang surut Mengandalkan pasang surut Mengandalkan pasang surut 19. Konsumsi BBM 40 liter solar, digunakan untuk mengeringkan air saat panen - - Sumber : Hasil Analisa Data, 2007 Kurangnya persentase vegetasi mangrove pada tambak yang ini ternyata berpengaruh terhadap beberapa hal, seperti : 1) produksi udang, produksi rata-rata udang per ha dari tambak yang dikelola di tambak A sekitar 200 kg/ha. Jumlah ini masih tergolong rendah, hanya menyamai produksi udang yang menggunakan pakan alami, padahal pada tambak ini telah dilakukan penambahan makanan dengan pakan buatan yaitu pelet, di mana seharusnya produksinya bisa mencapai lebih dari 500 kg / ha; 2) penggunaan pakan, pakan yang digunakan selain berupa ikan runcah juga pakan buatan berupa pelet yang jika dijumlahkan kedua jenis pakan tersebut mencapai 2,2 ton. Ratio antara jumlah pakan dan produksi per siklus panen atau yang sering disebut dengan FCR (Feed Conversion Ratio) dari tambak ini adalah 1,83. Walaupun masih dalam ratio yang diperbolehkan (maksimal rationya adalah 2 (Suyanto dan Mujiman,2005)), namun nilai ini telah melebihi ratio yang disarankan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat yaitu 1,5. Kurangnya vegetasi mangrove pada tambak menyebabkan berkurangnya suplai energi yang masuk ke dalam kolam sehingga 67

pakan udang hanya tergantung dari luar lingkungan tambak. Padahal vegetasi mangrove akan menghasilkan serasah yang selain bermanfaat secara langsung sebagai pakan alami bagi udang juga sebagai bahan makanan bagi mikroorganisme pengurai yang membantu proses dekomposisi serasah dan bahanbahan terlarut lainnya. Bahan-bahan hasil dekomposisi ini nantinya dapat menjadi sumber makanan bagi biota laut lainnya seperti plankton yang juga merupakan pakan alami bagi udang; 3) Ukuran udang, dari tambak ini ukuran udang bervariasi yaitu antara ukuran 18-30. Padahal yang diharapkan adalah ukuran udang yang rentang variasinya tidak terlalu jauh. Jika ukuran udang lebih seragam yaitu sekitar 30gram-am setiap ekornya, maka produksi udang akan lebih tinggi dan keuntungan yang diperoleh menjadi lebih besar karena udang yang memiliki ukuran yang lebih besar harganya lebih mahal dan dapat dijadikan komoditas ekspor. Banyak faktor yang mungkin dapat menjadi penyebab bervariasinya ukuran udang ini seperti kualitas air atau jumlah pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan udang. Keberadaan ekosistem mangrove dalaam jumlah yang sesuai akan membantu mengatasi hal ini dan memberikan lingkungan yang lebih baik bagi pertumbuhan dan perkembangan udang. Tambak Silvofishery Bapak Ridho atau Tambak B Bapak Ridho Oktavianus membangun tambak sivofishery pada lahan seluas 2 ha dengan perbandingan kolam dan hutan mangrove sebesar 20 : 80. Model yang dipergunakan adalah model empang parit. Dari segi perbandingan antara luasan kolam dan hutan mangrove, dapat dikatakan bahwa tambak B telah memenuhi syarat. Malah langkah yang ditempuh Bapak ridho dengan membangun tambak silvofishery yang diselingi dengan kegiatan penjarangan merupakan suatu ide yang perlu dipikirkan oleh pemerintah. Terbukti bahwa hasil panennya cukup tinggi dengan rata-rata 700kg lebih / ha. Tingkat hidup benur juga cukup tinggi yaitu sekitar 90%. Pada tambak ini, pengunaan pakan tidak terlalu berlebihan. Dari hasil perhitungan ratio jumlah pakan dan produksi, nilai yang dihasilkan hanya sebesar 0,5, jauh di bawah standar yang telah ditetapkan. 68

Gambar IV.3. Tambak silvofishery Bapak Ridho Oktavianus atau Tambak B Keberadaan hutan mangrove di dalam tambak dapat menghasilkan guguran serasah yang bermanfaat sebagai penyumbang makanan bagi perkembangan udang. Ini dapat berdampak pada penghematan penggunaan pakan buatan. Selain itu tindakan penjarangan dapat meningkatkan intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolam dan mengurangi produksi tanin dari penguraian serasah yang jatuh. Perlu diketahui bahwa produksi tanin yang berlebihan akan menjadi racun di dalam kolam dan dapat membahayakan kelangsungan hidup udang. Hanya saja tindakan penjarangan ini perlu dilakukan secara bijaksana dan merujuk pada arahan pejabat yang berwenang, terutama menyangkut kerapatan vegetasi yang diperlukan untuk pertumbuhan udang dan volume serasah yang masuk ke dalam kolam yang diperlukan sebagai pakan alami bagi udang. Tambak Silvofishery milik pemerintah atau Tambak C Kebijakan pemerintah untuk menerapkan tambak sistem silvofishery merupakan upaya mengantisipasi meningkatnya eksploitasi hutan mangrove secara luas menjadi kawasan tambak yang tidak berpihak pada kelestarian ekosistem mangrove. Proyek pertama pemerintah di Desa Dabung ini diharapkan dapat 69

menjadi percontohan yang diikuti oleh masyarakat. Tambak silvofishery yang dibangun pemerintah di Desa Dabung ini direncanakan akan dibangun sekitar 100 ha namun sekarang yang baru terlaksana baru seluas 15 ha yang terdiri dari 3 unit tambak. Pada saat dilakukan survey ke lapangan sedang dikerjakan pembangunan tambak ke-4. Dari 100 ha tambak silvofishery ini, nantinya diharapkan dapat berdampak pada ketertarikan masyarakat untuk mengubah tambak yang mereka miliki dengan tambak-tambak sistem silvofishery. Tambak C adalah model tambak silvofishery pola empang parit yang disempurnakan di mana pada pola ini dibangun sebuah tanggul pemisah antara kolam dengan hamparan mangrove. Pola ini memberikan keuntungan karena memungkinkan pencapaian hasil budidaya yang lebih baik dibandingkan pola empang parit tradisional. Hanya saja pada pola ini memerlukan penambahan modal untuk biaya konstruksi terutama untuk pembangunan tanggul. Namun pembangunan tanggul tersebut dapat dilakukan secara bertahap dan biayanya dapat diatasi dari produksi tambak, karena dari pola ini sebenarnya produksi tambaknya akan lebih besar jika dibandingkan dengan produksi tambak dengan pola empang parit biasa. Perbandingan antara luasan kolam dan mangrove sebesar 40:60 merupakan suatu upaya untuk memperbesar live zone bagi udang sehingga diharapkan produksi akan lebih tinggi. Selain itu dengan perbandingan tersebut jumlah cahaya matahari yang masuk juga akan lebih banyak sehingga lingkungan untuk pertumbuhan udang akan lebih baik. Namun sayangnya produksi tambak C ini masih tergolong rendah. Dasri data yang diperoleh diketahui bahwa produksi rata-rata hanya 310 kg per panen atau 155 kg per ha. Produksi tersebut ternyata bahkan lebih kecil dari produksi ratarata tambak konvensional masyarakat pada tahun 2003 yang mencapai sekitar 200 kg/ha. Salah satu penyebabnya antara lain karena padat penebaran benur yang rendah. Pada tambak ini hanya dilakukan penebaran benur sebanyak 15.000 ekor 70

untuk 2 ha live zone atau rata-rata 7.500 ekor per ha. Jumlah ini sebenarnya masih dapat ditingkatkan. Menurut Suyanto dan Mujiman (2005), untuk tambak yang menggunakan teknologi tradisional plus seperti pada tambak C ini, padat penebaran benur minimal adalah 10.000 ekor per ha. Gambar IV.4. Tambak silvofishery milik pemerintah atau Tambak C Produktivitas yang rendah ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah, karena walaupun tambak yang dibangun telah sesuai dengan persyaratan pembangunan tambak silvofishery namun bagi masyarakat keuntungan ekonomis yang dalam hal ini diwakili oleh produksi rata-rata yang tinggi merupakan daya tarik yang sulit untuk ditawar. Jika pemerintah kurang peka dengan hal tersebut maka kemungkinan terburuk yang dapat terjadi adalah masyarakat tidak tertarik untuk mengembangkan sistem ini dan kembali pada pola tambak konvensional yang telah biasa mereka kembangkan. Sehingga tujuan pelaksanaan proyek untuk membantu terwujudnya pengelolaan hutan mengrove secara lestari tidak akan tercapai. Sementara di sisi lain telah terjadi pemborosan dana pemerintah karena pelaksanaan proyek ini mulai dari penyusunan rancangan sampai pengelolaan tambak di lapangan telah menghabiskan dana yang cukup besar. 71