BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global

IMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Hisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam

KONSEP BEST TIME DALAM OBSERVASI HILAL MENURUT MODEL VISIBILITAS KASTNER

BAB III METODE PENELITIAN

Imkan Rukyat: Parameter Penampakan Sabit Hilal dan Ragam Kriterianya (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

KAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN)

ANALISIS VISIBILITAS HILAL PENENTU AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL 1433 H DENGAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER

Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis

PENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA'

PENENTUAN PARAMETER FISIS HILAL SEBAGAI USULAN KRITERIA VISIBILITAS DI WILAYAH TROPIS

PREDIKSI KEMUNGKINAN TERJADI PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN 1433 H DI INDONESIA. Oleh : Drs. H. Muhammad, MH. (Ketua PA Klungkung)

BAB I PENDAHULUAN. dan hari raya Islam (Idul fitri dan Idul adha) memang selalu diperbincangkan oleh

ASTRONOMI MEMBERI SOLUSI PENYATUAN UMMAT

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Hisab dan rukyat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklop...

BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DALAM PENENTUAN AWAL BULAN SYAWAL 1992, 1993, 1994 M DAN AWAL ZULHIJAH 2000 M ANTARA NAHDLATUL ULAMA DAN PEMERINTAH

USULAN KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA DENGAN MODEL KASTNER CRITERIA OF HILAL VISIBILITY IN INDONESIA BY USING KASTNER MODEL

Perbedaan Penentuan Awal Bulan Puasa dan Idul Fitri diantara Organisasi Islam di Indonesia: NU dan Muhammadiyah

PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIAH DI INDONESIA BERDASARKAN DATA PENGAMATAN HILAL BMKG

Kapan Idul Adha 1436 H?

PENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA' (Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla' Wilayatul Hukmi) 1

LEBARAN KAPAN PAK?? Oleh : Mutoha Arkanuddin Koord. Rukyatul Hilal Indonesia (RHI)

Penentuan Awal Bulan Qamariyah & Prediksi Hisab Ramadhan - Syawal 1431 H

IMPLEMENTASI KALENDER HIJRIYAH GLOBAL TUNGGAL

Modul Pelatihan HISAB - RUKYAT AWAL BULAN HIJRIYAH

HISAB RUKYAT DALAM ASTRONOMI MODERN. T. Djamaluddin 1

Unifikasi Kalender Islam di Indonesia Susiknan Azhari

Tugas Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Materi : Batasan dan Ragam KTI)

MAKALAH ASTRONOMI KALENDER BULAN. Dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Astronomi. Dosen Pengampu: Arif Widiyatmoko, M.Pd.

BAB IV ANALISIS KONSEP MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI. A. Kriteria Visibilitas Hilal RHI Perspetif Astronomi

BAB I PENDAHULUAN. hadirnya hilal. Pemahaman tersebut melahirkan aliran rukyah dalam penentuan

Wawancara Merdeka.com: Metode hisab dan Rukyat Bisa Disatukan karena Ilmu Astronomi Bisa Tentukan Awal Bulan Sesuai Dalil Rukyat

Kaedah imaging untuk cerapan Hilal berasaskan Charge Couple Device (CCD) Hj Julaihi Hj Lamat,

Variasi Lokal Dalam Visibilitas Hilaal: Observasi Hilaal di Indonesia Pada

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H

PENJELASAN TENTANG HASIL HISAB BULAN RAMADAN, SYAWAL, DAN ZULHIJAH 1436 H (2015 M)

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS

Awal Ramadan dan Awal Syawal 1433 H

KRITERIA VISIBILITAS HILAL RUKYATUL HILAL INDONESIA (RHI) (KONSEP, KRITERIA, DAN IMPLEMENTASI)

MENYATUKAN SISTEM PENANGGALAN ISLAM. Syamsul Anwar

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SUSIKNAN AZHARI TENTANG UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DAN PROSPEKNYA MENUJU UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan analisis dalam pembahasan disertasi ini, peneliti. 1. Matlak menurut fikih adalah batas daerah berdasarkan jangkauan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penetapan awal bulan kamariah, terdapat beberapa metode yang

1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan pendapat mengenai penetapan awal bulan Qamariyah kerap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERBEDAAN IDUL FITRI: HISAB, RU YAH LOKAL, DAN RU YAH GLOBAL

Penentuan Awal Bulan Qomariah

BAB I PENDAHULUAN. karena itu para ahli hukum Islam menentukan lembaga-lembaga mana yang. berwenang melakukannya, prosedur dan mekanismenya.

Kilas Balik Penetapan Awal Puasa Dan Hari Raya Di Indonesia. Moh Iqbal Tawakal

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

2015 PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS OBJEK LANGIT

Rukyat Legault, Ijtimak Sebelum Gurub, dan Penyatuan Kalender Islam

BAB IV ANALISIS PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN THOMAS DJAMALUDDIN TENTANG WUJU<DUL HILAL

ANALISIS PEMIKIRAN KRITERIA IMKAN AR-RUKYAH. MOHD. ZAMBRI ZAINUDDIN dan APLIKASI di INDONESIA

Sistem Penanggalan Hijriyah/Islam

BAB IV KELAYAKAN POS OBSERVASI BULAN BUKIT SYEH BELA-BELU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL

HASIL OBSERVASI BULAN SABIT JANUARI 2007 JANUARI 2008 RUKYATUL HILAL INDONESIA

IMKAN AL-RUKYAT MABIMS SOLUSI PENYERAGAMAN KELENDER HIJRIYAH

Metode Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal Rukyat or Hisab; Local or Global? (Lanjutan)

PERADABAN TANPA KALENDER UNIFIKATIF: INIKAH PILIHAN KITA? Syamsul Anwar

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

BAB III RESPONS ULAMA NU DAN MUHAMMADIYAH KUDUS TERHADAP UPAYA UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA PERSPEKTIF ASTRONOMI

ALMANAK KALENDER TAHUN 2017 LEMBAGA FALAKIYAH PWNU JAWA TIMUR

OTORITAS DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH (KONFRONTASI ANTARA PEMIMPIN NEGARA DAN PEMIMPIN ORMAS KEAGAMAAN) ABSTRAK

Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018

LAMPIRAN FOTO 1. : Wakil Ketua Majelis Tarjih Tajdid PP. Muhammadiyah

Ketajaman Mata Dalam Kriteria Visibilitas Hilal

IMPLEMENTASI MATLAK WILAYATUL ḤUKMI

BAB II TEORI VISIBILITAS HILAL

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Kajian Astronomi Perubahan Zona Waktu Indonesia (Catatan Ringkas Bahan Pemaparan)

Seputar Perbedaan Ilmu Hisab dan Penentuan Hari Raya

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 1 MARET 2014 M PENENTU AWAL BULAN JUMADAL ULA 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT DAN SABTU, 27 DAN 28 JUNI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1435 H

BAB I PENDAHULUAN. baik secara nasional maupun internasional dalam halnya menentukan awal bulan

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 12 MARET 2013 M PENENTU AWAL BULAN JUMADIL ULA 1434 H

BAB I PENDAHULUAN. DARI PENGARUH ORMAS-ORMAS ISLAM SEPERTI NU 1, MUHAMADIYAH 2, PERSIS,

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM AHAD, 19 APRIL 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1436 H

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Perkembangan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk

Polemik Ramadhan Ketinggian Hilal Harus 2 derajat?

BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 16 DAN RABU, 17 JUNI 2015 M PENENTU AWAL BULAN RAMADLAN 1436 H

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penentuan awal waktu shalat, para ulama telah sepakat tidak

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SENIN, 8 JULI 2013 M PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1434 H

BAB 1 PENDAHULUAN. nampaknya semua orang sepakat terhadap hasil hisab, namun penentuan awal

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 29 APRIL 2014 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 7 AGUSTUS 2013 M PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM JUMAT, 31 JANUARI 2014 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AKHIR 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penentuan waktu merupakan hal yang sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Suatu peradaban dikatakan maju apabila peradaban tersebut memiliki penanggalan yang secara praktis dapat digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa di antaranya digunakan dalam keperluan pemerintahan dan politik, ekonomi, bercocok tanam, bahkan untuk keperluan ritual keagamaan. Mengingat pentingnya penanggalan tersebut, maka perlu adanya otoritas tunggal yang berwenang menetapkannya. Peradaban Islam merupakan salah satu peradaban yang sangat memperhatikan soal waktu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam sendiri hingga saat ini belum memiliki sistem penanggalan hijriyah yang terpadu dan menyeluruh yang menyatukan penanggalan hijriyah di seluruh dunia. Sampai saat ini hanya ada penanggalan atau kalender hijriyah yang bersifat lokal yang hanya berlaku bagi kawasan atau kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kawasan atau kelompok yang lainnya. Akibat dari keadaan ini adalah bahwa umat Islam tidak dapat menyeragamkan hari-hari yang menyangkut masalah peribadatan, seperti puasa dan berhari raya serta berhaji dalam hal wukuf di Arafah (09 Djulhijjah) dan Idul Adha (10 Djulhijjah). Hal ini sangat ironis, karena keadaan ini mengesankan bahwa umat Islam seolah-olah tidak memiliki kalender yang mapan. Perbedaan penentuan awal bulan hijriyah telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Bila masalah ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat dalam menjalankan ibadahnya 1

2 khususnya bagi kaum minoritas yang kerap kali berbeda dalam memulai puasa maupun Idul Fitri dan Idul Adha. Jika tidak segera diatasi tentu akan menimbulkan dampak gangguan pada tatanan sosial masyarakat karena menyangkut aktivitas massal. Hal yang tidak diinginkan mungkin saja terjadi, seperti saling menyalahkan atau bahkan mengkafirkan pihak lain, tumbuhnya fanatisme terhadap kelompok tertentu dan mengabaikan persatuan umat, serta perang opini berbagai pihak yang berpotensi menimbulkan keresahan. Perbedaan kriteria dalam penentuan awal bulan ditengarai menjadi penyebab umat Islam Indonesia dalam beberapa kesempatan hingga kini tidak serentak dalam memulai maupun mengakhiri peribadatan yang bersifat massal. Di Indonesia ada beberapa ormas (organisasi massa) yang menggunakan metode berbeda, yaitu metode hisab (perhitungan) dan metode rukyat (observasi). Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk; hilal merupakan salah satu fase Bulan yang terbentuk pascakonjungsi sebelum Matahari terbenam dan dapat diamati pascaterbenamnya Matahari) dengan prinsip wilayatul hukmi (hilal wujud di sebagian wilayah akan berlaku untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia). Kriteria wujudul hilal ini mendapat pertentangan dari beberapa kalangan karena tidak sesuai dengan dalil syar i yang biasa digunakan untuk memulai ibadah puasa yang mengharuskan hilal dapat dirukyat (diamati). Sedangkan di sisi lain Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode rukyat dan kriteria visibilitas hilal 2 sebagai pendamping rukyatnya, tidak jarang memicu pula perbedaan ketika ada kesaksian berupa laporan hasil rukyat padahal ketinggian hilal (Bulan sabit yang teramati segera setelah fase Bulan baru/konjungsi) masih di bawah kriteria yang mereka gunakan. Ketika ketinggian hilal positif tapi kurang dari 2 peluang terjadinya perbedaan sangat terbuka. Berdasarkan prediksi perhitungan atau hisab, masih terdapat potensi perbedaan karena ketinggian Bulan di bawah 2 untuk tahun-tahun yang akan datang.

3 Sementara ormas Persatuan Islam (PERSIS), meskipun sudah menganut kriteria visibilitas hilal namun nilai parameter fisisnya memberikan nilai yang lebih besar daripada kriteria yang digunakan pemerintah. Sehingga masih berpeluang terjadinya perbedaan. Bila tidak diambil langkah-langkah solutif, maka selamanya perbedaan itu akan tetap ada. Perdebatan dalil syar i antarormas atau kelompok cenderung tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing ormas atau kelompok menganggap (Djamaluddin, 2011). dalil yang mereka gunakan paling kuat Menurut Djamaluddin (2011), hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan lagi karena keduanya setara dan saling melengkapi. Secara astronomi, hisab dan rukyat bisa dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal (kemungkinan hilal dapat diamati) yang didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang dan dihitung secara hisab. Kriteria ini digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan dapat digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat selalu seragam. Kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan hanya untuk penentuan awal bulan komariyah, tetapi juga merupakan tantangan saintifik bagi para pengamat hilal. Selain faktor geometrik, ada beberapa aspek penting yang berpengaruh pada penentuan kriteria visibilitas hilal, di antaranya: lebar dan kecerahan sabit Bulan, serapan cahaya Bulan oleh atmosfer, kondisi latar depan berupa hamburan cahaya Matahari oleh atmosfer di horison, serta kemungkinan adanya objek lain selain Bulan sebagai objek pengecoh di arah pandang yang berdekatan dengan posisi Bulan berada. Di Indonesia sendiri ada beberapa usulan untuk kriteria visibilitas hilal yang akan digunakan. Pemerintah melalui Kementerian Agama menganut suatu kriteria yaitu Kriteria MABIMS yang diadopsi dari pertemuan Menteri-Menteri Agama (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yaitu ketinggian minimal 2. Namun kriteria tersebut tidak menjamin terlihatnya hilal. Sebagai

4 solusi sementara yang bisa diambil, Djamaludin (2011) mengusulkan kriteria visibilitas hilal yang kemudian disebut sebagai Kriteria LAPAN yang disempurnakan dengan memperhitungkan beda azimut walaupaun kriteria tersebut masih lebih rendah dari kriteria internasional. Dari sekian banyak kriteria visibilitas hilal yang sudah ada tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk seluruh lintang pengamat (Hoffman, 2003). Konfigurasi geometri memang berpengaruh terhadap visibilitas hilal, namun tidak semua lokasi pengamatan di seluruh permukaan bumi mempunyai peluang yang sama untuk dapat mengamati hilal berdasarkan konfigurasi tersebut. Ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap visibilitas hilal, yaitu faktor kecerahan langit, terutama kecerahan langit senja. Menurut Mikhail et. al (1995), kecerahan langit senja diyakini berhubungan dengan lintang geografis, ketinggian lokasi dari permukaan laut, musim, dan kandungan aerosol di atmosfer. Pada dasarnya nilai kecerahan langit bisa didapat dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama dilakukan dengan pengukuran langsung menggunakan instrumen fotometer seperti Sky Quality Meter (SQM). Pendekatan ke dua dengan cara perhitungan menggunakan formula matematis. Dalam penelitian ini akan diambil pendekatan ke dua guna mendapatkan kriteria visibilitas hilal yaitu dengan menggunakan model fungsi visibilitas Kastner (1976). Fungsi visibilitas Kastner merupakan suatu model visibilitas pada saat senja untuk objek-objek langit (bintang, komet, dan planet) di dekat Matahari (Kastner, 1976). Perhitungan model fungsi visibilitas Kastner menyertakan faktor kecerahan objek di luar dan di dalam atmosfer Bumi, ekstingsi optis atmosfer sebagai fungsi ketinggian, sudut depresi Matahari yang berkontribusi terhadap kecerahan langit senja, dan kontribusi kecerahan langit malam. Penggunaan model fungsi visibilitas Kastner dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan karekteristik hilal, di antaranya posisi Bulan saat

5 konjungsi yang pada banyak kasus sangat berdekatan dengan Matahari, di samping bahwa kenampakan hilal yang bervariasi seperti berupa sumber cahaya titik (pada sudut elongasi yang kecil) hingga kenampakan berupa objek membentang dengan ketebalan beberapa menit busur. Diharapkan dengan model Kastner, hasil rukyat yang meragukan bisa diminimalisasi serta untuk jangka panjang dapat dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan hijriyah. Berdasarkan latar belakang, maka dalam Tugas Akhir ini Penulis mengambil judul Kriteria Visibilitas Hilal di Indonesia Menggunakan Model Fungsi Visibilitas Kastner dengan memanfaatkan data kesaksian mengamati hilal yang dihimpun oleh Kementerian Agama RI dari tahun 1962 sampai tahun 2011 dan Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) dalam kurun waktu 2007 2009. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian yang diajukan adalah: Bagaimana kriteria visibilitas hilal di Indonesia menggunakan model fungsi visibilitas Kastner untuk modus pengamatan dengan mata telanjang? Kriteria yang dimaksud adalah kriteria yang dibangun dari hasil observasi positif yang telah mengalami seleksi menggunakan model fungsi visibilitas Kastner. Data terseleksi dirajah berdasarkan umur Bulan dan elongasi, beda tinggi Bulan Matahari dan beda azimut, serta beda tinggi Bulan Matahari dan elongasi. 1.3. Batasan Masalah Tersedia banyak kriteria yang dapat digunakan dalam penentuan awal bulan. Kriteria penentuan awal bulan dalam penelitian ini menggunakan empat parameter fisis, yaitu beda tinggi Bulan Matahari, elongasi, beda azimut Bulan

6 Matahari, dan umur Bulan. Pengambilan parameter fisis tersebut untuk alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan. Selain itu, penulis membatasi penelitian ini untuk modus pengamatan dengan mata telanjang. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh kriteria visibilitas hilal di Indonesia dengan menggunakan model fungsi visibilitas Kastner untuk modus pengamatan mata telanjang. 1.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat menjadi usulan kriteria visibilitas hilal yang bisa dijadikan penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia. Adapun manfaat lain dari penelitian ini yaitu sebagai kajian saintifik dalam pengamatan untuk objekobjek dekat Matahari saat senja khususnya terkait masalah hilal.