BAB II RUANG LINGKUP PERJANJIAN PENGANGKUTAN A. Pengertian Umum Perjanjian Suatu perjanjian dikatakan persetujuan karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu hal. Persetujuan merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang seperti : jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, dan pengangkutan barang. Hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian ataupun hukum disebut dengan perikatan. Kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan secara hukum. Suatu perjanjian yang tidak mengikat ataupun tidak dapat dipaksakan adalah merupakan bukan perikatan, misalnya suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Prof. R. Wiryono Prodjodikoro, SH. Mengatakan bahwa perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Dalam hal ini beliau mengatakan : 14 Persetujuan dalam perundang-undangan Belanda dulu dinamakan overeenkomsten yaitu semua kata sepakat antara dua pihak atau lebih ada dua pihak. Dan dengan adanya perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Selanjutnya Prof. Wiryono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa kata perjanjian lebih tepat digunakan untuk pengertian lebih luas dari istilah 14 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981, hal. 11. 25
26 persetujuan. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau leih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan untuk mengikat kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian sebagian besar bersumber pada suatu persetujuan antara kedua belah pihak ditambah dengan sebahagian yang bersumber pada suatu perbuatan yang tidak melanggar hukum dari salah satu pihak yaitu perbuatan tertentu yang bersifat sepihak. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jikalau dihubungkan dengan pasal 1233 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang, maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian melahirkan satu atau beberapa perikatan. Buku Ketiga KUHPerdata terdiri dari bab satu mengatur tentang perikatan-perikatan umumnya. Bab II mengatur tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Bab III mengatur tentang perikatan yang lahir dari undang-undang. Bab IV mengatur tentang hapusnya perikatan. Bab V sampai dengan bab XVIII mengatur tentang perjanjian khususnya atau perjanjian bernama. Tentang definisi perikatan hukum / verbentenis / obligatio tidak dijumpai dalam KUHPdt. Tidak satu pasal pun yang menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun definisi perikatan hukum dapat kita jumpai dari pendapat para ahli hukum.beberapa definisi perikatan hukum dari para ahli:
27 Menurut Prof. Soebekti, SH. : Suatu perikatan adalah hubungan hukum antar dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debetur atau di berutang. 15 Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam buku ketiga KUHPerdata tidak memberikan suatu rumusan perikatan. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa : Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. 16 Menurut Mashudi Moch Chidir Ali: Definisi suatu perikatan adalah Suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain (beri dan tuntut prestasi). Pihak yang mempunyai kewajiban itu dinamakan juga pihak berhutang atau debitur, sedangkan pihak yang mempunyai hak itu disebut juga pihak penagih atau kreditur (pihak berpiutang). Definisi persetujuan : suatu persetujuan (overeenkomst) adalah suatu 15 Komariah, Op.Cit, hal. 139. 16 Mariam Darus, Op.Cit, hal. 88.
28 perbuatan berdasarkan kata sepakat antara dua atau lebih pihak untuk mengadakan akibat-akibat hukum yang diperkenankan. 17 Jadi sebetulnya, suatu persetujuan itu tidak lain daripada suatu perjanjian (ofspraak) yang mengakibatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban (jual beli; sewa-menyewa;persetujuan kerja dan lain-lain). Pengertian persetujuan tidak boleh digaduhkan dengan pengertian perikatan. Perhubungan antara kedua itu adalah sebagai sebab akibat : suatu persetujuan dapat melahirkan suatu perikatan. Persetujuan sedemikian disebut persetujuan obligator. 18 Menurut Subekti: Hubungan antara perikatan dan perjanjian mengatakan suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perikatan 17 H. Mashudi Mohammad Chaidir Ali, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung Mandar Maju, 1995, hal. 4. 18 Mashudi Moch. Chidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, CV Mandar Maju, 2001, hal. 16-20.
29 (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 19 M Yahya Harahap memberikan penjelasan mengenai perjanjian: Perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian : Suatu hubungan hukum kekayaan/harta antara dua atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 20 Dalam pengertian singkat di atas dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian (Verbintenis), antara lain: hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (person) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. M. Yahya Harahap menggunakan kata perjanjian untuk sebagai terjemahan dari kata Verbintenis. Penggunaan terjemahan kata verbintenis masih terdapat perbedaan pendapat, sebagaian dari para sarjana masih ada yang menterjemahkannya menjadi perutangan. Ada yang menterjemahkannya menjadi menjadi perjanjian, sedangkan overeenkomst diterjemahkannya menjadi persetujuan. Hilman Hadikusuma memberi penjelasan pengertian perikatan menurut hukum adat mengatakan: Perikatan menurut hukum adat adalah hubungan hukum diantara 2 (dua) pihak yang terjadi karena adanya perbuatan atau kesepakatan dalam bentuk 19 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, 1980, hal. 122. 20 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 6.
30 persetujuan atau perjanjian karena adanya sesuatu kepentingan. Jadi adanya perikatan karena ada kesepakatan. Tetapi dalam hukum adat suatu perikatan dapat terjadi karena perbuatan sepihak atau karena kepakatan dua pihak. Karena adanya perbuata atau kesepakatan menyebabkan timbulnya perhutangan perorangan atau sekelompok orang. 21 J. Satrio berpendapat untuk tidak mempersoalkan perbedaan pendapat penggunaan istilah tetapi akan menggunakan saja istilah yang sudah lazim dan banyak dipakai oleh para sarjana, sedangkan perjanjian atau persetujuan untuk overeenkomst. 22 Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu: 23 1. Hubungan Hukum Maksudnya yaitu hubungan-hubungan yang terjadi dalam lalu llintas masyarakat, hukum melekatkan hak pada satu pihak, dan melekatkan kewajiban pada pihak lainnya. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempinyai ukuran-ukuran (kriteria) tertentu. 2. Kekayaan 24 Yang dimaksud dengan kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehungga hubungan hukum 21 Hilman Hadikusuma, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT. Citra aditya Bakti, 2001, hal. 65. 22 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yanng Lahir Dari Perjanjian buku I, PT Citra aditya Bakti, 1995, hal.1. 23 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 55. 24 ibid
31 itu dapat disebut disebutkan suatu perikatan. Apa yang dipergunakan sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu yang menjadi kriteria ialah apakah sesuatu hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang maka hubungan hukum itu adalah perikatan. Kriteria itu semakin lama semakin sukar untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, dan bertentangan dengan salah satu tujuan daripada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu sekarang kriteria diatas tidak lagi dipertahankan. Sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau jasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi. 3. Pihak-pihak yaitu hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau siberutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang. Mereka ini yang disebut dengan subyek perikatan. 4. Prestasi apabila dua orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa menciptakan suatu perikatan, jelaslah bahwa maksud dari kedua orang tersebut maupun dari pembentuk undang-undang
32 untuk mengikat kedua orang itu memenuhi kewajiban untuk memenuhi sesuatu disebut dengan prestasi. Pendapat para sarjana diatas telah memberikan penjelasan bahwa perjanjian atau persetujuan menerbitkan perikatan. Perikatan adalah abstraknya sedangkan perjanjian adalah kongkritnya. ` B.Jenis-Jenis dan Syarat Sahnya perjanjian Jenis-jenis Perjanjian: 25 1. Perjanjian Sepihak Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya: perjanjian hibah. Dalam hibah ini, kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan, sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan, tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan. 2. Perjanjian Timbal Balik: Perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi. 26 Misalnya: perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. 25 Diakses dari http://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/jenis-jenis-perjanjian-yanglazim-dipergunakan-dalam-praktek/, pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 15.35 26 Komariah, Op.Cit, hal. 170.
33 3. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama: Perjanjian Bernama atau Khusus: Perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya: perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian Tidak Bernama: Perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya: perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan Agen, atau perjanjian kredit. 4. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian non obligatoir Perjanjian Obligatoir: Suatu perjanjian dimana mengharuskan atau mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian non obligatoir 27 yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan seseorang untuk membayar/menyerahkan sesuatu. Misalnya balik nama hak atas tanah. 5. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Riil Perjanjian Konsensuil: Perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian Riil: Perjanjian yang tidak hanya memerlukan kata sepakat, tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya: perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata. 27 Ibid
34 6. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban 28 Perjanjian Cuma-cuma: Perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah (schenking) dan pinjam pakai (Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata). Perjanjian Atas Beban: Perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya: A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang tertentu kepada A ataumisalnya: A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A 7. Perjanjian Formil: Perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi Undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya: jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. 8. Perjanjian Campuran: 29 Perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian didalamnya. a) Perjanjian Penanggungan: 28 Ibid 29 Ibid
35 Suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang (debitur) manakala orang itu sendiri (debitur) tidak memenuhinya (wanprestasi). b) Perjanjian Standar/Klausula Baku: Perjanjian yang mencantumkan klausul di dalam perjanjiannyadimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. c) Perjanjian standar/baku dapat dibedakan dalam tiga jenis: 1. Perjanjian baku sepihak Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Misalnya: pada perjanjian buruh kolektif. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah Perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Misalnya: Dalam bidang agraria dapat formulir pengajuan akta hipotek. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat Terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam
36 kepustakaan Belanda biasa disebut dengan contract model. Misal: Surat Kuasa, Akte Pendirian. d) Perjanjian Garansi: Diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Menurut pasal 1320 KUH Pdt, untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: 30 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Komariah, SH, M.si menjelaskan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagai berikut: 31 Ad.1) Dengan Sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. A yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga 30 R. Soebekti dan R. Tjitronudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan XXV, PT. Pradnya Paramita, Jakarta 1992, hal. 201. 31 Komariah, Op.Cit, hal. 44.
37 dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara bebas. Ad.2) kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Dalam pasal 1330 KUH Pdt disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu: a) Orang-orang yang belum dewasa b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c) Orang perempuan yang telah kawin (dengan adanya UU No.1 Tahun 1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi). Menurut pasal 330 KUH Pdt belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. (Komariah175) Ad.3) Suatu hal tertentu sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut pasal 1320 KUHPerdata ialah suatu hal tertentu. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Ad.4) suatu sebab yang halal. syarat keempat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer adalah adanya sebab (causa)yang halal. Syarat no. 1 dan 2 yakni sepakat mereka yang mengikat dirinya dan kecakapan membuat suatu perjanjian disebut syarat subyektif, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orangnya (subyek huum dalam perjanjian). Syarat 3 dan 4 disebut syarat obyektif karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian.
38 C. Pengertian Pengangkutan dan hukum pengangkutan Suatu pejanjian pengangkutan pada dasarnya merupakan suatu perjanjian biasa, yang dengan sendirinya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk suatu perjanjian pada umumnya, yaitu tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam Buku ke III KUHPerdata tentang perikatan, selama tidak ada pengaturan khusus tentang perjanjian pengangkutan dalam peraturan perundang-undangan di bidang angkutan. HMN Purwosutjipto mendefinisikan pengangkutan sebagai berikut: Perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim. Dimana pengangkut mengikatkan diri untukmenyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim ialah membayar ongkos angkut. 32 Sedangkan yang dimaksud dengan angkutan adalah suatu keadaan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan suatu tujuan tertentu, baik untuk memperoleh nilai tambah untuk barang/komersial maupun untuk tujuan non komersial. Pengangkutan didefinisikan sebagai perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak dibutuhkan dalam rangka mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi. 33 32 Siti Nurbaiti, Hukum Pengangkutan Darat (Jalan dan Kereta Api), Penerbit Universitas Trisakti, 2009, hal. 14. 33 Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkatan Laut, Angkutan Darat dan Angkutan Udara, Medan, USU Press, 2006, hal. 20.
39 Dalam buku M.N. Nasution pengangkutan didefinisikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal menuju tempat tujuannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses pengangkutan tersebut merupakan gerakan dari tempat asal, dimana kegiatan angkutan itu dimulai, ke tempat tujuan, dan kemana kegiatan pengangkutan diakhiri. 34 Selanjutnya menurut Penulis pengangkutan adalah kegiatan memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat tujuan yang menimbulkan hubungan hukum. Menurut Hasyim Purba: Hukum pengangkutan merupakan ketentuan yang mengatur tentang segala aktivitas pengangkutan yang wajib ditaati bagi setiap yang terlibat di dalam aktivitas itu. Menurut Sution Usman Adji, dkk hukum pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan yang dituju, sementara pihak lainnya (pengirim-penerima; pengirim atau penerima; penumpang) mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran biaya dalam rangka pengangkutan tersebut. 35 Dasar hukum pengaturan mengenai hukum pengangkutan di jalan, diatur dalam: 36 1. Kitab Undang-undang hukum dagang (KUHD), buku I bab V. Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90 sampai dengan pasal 98. Dalam bagian ini diatur sekaligus pengangkutan perairan darat, akan tetapi hanya 34 M.N. Nasution, Jenis-Jenis Hukum Pengangkutan, Surabaya, Cahaya Husana, 2007, hal. 3. 35 Hasim purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 7. 36 SitiNurbati, Op.Cit, hal. 30.
40 khusus mengenai pengangkutan barang, tidak diatur dalam pengangkutan orang. Surat angkutan dan perjanjian pengangkutan pasal 90 ayat(1) KUHD menyebutkan surat angkutan merupakan persetujuan antara si pengirim atau ekpeditur pada pihak satu dan pengangkut atau juragan perahu pada pihak lain dan surat ini memuat selain apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti misalnya mengenai waktu dalam mana pengangkutan telah harus selesai dikerjakan dan mengenai penggantian kerugian dalam hal kelambatan, memuat juga: 1) Nama dan berat ukuran barang-barang yang diangkut, begitu juga merek-merek dan bilangannya 2) Nama orang kepada siapa barang-barang dikirim 3) Nama dan tempat si pengangkut atau juragan perahu 4) Jumlah upah pengangkutan 5) Tanggal dan Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur. 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No.96, Tambahan Lembaran Negara No. 5025) 37 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UULLAJ) mulai diberlakukan pada tanggal 22 Juni 2009. UULLAJ adalah undang-undang yang terakhir diundangkan setelah 3 (tiga) undangundang angkutan lainnya terlebih dahulu diundangkan, yaitu, Undang-Undang No.23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian; Undang-Undang No.17 Tahun 2008 37 Ibid
41 tentang Pelayaran dari Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan. UULLAJ ini terdiri XXII Bab dan 326 Pasal, menggantikan Undang-Undang No.14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 325. Pada saat undang-undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan angkutan Jalan (Lembaran negara Republik Indonesia nomor 3480) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 38 Akan tetapi, semua peraturan pelaksana dari UU No.14 tentang 1992 masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 324. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Tahun Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Dalam Pejanjian Pengangkutan barang, obyeknya adalah benda atau hewan, sedangkan dalam perjanjian pengangkutan orang, obyeknya adalah orang. Dalam perjanjian Pengangkutan barang ada penyerahan barang atau hewan yang dikuasakan dan diawasi oleh Pengangkut. Pengawasan dan penguasaan itu akan lebih berat lagi bila yang diangkut adalah hewan dan pengangkut baru dapat dimintakan tanggung jawabnya apabila benda-benda itu kurang, rusak,musnah, 38 Ibid
42 atau terlambat sampai di tempat tujuan, sedangkan dalam perjanjian pengangkutan orang, tidak ada penyerahan kepada pengangkut, yang ada hanyalah pengangkut berkewajiban untuk mengangkut orang sampai di tujuan dengan selamat. Begitu juga dengan tanggung jawab pengangkut dengan pihak ketiga. Tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga terjadi diluar perjanjian pengangkutan, karena posisi pihak ketiga berada diluar angkutan umum dan bukan penumpang atau pengirim barang D. Spesifikasi Pengangkutan Gas Elpiji Pengangkutan gas elpiji dilakukan oleh agen resmi Elpiji yang telah diberikan izin oleh Pertamina untuk mengangkut serta mengecerkan gas elpiji tersebut kepada masyarakat di daerah tertentu yang telah ditentukan oleh PT. Pertamina. Sebelum dilakukan pengangkutan, dipastikan tabung-tabung Elpiji sudah dalam keadaan siap kirim, yaitu memenuhi persyaratan: 39 a. Seluruh Tabung Elpiji yang diangkut ke atas kendaraan pengangkut telah bebas dari kebocoran. b. Tabung harus disusun secara rapi dan dalam posisi berdiri c. Posisi katup tabung harus berada pada posisi mengarah ke udara terbuka/ ke atas. d. Lantai kendaraan pengangkut tabung elpiji harus datar. e. Tabung harus diikat kencang atau dengan metode lain yang aman untuk meminimalkan pergerakan, terguling atau kerusakan fisik. 39 Diakses dari, www.migas.esdm.go.id, Pedoman Teknis Transportasi Elpiji dengan moda angkutan darat, jam 21.00
43 f. Penumpukan harus dilakukan secara aman. Tabung elpiji pada tumpukan paling atas tidak boleh menonjol terhadap batas atas bak kendaraan pengangkut dan penonjolan tidak boleh melebihi 1/4 dari tinggi tabung bagian atas. g. Tinggi titik tengah bak truk pengangkut tabung elpiji dari permukaan jalan tidak boleh lebih dari 95% dari lebar telapak ban terluar yang menyentuh tanah. h. Penutupan tabung-tabung diatas truk harus dilakukan dengan diameter penutup yang cukup sehingga penumpukan tabung lebih stabil dari tinggi penutup harus cukup agar katup tabung tidak rusak. i. Penumpukan tabung elpiji ukura diatas 6 Kg sampai 15 kg dalam pengangkutan maksimal dapat dilakukan dalam 2 susun atau berat maksimum tumpukan adalah 45 Kg, mana yang lebih kecil. 40 j. Jika dalam pengangkutan tabung ditumpuk melebihi ketentuan di atas, maka truk harus dilengkapi dengan sistem basket/palet atau menggunakan lantai/deck bersusun. k. Pengangkutan tabung dari beberapa jenis ukuran, harus mempertimbangkan aspek keamanan daari resiko guncangan, dan menghindari kerusakan tabung dan katup. l. Total beban tabung Elpiji yang diangkut truk tidak boleh melebihi kapasitas maksimum angkut kendaraan/truk.. 40 Ibid