TINJAUAN PUSTAKA. 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI

MEKANISME DAN PROTAP PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB KERACUNAN PANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. utama di daerah perkotaan ( Media Aeculapius, 2007 ). Menurut American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto (2007),

OVERVIEW KLB KERACUNAN PANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

KLB KERACUNAN PANGAN

STRUKTUR ORGANISASI, TUGAS, dan FUNGSI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia.

BAB 1 : PENDAHULUAN. aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan lain yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menunjang

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda-benda yang

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

I. PENDAHULUAN. terkontaminasi baik secara bakteriologis, kimiawi maupun fisik, agar

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. keamanan makanan serta efektivitas dalam proses produksi menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. prasarana kesehatan saja, namun juga dipengaruhi faktor ekonomi,

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Diare adalah penyebab kematian yang kedua pada anak balita setelah

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. merupakan media untuk dapat berkembang biaknya mikroba atau kuman.

OPERASI PANGEA VIII TAHUN 2015 BERANTAS PEREDARAN ONLINE PRODUK OBAT ILEGAL. Roy Sparringa Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN

BAB 1 : PENDAHULUAN. orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai

BAB I PENDAHULUAN. mikroba patogen. Pangan juga dapat menimbulkan masalah serius jika

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam makanan. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering

BAB 1 : PENDAHULUAN. disebut penyakit bawaan makanan (foodborned diseases). WHO (2006)

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia (Sumantri, 2010).

Indeks Harga Konsumen di 66 Kota (2007=100),

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan morbiditas dan

KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILAN KEAMANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini. Setiap penyedia jasa penyelanggara makanan seperti rumah

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG

LIST PENGADILAN TINGGI YANG SUDAH KIRIM SOSIALISASI ( PER TANGGAL 31 JANUARI 2017 JAM 14:10)

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh kali sehari, ada yang sehari 2-3 kali sehari atau ada yang hanya 2

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR

sebagai vector/ agen penyakit yang ditularkan melalui makanan (food and milk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 telah. kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengawasan makanan dan minuman,

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

Palembang Zuhri, Tangerang Christiyanto, 2002

BAB I PENDAHULUAN. disebut molekul. Setiap tetes air yang terkandung di dalamnya bermilyar-milyar

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004).

PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL SOSIALISASI SIWAS DARI PENGADILAN TINGGI ( PER TANGGAL 31 JANUARI 2017 JAM 16:00 WIB FIX)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Rancangan sistem..., Putih Sujatmiko, FKM UI, 2009

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bersih. 4 Penyakit yang menonjol terkait dengan penyediaan makanan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

1. Tujuan kontak dengan ULPK BPOM yang sering dilakukan sebagian besar. 1. Penyelenggaraan Evaluasi Kepuasan Konsumen

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

Analisa Mikroorganisme

BAB I PENDAHULUAN. untuk dikonsumsi. Maka dari itu, dalam hal ini higienitas sangat berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

Food-borne Outbreak. Saptawati Bardosono

PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL SOSIALISASI SIWAS DARI PENGADILAN TINGGI ( PER TANGGAL 1 FEBRUARI 2017)

KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN)

BAB I PENDAHULUAN. yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan terhadap beberapa penyakit yang terjadi di Kota Yogyakarta

KEAMANAN PANGAN UNTUK INDONESIA SEHAT. keterkaitannya dengan penyakit akibat pangan di mana masalah keamanan pangan di suatu

PROGRAM SURVEILAN KESEGARAN IKAN, RESIDU DAN BAHAN BERBAHAYA TA. 2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

Transkripsi:

III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bogor terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas sekitar 3,440.71 km 2. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara 6.19 0-6.47 0 LS dan 106 0-107 0 BT. Perbatasan wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Depok, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, sebelah timur Kabupaten Karawang, sebelah timur daya berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 139 pedesaan, dimana jumlah tersebut adalah hasil pemekaran 5 kecamatan di tahun 2005 (BPS, 2011). Kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran Kecamatan Bojong Gede), dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea). Jumlah penduduk pada tahun 2011 adalah 4,966,621 jiwa yang terdiri dari 2,573,929 jiwa laki-laki dan 2,392,692 jiwa perempuan (BPS, 2012). Setiap tahun rata-rata penduduk Kabupaten Bogor bertambah 3.16 % atau meningkat hingga 140 ribu jiwa. Di Kabupaten Bogor terdapat 104 unit puskesmas. Peta wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Peta Kabupaten Bogor Jumlah KLB keracunan pangan berdasarkan laporan Balai Besar/ BPOM RI yang terbesar (2001-2011) adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 15.52 %. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mengenai kasus KLB keracunan pangan yang terjadi pada tahun 2007-2011 dapat dilihat bahwa terdapat 23 KLB keracunan pangan di tempat yang berbeda. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor tahun 2007-2011 Tahun Jumlah Penderita Jumlah Kematian CFR (%) 2007 114 0 0 2008 635 0 0 2009 379 0 0 2010 379 0 0 2011 207 0 0 Lokasi - Desa Cisalada Kecamatan Cigombong (acara syukuran) - Desa Kemuning Kecamatan Bojong gede (SDN Kedung Waringin IV) - Desa Puraseda Kecamatan Leuwiliang (Mts. Al Fallahiyah) - PT. Lutfin Indonesia Desa Cijujung Kecamatan Sukaraja - Desa Wirajaya Kecamatan Jasinga - Desa Karang Asem Barat Kecamatan Citeurup - Desa Sukaraja Kecamatan Sukaraja - Desa Kotamekar Kecamatan Cariu - Desa Tegal Kecamatan Kemang - PT. Indo Karo Kecamatan Cibinong - PT. Natra Raya Desa. Pasir Angin Kecamatan Cileungsi - Desa Ciomas Kecamatan Ciomas - Kp. Cijulang Ds Kopo Kecamatan Cisarua - Desa Bunar Kecamatan Cigudeg - Desa Leuwiliang Kecamatan Citeureup - Desa Cinagara, Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin - Desa Tanjung sari, Desa Cibadak Kecamatan Tanjung sari - Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang - Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur - Desa Tapos II Kecamatan Tenjolaya - Desa Puraseda, Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang - Desa Cibatuga, Kecamatan Cariu SDN Kp Sawah II Kecamatan Rumpin - Desa Kutamekar, Cikutamahi dan Cibatu 3, Kecamatan Cariu - Desa Pasil Laja Kecamatan Sukaraja Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011) Keterangan: CFR (case fatality rate) : Angka kematian kasus yang diperoleh dari hasil pembagian antara jumlah kematian dengan jumlah penderita. 10

3.2 Keamanan Pangan Pangan mempunyai arti yang luas. Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ada 4 masalah utama keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2001), yaitu: (i) pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan; (ii) kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya; (iii) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan; serta (iv) masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan. Keamanan pangan (food safety) merupakan unsur penting ketahanan pangan (food security) yang tidak boleh diabaikan begitu saja dengan alasan apapun (Sulaeman dan Syarief, 2007). Dalam UU No 7 tahun 1996, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian keamanan pangan merupakan hak dan sekaligus kewajiban azasi manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh suatu pemerintahan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Keamanan pangan bukan hanya melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya kesehatan, tetapi juga mendorong tercapainya perekonomian yang lebih baik karena nilai ekonomis pangan aman yang dihasilkan. Pencapaian keamanan pangan bukan hal yang mudah yang secara instan dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun harus diupayakan secara terus menerus (Rahayu dan Nababan, 2011). Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain adalah: 1. Pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2. Kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3. Terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap mutu dan keamanan pangan; dan 4. Rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan, 2011). Masalah keamanan pangan yang masih saja terjadi di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan tambahan ilegal, dan penggunaan tambahan pangan (BTP) melebihi batas yang diijinkan. Masalah keamanan pangan dapat terjadi disepanjang rantai pangan dan disebabkan karena ketidaktahuan produsen terutama produsen skala kecil terhadap bahaya keamanan pangan, ketidakpedulian produsen dan juga ketidaksadaran konsumen untuk memilih pangan yang aman, selain itu juga karena tindak lanjut pengawasan yang dilakukan instansi pemerintah belum memberikan efek jera (Rahayu, 2007). 11

3.3 Keracunan Pangan Salah satu dampak dari pangan yang tidak aman adalah timbulnya penyakit akibat makanan yang dikenal dengan foodborne disease atau kadang disebut kasus keracunan pangan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Penyakit akibat pangan (foodborne disease) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2000). Secara global terjadi 1.8 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat (WHO, 2007). Makanan yang sudah terlanjur tertelan sulit kembali lagi, artinya apabila makanan tersebut memiliki nilai gizi dan daya cerna yang tinggi maka proses pencernaan akan berlangsung normal, sebaliknya bila makanan tersebut sudah dicemari dan mengandung racun, maka akan terjadi gangguan pencernaan dan akibatnya bisa fatal (Winarno, 2004b). Bila ditinjau dari jenis bahayanya, maka pangan yang tercemar secara fisik, biologis, dan kimia dapat membahayakan kesehatan. Bila ditinjau dari prosesnya, keracunan dapat berasal dari bahan baku, proses penanganan, penyiapan, saat penyajiannya (Rahayu, 2011). Terjadinya keracunan pangan dari salah satu anggota keluarga di rumah akan menyebabkan keresahan dan kepanikan. Apalagi jika keracunan pangan tersebut terjadi pada sebagian besar atau seluruh anggota keluarga. Dari berbagai jenis kasus terjadinya keracunan, sebagian besar disebabkan karena ketidaktahuan terhadap penyebab awal bagaimana keracunan pangan itu dapat terjadi (Winarno, 2004a). 3.4 Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 (Menkes, 2004), kejadian luar biasa atau dikenal dengan istilah outbreak adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Selain itu KLB sering diartikan sebagai suatu fenomena yang berbeda dari biasanya atau menyimpang dari keadaan normal. Contohnya, demam berdarah merupakan penyakit yang selalu muncul setiap tahun. Akan tetapi, pada Januari-Mei 2004 terjadi peningkatan frekuensi kejadian demam berdarah di beberapa wilayah di Indonesia yang menelan ratusan korban, baik sakit ataupun meninggal. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan demam berdarah sebagai suatu KLB. Banyak jenis lain KLB yang dikenal seperti KLB diare, KLB malaria, KLB keracunan pangan, dan lain-lain. KLB keracunan pangan yang disebabkan oleh mikroba patogen yang mengakibatkan gangguan kesehatan yang akut, yang disebut gastroenteritis, biasanya karena mengonsumsi pangan yang terkontaminasi bakteri patogen atau racun yang diproduksinya (Winarno, 2007). Ada beberapa kriteria kerja KLB yaitu timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturutturut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu), peningkatan kejadian penyakit atau kematian 2 kali atau lebih dibanding dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun), jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya, angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya (Sutarman, 2008). Menurut WHO (2007) diacu dalam Peraturan Kepala BPOM (2009), KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala 12

yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Berdasarkan data BPOM (2012) menunjukkan bahwa jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan pada tahun 2001-2011 sebanyak 1392 kejadian di 30 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 407 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 216 kejadian (15.52 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM Tahun 2001 2011 Balai total % Banda Aceh 45 3.23 Pekanbaru 31 2.23 Jambi 57 4.09 Palembang 27 1.94 Medan 17 1.22 Padang 73 5.24 Lampung 40 2.87 Bengkulu 39 2.80 Jakarta 55 3.95 Bandung 216 15.52 Semarang 143 10.27 Yogyakarta 101 7.26 Surabaya 64 4.60 Denpasar 83 5.96 Kendari 35 2.51 Makasar 80 5.75 Manado 20 1.44 Palu 7 0.50 Pontianak 37 2.66 Palangkaraya 30 2.16 Samarinda 31 2.23 Kupang 42 3.02 Mataram 48 3.45 Banjarmasin 28 2.01 Ambon 19 1.36 Jayapura 12 0.86 Gorontalo 3 0.22 Banten 5 0.36 Batam 3 0.22 Pangkal Pinang 1 0.07 Total 1392 100.00 Sumber: BPOM (2012) Selain itu, jika ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan pangan paling besar berasal dari masakan rumah tangga sebesar 44.54 % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan higiene pengolahan pangan dalam rumah tangga masih cukup rendah. 13

Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 2011 Jenis Pangan Total % Masakan rumah tangga 620 44.54 Pangan Olahan 221 15.88 Pangan Jasa Boga 301 21.62 Pangan Jajanan 202 14.51 Lain-lain 23 1.65 Tidak dilaporkan 25 1.80 Total 1392 100.00 Sumber: BPOM (2012) Ada beberapa agen penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan laporan BPOM (2012), yaitu mikroba, kimia, dan tidak diketahui. Sebesar 57.60 % penyebab KLB tidak diketahui (Tabel 4). Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 2011 Penyebab Total % Mikroba 275 19.76 Kimia 176 12.64 Tidak diketahui 941 67.60 Total 1392 100.00 Sumber: BPOM (2012) Berdasarkan jenis penyebabnya, KLB keracunan pangan dapat dibagi menjadi 2, yaitu keracunan pangan karena infeksi dan intoksikasi. Keracunan pangan karena infeksi disebabkan karena masuknya kuman penyakit (mikroorganisme patogen) ke dalam tubuh bersama pangan, sehingga menimbulkan reaksi tubuh terhadap kuman tersebut (Imari, 2002) Contohnya: V. parahaemolyticus, Salmonella, E. coli pathogen dan C. perfringen tergolong dalam jenis infeksi (Winarno, 2007). Keracunan pangan intoksikasi disebabkan karena memakan bahan beracun yang terdapat pada jaringan tumbuh-tumbuhan atau hewan, yang diproduksi oleh kuman (virus, bakteri, parasit) atau terpapar racun lain yang sengaja atau tidak sengaja terdapat dalam pangan atau sumber pencemar lain (Imari, 2002). Contohnya: keracunan pangan oleh Staphylococcus dan C.botulinum (Winarno, 2007). Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, kita diharapkan mengonsumi makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna mampu mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas (Yuliarti, 2007). Menurut Jenie dan Rahayu (2002), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan pelaporan kejadian keracunan pangan di dunia diduga disebabkan oleh kombinasi faktor berikut : 1. Perubahan dalam praktik pertanian, seperti pertanian intensif, dimana praktek pembudidayaan dan peternakan menyebabkan penyebaran yang cepat patogen manusia dan hewan melalui ternak dan unggas di berbagai negara. Contoh-contoh penyebaran tersebut adalah Salmonella enteritidis PT4 dalam unggas dan S. typhimurium DT 104 dalam sapi. 2. Integrasi vertikal proses produksi hewan dan praktek terkait, misalnya daur ulang produk limbah rumah potong hewan kembali ke dalam rantai pangan hewan, melalui pakan ternak, yang mengakibatkan menumpuknya agen-agen seperti salmonella dalam unggas dan prion penyebab BSE (bovine spongiform encephalopathy) dalam ternak sapi. 3. Perubahan gaya hidup, seperti lebih banyaknya orang yang melakukan perjalanan ke negaranegara dimana standar higiene-nya lebih rendah dari negara asalnya, sehingga terpapar dengan mikroba dimana mereka tidak mempunyai kekebalan (imunitas) terhadap mikroba tersebut. 14

4. Perubahan demografi, yang menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada kelompok populasi seperti bayi dan anak-anak, orang tua, orang sakit, dan orang dengan kekebalan terbatas (immunocompromised). 5. Malnutrisi di negara dunia ketiga, menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit. Situasi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang mengungsi ke daerah lain dan terpapar dengan kondisi ekstrim, yang mempercepat penyebaran penyakit asal pangan dan air seperti kolera dan disentri. 6. Globalisasi suplai pangan dunia, yang memperpanjang rantai suplai (lebih banyak orang dan prosedur penanganan pangan yang terlibat dalam peningkatan risiko potensial). Peningkatan perdagangan dunia dalam bidang pangan dan bahan baku pangan merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian pula. Contoh produk mentah yang menimbulkan penyakit adalah selada yang dieksport dari Spanyol ke Norwegia, Swedia dan Inggris menyebabkan disentri basiler. Faktor-faktor lain yang dinyatakan sebagai penyebab meningkatnya insiden penyakit asal pangan termasuk pemanasan global (global warming), berkurangnya penggunaan aditif, seperti nitrit, pada makanan yang diawetkan, serta meningkatnya pemasaran pangan yang sedikit diawetkan, pengolahan kurang, seperti daging masak dingin yang dikemas dengan atmosfir termodifikasi serta pangan yang sedikit dipanaskan dan dikemas dengan proses sous vide cuisine. 3.5 KLB Keracunan Pangan di Indonesia Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), kuantitas laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih tergolong rendah, dan umumnya tidak menyertakan penyebabnya, sehingga besaran masalah KLB keracunan pangan tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, dampak masalah kesehatan dan ekonomi biasanya cenderung terabaikan, ditambah lagi koordinasi antar lembaga yang masih lemah serta belum jelasnya mekanisme penyidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan ikut memperparah kondisi ini. Umumnya, penyebab tidak ditemukannya agen penyebab KLB keracunan pangan dapat dikarenakan oleh tidak adanya sampel, atau keterbatasan akses ke laboratorium rujukan. Oleh karena itu, perlu ditinjau atau diteliti bagaimana penanganan sampel penyebab KLB keracunan pangan di puskesmas sebagai Unit Pelayanan Terpadu kesehatan yang dekat dengan masyarakat (Sparringa dan Rahayu, 2011b). Pada dasarnya, program penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dijabarkan menjadi tiga bagian, yaitu melalui kegiatan kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kegiatan kajian risiko yang perlu dilakukan antara lain meningkatkan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan mengkaji penyebabnya di laboratorium. Kegiatan manajemen risiko dilakukan dengan cara melakukan pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan, pilot project KLB keracunan pangan, pelatihan SDM penanggulangan KLB keracunan pangan, pengembangan Jejaring Intelijen Pangan (JIP), dan membentuk pusat kewaspadaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan. Sedangkan dalam komunikasi risiko yang perlu dilakukan adalah kegiatan informasi pencegahan KLB keracunan pangan yang lebih intensif (Sparringa dan Rahayu, 2011a). Peningkatan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan pengkajian penyebab dapat dilakukan dengan pengumpulan data KLB keracunan pangan secara proaktif, penggunaan informasi epidemiologi untuk pengolahan data KLB keracunan pangan, pengkajian laporan yang masuk dan memberi umpan balik, melakukan penguatan kapasitas laboratorium dan secara berkala menginformasikan data-data tersebut. Selama ini, data KLB keracunan pangan telah diinformasikan kepada publik melalui laporan tahunan BPOM RI (Sparringa dan Rahayu, 2011a). 15

Upaya pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan yang terdiri dari penyempurnaan draf mekanisme dan SOP, pembuatan surat keputusan untuk pelaksanaannya, desain kontainer untuk sampling KLB keracunan pangan, dan penyiapan modul sampling, semuanya telah dilakukan. Petugas Balai Besar POM dan Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota pun telah dilatih agar mempunyai kompetensi yang memadai dalam melakukan penelusuran KLB keracunan pangan (Sparringa dan Rahayu, 2011a). 3.6 Permasalahan Dalam Penanganan KLB Keracunan Pangan Menurut Sparringa dan Rahayu (2011b), ada beberapa kendala yang ditemui dalam penanganan KLB keracunan pangan, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Sampel yang diduga sebagai penyebab keracunan sering terlambat atau tidak dapat diperoleh, sehingga tidak dapat dilakukan analisis penyebab keracunan. 2. Koordinasi dan kerjasama dengan lembaga terkait setempat belum optimal, terutama dengan dihapusnya lembaga Kanwil sebagai penanggung jawab Tim Penanggulangan Keracunan Pangan di provinsi. 3. Terbatasnya kemampuan karyawan dalam bidang epidemiologi dan laboratorium khususnya mikrobiologi. 4. Akses yang terbatas terhadap laboratorium rujukan yang memadai dalam identifikasi patogen atau bahan berbahaya penyebab keracunan pangan. 5. Seringkali instansi mendapat sampel dari pihak lain yang umumnya tidak mengetahui syarat metode sampling yang benar. 6. Dana untuk investigasi kurang memadai. 7. Prosedur pelaporan maupun penanganan keracunan pangan yang belum dipahami sepenuhnya oleh petugas lapangan. 8. Ketidakjelasan mekanisme dan kewenangan dalam investigasi dan penanggulangannya. Masalah utama di atas sebenarnya disebabkan oleh belum mantapnya manajemen investigasi KLB keracunan pangan di Indonesia, tidak adanya pedoman investigasi beserta standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap (protap) yang bisa dirujuk oleh lembaga terkait, khususnya pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama investigasi KLB keracunan pangan. 3.7 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan Pemerintah telah berupaya untuk menangani KLB keracunan pangan, diantaranya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.00.SJ.SE.D.0147 pada tanggal 29 Januari 1999 tentang Prosedur Tetap Penanggulangan Terpadu KLB Keracunan Makanan. Surat edaran ini berisi penjelasan singkat tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para petugas terkait (puskesmas, dinas kesehatan, kantor wilayah, bupati, dan lai-lain) dalam menangani KLB keracunan pangan. Selain itu, terdapat skema atau diagram yang menjelaskan mekanisme penanganan KLB keracunan pangan sesuai hierarki kelembagaan atau instansi. Surat edaran ini tidak merinci halhal teknis atau prosedur yang seharusnya ada dalam sebuah prosedur tetap. Selain itu, surat edaran tersebut tidak menjelaskan prosedur pelaksanaan penanganan KLB keracunan pangan, sehingga masih menimbulkan banyak pertanyaan bagi para petugas terkait, seperti puskesmas, dinas kesehatan, dan lain-lain. Akan tetapi, pada tahun 2009, BPOM RI telah mengeluarkan Peraturan Kepala BPOM RI RI Nomor: HK.00.06.1.54.2797 tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian 16

Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan dan di dalam peraturan tersebut dijelaskan prosedur tetapnya. Penyelidikan KLB keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan berdasarkan cara-cara epidemiologi untuk mengetahui penyebab, sumber, dan cara keracunan serta distribusi KLB menurut variabel epidemiologi (tempat, orang, dan waktu) (Imari, 2002). Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan terdiri dari dua kegiatan pokok, yaitu penyelidikan dan penanggulangan. Kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelaporan KLB keracunan pangan harus tuntas, menyeluruh dan lengkap. Tanpa informasi yang benar dan lengkap, maka kecenderungan faktor-faktor penyebab atau faktor yang berkontribusi terhadap KLB keracunan pangan tersebut akan sangat sulit untuk dideteksi (Sharp dan Reilly, 2000). Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), secara umum, penyelidikan KLB keracunan pangan bertujuan untuk memberikan dukungan upaya penanggulangan KLB keracunan serta mendapat informasi epidemiologi dari suatu kejadian KLB keracunan pangan. Sedangkan secara khusus, kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. Mengidentifikasi kasus dan menanggulangi korban. 2. Mengidentifikasi pangan berisiko tinggi. 3. Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya KLB. 4. Menarik produk pangan yang telah terkontaminasi. 5. Menghentikan penyebarluasan penyakit. 6. Membuat rekomendasi agar terhindar dari KLB serupa dimasa yang akan datang. Tahapan penyelidikan penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dilakukan dengan sembilan langkah yaitu: 1. Mengidentifikasi terjadinya KLB keracunan pangan. 2. Menetapkan formulasi hipotesis awal. 3. Merencanakan investigasi. 4. Melaksanakan investigasi dan konfirmasi hipotesis. 5. Menganalisis dan menginterpretasi data. 6. Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi. 7. Mengidentifikasi dan melaksanakan penanggulangan serta pencegahan keracunan. 8. Menghitung dampak ekonomi. 9. Membuat laporan. Uji laboratorium dalam penanggulangan KLB merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian. Laboratorium harus mendapatkan informasi epidemiologi sebelum melakukan analisis pangan. Beberapa patogen yang mempunyai dosis infeksi tinggi harus diuji secara kuantitatif. Misalnya, untuk S. Aureus positif yang memiliki konsentrasi 10 5 per gram pangan, maka perlu dilakukan uji enterotoksin. Begitu juga jika B. cereus positif dan memiliki konsentrasi 10 6 per gram pangan disertai gejala pertama mual/ muntah maka perlu dilakukan pengujian toksinnya. Konfirmasi hasil laboratorium harus memperhatikan beberapa kriteria seperti pangan penyebab dan gejala agar hasil yang diperoleh valid dengan input biaya yang tidak besar (Sparringa dan Rahayu, 2011a). Salah satu ilmu yang dapat digunakan dalam penyelidikan untuk mengumpulkan informasi yang tuntas mengenai KLB keracunan pangan adalah epidemiologi study yang meliputi pengamatan atau kajian observasi yang dapat dilakukan dengan kajian deskriptif dan kajian analisis. Dalam kajian deskriptif, faktor yang diamati adalah waktu, tempat, dan korban kasus kejadian. Sedangkan untuk kajian analisis dilakukan berdasarkan cohort atau case-control studies (Sparringa dan Rahayu, 2011a). 17

Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran kejadian penyakit pada populasi penduduk dan faktor-faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan penyebaran penyakit tersebut. Analisis epidemiologi didasarkan pada tiga variabel, yaitu tempat, waktu, dan orang (jenis kelamin, umur, dll.). Tujuan utama analisis epidemiologi adalah untuk mengetahui agen penyebab keracunan. Semula epidemiologi berasal dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan kejadian wabah penyakit yang besar, tetapi kemudian diterapkan juga pada berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya, termasuk keracunan pangan (Imari, 2002). Kegiatan yang berfungsi mengumpulkan informasi yang lengkap dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah surveilan. Surveilan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi tersebut kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan untuk kemudian ditindaklanjuti (Sparringa, 2002). Kegiatan yang dilakukan bersifat komprehensif, sehingga diharapkan dapat menyediakan segala informasi yang diperlukan dalam menghadapi suatu masalah keamanan pangan (Rahayu, 2011). Tujuan surveilan keamanan pangan secara umum adalah mendeteksi masalah keamanan pangan, termasuk KLB, faktor-faktor risiko keracunan pangan, dan memantau kecenderungan masalah pangan, agar dapat mengambil suatu tindakan atau mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan (Sparringa, 2002). Secara lebih spesifik, tujuan surveilan KLB keracunan pangan, yaitu: (1) menentukan besarnya masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh KLB keracunan pangan, (2) memantau kecenderungannya, (3) mengidentifikasi KLB sedini mungkin agar dapat menetapkan tindakan tepat pada waktunya, (4) menentukan sejauh mana makanan berperan sebagai pembawa patogen tertentu, (5) mengidentifikasi makanan berisiko, populasi yang rentan, (6) mengkaji efektivitas program peningkatan keamanan pangan yang ada, dan (7) memberikan informasi untuk menyusun formulasi kebijakan kesehatan tentang keracunan pangan (BPOM, 2001). Kegiatan surveilan harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mengetahui tren, tindak lanjut kebijakan, dan evaluasi kebijakan sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan maupun penanggulangan KLB yang tepat. Sumber informasi penting dalam surveilan keamanan pangan berasal dari surveilan KLB keracunan pangan dan surveilan pada rantai pangan (Rahayu dan Sparringa, 2011). Hasil kegiatan surveilan dituliskan dalam sebuah laporan yang merupakan data KLB keracunan pangan. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan tentang keamanan pangan. Data ilmiah tersebut sangat tergantung pada keberhasilan menghimpun informasi dari hasil surveilan KLB keracunan pangan. Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), keberhasilan surveilan KLB keracunan pangan sangat ditentukan oleh 3 hal, yaitu: ketepatan waktu, kesiapan sumberdaya, dan koordinasi antara semua pihak yang terlibat. 3.8 Kendala-Kendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan masih kurang baik, sehingga menimbulkan akibat menjadi beberapa kendala, diantaranya yaitu sebagai berikut: (1) lemahnya koordinasi antara lembaga atau pihak terkait, (2) kesalahan penanganan sampel, (3) ketidakjelasan mekanisme penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan, (4) keterbatasan sumberdaya manusia, (5) keterbatasan laboratorium dalam analisis, dan (6) keterbatasan akses ke laboratorium rujukan (Sparringa, 2002). 18

Kesalahan yang sering terjadi adalah keterlambatan pengamanan dan ketidaktepatan sampel yang dicurigai sebagai penyebab keracunan pangan. Selama ini, umumnya sampel yang diterima oleh laboratorium kurang memadai, akibatnya laboratorium tidak mampu menganalisis dengan baik. Hal ini sangat berkaitan dengan penanganan sampel saat di lapangan, sehingga pengambilan sampel harus diperhatikan. Sampel yang tidak memadai diantaranya, yaitu sebagai berikut: (1) sampel tidak cukup mewakili (representatif), (2) jumlah sampel, (3) kondisi sampel tidak sesuai untuk dianalisis, (4) pengiriman sampel sering terlambat dan dalam kondisi yang tidak tepat, (5) informasi sampel dan penderita keracunan tidak ada, (6) sarana pengujian laboratorium tidak lengkap (Tahir et al., 2002). Kendala lain dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah kurangnya kesadaran pemerintah daerah terhadap tanggung jawabnya menangani KLB keracunan pangan. Dalam era otonomi daerah, pihak yang bertanggung jawab melaksanakan penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan adalah pemerintah daerah kabupaten atau kota. Menurut Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, bupati atau walikota adalah penanggung jawab operasional pelaksanaan penanggulangan wabah, termasuk KLB keracunan pangan (Depkes, 2003). Begitu pula dengan sumberdaya dan dana untuk penyelidikan dan penanggulangan yang juga merupakan tanggung jawab kepala daerah setempat. Salah satu unit kesehatan yang ditanggung oleh tiap daerah adalah puskesmas. Oleh karena itu, setiap puskesmas di daerah berhak mendapatkan alokasi dana yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Hal ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 008/ MENKES/ SK/I/ 2012 (Menkes, 2012). 3.9 Puskesmas Konsep dasar puskesmas dijelaskan dalam Kepmenkes RI No 128/ MENKES/ SK/ II/ 2004 (Menkes, 2004), salah satunya berisi tentang pengertian puskesmas. Ada beberapa hal yang dijelaskan dalam pengertian puskesmas tersebut, antara lain unit pelaksana teknis, pembangunan kesehatan, penanggungjawab penyelenggaraan, dan wilayah kerja. Pengertian puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pengembangan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksanan teknis (UPTD) dinas kesehatan kabupaten atau kota, puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten atau kota adalah dinas kesehatan kabupaten atau kota, sedangkan puskesmas bertanggung jawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten atau kota sesuai dengan kemampuannya. Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa atau kelurahan atau RW). Masingmasing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografi dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja puskesmas. Pada umumnya, satu puskesmas mempunyai penduduk binaan antara 30.000-50.000 jiwa. 19

Menurut Menkes (2004), peran puskesmas dalam kajian epidemiologi ancaman KLB adalah menyelenggarakan kegiatan seperti: a. melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data dan kondisi rentan KLB di daerah puskesmas; b. melakukan kajian epidemiologi terus menerus secara sistematis terhadap perkembangan penyakit berpotensi KLB dan faktor-faktor risikonya, sehingga dapat mengidentifikasi adanya ancaman KLB di daerah puskesmas; c. melaksanakan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB. Menkes (2004) juga menyatakan bahwa fungsi puskesmas dalam peringatan kewaspadaan dini KLB adalah apabila teridentifikasi adanya ancaman KLB yang sangat penting dan mendesak, maka dalam waktu secepat-cepatnya, puskesmas memberikan peringatan kewaspadaan dini KLB kepada program terkait di lingkungan puskesmas, dan sektor terkait wilayah puskesmas, termasuk rumah sakit, klinik dan masyarakat, serta melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota. Puskesmas melaksanakan kegiatan untuk peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB, seperti peningkatan kegiatan surveilan, dan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB dan mendorong upaya-upaya pencegahan KLB. Kegiatan surveilan yang dimaksud adalah pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB di wilayah puskesmas (Menkes, 2004). 3.10 Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan Pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan mengacu pada Peraturan Kepala BPOM RI RI No. HK.00.06.1.54.2797 tahun 2009 (BPOM, 2009), dimana pada peraturan tersebut dijelaskan mengenai prosedur pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan seperti mengidentifikasi jenis contoh makanan yang terkait berdasarkan kategori makanan, mengelompokkan contoh makanan berdasarkan wujudnya (padat atau cair), mengambil contoh menggunakan peralatan yang telah ditentukan, memberi label pada setiap contoh setelah dikemas, memasukkannya ke dalam boks pendingin, membuat berita acara pengambilan contoh makanan, membawa semua contoh dengan sarana transportasi tercepat ke tempat penyimpanan, memasukkan semua contoh makanan ke dalam lemari pendingin pada suhu sekitar 4 o C atau -18 o C (freezer) untuk makanan beku, memilih contoh makanan berdasarkan penentuan makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan, dan mengirim contoh makanan ke tempat pengujian (laboratorium) terdekat. Alat dan bahan pengamanan contoh makanan yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Uraian mengenai isi Peraturan Kepala BPOM RI tahun 2009 dan prosedur tetap (protap) pengambilan contoh makanan KLB keracunan makanan dapat dilihat pada Lampiran 3. 20