\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESA PENELITIAN

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 09/PMK.011/2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen beberapa komoditi. primer seperti produk pertanian, perkebunan, dan perikanan serta

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati

PENDAHULUAN. integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang dihasilkan dari produk CPO, diolah menjadi Stearin Oil

ANTISIPASI MASALAH PANGAN GLOBAL DAN STABILISASI HARGA PANGAN

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fluktuasi Harga Komoditas Pertanian

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 339/Kpts/PD.300/5/2007 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KETIKA HARGA BERAS TURUN, PUJIAN PUN TAK KUNJUNG DATANG Kamis, 27 September 2007

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT

ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

2011, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar; Mengin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

2016, No Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, diatur penjualan ke luar negeri dalam jumlah terten

DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK SAWIT INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA (SUATU MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM) Oleh :

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. GAMBARAN UMUM PAJAK EKSPOR, MINYAK GORENG SAWIT DOMESTIK DAN MINYAK SAWIT DUNIA

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

SISTEM INFORMASI PASAR DAN MONITORING HARGA BERAS DI INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi

4. Outlook Perekonomian

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

PEMBANGUNAN PERTANIAN & KEBIJAKAN PEMERINTAH

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

PENELAAHAN BESARAN SUBSIDI BIODIESEL. Agus Nurhudoyo

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

Transkripsi:

18 \TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Penggunaan minyak goreng biasanya sebagai media penggorengan bahan pangan, penambah cita rasa ataupun shortening yang membentuk tekstur pada roti. Sebanyak 49% dari total permintaan minyak goreng di Indonesia adalah untuk konsumsi rumah tangga dan sisanya untuk keperluan industri, termasuk industri perhotelan dan restoran-restoran dan juga usaha fast food.(wijana, 2005) Menurut Amang (1993), Minyak goreng dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku, diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, kacang-kacangan, bunga matahari dan bahan baku lainnya. Penggunaan minyak goreng berbahan baku kelapa sawit sejak beberapa tahun terakhir semakin mendominasi pengolahan minyak goreng setelah sempat dipegang oleh kelapa sebagai bahan baku minyak goreng di Indonesia. Dilihat dari sifat teknisnya, minyak goreng yang terbuat dari CPO memiliki banyak keunggulan, diantaranya yaitu : 1. Kecenderungan berasap lebih rendah 2. Sifat pembakaran yang lebih baik untuk kue dan roti, dan 3. Tingkat perkaratan pada kuali lebih rendah Sebagai bahan pokok, kenaikan harga minyak goreng dipasar Indonesia membutuhkan peran pemerintah untuk melakukan pengendalian. Kenaikan harga tersebut pada saat ini tidak hanya meresahkan masyarakat miskin dan industri kecil, tetapi juga memberikan efek pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Jika ini tidak

19 dikendalikan, dampak kenaikan harga minyak goreng dapat berkembang tidak hanya terbatas pada isu ekonomi, tetapi merambat ke masalah sosial dan politik. (Susila, 2007) Amang (1995), menyebutkan bahwa kebijakan harga yang diberikan untuk bahan pangan merupakan instrumen pokok kebijaksanaan pengadaan pangan. Tujuan kebijakan harga dilakukan diantaranya, untuk : 1. Melindungi produsen dari penurunan drastis harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen 2. Melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli khususnya pada musim paceklik, dan 3. Mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga. Tabel 2.1 menunjukkan pemberlakuan peraturan yang berbeda-beda terkait harga minyak goreng. Hal ini disebabkan oleh berbedanya situasi dan kondisi per periode. Pada tahun 1977-1978 dan sekitar tahun 1984 terjadi gejolak kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena negara kekurangan pasokan kopra dan CPO. Pada tahun 1977-1978 minyak kelapa sawit hanya diperuntukkan bagi ekspor, namun selanjutnya minyak kelapa sawit mulai diarahkan untuk memenuhi kekurangan bahan baku minyak goreng dalam negeri karena dinilai bisa mensubstitusi minyak kelapa dan kopra yang mengalami kelangkaan. Sedangkan pada tahun 1984 pemerintah memandang perlu diadakan kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng dan menugaskan BULOG mengawasi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan minyak goreng, diantaranya mengawasi pengolahan bahan baku minyak goreng, mengawasi

20 pengapalan CPO dan produk turunannya dari pusat produksi ke pabrik minyak goreng dan mengawasi pendistribusian minyak goreng. Tabel 2.1 Lima Periode Kebijaksanaan Stabilisasi Harga CPO dan Minyak Goreng Selama Tahun 1979-1996 No. Periode Kebijaksanaan Pemerintah 1. 1979-1983 a. Digunakan instrument alokasi/jatah bagi kebutuhan dalam negeri b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan dalam negeri c. Diperlukan ijin dari Departemen Perdagangan untuk ekspor 2. 1984-1986 (Mei) a. Ditetapkan pajak ekspor CPO sebesar 37,18 persen b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan dalam negeri. c. Instrumen alokasi dan perijinan tetap dipertahankan 3. 1986 (Juni) 1991 (Mei) a. Pajak ekspor CPO diturukan menjadi 0 ( nol ) persen. b. Ditetapkan system alokasi ekspor. c. Tetap mempertahankan sistem penetapan harga CPO untuk penjualan dalam negeri. 4. 1991 (Juni) 1994 (Agustus) a. Pemerintah membebaskan perdagangan dan ekspor CPO ( Adanya keinginan agar harga ditentukan oleh kekuatan pasar ) 5. 1994 (September) a. Ditetapkan Pajak Ekspor progresif CPO dan produk olahan lainnya (bervariasi antara 40-60 persen tergantung harga FOB). Menurut Amang (199 Sumber : Amang, 1996 b. Sejak pertengahan 1995, BULOG dan PTP bekerjasama membentuk persediaan penyanggan (buffer stock) CPO c. Kerjasama BULOG dengan produsen minyak goreng ( bimoli ) melakukan operasi pasar

21 Dampak kebijakan tersebut cukup positif mengingat harga minyak goreng dapat diredam. Oleh sebab itu kenaikan harga minyak goreng baru terjadi lagi pada tahun 1992 dan kemudian pada tahun 1994 terjadi lagi gejolak kenaikan harga minyak goreng akibat dari kenaikan harga CPO di dunia. Adanya gejolak harga tersebut berusaha diatasi dengan menerapkan pajak ekspor hingga 60 % dan dibarengi dengan kebijakan alokasi CPO di pasar domestik pada tahun 1994. Kebijakan tersebut yang mendikte pasar mengakibatkan mekanisme pasar tidak berjalan. Harga CPO domestik terisolasi dari harga CPO internasional dan harga minyak goreng menjadi stabil. Pada saat ini ketika harga minyak goreng naik yang diduga akibat dari naiknya harga CPO internasional pemerintah juga mengeluarkan kebijakan dalam rangka menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik. Kebijakan yang dikeluarkan yaitu Kewajiban memasok CPO ke pengolah dalam negeri (DMO), Menaikkan Pungutan Ekspor, dan Penghapusan PPN atas minyak goreng curah dan kemasan Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng dilakukan pemerintah dengan mewajibkan produsen CPO dan minyak goreng untuk mengalokasikan produksinya pada harga tertentu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dengan harga maksimum sama dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). (Susila,2007) Kebijakan Domestik Market Obligation didasarkan pada Keputusan Menteri Pertanian No.339/Kpts/PD.300/5/2007 (Lampiran 4) yang ditetapkan pada tanggal 31 Mei 2007 tentang pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri guna stabilisasi harga minyak goreng curah. Keputusan Menteri Pertanian tersebut menetapkan bahwa pasokan

22 CPO wajib dipenuhi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merupakan anggota GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) maupun non anggota GAPKI. Dua alternatif yang ditawarkan oleh pemerintah untuk kebijakan Domestic Market Obligation minyak sawit mentah yaitu : 1. Pengusaha wajib menyediakan pasokan minyak goreng domestik sebanyak 20% yaitu 2,4 Juta Ton minyak goreng atau setara dengan 3,3 Juta ton CPO. 2. Pengusaha wajib menyediakan pasokan untuk kebutuhan minyak goreng domestik 18 % yaitu sekitar 2,15 juta ton atau setara dengan 2,96 juta ton minyak sawit mentah (CPO). Kedua alternatif kebijakan tersebut dibuat berdasarkan pada perhitungan kebutuhan minyak goreng selama setahun dan berlaku untuk produsen CPO yang mempunyai luas lahan perkebunan sedikitnya 1.000 Hektar. Mekanisme yang dibuat adalah para produsen tersebut menyerahkan minyak sawit mentah kepada pengolah untuk diolah menjadi minyak goreng. Selain DMO pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Pungutan Ekspor sebagai respon atas kenaikan harga minyak goreng. Kebijakan Pungutan Ekspor akan mengakibatkan berkurangnya volume ekspor CPO sehingga ketersediaannya di dalam negeri menjadi terjamin dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak goreng. Pemerintah Indonesia berharap dengan adanya Pungutan Ekspor atas CPO dan turunannya dapat melindungi konsumen dalam negeri, dan jika harga CPO di pasar internasional turun maka pungutan ekspor juga akan diturunkan. Dasar diberlakukannya Pungutan Ekspor adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) :

23 1. No.130/PMK 010/2005 2. No.61/PMK 011/2007 3. No.94/PMK 011/2007 4. No.09/PMK 011/2008 Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah adalah kebijakan pemberian subsidi. Jenis subsidi yang dikeluarkan ada yang diberikan kepada produsen yaitu berupa pembebasan PPN minyak goreng curah. Melalui keputusan menteri Keuangan nomor 118/PMK.011/2007 (Lampiran 5) tanggal 24 September 2007 tentang PPN Minyak Goreng Curah dalam negeri sebesar 10% ditanggung pemerintah yang mengacu pada UU Nomor 41/2007 tentang Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara, yang menetapkan bahwa PPN minyak goreng curah dan tidak bermerek ditingkat produsen Di-Tanggung-Pemerintah (DTP). Pada 4 Februari 2008 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.15/PMK.011/2008 tentang PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri.(lampiran 6). PPN yang ditanggung pemerintah pada tahun 2007 dianggarkan sebesar 300 Milyar, Sedangkan untuk minyak goreng kemasan direncanakan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun anggaran 2008 sebanyak 600 Milyar. Boediono (Menko Perekonomian) mengatakan bahwa melalui kebijakan ini produsen dan distributor akan diringankan karena sebagian biaya produksi dibayar pemerintah, sehingga diharapkan produsen dan distributor turut bertanggung jawab memastikan agar harga minyak goreng dapat turun lebih rendah dan stabil hingga akhir tahun.

24 Tabel 2.2 Dampak Positif dan Negatif Masing-Masing Pilihan Kebijakan Kebijakan Potensi Dampak Positif/Manfaat Potensi Dampak Negatif/ Masalah Pajak Ekspor Penerimaan Negara Distribusi beban antara konsumen dan produsen Mudah dilaksanakan Mendistorsi pasar internasional dan domestik Menghambat upaya peningkatan ekspor Menurunkan pendapatan industri CPO domestik Menurunkan pendapatan petani Domestik Market Obligation Efektivitas relatif lebih baik Mendistorsi pasar internasional dan domestik Menghambat upaya peningkatan ekspor Operasi Pasar Tidak mendistorsi pasar ekspor Tidak membebani industri berbasis CPO Menurunkan pendapatan industri CPO domestik Menurunkan pendapatan petani Penerimaan negara lebih rendah Membebani anggaran negara cukup besar Efektivitas rendah Tidak membebani petani Subsidi ke Industri Minyak Goreng Tidak mendistorsi pasar eskpor Tidak membebani industri berbasis CPO Membebani anggaran negara cukup besar Ekspor minyak goreng bersubsidi Tidak membebani petani Kesulitan implementasi Subsidi ke Orang Miskin Tidak mendistorsi pasar eskpor Tidak membebani industri berbasis CPO Membebani anggaran negara Pelaksanaan sering tidak tepat sasaran Tidak membebani petani Target lebih fokus sehingga beban anggaran lebih rendah Sumber : Susila, 2007

25 Ilham dan Hermanto (2007), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tujuan dari dibuatnya kebijakan harga pertanian adalah untuk mengurangi ketidakpastian usaha tani, menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Instrumen yang bisa digunakan diantaranya dengan kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Sedangkan secara tidak langsung stabilisasi harga dapat dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input yang dimaksud adalah dengan subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, pestisida dan benih. Susila (2007), telah melakukan suatu studi dengan mengilustrasikan pengenaan Pungutan Ekspor Perkebunan terhadap beberapa aspek Industri perkebunan Dengan menetapkan PE menjadi 5% sebagai skenario yang moderat, harga primer produk perkebunan di pasar domestik rata-rata menjadi 3.20% lebih rendah bila dibandingkan dengan tidak ada pajak ekspor. Namun sebagai akibatnya, harga ditingkat petani juga akan mengalami penurunan. Hal yang sama juga terjadi pada harga di tingkat produsen yang akanmengalami penurunan yang selanjutnya kan berdampak pada perluasan areal di industri hulu, penurunan produktifitas dan produksi. Selain itu gross margin (penerimaan kotor) petani akan mengalami penurunan. Berbagai penelitian kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang dibuat oleh pemerintah, Kebijakan pengenaan Pungutan Ekspor dianggap tidak berpihak pada pengusaha kelapa sawit. Jatno Sunarjo dalam penelitiannya tentang Pengaruh Pajak Ekspor terhadap Pendapatan Produsen Kelapa Sawit menyimpulkan bahwa pengaruh dari pajak ekspor ternyata menurunkan pendapatan riil marjinal pada usaha perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan pajak ekspor sebesar Rp.1.000.000 akan

26 menurunkan pendapatan riil marjinal perkebunan swasta sebesar 0,1501. Kemudian Jatno Sunarjo juga menyimpulkan bahwa ternyata proporsi dari penerimaan pajak ekspor CPO dibandingkan dengan seluruh penerimaan negara dari sektor pajak sebenarnya relatif sangat kecil. Daniel (2007), dalam p enelitiannya juga menyebutkan bahwa Kenaikan pungutan Ekspor diperkirakan akan menurunkan daya saing ekspor minyak kelapa sawit Indonesia dan dapat menyebabkan keterpurukan industri minyak kelapa sawit Indonesia. Susila (2007), dalam penelitiannya merekome ndasikan 2 kombinasi kebijakan mengingat setiap kebijakan memiliki dampak positif dan negatif. Dua kebijakan tersebut adalah (1) kebijakan yang berkaitan langsung dengan produsen dan perdagangan internasional, dan (2) kebijakan yang berkaitan dengan konsum en. Susila menyebutkannya sebagai Decoupled Policies (Kebijakan berpasangan), seperti yang diterapkan di Negara maju seperti Amerika dalam membuat kebijakan produksi yang semakin dipisahkan dengan kebijakan perdagangan. Jika kebijakan Decouple Policies disepakati maka kebijakan yang diambil adalah adalah kebijakan yang bisa bersifat jangka panjang yaitu Kombinasi kebijakan Pungutan ekspor (PE) dan Subsidi kepada Rakyat miskin. PE ditetapkan mengikuti harga CPO dan nilai tukar. Sesuai dengan tabel ilustrasi penetapan (Lampiran.11). Jika harga CPO sekitar US$ 700/ton dan nilai tukar Rp.9000/Kg, maka PE adalah sekitar 10%. Dengan asumsi bahwa harga CPO adalah sekitar 600 US$ /ton, maka pemerintah akan mendapatkan penerimaan sekitar Rp.5 Triliun. Sedangkan untuk konsumen dibutuhkan dana yang besar dan manajemen distribusi yang handal. Kebijakan yang direkomendasikan mengadopsi kebijakan Ratian Card, yaitu ketika harga minyak goreng diatas HET (Harga Eceran tertinggi) setiap penduduk miskin diberi sejenis kartu agar bisa memperoleh minyak goreng dalam

27 volume dan harga tertentu. Dengan asumsi bahwa penduduk miskin sekitar 40 juta orang, HET Rp.6500/kg, dan konsumsi per kapita 16kg/kapita/tahun,maka jumlah subsidi yang dibutuhkan tidak lebih dari Rp.1 Triliun, ini jauh lebih sedikit dari yang didapat oleh pemerintah dari hasil pungutan Ekspor.

28 2.2. Landasan Teori Suharto (1997), menyebutkan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisiten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada tindakan ( action-oriented) dan berorientasi kepada masalah (problem-oriented). Dunn (1991), menyebutkan bahwa analisis kebijakan mengkaji kebija kan yang telah berjalan, ruang lingkup serta metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat dari suatu kebijakan. Dari kajian kebijakan tersebut diharapkan dapat memperoleh kesimpulan apakah kebijakan yang telah dijalankan efektif atau tidak. Kebijakan yang diambil pemerintah dalam usaha pengendalian harga bahan pangan terutama untuk kenaikan harga minyak goreng diwujudkan dalam bentuk campur tangan pemerintah diantaranya dengan pemberian subsidi bagi pengusaha atau produsen minyak goreng yaitu dengan menghapus PPN sebesar 10 % terhadap pengusaha minyak goreng yang nantinya diharapkan bisa mengurangi sebagian biaya produksi pengusaha sehingga bisa menyalurkan minyak gorengdengan harga yang lebih murah kepada masyarakat luas. Penghapusan PPN itu sendiri diberi Cap DTP (Ditanggung Pemerintah). Walaupun pemerintah bermaksud membantu konsumen dalam memperoleh minyak goreng dengan harga murah, namun ternyata kebijakan tersebut dianggap memihak produsen. Penghapusan PPN tersebut sendiri disebut sebagai fasilitas yang diberikan pemerintah kepada Pengusaha Kena Pajak, berupa :

29 1. Penangguhan Pembayaran PPN / PPNBM, atau 2. Pajak terutang tidak dipungut, atau 3. PPN ditanggung Pemerintah. Menurut Sukarji (1999), Fasilitas tersebut diberikan kepada pengusaha dengan maksud untuk mendorong pertumbuhan bidang usaha yang bersangkutan, untuk membantu likuiditas perusahaan atau untuk meunjang program pemerintah yang menyangkut hidup orang banyak. Subsidi adalah pemberian pemerintah kepada produsen untuk mengurangi biaya produksi yang ditanggung produsen. Subsidi merupakan kebalikan atau lawan dari pajak, sering juga disebut sebagai pajak negatif. Subsidi yang diberikan atas produksi/ penjualan sesuatu barang menyebabkan harga jual barang tersebut menjadi lebih rendah. Dengan subsidi, produsen merasa ongkos produksinya menjadi lebih kecil sehingga ia bersedia menjual lebih murah kepada konsumen. Subsidi menyebabkan harga keseimbangan yang tercipta di pasar lebih rendah daripada harga keseimbangan sebelum atau tanpa subsidi, sedangkan jumlah keseimbangannya semakin bertambah. (Dumairy, 1999) Lebih lanjut Dumairy (1999), menyatakan bahwa subsidi produksi yang diberikan oleh pemerintah menyebabkan ongkos produksi yang dikeluarkan oleh produsen menjadi lebih sedikit daripada ongkos produksi yang seharusnya dikeluarkan untuk menghasilkan barang tersebut, Karena ongkos produksi yang dikeluarkan oleh produsen lebih kecil, produsen bersedia menawarkan produknya dengan harga yang lebih rendah, sehingga sebagian subsidi bisa dinikmati juga oleh konsumen. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan memberikan subsidi atas suatu barang akan membuat harga yang

30 dibayar oleh konsumen akan turun, sedangkan secara bersamaan akan meningkatkan permintaan akan barang tersebut. Tarif merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas territorial. Tarif Ekspor atau yang lebih dikenal dengan Pungutan Ekspor (PE) merupakan pajak yang dikenakan pada eksportir unt uk suatu komoditi yang di ekspor. (Salvatore, 1997). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pungutan ekspor Atas Barang Ekspor Tertentu, Pungutan ekspor dimaksudkan untuk mendukung pelestarian sumber daya alam dan menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku bagi industri dalam negeri. Dalam menetapkan Harga Patokan ekspor untuk komoditi ekspor CPO dan produk turunannya digunakan harga rata-rata bursa Rotterdam dan Kuala Lumpur dalam satu bulan sebelum penetapan Harga Pungutan Ekspor. Pasokan CPO tersebut untuk bulan Mei 2007 sebesar 97.525 (Sembilan Puluh Tujuh Ribu Lima Ratus Dua Lima) ton dan bulan Juni 2007 sebesar 102.800 (Seratus Dua Ribu Delapan Ratus) ton untuk dikirim ke pabrik minyak goreng anggota Assosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dan atau Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) untuk diolah menjadi Olein ( Minyak goreng) dengan ratio 1 (satu) kilogram CPO menjadi 1(satu) kilogram Minyak goreng.

31 Kerangka Pemikiran Pada pertengahan 2007 dengan terjadinya kenaikan harga minyak goreng, pemerintah berusaha menstabilkan harga minyak goreng yang sempat mencapai harga di atas Rp.10.000, (Juni 2007). Pemerintah mengeluarkan 3 kebijakan utama sebagai respon atas kenaikan harga tersebut yaitu pengahapusan PPN sebesar 10 %yang seharusnya menjadi beban produsen dan distributor, dinaikkannya Pungutan Ekspor (PE) minyak sawit secara progresif mengikuti harga CPO internasional, dan kebijakan terakhir adalah dengan mengharuskan setiap pengusaha memasok produksi minyak sawitnya ke pasaran domestik, yang disebut sebagai Domestic Market Obligation (DMO). Semua kebijakan yang dikeluarkan dianggap pemerintah akan mampu menurunkan harga minyak goreng domestik dan menjaga pasokan minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng di dalam negeri. Secara garis besar banyak kalangan menilai semua kebijakan tersebut tidak efektif karena hanya bersifat jangka pendek dan berpihak pada sebagian kalangan. Namun pemerintah tetap menjalankan kebijakan tersebut dengan alasan bahwa kebijakan dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng merupakan hal yang penting bagi masyarakat dan bagi perekonomian secara keseluruhan. Jika kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dinilai efektif maka akan mampu membuat harga minyak goreng turun menjadi harga semula dan stabil. Namun jika tidak maka pemerintah seharusnya mencari lagi kebijakan lain (kebijakan alternatif) yang bisa dengan efektif menurunkan harga minyak goreng dan bukan hanya untuk jangka pendek namun juga untuk jangka panjang.

32 Dalam penelitian ini kebijakan pemerintah sebagai suatu instrumen penstabil harga akan dinilai keefektifannya dalam menurunkan harga minyak goreng dan melihat kebijakan mana yang paling efektif untuk menurunkan harga minyak goreng. Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 2.1 Kenaikan Harga Minyak Goreng Kebijakan Pemerintah Penghapusan PPN Pungutan ekspor Domestic Market Obligation Efektif Tidak Efektif Penurunan dan Kebijakan stabilitas harga Alternatif Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

33 Hipotesis Penelitian 1. Kebijakan Pungutan Ekspor tidak berpengaruh kepada harga minyak goreng curah. 2. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) tidak berpengaruh kepada harga minyak goreng curah. 3. Harga CPO Domestik berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah.