INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditemui baik melalui informasi di media cetak maupun televisi. Selain tawuran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media

BAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perilaku kekerasan yang menimpa anak di Indonesia, masih tetap

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Seorang remaja ditemukan gantung diri di kamar mandi akibat diejek temantemannya

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia sekolah (6-12 tahun) disebut juga sebagai masa anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program

dijahili, diejek, atau ketika mendapat kekerasan dari temannya (Coloroso, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat pada kasus-kasus yang ter

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

STUDI FENOMENOLOGI : DINAMIKA PSIKOLOGIS KORBAN BULLYING PADA REMAJA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu melanjutkan estafet pembangunan bangsa ini. Namun,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bullying: Tindak Kekerasan Antara Siswa Laki-Laki Dan Siswa Perempuan Dalam Perspektif Jender di SMA Negeri 2 Ambon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan yang efektif dan efisien pada perkembangan pendidikan dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

UPAYA MENGURANGI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011).

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN EKSTROVERT DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan)

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. bullying selalu terjadi bahkan sudah menjadi sebuah tradisi. Bullying

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

PERAN SEKOLAH SWASTA DALAM MELINDUNGI SISWA SEKOLAH SWASTA MENENGAH PERTAMA DI WILAYAH GADING SERPONG TERHADAP TINDAKAN BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

KONDISI EMOSI PELAKU BULLYING (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta)

PERAN GURU BK/KONSELOR DALAM MENGENTASKAN PERILAKU BULLYING PARTICIPANT OF THE TEACHERS BK / COUNSELORS TO ALLEVIATE BULLYING BEHAVIOR

BAB I PENDAHULUAN. kasus kekerasan di kalangan remaja. Kekerasan antar teman sebaya atau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

Transkripsi:

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna menempuh derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun Oleh : AMALIA LUSI BUDHIARTI F 100 040 070 kepada FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan efisien pada satuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh semua komponen yang berperan dalam mengantarkan peserta didik sehingga tercapainya tujuan yang diharapkan. Tetapi dalam kenyataannya tujuan dari pendidikan itu sendiri belum sepenuhnya tercapai, karena masih adanya kasus penyimpangan perilaku seperti kekerasan yang dilakukan dikalangan remaja yang semuanya memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Masa remaja adalah periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada periode ini merupakan masa transisi dan remaja mempunyai risiko tinggi terjadinya kenakalan dan kekerasan baik sebagai korban maupun sebagai pelaku dari tindakan kekerasan (Djuwita, 2006). Ada beberapa kasus yang baru-baru ini terjadi di masyarakat seperti tindak kekerasan yang menimpa seorang anak berusia 15 tahun siswa kelas satu SMA yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Anak ini dipukul, disundut rokok dan dipatahkan tangannya oleh seniornya karena ia menolak untuk masuk ke dalam Gang Gezper yang berada di sekolah tersebut. Banyak lagi pemberitaan

tentang adanya korban akibat proses perpeloncoan yang terjadi pada penerimaan siswa baru di STPDN. Akibat peristiwa tersebut biasanya sekolah tersebut memecat siswa senior yang terlibat serta akan berjanji lebih ketat dalam proses penerimaan siswa baru atau akan lebih baik bila hal tersebut ditiadakan (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/17/opini/3988130.htm). Selain itu kasus tentang Fifi Kusrini, seorang gadis berusia 13 tahun yang tidak berumur panjang. Pada tanggal 15 Juli 2005, siswi SMP Negeri di daerah bekasi itu ditemukan tergantung di kamar mandi rumahnya. Fifi mengakhiri hidupnya dengan menggunakan seutas tali, namun tidak ada yang tahu persis kenapa ia mengambil keputusan nekad seperti itu. Satu-satunya petunjuk datang dari sang ayah, yang mengatakan putrinya merasa malu karena sering diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur (Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008). Teror yang berupa kekerasan fisik atau mental, pengucilan, intimidasi, perpeloncoan, yang terjadi pada kasus-kasus di atas sebenarnya adalah contoh klasik dari apa yang biasanya disebut bullying. Perilaku ini sering disebut juga sebagai peer victimization dan hazing, yaitu usaha untuk menyakiti secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang/sekelompok orang yang lebih lemah, oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih kuat (Ma, Stein & Mah, 2001: Olweus, 1993 dalam Djuwita, 2006). Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat secara mental. Dalam hal ini sang korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau

mental. Selain itu yang sangat penting kita perhatikan adalah bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi dampak tindakan tersebut bagi korban. Misalkan saja seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar, bila yang didorong merasa terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tidak merasa takut atau terintimidasi, maka tindakan tersebut belum tentu dikatakan bullying (Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008). Fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang lebih mengenalnya dengan istilah-istilah seperti penggencetan, pemalakan, pengucilan, intimidasi dan lain-lain. Istilah bullying sendiri memiliki makna lebih luas, mencakup berbagai bentuk penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti orang lain sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tak berdaya (Yayasan Semai Jiwa Amini, 2006). Selain itu, perlu diketahui juga bahwa usaha menyakiti ini dilakukan di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah, itu sebabnya disebut sebagai peer victimization, sedangkan hazing adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok yang sudah senior, yang berupa keharusan bagi yunior untuk melakukan tugas-tugas yang memalukan, melecehkan bahkan juga menyiksa atau setidaknya menimbulkan ketidak nyamanan fisik maupun psikis sebagai syarat penerimaan anggota baru sebuah kelompok (Hoover dkk, 1998). Di sebagian besar Negara Barat baik hazing dan terutama bullying ini dianggap sebagai hal yang serius karena cukup banyak penelitian yang

menunjukkan bahwa dampak dari perilaku ini sangat negatif. Menurut Rigby (dalam Djuwita, 2006) penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran dan kesehatan mental maupun fisik jangka pendek maupun panjang mereka akan terpengaruh. Meski belum ada data yang memuat kasus bullying di tiap negara, Smith (1992) dan Ken Rigby (1988) memberikan gambaran data kasus di sekolah di beberapa negara, yaitu di Inggris (27%-SMP dan 10%-SMA), Australia (25-30% bahkan tiap hari) dan secara internasional (23%-SMP dan 10% SMA) (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/17/opini/3988130.htm). Di Indonesia penelitian tentang fenomena bullying masih baru. Hasil studi oleh ahli intervensi bullying, Dr. Amy Huneck (dalam Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008) mengungkapkan bahwa 10-60% siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, ataupun dorongan, sedikitnya sekali dalam seminggu. Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada tahun 2008 tentang kekerasan bullying di tiga kota besar di Indonesia yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar 67,9% di tingkat sekolah menengah atas (SMU) dan 66,1% di tingkat sekolah lanjutan pertama (SMP). Kekerasan yang dilakukan sesama siswa, tercatat sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi kekerasan psikologis berupa mengucilkan. Peringkat kedua ditempati kekerasan

verbal (mengejek) dan terakhir kekerasan fisik (memukul). Gambaran kekerasan di SMP di tiga kota besar yaitu: Yogya : 77,5% (mengakui ada kekerasan); 22,5 (mengakui tidak ada kekerasan), Surabaya : 59,8% (ada kekerasan), Jakarta : 61,1% (ada kekerasan) (mediaindonesia.com/index.php?ar_id=nje4mq== - 29k). Bullying tidaklah sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama lain. Bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang, korban biasanya anak yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku (http://www.pekabullying.org/index_files/page475.htm). Bentuk bullying sendiri terbagi tiga yaitu: secara fisik, seperti memukul, mencubit, menampar dan memalak (meminta dengan paksa yang bukan miliknya), kemudian bentuk verbal seperti memaki, menggosip dan mengejek, serta bentuk psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan dan diskriminasi (Yayasan Semai Jiwa amini, 2008). Dilihat dari definisi bullying disebutkan kekerasan fisik dan psikologis yang berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang itu atau membuat dia tertekan (Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005). Dilihat dari definisi ini, diketahui korban ada pada posisi tidak mungkin dapat diharap untuk melawan atau mempertahankan diri dan korban terus mengalami untuk waktu lama.

Menurut Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) ada beberapa karakter yang dimiliki oleh orang yang terkena bullying yaitu pencemas, gelisah, kurang percaya diri, memiliki kemampuan bersosialisasi yang kurang, mempunyai fisik yang lemah. Begitu pula sebaliknya orang yang melakukan bullying mempunyai karakter merasa diri paling kuat, cenderung hiperaktif, impulsif dan overactive. Dilihat dari fenomena tersebut, maka baik pelaku maupun korban dapat dilihat salah satu faktor yang mempengaruhinya yaitu dari tipe kepribadian. Menurut Siagian (1989) kepribadian seseorang menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk sikap, cara berpikir, dan cara bertindak. Sikap, cara berpikir dan cara bertindak itu dapat dipastikan tidak selalu sama antar individu yang satu dengan yang lain. Eysenck dan Wilson (1975) membagi tipe kepribadian menjadi dua, yaitu ekstrovert dan introvert. Tipe kepribadian ekstrovert cenderung bersifat lebih terbuka, aktif, bekerja keras, berani mengambil resiko, kompetitif serta berambisi. Sebaliknya tipe kepribadian introvert cenderung bersifat pasif, kurang berani mengambil resiko, cenderung santai, hati-hati dan menutup diri. Di dalam bullying juga terdapat perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Menurut Olweus (1993), sekitar 60% anak perempuan yang menjadi korban, pelakunya adalah anak laki-laki dan 20% pelakunya adalah wanita. Sementara itu sekitar 80% anak laki-laki korban bully, pelaku seluruhnya adalah anak laki-laki.

Mengacu pada teori-teori dan permasalahan yang telah dijelaskan di atas maka penulis tertarik mengambil dua faktor dari beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang terkena bullying yaitu tipe kepribadian sebagai variabel bebas dan jenis kelamin sebagai variabel moderator, sehingga dapat dibuat rumusan masalah: apakah ada perbedaan intensitas terkena bullying ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert?. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Intensitas Terkena Bullying Ditinjau dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert B. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan intensitas terkena bullying ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. 2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan intensitas terkena bullying ditinjau dari jenis kelamin. berikut: C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai 1. Bagi pihak sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam mengambil suatu kebijakan yang tepat sasaran dan efektif terhadap anak didik. 2. Bagi orang tua, penelitian ini dapat menambah wawasan untuk mengetahui tentang bahaya bullying terhadap anak, sehingga dapat melakukan usaha preventif agar tidak terdapat lagi korban akibat bullying.

3. Bagi subjek (siswa), sebagai informasi tentang bahaya yang ditimbulkan oleh perilaku bullying agar siswa dapat menghindarinya 4. Bagi ilmuwan psikologi, penelitian ini menambah wawasan terhadap bidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan yang berkaitan dengan bullying.