2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

dokumen-dokumen yang mirip
VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL A DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Gambar 1. Diagram TS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : APLIKASI DATA CITRA SATELIT NOAA-17 UNTUK MENGUKUR VARIASI SUHU PERMUKAAN LAUT JAWA

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A.

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

Muchlisin Arief Peneliti Bidang Aplikasi Penginderaan Jauh, LAPAN ABSTRACT

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN DINAMIKA SUHU PERMUKAAN LAUT GLOBAL MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH MICROWAVE

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

VARIABILITAS KONSENTRASI KLOROFIL-A DARI CITRA SATELIT SeaWiFS DI PERAIRAN PULAU MOYO, KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terpanjang di dunia) memiliki potensi perairan yang sangat besar (KKP, 2011;

2 BAB II TEORI DASAR

DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA

VALIDASI ALGORITMA MCSST SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENENTUAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN MENGGUNAKAN DATA BUOY TAO

Keywords : Upwelling, Sea Surface Temperature, Chlorophyll-a, WPP RI 573

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

6. TlNGGl PARAS LAUT

Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Transkripsi:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian selatan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan bagian barat berbatasan dengan Pulau Kalimantan dan dibagian timur dengan Pulau Sulawesi. Masuknya massa air yang berasal dari sungai Pulau Kalimantan dan Sulawesi, pertukaran massa air dengan Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi, Laut Flores, dan Laut Jawa akan mempengaruhi kandungan korofil-a dan produktivitas primer di perairan Selat Makassar (Afdal dan Riyono, 2004). Selat Makassar merupakan salah satu jalur lintasan arus laut global dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang melalui perairan kawasan timur Indonesia, arus lintas ini biasa disebut dengan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). ARLINDO cenderung membawa massa air yang lebih dingin dari Samudera Pasifik yang mempengaruhi kondisi perairan Indonesia bagian timur termasuk Selat Makassar sehingga sumberdaya hayati laut sangat ditentukan oleh kuat lemahnya arus ini (Wyrtki, 1961). ARLINDO yang berasal dari Pasifik tidak dipengaruhi adanya perubahan angin Muson, yang terjadi justru sebaliknya. Arus lintas ke arah selatan yang melalui Selat Makassar paling kuat terjadi kira-kira pada musim panas bagi belahan bumi bagian utara, yang pada saat itu angin Muson berasal dari arah tenggara (Hasanudin, 1998). Menurut Wyrtki (1961), pada umumnya pola arus laut Indonesia dipengaruhi oleh perubahan angin Muson, terutama pada lapisan permukaan. Pada waktu Muson timur yang terjadi dari bulan Juni hingga Agsutus, massa air dari 4

5 Laut Banda didorong ke arah Laut Flores, kemudian ke Laut Jawa dan Selat Makassar didorong oleh angin yang datang dari barat menyebrangi Laut Flores menuju Laut Banda. Adanya variabilitas ARLINDO terhadap ruang dan waktu, sangat berpengaruh terhadap estimasi transport, fluks bahang, dan air tawar dai ARLINDO. Waktu terjadinya puncak transpor maksimum ARLINDO pada pintu masuk dan pintu keluar, diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda, sehingga diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield dan Gordon, 1992). Akibat dinamika regional di Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan perairan Indonesia, maka aliran ARLINDO mengalami variasi dari skala waktu dalam semusim (30-60 hari), antar musiman sampai antar tahuan. Bagian barat daerah tropis Samudera Pasifik sangat dipengaruhi fenomena iklim El Nino Southern Oscillation (ENSO), sementara Samudera Hindia berasosiasi dengan sistem Muson dan fenomena dipole mode (Saji et al., 1999). 2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksidasi dengan bantuan sinar surya dan unsur hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik, fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai, perairan pesisir atau diperairan lepas pantai di mana terjadi proses naiknya massa air dalam (upwelling). Pada daerah upwelling, zat hara yang kaya terangkat dari lapisan dalam ke arah permukaan

6 (Nontji, 2005). Tingginya kandungan klorofil-a pada lapisan permukaan diduga disebabkan adanya pengaruh dari faktor cahaya dibanding lapisan bawahnya, sehingga pada lapisan permukaan, laju fotosintesis dapat berlangsung lebih cepat (Afdal dan Riyono, 2004) Klorofil-a merupakan katalisator yang esensial dalam proses berlangsungnya fotosintesis. Laju fotosintesis yang terjadi di dalam laut yang mendapat penyinaran dengan intensitas cahaya tertentu adalah merupakan fungsi dari klorofil-a diperairan tersebut, apabila faktor-faktor lain tidak merupakan faktor pembatas (limiting factor). Selain sebagai katalisator klorofil-a juga berfungsi menyerap energi cahaya (kinetic energy) yang dapat digunakan dalam proses fotosintesi yakni cahaya dengan luas spektrum yang hampir sama dengan cahaya tampak (visible light) dengan panjang gelombang 390-760 nm (Riyono, 2006). Menurut Basmi (1995) klorofil-a merupakan jenis pigmen terbesar yang terkandung dalam fitoplankton. Selain itu fitoplankton juga dilengkapi pigmenpigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorpsi sinar. Menurut Sunarto (2008) produktivitas primer perairan pada dasarnya bergantung kepada aktivitas fotosintesis dari organisme autotrop yang mampu mentransformasi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman. Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan hijau (fitoplankton) adalah sebagai berikut: 6CO 2 + 6H 2 O C 6 H 12 O 6 + 6O 2...(1)

7 Selain faktor utama klorofil-a, faktor yang lainya mempengaruhi proses fotosintesis dan tentu saja produktivitas primernya adalah keberadaan cahaya dan nutrien. Kedua faktor ini menentukan distribusi spasial maupun temporal fitoplankton. Faktor-faktor ini harus berada pada tempat dan yang waktu secara bersamaan. Nutrien yang tinggi yang menempati lapisan dimana cahaya tidak dapat menembus (zona afotik) lagi, tidak bermanfaat bagi proses fotosintesis. Sebaliknya pada lapisan permukaan dimana intensitas cahaya berlimpah, fotosintesis tidak dapat berjalan sempurna tanpa adanya nutrien. Oleh karena itu mekanisme alami telah mempertemukan kedua faktor itu antara lain melalui proses upwelling (Sunarto, 2008). 2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL) Zona suhu permukaan laut tertinggi (thermal equator) letaknya tidak tepat berhimpitan dengan khatulistiwa bumi, melainkan ke arah utara. Nilai SPL di belahan bumi bagian Selatan pada umumnya lebih rendah dari pada SPL yang berada di belahan bumi bagian Utara. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari benua Antartika yang dingin pada Kutub Selatan Bumi. Selain itu apabila dilihat dari keadaan masing-masing samudera, pada umumnya akan diperoleh bahwa SPL di bumi bagian barat akan lebih tinggi daripada bagian timurnya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh arus-arus lautan yang membawa bahang dari daerah khatulistiwa menuju ke arah kutub bumi (Ilahude, 1999). Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan yang terdiri atas: a) Lapisan homogen

8 Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m dengan suhu berkisar 26-30 C dan gradien tidak lebih dari 0,03 C /m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada musim timur, lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan. b) Lapisan termoklin Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27 C pada 100 m menjadi 8 C pada kedalaman 300 m atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5 C /100 m, sedangkan pada termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8 C pada 300 m menjadi 4 C pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3 C /100 m. c) Lapisan dalam Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya mencapai 0,05 C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4 C. d) Lapisan dasar Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai 5000 m.

9 Perairan Indonesia memiliki suhu permukaan laut berkisar 28 C sampai dengan 31 C, sedangkan di daerah terjadinya upwelling bisa turun hingga 25 C (Nontji, 2005). 2.4. Upwelling Naikan massa air (upwelling) adalah istilah yang digunakan untuk peristiwa timbulnya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas, bahkan ada yang sampai ke lapisan paras (surface layer). Massa air yang naik ini berasal dari lapisan 100 m - 200 m atau lebih, biasanya mempunyai suhu yang rendah dan zatzat hara yang tinggi. Itulah sebabnya daerah-daerah naikan massa air ini umumnya merupakan perairan yang subur. Upwelling juga mampu meningkatkan produktivitas biologi di lautan dan di sepanjang garis pantai. Beberapa daerah perikanan terbesar di dunia sangat tergantung pada kejadian upwelling musiman (Conway, 1997; Thurman and Trujillo, 2004; Nontji, 2005). Upwelling di Selat Makassar bagian selatan terjadi sekitar bulan Juli sampai September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Pada musim timur, massa air dari Selat Makassar bertemu dengan massa air dari Laut Flores di daerah ini, keduanya kemudian bergabung dan mengalir ke barat menuju Laut Jawa. Dalam kondisi ini dimungkinkan massa air permukaan di dekat pantai Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut, dan untuk menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Upwelling di daerah ini berskala lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di Laut Banda. Kecepatan naiknya massa air dalam kurang lebih sama sekitar 0,0005 cm/detik, dan daerahnya cukup terbatas hingga volume air yang naik hanya sekitar 0,2 juta m 3 /detik. Perubahan suhu permukaan pada lokasi upwelling ini, tidak sejelas

10 perubahan salinitas dan kandungan hara (Nontji, 2005). Menurut Conway (1997) upwelling berlangsung selama berbulan-bulan, namun upwelling tidak selalu terjadi pada seluruh musim. Pada bagian selatan Selat Makassar terjadi fluktuasi Tinggi Paras Laut (TPL) dengan periode tahunan, selain periode 2, 3, dan 4 bulanan. Anomali TPL rendah tersebut terjadi bersamaan dengan bagian tengah Selat Makassar. Fluktuasi tahunan diperkirakan berkaitan dengan anomali TPL yang terjadi pada musim timur (meskipun pada bulan lain juga terjadi anomali TPL rendah) saat arus permukaan di Laut Flores bergerak ke barat sehingga massa air tersedot (Purba dan Atmadipoera, 2005). Menurut Sunarto (2008) upwelling biasanya mengakibatkan konsentrasi nutrien (nitrit, fospat, dan silikat) lebih tinggi dibandingkan air permukaan yang nutriennya telah berkurang oleh pertumbuhan fitoplankton. Wilayah upwelling biasanya memiliki produkktivitas biologi yang tinggi. Terdapat tiga proses yang dapat menyebabkan terjadinya upwelling. Pertama, ketika air bergerak menjauh dari garis pantai oleh pergerakkan angin sehingga terjadi kekosongan yang kemudian diisi upwelling. Kedua, ketika arus dalam bertemu dengan rintangan (mid ocean ridge) maka akan dibelokan ke atas dan memencar keluar permukaan air. Ketiga, terdapat tikungan yang tajam di garis pantai yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi kekosongan massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi kekosongan tersebut (Gambar 1; Thurman and Trujillo, 2004). Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)

11 dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997) Gambar 1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind (b) suatu pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004). Menurut Wyrtki (1961) Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu : 1. Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya dapat berubah-ubah. Tipe ini terjadi merupakan tipe upwelling yang terjadi di lepas pantai Peru. 2. Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik,

12 dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan, seperti yang terjadi di Selatan Jawa. 3. Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air yang ringan di lapisan permukaan bergerak keluar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat di lapisan bawah bergerak ke atas kemudian tenggelam, seperti yang terjadi di laut Banda dan Arafura. 2.5. Penginderaan Jauh Satelit Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera yang biasa disebut sensor. Berbagai sensor pengumpul data dari jarak jauh, umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, balon, satelit, atau wahana lainnya. Objek yang diindera adalah objek yang terletak di permukaan bumi, di atmosfer, dan di antariksa. Pengumpulan data dari jarak jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik. Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik (Gambar 2; Purwadhi, 2001).

13 Gambar 2. Sistem penginderaan jauh (Purwadhi, 2001) 2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR Instrumen SeaWiFS diluncurkan pada tanggal 1 Augustus 1997 dengan kendaraan peluncur Pegasus. Instrumen SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field of view Sensor) telah dimodifikasi untuk menghasilkan respon bilinear, sensitivitas asli dipertahankan sampai sekitar 80% dari rentang output digital, dan kemudian berubah kontinyu untuk memperpanjang rentang dinamis substansial, hasil bersih tidak jenuh diharapkan atas awan (atau terang pasir, es, dll) (NASA, 2010). Dalam aplikasinya sensor SeaWiFS mampu memberikan informasi tentang warna permukaan laut yang berkaitan dengan distribusi klorofil-a. SeaWiFS juga menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi organisme mikroskopik fitoplankton dalam perairan (NASA, 2010). SeaWiFS memiliki 8 kanal yang terdiri dari 6 kanal pada panjang gelombang sinar tampak dan 2 kanal pada panjang gelombang infra merah. Kanal 1 sampai dengan6 memiliki lebar kanal 20 nm sedangkan kanal 7 dan 8 memiliki

14 lebar kanal 40 nm (NASA, 2010). Karateristik SeaWiFS dan panjang gelombang SeaWiFS disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010) Orbit Type Equator Crossing Orbital Period Swath Width Swath Width Spatial Resolution Real Time Data Rate Revisit Time Digitization Sun Synchronous at 705 km Noon +20 min, desending 99 minutes 2,801 km LAC/HRPT (58.3 degrees) 1,502 km GAC (45 degrees) 1.1 km LAC, 4.5 km GAC 665 kbps 1 day 10 bits Tabel 2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010) Kanal Panjang Gelombang 1 402 422 nm 2 433 453 nm 3 480 500 nm 4 500 520 nm 5 545 565 nm 6 660 680 nm 7 745 785 nm 8 845 885 nm Pada tahun 1960 sampai 1965, telah diluncurkan 10 satelit TIROS untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Kemajuan TIROS N menjadi prototipe ditingkatkan untuk satelit NOAA yang digunakan saat ini. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. NOAA membawa sensor

15 AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Data dari satelit NOAA polar yang mengorbit ditransmisikan terus dan dapat diterima oleh setiap stasiun bumi dalam jangkauan radio. Jenis layanan yang dikenal sebagai direct readout. Untuk menerima data dari AVHRR terdapat dua kategori layanan antara lain High Resolution Picture Transmissin (HRPT) dan Automatic Picture Transmissin (APT) (Conway, 1997). Sensor AVHRR memberikan informasi spektral yang sangat akurat, dan memiliki resolusi spasial 1,1 km x 1,1 km dan tiap scene mencakup area yang besar sekitar 1000 km E-W dan antara 3000 sampai 4000 km N-S. Sensor ini memiliki 5 band spektral mulai dari merah sampai inframerah termal dan cocok untuk aplikasi seperti pemantauan lingkungan (NOAA, 2010). AVHRR yang pertama mempunyai 4 channel radiometer yang diluncurkan bersama satelit TIROS-N pada bulan Oktober 1978. Kemudian ditingkatkan menjadi 5 channel instrument (AVHRR/2) yang diluncurkan bersama NOAA 7 pada bulan Juni 1981. Versi terbaru adalah AVHRR/3 dengan 6 channel, pertama dilakukan pada NOAA 15 yang diluncurkan pada bulan Mei 1998 (NOAA, 2010). Karakteristik AVHRR/3 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010) AVHRR/3 Channel Channel Resolution Wavelenth (um) Typical Use Number at Nadir 1 1.09 km 0.58 0.68 Daytime cloud and surface mapping 2 1.09 km 0.725 1.00 Land-water boundaries 3A 1.09 km 1.58 1.64 Snow and ice detection 3B 1.09 km 3.55 3.93 Night cloud mapping, sea surface temperature 4 1.09 km 10.30 11.30 Night cloud mapping, sea surface temperature 5 1.09 km 11.50 12.50 Sea surface temperature