BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut : 1. Proses experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Kulon Progo mengikuti tahapan experiencing (mengalami), publishing (memberitahukan), processing (pengolahan), generalizing (generalisasi), dan applying (menerapkan). Hal ini dapat dilihat dari praktek langsung yang dilakukan oleh anggota KW T dalam budidaya tanaman, ternak, ikan, dan pengolahan menu B2SA. Selanjutnya anggota KWT melakukan sharing, terlihat ketika mereka saling berbagi pengalaman dalam penanaman sayuran pada saat musim hujan yang banyak serangan hama penyakit sehingga hasilnya tidak baik. Kemudian mereka melakukan tahapan processing dengan berdiskusi tentang kekurangan dan kelebihan dari apa yang telah dilakukan. Selanjutnya mereka melakukan tahapan generalizing dengan menarik dugaan tentang fakta dilapangan, dalam tahapan ini anggota KW T menemukan akar permasalahannya adalah kelebihan air pada tanaman, kemudian mereka menduga bahwa dengan cara membuat naungan atau pelindung bagi tanaman akan mengurangi kelebihan air. Berikutnya anggota KWT melakukan tahapan applying yaitu merencanakan cara tersebut untuk diterapkan sebagai tindakan dalam 174
175 menangani masalah. Mereka mempersiapkan segala hal yang dapat digunakan untuk mendukung tindakan tersebut. 2. Hasil proses experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Kulon Progo adalah bahwa : a. Pengetahuan anggota KW T berada dalam kategori sedang yaitu sebanyak 97 orang (80,8 persen), artinya anggota KWT telah cukup mengetahui tentang kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. Hal ini disebabkan karena pengenalan fakta, istilah, dan prinsip kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan pada pertemuan kelompok dilakukan dalam waktu yang singkat dan selebihnya digunakan untuk praktek, sharing, dan diskusi tentang pengalaman dan permasalahan yang sedang terjadi. Hasil uji proporsi diperoleh nilai Z hitung sebesar 2,921 lebih besar dari nilai Z Tabel yaitu 1,645, artinya sebagian besar anggota KWT mempunyai pengetahuan yang baik setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. b. Sikap anggota KWT berada dalam kategori ragu-ragu yaitu sebanyak 67 orang (55,8 persen), artinya anggota KWT ragu-ragu untuk mengikuti semua kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. Hal ini dikarenakan anggota KWT masih ragu dengan kemampuannya dan waktu luang yang dimilikinya untuk dapat melakukan kegiatan optimalisasi pekarangan. Hasil uji proporsi diperoleh nilai Z hitung
176 sebesar 8,223 lebih besar dari nilai Z Tabel yaitu 1,645, artinya sebagian besar anggota KWT mempunyai sikap yang positif setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. c. Keterampilan anggota KWT berada dalam kategori sedang yaitu sebanyak 104 orang (86,7 persen), artinya bahwa anggota KWT telah cukup mampu melakukan berbagai kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL seperti budidaya sayuran, buah, umbi, ternak dan ikan mulai dari persiapan hingga pengolahan pasca panen, serta pembuatan dan penggunaan pestisida nabati dan juga pupuk organik. Hal ini dikarenakan sharing pengalaman yang dilakukan oleh anggota KWT dalam pertemuan kelom pok kurang terorganisir. Hasil uji proporsi diperoleh nilai Z hitung sebesar -4,382 lebih kecil dari nilai Z Tabel yaitu 1,645, artinya sebagian kecil anggota KWT mempunyai keterampilan yang baik setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. d. Perilaku anggota KWT berada dalam kategori kadang-kadang yaitu sebanyak 98 orang (81,7 persen), artinya anggota KWT kadang-kadang melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. Hal ini dikarenakan anggota KWT harus membagi waktu untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, bekerja di luar rumah, serta melakukan kegiatan di demplot, kebun bibit, dan pekarangan masing-masing. Anggota KWT juga berpendapat bahwa melakukan berbagai budidaya seperti
177 tanaman sayuran bukanlah hal mudah, karena untuk persiapan dan pemeliharaann membutuhkan waktu lebih. Hasil uji proporsi diperoleh nilai Z hitung sebesar 0,730 lebih kecil dari nilai Z Tabel yaitu 1,645, artinya sebagian kecil anggota KW T mempunyai perilaku yang baik setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. 3. Faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku anggota KWT dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL adalah: a. Motivasi anggota KWT berada dalam kategori ingin yaitu sebanyak 71 orang (59,2 persen), artinya anggota KWT memiliki dorongan yang kuat dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Akan tetapi dorongan yang kuat ini belum didukung dengan ketersediaan alat pengolahan hasil pekarangan seperti alat penepung. Beberapa daerah pada saat musim kemarau juga masih mengalami kekurangan air untuk pengembangan budidaya di pekarangan masing-masing. b. Konsep diri anggota KWT berada dalam kategori ragu-ragu, yaitu sebanyak 102 orang (85 persen, artinya anggota KWT memiliki konsep diri yang ragu-ragu dalam mengikuti kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan karena kurangnya rasa percaya diri akan sesuatu yang telah dimilikinya untuk digunakan dalam optimalisasi pekarangan. c. Luas lahan pekarangan yang dimiliki oleh anggota KW T adalah sempit (25-116,7 m 2 ) yaitu sebanyak 111 orang (92,5 persen), artinya bahwa
178 dengan luas lahan tersebut anggota KWT telah berusaha memanfaatkannya guna melakukan budidaya tanaman, ikan, dan ternak. d. Peran pendamping termasuk dalam kategori kadang-kadang yaitu sebanyak 97 orang (80,8 persen), artinya bahwa pendamping memberikan pendampingan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan, karena menurut anggota KWT tidak semua kegiatan harus didampingi. 4. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap perilaku anggota KWT setelah mengikuti experiential learning yang dilakukan oleh anggota KWT dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Kulon Progo adalah : a. Keterampilan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 dan nilai t hitung sebesar 3,945, artinya semakin tinggi keterampilan yang dimiliki anggota KWT, maka perilakunya dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL akan semakin baik. b. Motivasi dengan nilai signifikansi sebesar 0,082 dan nilai t hitung sebesar 1,752, artinya semakin tinggi motivasi yang dimiliki anggota KWT, maka perilakunya dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL akan semakin baik. c. Konsep diri dengan nilai signifikansi sebesar 0,002 dan nilai t hitung sebesar 3,221, artinya semakin tinggi konsep diri yang dimiliki anggota KWT, maka perilakunya dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL akan semakin baik.
179 d. Luas lahan pekarangan dengan nilai signifikansi sebesar 0,001 dan nilai t hitung sebesar 3,267, artinya semakin luas lahan pekarangan yang dimiliki anggota KWT, maka perilakunya dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL akan semakin baik. e. Peran pendamping dengan nilai signifikansi sebesar 0,013 dan nilai t hitung sebesar 2,523, artinya semakin tinggi peran pendamping, maka perilaku anggota KWT dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL akan semakin baik. 5. Dampak yang dirasakan anggota KWT setelah mengikuti experiential learning dalam optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Kulon Progo dapat dilihat dari : a. Segi ekologi, yaitu anggota KW T telah merasakan bahwa wilayah tempat tinggalnya menjadi ramah lingkungan, meskipun kegiatan yang dilakukan belum maksimal. Hal ini dikarenakan anggota telah mendaur ulang limbah sebagai media pembibitan, memanfaatkan sisa kotoran ternak untuk pembuatan pupuk organik, dan memanfaatkan tanaman dilingkungan sekitar untuk membuat pestisida nabati. b. Segi ekonomi, yaitu anggota KWT telah merasakan bahwa kegiatan optimalisasi pekarangan dapat sedikit mengurangi pengeluaran harian dan menambah pendapatan rumah tangga. Hal ini dikarenakan keperluan konsumsi rumah tangga dapat diperoleh dari pekarangan sendiri dan hasil
180 pekarangan juga dapat dijual baik secara mentah maupun telah diolah sehingga menjadi barang yang memiliki nilai lebih tinggi. c. Segi sosial, yaitu anggota KWT telah merasakan bahwa kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dapat mempererat hubungan atau interaksi baik antar anggota keluarga, anggota KWT, maupun masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan adanya keterlibatan anggota keluarga yang ikut dalam pemanfaatan pekarangan rumahnya, keterlibatan anggota KWT dan masyarakat sekitar dalam persiapan demplot dan kebun bibit kelompok/desa, serta masyarakat sekitar dapat menerima kegiatan optimalisasi pekarangan dengan baik. 8.2. Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan serta kesimpulan tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa saran dalam penelitian ini, sebagai berikut: 8.2.1. Bagi Kebijakan Pemerintah 1. Motivasi anggota KWT berada dalam kategori ingin atau anggota KW T memiliki dorongan yang kuat dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan berpengaruh terhadap perilakunya. Namun, perilaku anggota KWT dalam optimalisasi pekarangan masih berada dalam kategori kadang-kadang. Oleh karena itu, perlu kebijakan pemerintah dalam pengadaan infrastruktur pendukung, seperti alat pengolahan hasil pekarangan, bantuan pemasaran hasil, dan irigasi lahan pekarangan, sehingga akan mendukung kegiatan yang tengah dijalankan. Hal ini mengingat bahwa motivasi anggota KWT terkait
181 dengan keinginan memperoleh bantuan sarana atau modal dan juga teknologi baru untuk mengembangkan olahan pangan sangat tinggi. Dengan demikian, anggota KWT dapat mengembangkan usaha olahan pangan sehingga akan lebih membantu perekonomian keluarga. 2. Dampak yang dirasakan anggota KWT dari segi ekologi terbukti membawa pengaruh positif bagi kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat pada pengolahan limbah rumah tangga yang telah dilakukan secara sederhana oleh anggota KWT. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan pemerintah mengenai pembentukan unit pengolahan lim bah rumah tangga baik sampah organik maupun anorgan ik, sehingga akan membantu mengurangi pencemaran lingkungan. 3. Dampak yang dirasakan anggota KWT dari segi ekonom i terbukti bahwa dengan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL, mereka dapat menjual hasil pekarangan baik dalam bentuk mentah maupun olahan sehingga dapat menambah pemasukan keluarga. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan pemerintah mengenai pembentukan koperasi Kelompok Wanita Tani untuk membantu memperlancar pemasaran hasil olahan pangan dari pekarangan, sehingga akan meningkatkan pendapatan anggota KWT.
182 8.2.2. Bagi Penyuluh 1. Keterampilan anggota KWT dalam menyelesaikan penanaman berbagai macam sayuran dan buah-buahan dengan waktu yang singkat masih berada pada tingkat rendah atau tidak mampu. Oleh karena itu, pendamping harus lebih memperhatikan praktek yang dilakukan oleh anggota KWT sehingga akan membantu meningkatkan kemampuan nya dalam hal komponen kecepatan. 2. Motivasi anggota KWT dalam hal keinginannya agar pendapat atau ide - ide yang dikemukakan di tengah kelompok selalu diperhatikan masih berada pada tingkat ragu-ragu. Oleh karena itu, pendamping harus memberikan dorongan atau semangat agar semua anggota KWT lebih berani dalam mengungkapkan pendapat dan idenya, sehingga akan tercipta suasana yang partisipatif dan mampu mencari solusi permasalahan sendiri. 3. Konsep diri anggota KWT terkait dengan pernyataan bahwa anggota KWT memiliki cara berpikir yang baik dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan masih berada pada tingkat raguragu. Oleh karena itu, pendamping harus memupuk rasa percaya diri anggota KWT dalam menilai dirinya sendiri sehingga mereka yakin akan segala sesuatu yang dimilikinya dapat digunakan dalam kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. 4. Peran pendamping dalam hal mengajak semua anggota KWT secara bersama-sama agar ikut terlibat pada kegiatan yang dilakukan di
183 demplot maupun kebun bibit masih berada dalam tingkat jarang. Oleh karena itu, pendamping harus lebih menggerakkan partisipasi anggota KWT dengan cara mengajak mereka agar terlibat dalam setiap kegiatan sehingga keikutsertaan tidak hanya berasal dari kemauan diri sendiri tetapi juga ada dorongan atau ajakan pihak luar. Dengan demikian, anggota KWT akan lebih rajin dalam m elakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan. Secara keseluruhan, disarankan bahwa perlu adanya peningkatan peran pendamping sebagai edukator, analisator, konsultan, dan organisator dengan menambah intensitas pertemuan atau mengoptimalkan kegiatan pertemuan yang telah berlangsung sehingga anggota KW T akan berperilaku lebih baik dalam melakukan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL. 5. Luas lahan pekarangan yang dimiliki oleh anggota KW T berada dalam kategori sempit, oleh karena itu pendamping harus membantu memberikan arahan dan solusi terkait model budidaya yang dilakukan oleh anggota KW T, misalnya budidaya tanaman dilakukan secara vertikultur seperti model gantung, tempel, tegak, dan rak dengan menggunakan pot/polibag sehingga akan meminimalkan penggunaan lahan dan memaksimalkan produksi. 6. Metode experiential learning atau belajar berdasarkan pengalaman, harus tetap melibatkan pendamping. Oleh karena itu, pendamping harus lebih rajin dalam menghadiri setiap pertemuan yang dilakukan
184 kelompok sehingga perilaku anggota dalam melakukan optimalisasi pekarangan melalui konsep KRPL akan semakin baik. 7. Dampak yang dirasakan anggota KWT dari segi ekonom i terbukti memberikan pengaruh positif yaitu mampu mengurangi pengeluaran untuk konsumsi pangan harian. Oleh karena itu, pendamping diharapkan lebih memperhatikan aspek kebutuhan pangan keluarga dan potensi apa saja yang dapat dikembangkan agar pengeluaran konsumsi pangan untuk keluarga semakin berkurang.