BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini keselamatan pasien merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemerintah mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Winarni, S. Kep., Ns. MKM

2017, No Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran N

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan

Survey Budaya Aman Rumah Sakit 2016 Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan pasien adalah sebuah sistem pencegahan cedera terhadap pasien dengan

BAB I PENDAHULUAN. di segala bidang termasuk bidang kesehatan. Peralatan kedokteran baru banyak

Keselamatan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama beratnya untuk diimplementasikan (Vincent, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Keselamatan Pasien (Patient Safety)

BAB I PENDAHULUAN. oleh tenaga kesehatan melalui program-program yang telah ditetapkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit (RS) merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Diharapkan) dengan rentang 3,2 16,6 %. Negara Indonesia data tentang KTD

BAB 1 PENDAHULUAN. keras mengembangkan pelayanan yang mengadopsi berbagai. perkembangan dan teknologi tersebut dengan segala konsekuensinya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. mampu melaksanakan fungsi manajemen keperawatan (Sitorus, R & Panjaitan,

BAB I PENDAHULUAN. sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi risiko, identifikasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. membimbing, mengajar, mengobservasi, mendorong dan memperbaiki,

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk. Rumah Sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety)

KUESIONER MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT I. MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM KESELAMATAN PASIEN

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat akan kesehatan, semakin besar pula tuntutan layanan

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dari manajemen kualitas. Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi

KERANGKA ACUAN PROGRAM PENINGKATAN MUTU KLINIS DAN KESELAMATAN PASIEN PUSKESMAS PUJON

BAB 1 PENDAHULUAN. keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan keselamatan pasien

repository.unimus.ac.id

No. Dokumen No. Revisi Halaman 1 dari 2

BAB I PENDAHULUAN. bisa didapatkan di rumah sakit. Hal ini menjadikan rumah sakit sebagai tempat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk memperhatikan masalah keselamatan. Kementerian Kesehatan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan masyarakat sekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan

BAB I PENDAHULUAN. yang berawal ketika Institute of Medicine menerbitkan laporan To Err Is

BAB I PENDAHULUAN. rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of

PEDOMAN PENINGKATAN MUTU DAN KINERJA PUSKESMAS NGEMPLAK SIMONGAN

UPT PUSKESMAS SAITNIHUTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PANDUAN PENUNTUN SURVEI AKREDITASI UNTUK BAB PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN ====================================== ==========================

tugas sehari-hari (Arwani, 2005).

SUPERVISI KEPERAWATAN ENI WIDIASTUTI

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 43

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna meliputi upaya promotif, pelayanan kesehatan (Permenkes No.147, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya

BAB I PENDAHULUAN. keperawatan menjamin adanya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan terus

Konsep Mutu Dan Akreditasi PUSKESMAS & FKTP (#4) posted by admin on August 28, SYNCORE - always deliver value

BAB 1 PENDAHULUAN. dimana sekarang banyak dilaporkan tuntutan pasien atas medical error yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan masyarakat. Rumah Sakit merupakan tempat yang sangat

BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1. bagi semua bangsa Indonesia. Pandangan pencapaian kesehatan bagi semua ini sering

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, padat mutu dan padat risiko,

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RS (...) NOMOR :002/RSTAB/PER-DIR/VII/2017 TENTANG PANDUAN EVALUASI STAF MEDIS DOKTER BAB I DEFINISI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan investasi esensial bangsa yang secara signifikan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit saat ini wajib menerapkan keselamatan pasien. Keselamatan. menjadi lebih aman dan berkualitas tinggi (Kemenkes, 2011;

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan pasien (patient safety) menjadi suatu prioritas utama dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan adalah suatu bentuk layanan kesehatan professional yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variabel untuk

Contoh topik penelitian manajemen rumahsakit

BAB I PENDAHULUAN. layanan kesehatan, maka fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. seperti klinik harus selalu berusaha untuk memenuhinya dalam

KUESIONER MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT. MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM KESELAMATAN PASIEN

INSTRUMEN AKREDITASI PUSKESMAS

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

PENDAHULUAN. dapat berasal dari komunitas (community acquired infection) atau berasal dari

Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien. Melur Belinda Tim Keselamatan Pasien RSUD Dr Saiful Anwar malang

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi penting dalam mendukung keselamatan pasien. Komunikasi yang baik akan meningkatkan hubungan profesional antarperawat dan tim kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu hal yang mendapat perhatian penting adalah masalah konsep keselamatan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Dari penelitian ini didapatkan 7 (tujuh) tema yaitu : pengalaman mengenai. penilaian pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Body of Knowledge dan Standar Kompetensi Dokter Manajemen Medik

Ketepatan identifikasi pasien. Peningkatan komunikasi yang efektif. Pengurangan risiko pasien jatuh.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PANDUAN MANAJEMEN RESIKO KLINIS

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keselamatan ( safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Keselamatan

UNIVERSITAS UDAYANA NI WAYAN MARHENI NIM :

PROGRAM PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN RSUD PASAR REBO

Insiden Keselamatan Pasien

BAB 1 PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan tatanan pemberi jasa layanan kesehatan

BAB III METODE PENELITIAN. keluarga, kelompok, komunitas, atau institusi (Nursalam, 2011). data rekam medis, pasien dan keluarganya.

PEMERINTAH KOTA PAYAKUMBUH PUSKESMAS LAMPASI. KEPUTUSAN KEPALA PUSKESMAS LAMPASI NO. 445/ /SK-C/Pusk-LPS/I/2016

BAB I PENDAHULUAN. satu yang harus diperhatikan oleh pihak rumah sakit yaitu sistem keselamatan

KASYFI HARTATI Disampaikan pada ASM 2014

Menjalankan Nilai-Nilai Kami, Setiap Hari

BAB 7 MANAJEMEN KOMUNIKASI DAN EDUKASI (MKE)

BAB 1 PENDAHULUAN. menyelamatkan pasien. Untuk menjalankan tujuannya ini, rumah sakit terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat (Permenkes No. 147 tahun 2010).

BAB I PENDAHULUAN. organisasi dan kelangsungan hidup organisasi. Peran kepemimpinan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDG s) yang dipicu oleh adanya tuntutan untuk

supervisi merupakan satu bentuk bantuan untuk mengatasi kesulitan dalam pemberian bantuan; supervisi merupakan bagian dari proses

Description of Patient Safety Culture in Inpatient Installation Ajjapange Hospital

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka

KEPUTUSAN KEPALA RUMAH SAKIT BAHAYANGKARA TK.III ANTON SOEDJARWO PONTIANAK No... tentang

BAB I PENDAHULUAN. pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak

keselamatan penyedia jasa kesehatan serta pasien mereka (Gershon et al., 2000, Pronovost dan Sexton, 2005). Keselamatan dalam organisasi kesehatan

Transkripsi:

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan Pasien 2.1.1 Definisi Keselamatan Pasien Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (IOM dalam Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan pasien adalah bentuk layanan yang diberikan oleh suatu rumah sakit yang mengacu pada pencegahan insiden dan keamanan tindakan, guna meningkatkan mutu pelayanan. 2.1.2 Sasaran Keselamatan Pasien Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada enam yang meliputi: (1) melakukan identifikasi pasien secara tepat, (2) meningkatkan komunikasi yang efektif, (3) meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai, (4) mengurangi risiko salah

15 lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi, (5) mengurangi risiko infeksi nosokomial, (6) mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh. 2.1.3 Macam Kejadian Keselamatan Pasien Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa istilah menurut Cahyono (2008) dan Permenkes RI (2011) yaitu: a. Kejadian potensial cedera (KPC) KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden. b. Kejadian nyaris cidera (KNC) KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang mungkin terjadi namun tidak sampai mencederai pasien. c. Kejadian tidak cedera (KTC) KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien akan tetapi tidak timbul cedera. d. Kejadian tidak diharapkan (KTD) Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya kecacatan, kematian, atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manajemen medis dan bukan karena penyakit yang diderita.

16 e. Kejadian sentinel Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera serius bahkan kematian terhadap pasien. 2.1.4 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit antara lain; (1) membangun budaya keselamatan pasien, (2) pimpinan dan dukungan terhadap staf, (3) integrasi aktivitas manajemen risiko. (4) membangun sistem pelaporan, (5) melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik, (6) belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dan (7) implementasi solusi untuk mencegah kerugian (Cahyono, 2008). 2.2 Budaya Keselamatan Pasien 2.2.1 Definisi Budaya Keselamatan Pasien Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh staf sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak tidak beres. Staf dan organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau

17 mengambil tindakan untuk mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan budaya keselamatan (NHS, 2013). Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu dan organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha untuk meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari proses perawatan (Kizer, 1999 dalam Fleming, 2012). Organisasi dengan budaya keselamatan positif memiliki karakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling percaya tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning) (Madden, 2008; NSPA, 2004). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu dan kelompok yang terbuka, adil, informatif dalam pelaporan insiden keselamatan pasien, serta belajar dari kejadian. Budaya keselamatan pasien menentukan komitmen dan gaya dari suatu organisasi serta dapat diukur dengan kuesioner. 2.2.2 Dimensi Budaya Keselamatan Pasien James Reason dalam Reiling (2006) dan NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti:

18 a. Budaya keterbukaan (open culture) Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi terbuka dapat diwujudkan dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks keselamatan pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam setiap kegiatan keperawatan. Keterbukaan juga ditujukan kepada pasien. Pasien diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien. b. Budaya pelaporan (reporting culture) Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman yang dimaksud apabila membuat laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang

19 berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan. Menciptakan program evaluasi atau sistem pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata dalam membangun dimensi budaya ini. c. Budaya keadilan (just culture) Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan organisasi bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya keadilan dengan memberikan motivasi dan keterbukaannya terhadap perawat untuk memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien.

20 d. Budaya pembelajaran (learning culture) Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya, serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya kesalahan. 2.2.3 Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana Penerapan budaya keselamatan bermanifestasi sebagai iklim keselamatan dan merupakan sebuah potret dari budaya keselamatan yang berlaku dalam individu dan kelompok, serta dapat diukur dengan kuesioner (Agnew et al, 2013). Organisasi yang menerapkan budaya keselamatan pasien berarti anggota dalam organisasi tersebut harus membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning). Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana adalah tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan dimensi budaya keselamatan pasien yaitu keterbukaan dan melaporkan ketika terjadi insiden keselamatan pasien, keadilan antar perawat ketika terjadi insiden keselamatan pasien, serta pembelajaran

21 terhadap suatu kesalahan atau insiden keselamatan pasien (KBBI, 2013; NPSA, 2004; Reiling, 2006). Menerapkan budaya keselamatan pasien yang baik adalah ketika perawat secara aktif dan konstan menyadari potensial terjadinya kesalahan dan dapat mengidentifikasi serta mengenali kejadian yang telah terjadi, belajar dari kesalahan dan mengambil tindakan untuk memperbaiki kesalahan tersebut (NPSA, 2004). Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat pelaksana disimpulkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat pelaksana yang mencerminkan keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan pembelajaran terhadap insiden keselamatan pasien yang dapat diukur dengan kuesioner. 2.2.4 Manfaat Penerapan Budaya Keselamatan Pasien Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason, 2000 dalam Cahyono, 2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap programnya saja. Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci antara lain (NPSA, 2004): a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi.

22 b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien. c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan. d. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat. e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden, pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien. f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi. g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien. 2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana a. Manajemen dan kepemimpinan (leadership) Transformasi atau perubahan penerapan budaya dari budaya yang negatif menuju budaya yang positif memerlukan pengkajian manajemen dan pengarahan kepemimpinan. Ketika kepemimpinan dan manajemen berkomitmen untuk budaya keselamatan pasien, seluruh anggota organisasi akan mengikuti dan dengan demikian dapat menemukan akar penyebab masalah dan menjadikan haltersebut sebagai suatu proses dalam organisasi (Marquis & Huston 2010).

23 Dalam suatu proses transformasi nilai (proses internalisasi nilai keselamatan pasien menjadi bagian dari budaya organiasai) pemimpin mulai mengajak perawat untuk melihat, percaya, bergerak dan menyelesaikan perubahan sehingga organisasi menemukan nilai-nilai kolektif dan memakai nilai-nilai tersebut sebagai perekat, menjadi tuntunan dalam membentuk kebiasaan dan perilaku setiap individu dan kelompok (Cahyono, 2008). Hal tersebut didikung oleh penelitian yang mengatakan ada hubungan yang positif antara kepemimpinan efektif oleh kepala ruang dengan penerapa budaya keselamatan pasien (Setiowati, 2010). Ada 3 domain perilaku kepemimpinan yang mampu menjadi agen perubahan (change agent) bagi perilaku anggota dalam suatu organisasi yakni pengarahan (direction), pengawasan (supervision), serta koordinasi (coordination) (Gillies, 1994). 1) Pengarahan Pengarahan mengacu pada penugasan, perintah, kebijakan, peraturan, standar, pendapat, saran, dan pertanyaan untuk mengarahkan perilaku bawahan. Kebijakan, prosedur, standar, dan tugas menjadi alat dalam memimpin orang lain untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan. Perintah dalam pengarahan dapat berupa perintah lisan atau tertulis oleh atasan organisasi yang membutuhkan untuk bawahan untuk bertindak atau menahan diri dari bertindak dengan cara tertentu (Gillies, 1994)

24 2) Supervisi Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Supervisi merupakan perilaku kepemimpinan yang berfungsi untuk memeriksa pekerjaan, mengevaluasi kinerja, memperbaiki kinerja staf, memberi dukungan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja (Gillies, 1994; Rowe & Haywood, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak dukungan yang diberikan oleh pemimpin atau supervisor untuk keselamatan pasien akan meningkatkan penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat, yakni meningkatkan frekuensi keterbukaan dan pelaporan atas insiden keselamatan pasien. Persepsi yang baik tentang keselamatan pasien juga dikatakan menjadi meningkat dan kemungkinan dapat menyebabkan meningkatnya keterbukaan dan pelaporan insiden keselamatan pasien (Jardali et al, 2011). 3) Koordinasi Koordinasi adalah kegiatan kepemimpinan yang mencakup semua kegiatan yang memungkinkan staf untuk bekerja bersama secara harmonis. Koordinasi penting dilakukan untuk keberhasilan suatu organisasi kesehatan. Umumnya koordinasi kegiatan staf terjadi selama pertemuan kelompok kerja utama

25 karena beberapa anggota mengkhususkan diri dalam tugas terkait, seperti kegiatan menyempurnakan tujuan, identifikasi masalah, dan analisis data. Staf yang lain mengkhususkan diri dalam kegiatan perawatan. Pemecahan masalah dalam kegiatan koordinasi harus cukup panjang untuk memungkinkan diskusi lengkap dari topik masalah, dan dalam kegiatan ini staf yang wajib hadir dibebaskan dari tugas perawatan pasien (Gillies, 1994). b. Faktor kepegawaian (staffing) Kepegawaian merupakan komponen utama dari faktor yang mengakibatkan perawat mau menerapkan budaya keselamatan pasien. Memiliki tenaga kerja yang kuat, mampu, dan termotivasi adalah salah satu tantangan terbesar dalam rumah sakit. Tenaga medis di rumah sakit sering mengalami stress dan sulit tidur akibat panjangnya jam kerja yang mungkin menyebabkan penyimpangan dalam kinerja sehingga mengarah pada penurunan kualitas dan kinerja perawat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat yang termotivasi akan meningkatkan persepsi perawat mengenai keselamatan pasien dan keamanan bekerja, sehingga akan melaporkan secara terbuka insiden keselamatan pasien yang terjadi (Jardali et al, 2011). c. Lingkungan fisik dan akreditasi rumah sakit Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit dan status akreditasi rumah sakit juga merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien. Rumah sakit kecil mencetak frekuensi pelaporan insiden

26 keselamatan pasien lebih tinggi disbanding RS besar, serta memiliki persepsi yang tinggi mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit besar biasanya selalu menerima menghadapi tantangan yang datang terutama untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih berkualitas, akibat birokrasi yang ada. Sebaliknya rumah sakit kecil memiliki budaya yang lebih homogen di mana anggotanya lebih mungkin dan mudah untuk membagi nilai-nilai yang sama terutama mengenai keselamatan pasien. Rumah sakit yang terakreditasi dikatakan memiliki anggota dengan persepsi dan frekuensi pelaporan insiden keselamatan pasien lebih tinggi dibandingkan rumah sakit non-akreditasi (Jardali et al, 2011). d. Karakteristik perawat pelaksana Kinerja atau performance dalam suatu organisasi kesehatan tergantung pada pengetahuan, keterampilan, dan motivasi pekerja kesehatan itu sendiri (Negussie, 2010). Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri individu yang melekat pada dirinya yang memengaruhi performance. 1) Usia Kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia, sehingga semakin lama usia seseorang maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam bertindak, dan berpengaruh terhadap produktivitas dalam bekerja (Depkes RI, 2002 dalam Hasmoko, 2008). Penelitan oleh Setiowati (2010) menyatakan usia perawat pelaksana berhubungan positif dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh

27 penelitian oleh Nurmalia (2012) yang menyatakan usia dewasa muda dianggap lebih mudah menerima perubahan sehingga mempengaruhi dalam mempersepsikan budaya keselamatan pasien. 2) Tingkat pendidikan perawat Pendidikan merupakan suatu metode pengembangan organisasi dimana staf mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan positif dan staf mendapat pengetahuan yang penting untuk penampilan kinerjanya dalam hal kognitif, psikomotor, dan sikap. Pendidikan adalah indikator yang menunjukkan kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjan yang menjadi tanggung jawabnya (Hasibuan, 2008). Latar belakang pendidikan perawat berpengaruh terhadap penerapan keselamatan pasien. Survey berdasarkan evidence based di New Zealand, Amerika Serikat, dan Thailand menyebutkan ada kenaikan insidensi faktor penyebab kematian pasien di RS pada tenaga perawat dengan latar belakang pendidikan campuran dan terdapat penurunan pada ketenagaan yang sudah teregistrasi (Ridley, 2008). 3) Masa kerja Masa kerja adalah jangka waktu yang dibutuhkan seseorang dalam bekerja sejak mulai masuk dalam lapangan pekerjaan, semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya (Siagian, 2000 dalam Zakiyah, 2012). Masa kerja akan memberikan pengalaman kerja yang lebih banyak pada seseorang.

28 Pengalaman kerja berhubungan dengan kinerja seseorang. Hasil penelitian oleh Setiowati (2012) menunjukkan ada hubungan positif antara masa kerja dengan penerapan budaya keselamatan pasien. 2.2.6 Mengukur Penerapan Budaya Keselamatan Pasien Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah dengan instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ). Agency for Health Care Research and Quality merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin lembaga Federal untuk peneltian tentang kualitas kesehatan, biaya, outcome, dan keselamatan pasien. AHRQ mendanai 100 penelitian untuk mengidentifikasi instrumen yang dijadikan alat untuk menilai budaya keselamatan pasien (Fleming, 2006). Pada dasarnya empat dimensi budaya keselamatan pasien yakni budaya keterbukaan, pelaporan, keadilan, dan budaya pembelajaran digunakan dalam menilai budaya keselamatan pasien dalam suatu organisasi kesehatan. The Hospital Survey of Patient Safety Culture yang dikembangkan oleh AHRQ menggunakan komponen-komponen sebagai indikator masing-masing dimensi budaya keselamatan pasien. Indikator dimensi budaya keterbukaan antara lain (1) komunikasi terbuka, (2) kerjasama dalam unit, (3) kerjasama antar unit, (4) persepsi keselamatan pasien. Indikator dimensi budaya keadilan adalah (1) umpan balik (feedback) dan komunikasi, (2) staffing, (3) respon tidak menghukum. Indikator dimensi budaya pelaporan mengandung

29 komponen (1) pelaporan kejadian, (2) hand over sedangkan indikator dari dimensi budaya pembelajaran mengandung komponen (1) pembelajaran oleh perawat, (2) ekspektasi manajer, dan (3) dukungan manajemen (Fleming, 2006). 2.3 Supervisi Pelayanan Keperawatan 2.3.1 Definisi Supervisi Pelayanan Keperawatan Berbicara mengenai supervisi keperawatan tidak akan lepas dari supervisor, penerima supervisi (supervisee) dan komponen dari supervisi tersebut (Halpern & McKimm, 2006). Supervisi pelayanan keperawatan diartikan sebagai penyediaan pemantauan (monitoring), bimbingan, dan umpan balik (feedback) tentang masalah-masalah pribadi, profesional, dan perkembangan pendidikan dalam konteks perawatan yang aman bagi pasien (Kilminster, 2000 dalam Kennedy et al, 2007). Supervisi pelayanan keperawatan adalah kolaborasi yang sifatnya formal antara dua atau lebih yang difokuskan pada dukungan untuk staf yang disupervisi dalam rangka meningkatkan kesadaran diri dan perkembangan profesionalisme (Lynch et al, 2008). Supervisi pelayanan keperawatan dikatakan sebagai kegiatan dinamis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan (Arwani & Supriyatno, 2006). Supervisi pelayanan keperawatan merupakan interaksi dan komunikasi professional antara supervisor keperawatan dan perawat pelaksana yakni dalam interaksi komunikasi tersebut perawat pelaksana menerima bimbingan, dukungan, bantuan,

30 dan dipercaya, sehingga perawat pelaksana dapat memberikan asuhan yang aman kepada pasien (Halpern & McKimm 2006; Suyanto, 2008). Supervisi pelayanan keperawatan sesuai dengan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan interaksi dan komunikasi professional yakni perawat yang disupervisi mendapatkan pembinaan, bimbingan, dukungan, dan umpan balik oleh supervisor sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik, terampil, aman, dan tepat secara menyeluruh kepada pasien sehingga meningkatkan mutu asuhan keperawatan. 2.3.2 Komponen Supervisi Pelayanan Keperawatan Komponen dalam supervisi pelayanan keperawatan yaitu: a. Komponen normatif Komponen normatif atau managerial adalah mempromosikan dan mematuhi kebijakan dan prosedur, pengembangan standar, dan memberikan kontribusi ke unit klinis (Winstanley & White, 2011). Komponen ini dapat diberikan apabila supervisor memiliki persepsi positif untuk perawat pelaksana yang disupervisi. Komponen ini berfokus dalam mempertahankan kinerja perawat pelaksana yang baik dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, membuat suatu perencanaan, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dibutuhkan untuk memberikan dukungan kerja yang lebih lanjut, menciptakan keselamatan pasien, mempertahankan standar yang ada, dan memberikan kepercayaan kepada

31 perawat pelaksana sehingga hal tersebut dapat meningkatkan profesionalisme dan menciptakan kualitas pelayanan yang bermutu (Lynch et al, 2008). b. Komponen formatif Komponen formatif juga disebut komponen edukatif. Komponen ini berfokus pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan perawat pelaksana sehingga memungkinkan prawat pelaksana bekerja sesuai dengan standar yang berlaku sebagai aspek tanggung jawab dalam melakukan praktek. Kondisi ini dapat dicapai melalui refleksi pada praktek yang sudah dilakukan dengan mendukung dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama dari supervisor dan perawat pelaksana yang disupervisi. Adapun tugas dari supervisor dalam komponen ini antara lain memberikan kritik konstruktif, memberikan tantangan dalam praktek apabila diperlukan, memonitor kepatuhan perawat terhadap kode etik dan standar yang berlaku, memberikan umpan balik yang jujur, secara teratur mengevaluasi efektivitas kegiatan supervisi, serta mengidentifikasi pemecahan masalah yang diperlukan (Lynch et al, 2008). c. Komponen restoratif Komponen ini disebut juga pastoral support, memungkinkan staf untuk mengerti dan mengelola stres emosional dalam melaksanakan praktek keperawatan (Winstanley & White, 2011). Komponen restoratif berfokus dalam memberikan rasa aman bagi perawat pelaksana untuk terbuka mengungkapkan perasaan dan permasalahan yang dihadapi, pengalaman dan praktik dalam pembelajaran,

32 mengatasi konflik, pemberian dukungan pada staf, proses interaksi, serta meningkatkan kesadaan diri. Adapun tugas supervisor dalam hal ini adalah memberikan dukungan atau motivasi, membantu perawat pelaksana untuk berinteraksi, memonitoring reaksi atau respon terhadap materi yang dibawa oleh supervisor, meningkatkan pengalaman dan pengembangan, dan meningkatkan kesadaran diri (Lynch et al, 2008). 2.3.3 Supervisor Keperawatan Menurut Suyanto (2008) supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian yang bertanggung jawab antara lain: a. Kepala ruangan Kepala ruangan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien diruang perawatan yang dipimpinnya. b. Pengawas keperawatan Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana fungsional mempunyai pengawas keperawatan yang bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan keperawatan. c. Kepala bidang keperawatan Sebagai top manajer dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi melalui para pengawas keperawatan. Kepala bidang keperawatan memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang aman dan nyaman, efektif, dan efisien.

33 Pada intinya, tugas dari supervisor keperawatan yang terdiri atas kepala ruangan, pengawas keperawatan dan kepala bidang keperawatan adalah mengorientasikan, melatih, dan memberikan pengarahan kepada perawat pelaksana dalam pelaksanaan tugas. Tujuan memberikan pelayanan bimbingan dalam memberikan asuhan keperawatan dan juga hal terkait keselamatan pasien agar perawat yang disupervisi menyadari, mengerti terhadap peran dan fungsi sebagai pelaksana asuhan keperawatan yang aman. 2.3.4 Kompetensi Supervisor dalam Supervisi Pelayanan Keperawatan Kegiatan supervisi merupakan kegiatan dengan fokus peningkatan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan sebagai tujuan utama. Agar tidak menyimpang dari tujuan, maka ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki seorang supervisor (Arwani & Supriyatno, 2006) diantaranya: a. Kemampuan memberikan pengarahan dan petunjuk Kompetensi pertama yang harus dikuasai supervisor adalah kemampuan memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab sehingga dapat dimengerti oleh perawat pelaksana. b. Kemampuan memberikan saran dan bantuan Kompetensi kedua adalah bahwa supervisor harus mampu memberikan saran, nasihat, dan bantuan yang benar-benar dibutuhkan oleh perawat pelaksana. Supervisor harus mampu melakukan pendekatan asertif terhadap seluruh perawat pelaksana.

34 c. Kemampuan memberikan motivasi Seorang supervisor harus mampu memberikan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja perawat pelaksana. d. Kemampuan memberikan latihan dan bimbingan Kompetensi yang harus dimiliki supervisor adalah harus mampu memberikan latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh perawat pelaksana. Seorang supervisor harus mampu sebagai contoh bagi perawat pelaksana dalam memberikan bimbingan yang tepat, mampu mengidentifikasi kesalahan yang terjadi dalam kegiatan keperawatan agar perbaikan yang dilakukan juga tepat. e. Kemampuan dalam melakukan penilaian objektif Terlaksananya penilaian yang objektif dapat terjadi bila supervisor mampu menjaga hubungan profesional dan membedakan hubungan pribadi saat bekerja, serta mampu membuat standar penilaian untuk menilai kinerja tersebut. 2.3.5 Fungsi Supervisi Pelayanan Keperawatan Fungsi supervisi pelayanan keperawatan menurut Rowe & Haywood (2007) ada empat yaitu fungsi manajemen, pembelajaran dan pengembangan, dukungan, dan negosiasi. Keempat fungsi tersebut saling bergantung satu sama lain dan salah satu fungsi tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa fungsi yang lain. a. Fungsi manajemen (pengelolaan) Fungsi manajemen dalam supervisi pelayanan keperawatan adalah pengembangan sumber daya manusia melalui pemberian motivasi, mengatasi konflik,

35 pendelegasian, komunikasi, dan memfasilitasi kerjasama staf dengan manajer atau kolega. Penilaian kinerja, pengawasan mutu, pengawasan hukum dan etika juga merupakan fungsi manajemen supervisi pelayanan keperawatan (Marquis & Huston 2010; Swansburg, 2000). b. Fungsi pembelajaran dan pengembangan Fungsi ini adalah untuk membantu perawat merefleksikan kinerja mereka, mengidentifikasi kebutuhan belajar dan pengembangan, serta mengembangkan rencana atau mengidentifikasi peluang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. c. Fungsi dukungan Fungsi dukungan berguna untuk perawat dalam melaksanakan perannya. Dukungan dapat diberikan oleh supervisor pada situasi tertentu, kejadian khusus atau masalah pribadi yang mungkin berdampak pada pekerjaan dan kinerja perawat (Rowe & Haywood, 2007). d. Fungsi negosiasi Fungsi negosiasi adalah untuk meningkatkan efektifitas hubungan antara perawat pelaksana, tim kesehatan lain, organisasi, dan lembaga lain yang bekerja di dalam lingkungan yang sama. Untuk mencapai fungsi negosiasi dapat dilakukan melalui melakukan pengarahan kepada perawat terhadap isu-isu kunci, sensitif terhadap keluhan-keluhan perawat, melakukan pengarahan kepada perawat terhadap perubahan dan perkembangan yang mempengaruhi area kerja mereka (Rowe & Haywood, 2007).

36 2.3.6 Evaluasi Supervisi Pelayanan Keperawatan Supervisi pelayanan keperawatan dapat dievaluasi menggunakan instrumen kuesioner untuk mengevaluasi proses supervisi menurut persepsi perawat yang disupervisi. Winstanley & White menjelaskan salah satu kuesioner yang dapat digunakan adalah The Manchester Clinical Supervision Scale. Kuesioner ini merupakan satu-satunya instrumen penelitian yang telah divalidasi secara internasional. Bentuk-bentuk pernyataan yang ada dalam dalam instrumen disusun berdasarkan data kualitatif melalui wawancara yang berasal dari sebuah penelitian di Inggris dan Scotlandia. Hasil wawancara tersebut disusun menjadi sebuah instrument oleh Profesor White, Butterworth, dan Bishop. Manchester Clinical Supervision Scale terdiri atas tiga komponen yang merupakan pengembangan dari model Protocor yaitu normatif (mempertahankan kinerja dan meningkatkan profesionalisme), formatif (meningkatkan pengetahuan dan keterampilan), dan restoratif (memberikan dukungan) (Winstanley & White, 2011). 2.4 Hubungan Supervisi Pelayanan Keperawatan dengan Penerapan Budaya Keselamatan Pasien oleh Perawat Pelaksana Individu yang menerapkan budaya keselamatan pasien berarti membangun perilaku yang terbuka, adil, informatif dalam melaporkan insiden terkait keselamatan pasien, dan mau belajar atas insiden tersebut (NPSA, 2006). Penerapan budaya negatif menuju penerapan budaya keselamatan mengindikasikan terjadi perubahan dalam sistem suatu organisasi maupun perilaku dari anggota organisasi. Dalam organisasi,

37 perubahan menuju penerapan budaya keselamatan tersebut akan bisa terjadi bila faktor kepemimpinan berperan didalamnya. Kepemimpinan yang efektif akan dapat mempengaruhi bawahannya dalam pencapaian suatu tujuan organisasi (Cahyono, 2008). Salah satu perilaku kepemimpinan yang bisa menjadi agen perubahan adalah supervisi (Gillies, 1994). Supervisi pelayanan keperawatan sesuai adalah interaksi dan komunikasi professional yakni perawat yang disupervisi mendapatkan pembinaan, bimbingan, dukungan, dan umpan balik oleh supervisor sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik, terampil, aman, dan tepat secara menyeluruh kepada pasien sehingga meningkatkan mutu asuhan keperawatan (Halpern & McKimm 2006; Suyanto, 2008). Supervisi pelayanan keperawatan dapat meningkatkan kesadaran perawat atas dirinya dan lingkungan kerja termasuk kesadaran terhadap cara berpikir, membuat keputusan, dan prestasi kerja. Kegiatan supervisi yang mendukung perawat pelaksana dan memberikan kesempatan untuk berkembang dan merefleksikan kemampuannya berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dan keselamatan pasien (Tony et al, 2007). Supervisi pelayanan keperawatan mampu memberi manfaat kepada perawat pelaksana dalam meningkatkan perasaan didukung, mengurangi isolasi profesional, menurunkan tingkat kelelahan kerja dan emosional, meningkatkan kepuasan kerja dan moral, serta mengembangkan praktek professional dan dukungan dalam praktek (Driscoll, 2007). Hyrkas (2000) membuktikan supervisi pelayanan keperawatan

38 dapat meningkatkan hubungan perawat yang disupervisi dengan supervisor serta dalam hubungan antar perawat yang lain. Hubungan antara para perawat yang disupervisi dengan tim supervisor dikarakteristikan sebagai peningkatan evaluasi diri, keberanian, keterbukaan, menolong dan saling memahami antar anggota tim. Selama kegiatan kegiatan pengawasan tim atau supervisi klinis, keberanian perawat untuk meneliti masalah-masalah yang ada dalam tim menjadi meningkat, termasuk keterbukaan membahas isu atau topik-topik yang sensitif yang ada dalam pekerjaan dan pasien. Dengan demikian, karakteristik keterbukaan dalam melaporkan isu-isu terkait pekerjaan, termasuk masalah pasien, tercermin dalam hubungan antarperawat dalam kegiatan supervisi pelayanan keperawatan. Halpern & McKimm (2006) yang menyebutkan bahwa supervisi adalah tempat di mana isu-isu atau dilema seputar masalah pasien dapat dibicarakan dan ditangani. Melalui supervisi pelayanan keperawatan, disebutkan pula perawat yang disupervisi menemukan batas-batas dari diri sendiri dan rekan-rekan mereka, serta belajar untuk memberikan kesempatan berpendapat dan beropini terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam pekerjaan mereka. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat dikatakan sebagai berperilaku adil terhadap rekan kerja (Hyrkas, 2000). Hasil penelitian juga menyebutkan perawat yang disupervisi melaporkan bahwa hubungan antar anggota tim menjadi lebih dekat, yang pada akhirnya meningkatkan kolaborasi, semangat tim, perasaan kebersamaan, dan juga peningkatan keaktifan mereka dalam mendiskusikan masalah-masalah yang terkait dalam peningkatan kualitas pekerjaan (Jones, 2003

39 dalam Tony et al, 2007). Perawat yang disupervisi juga melaporkan secara jelas peningkatan dalam memperaktekkan diskusi masalah-masalah yang terjadi dalam kegiatan keperawatan mereka. Hubungan antara anggota tim tumbuh lebih matang, semangat kelompok dan solidaritas serta keterampilan pemecahan konflik menjadi semakin berkembang akibat kegiatan supervisi tersebut (Hyrkas, 2000). Kegiatan supervisi juga mampu meningkatkan kebutuhan akan belajar. Hasil penelitian membuktikan setelah disupervisi responden sangat bersedia untuk berpartisipasi dalam pendidikan pelayanan baik di dalam maupun di luar organisasi mereka. Masalah keselamatan dalam bekerja adalah topik penting yang dibahas. Perawat yang telah menerima pendidikan tentang pelayanan keperawatan terkait isuisu keselamatan menjadi semakin meningkatkan perasaan mereka, meningkatkan prinsip keselamatan dalam setiap kegiatan yang mereka laksanakan. Supervisi dapat meningkatan kualitas melalui peningkatan perhatian terhadap kapasitas kerja. Kualitas yang dimaksud antara lain meningkatkan fleksibilitas dalam bekerja, memperjelas gambaran pekerjaan, dan peningkatan efisiensi kerja, serta sebagai refleksi kerja untuk mengubah rutinitas yang kurang baik. Peningkatan kualitas tersebut pada akhirya akan memperkuat aturan manajemen dan memudahkan mengatur kegiatan asuhan kepada pasien (Hyrkas, 2000).