4 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh air dilakukan dengan cara sub surface irrigation (Wiroatmodjo et al., 1990). Budidaya jenuh air adalah cara penanaman di atas bedengan dengan memberikan pengairan terus menerus di dalam parit. sehingga tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air. namun tidak menggenang (Purwaningrahayu et al., 2004). Menurut Mulatsih et al. (2000) budidaya jenuh air diselenggarakan dengan membuat kondisi bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 MST sampai masak fisiologis. Caranya adalah dengan mengalirkan air melalui saluran di antara petak-petak percobaan dengan tinggi genangan dipertahankan maksimum 15 cm di bawah permukaan tanah. Tinggi muka air dalam budidaya jenuh air dipertahankan terus menerus dengan menberikan air pada ketinggian 5, 10, dan 15 cm di bawah permukaan tanah yang dimulai pada saat tanaman kedelai berumur 14 hari sampai dengan panen (Suwarto et al., 1994). Budidaya jenuh air dilakukan dengan cara pengairan yang terus menerus sejak tanaman berumur dua minggu sampai polong mencapai masak fisiologis. Tinggi air disaluran dipertahankan ± 5 cm di bawah permukaan tanah untuk membuat petak penanaman jenuh air (Ghulamahdi dan Aziz, 1992). Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka air tanah tetap (sekitar 5 cm dibawah permukaan air tanah) sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Air diberikan sejak tanaman kedelai berumur 14 hari sampai polong berwarna coklat (Hunter et al., 1980). Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Natahnson et al., 1984).
5 Budidaya jenuh air tidak tergenang melainkan sudah melebihi kapasitas lapang. Air diberikan secara terus-menerus sejak tanaman berumur dua minggu hingga masak fisiologis. Air dialirkan melalui saluran-saluran diantara petakanpetakan dan tingginya dijaga tetap berada beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah. Sistem ini dapat diterapkan pada lahan dengan irigasi cukup baik maupun yang berdrainase kurang baik. Disamping itu, pada lahan sawah yang dalam satu musim (tahun) selalu ditanami padi, sistem ini cukup baik untuk memperbaiki pola tanam yang sudah ada (Soertojo, 1993). Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik. Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik menggunakan sistem surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi (Ghulamahdi, 1999). Tanggap Varietas terhadap Budidaya Jenuh Air Pertumbuhan bintil akar aktif pada budidaya jenuh air berlangsung lebih lama daripada budidaya biasa. Pada budidaya biasa pertumbuhan bintil akar aktif mencapai maksimum pada umur 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada budidaya jenuh air masih tetap meningkat sampai umur 9 MST (Ghulamahdi, 1990). Pertumbuhan kedelai setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar dan bintil akar yang muncul pada tanah yang jenuh air. selanjutnya daun menjadi hijau dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya basah dibandingkan pada budidaya biasa (Avivi, 1995). Budidaya jenuh air meningkatkan komponen hasil dan hasil benih serta memperbaiki keragaan variabel mutu fisik dan mutu fisiologis benih kedelai. Budidaya basah walaupun tidak selalu meningkatkan viabilitas benih, tetapi tidak berbahaya untuk produksi benih (Raka et al., 1995). Budidaya jenuh air nyata meningkatkan ACC (1-aminocyclopropane-1- carboxylic acid) akar, etilen akar, glukosa akar, lingkar leher akar, bobot kering bintil, aktivitas nitrogenase, serapan hara daun, bobot kering tanaman, dan bobot
6 kering biji. Pada budidaya jenuh air kandungan ACC akar lebih tinggi pada umur 5, 7, dan 8 MST dan kandungan etilen lebih tinggi pada umur 6 MST (Ghulamahdi, 1999). Kondisi jenuh air dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman. Jika kondisi tanah jenuh air terjadi pada saat tanaman berumur 15-30 hari setelah tanam (HST) maka pertumbuhan tertekan dan hasil menurun 15-25% dibanding tanpa kondisi jenuh air (Adisarwanto, 2001). Budidaya jenuh air dapat meningkatkan panjang akar, bobot kering bintil akar, luas daun, laju transpirasi, lebar bukaan stomata daun, kandungan air nisbi daun, laju asimilasi bersih, dan laju pertumbuhan nisbi tanaman. Pada budidaya jenuh air bobot kering total tanaman, jumlah polong isi, hasil biji, indeks panen, dan efisiensi penggunaan air lebih tinggi pada varietas berumur sedang dibanding varietas berumur genjah. Peningkatan hasil biji kedelai dengan penerapan teknologi budidaya jenuh air atau budidaya basah berkisar antara 85-229% (Purwaningrahayu et al., 2004). Pemberian jumlah air berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman kedelai. Secara umum pemberian jumlah air semakin sedikit menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Batang tanaman memendek, daun menyempit, dan semakin sedikit, bobot kering tajuk semakin rendah, dan jumlah polong semakin sedikit pada pemberian air yang makin sedikit (Zen et al., 1993). Bobot kering bintil akar pertanaman pada budidaya jenuh air di media dengan tinggi muka air 15, 10, dan 5 cm lebih tinggi daripada di media kontrol. Bobot kering bintil akar tertinggi diperoleh dari tanaman di media dengan tinggi muka air 15 cm tanpa dipupuk nitrogen, sedangkan bobot biji per tanaman tertinggi diperoleh dari tanaman yang ditumbuhkan di media dengan tinggi muka air 15 cm dan dipupuk nitrogen (Suwarto et al., 1994). Menurut Savitri et al. (2002) berdasarkan ukuran biji yang berhubungan dengan daya toleransi varietas terhadap kondisi budidaya basah atau penjenuhan, bahwa kedelai berukuran biji besar lebih toleran terhadap penjenuhan dibandingkan dengan kedelai berukuran biji sedang dan berukuran biji kecil.
7 Lahan Pasang Surut Lahan pasang surut adalah lahan yang terbentuk dari endapan marin dan fluviomarin dan dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit. Lapisan tanah ini kemudian dijadikan dasar dalam pengelompokkan lahan. Lahan sulfat masam bersulfida dangkal memiliki kedalaman lapisan pirit < 50 cm, sehingga tidak sesuai untuk tanaman palawija, sedangkan lahan sulfat masam bersulfida dalam memiliki kedalaman lapisan pirit > 50 cm, sehingga relatif aman dan sesuai untuk budidaya kedelai (Rachman et al., 1985). Menurut Humairil dan Khairullah (2000) luas lahan pasang surut di Indonesia mencapai 20.15 juta hektar. Dari luas tersebut 9.45 juta hektar sesuai untuk kegiatan pertanian dan baru sekitar 3.59 juta hektar yang dimanfaatkan, sedangkan Sabran et al. (2000) menyatakan bahwa sekitar 5.6 juta hektar lahan pasang surut sesuai untuk kegiatan pertanian dan dari luasan tersebut 2.6 juta hektar berpotensi untuk pengembangan dalam skala besar. Lahan pasang surut memiliki reaksi tanah yang masam sebagai hasil dari proses oksidasi lapisan sulfida (pirit). Budidaya kedelai di lahan pasang surut yang masam akan menghadapi kemungkinan keracunan Al, kahat hara N, P, dan K serta drainase yang buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang hancur akibat kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun kadar bahan organik cukup tinggi, N tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan organik terhambat akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia karena diikat oleh Al dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap. Sedangkan ketersediaan hara K rendah karena mengalami pencucian setelah terdesak dari komplek jerapan. Drainase buruk diakibatkan oleh permukaan air tanah yang dangkal, sehingga diperlukan saluran drainase yang lebih intensif (Rachman et al., 1985). Di lahan pasang surut pada kondisi kering biasanya akan terjadi proses oksidasi lapisan pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam, kelarutan unsur beracun (Al, Fe, dan Mn) meningkat dan miskin hara. Kondisi tersebut dapat menghambat pertumbuhan tanaman, produksi menjadi rendah, dan tidak menguntungkan bagi petani. Akibatnya petani tidak lagi mengusahakan lahan
8 tersebut dan dibiarkan menjadi lahan tidur. Jika air tersedia cukup, maka petak sawah akan digenangi air dan dapat menghambat oksidasi lapisan pirit. Selain itu, gerakan air pasang surut dan besarnya curah hujan akan mempercepat proses pencucian unsur beracun sepperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari petakan sawah. Oleh karena itu, pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan pertumbuhan dan produksi tanaman (Alwi dan Nazemi, 2003). Menurut Sabran et al. (2000) kedelai pada umumnya diusahakan di lahan pasang surut tipe C (tidak terluapi oleh pasang besar) dengan pola tanam padikedelai atau kedelai palawija lain. Petani transmigrasi memperkenalkan sistem surjan yang memungkinkan untuk mengusahakan kedelai pada lahan pasang surut tipe B (terluapi oleh pasang besar). Kendala usahatani kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air. Tanaman kedelai pada umumnya tidak toleran tanah tergenang. Genagan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman. Selain itu, genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi oksigen sehingga respirasi biji terganggu. Karena itu, kedelai tidak bisa ditanam di lahan pasang surut yang tegenang (Sabran et al., 2000). Jangkauan air pasang masuk ke lahan pertanian di lahan pasang surut berbeda-beda sesuai dengan tipe luapan air di lahan tersebut. Perbedaan tersebut menyebabkan perlunya penyesuaian antara tipe luapan dengan pola tanam. Setiap tipe luapan air membutuhkan sistem pengelolaan air yang spesifik. Sistem pengelolaan air di setiap tipe luapan air tersebut dapat menyebabkan perubahan sifat kimia tanah. Perubahan tersebut berbeda antara satu sistem pengelolaan air dengan sistem yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari dan didapatkan sistem pengelolaan air spesifik yang mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan berdasarkan dinamika sifat kimia tanah (Alwi dan Nazemi, 2003).