BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN LITERATUR

PENILAIAN KEPUASAN TERHADAP FASILITAS NON FISIK PERKOTAAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III DATA DAN ANALISIS

BAB III DATA DAN ANALISIS

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

pembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal

DAFTAR REFERENSI Buku Teks dan Jurnal Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

VI. SIMPULAN DAN SARAN. pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : Non Pemerintah Dalam Penetapan dan Penyusunan RKPD

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang

BAB 3 PREFERENSI LOKAL TERHADAP PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

Tahapan Persiapan Penyusunan RP4D Kabupaten merupakan kegiatan yang bersifat administratif dengan tujuan mempersiapkan pihak penyelenggaran kegiatan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN NGAWI TAHUN 2012 BAB I PENDAHULUAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

KATA PENGANTAR. Bandung, 2013 KEPALA BPPT KOTABANDUNG. Drs. H. DANDAN RIZA WARDANA, M.Si PEMBINA TK. I NIP

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

RANCANGAN PERATURAN WALI KOTA BANDUNG NOMOR TAHUN 2017 TENTANG RENCANA UMUM PENANAMAN MODAL TAHUN

PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN MUSRENBANG DESA/ KELURAHAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN. pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa : belakang kualifikasi peserta, Jumlah peserta menurut gender; Jumlah

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

BAB II GAMBARAN UMUM RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2011

MAJU, MANDIRI, ADIL DAN SEJAHTERA. RPJMD

PAPARAN FORUM PERANGKAT DAERAH DAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS (RAKORTEK) PEMBANGUNAN TINGKAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda

VI. PENUTUP. Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA SKPK TAHUN LALU DAN CAPAIAN RENSTRA SKPK

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. Amanat undang-undang dalam penyempurnaan sistem perencanaan dan

BAB VI MONITORING DAN EVALUASI SANITASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

penelitian 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PERUMAHAN RAKYAT, KAWASAN PERMUKIMAN DAN PERTANAHAN KABUPATEN PURWOREJO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG

Perluasan Lapangan Kerja

TARGET PEMBANGUNAN TAHUN KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

MANAJEMEN PRODUKSI AGRIBISNIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. nasional, sebagai upaya terus menerus ke arah perubahan yang lebih baik guna

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KOTA TANGERANG SELATAN

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini menyajikan pengamatan di 1 bh lokasi PLTP yaitu PLTP

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

PERATURAN PEMERINTAH NO. 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR,

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

RISALAH KESEPAKATAN PEMBAHASAN SIDANG KELOMPOK MUSRENBANG NASIONAL TAHUN 2010

Partisipasi dalam Mempengaruhi Kebijakan Desa. Novita Anggraeni

BAB I PENDAHULUAN. cukup rumit. Karakteristik penganggaran sektor publik berbeda dengan

Transkripsi:

BAB IV MEKANISME PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM PERKOTAAN YANG SESUAI DENGAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS DI KOTA DEPOK Analisis yang telah dilakukan terhadap data sekunder dan primer telah menghasilkan informasi mengenai urutan kepentingan penyediaan set pelayanan umum perkotaan berdasarkan preferensi local business di Kota Depok. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan desentralistis, penyediaan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok seharusnya memasukkan pertimbangan atas urutan preferensi ini. Namun ternyata tidak demikian. Hasil analisis tingkat kepuasan menunjukkan bahwa tingkat kepuasan yang dirasakan local business terhadap set pelayanan umum perkotaan yang ada saat ini masih sangat rendah. Unit-unit bisnis ini cenderung merasa kurang puas terhadap pelayanan fisik dan non fisik perkotaan yang telah disediakan oleh pemerintah. Rendahnya kepuasan ini mengindikasikan bahwa hingga saat ini, penyediaan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok belum memasukkan pertimbangan atas preferensi local business-nya. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pemerintah kota harus mulai mempertimbangkan dan merefleksikan preferensi local business dalam kegiatan penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Meskipun terlihat sederhana, proses untuk membuat preferensi ini terefleksi dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan ini memiliki tantangan tersendiri. Oleh karena itu, perumusan mekanisme yang tepat dalam memasukkan preferensi ini ke dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan menjadi penting untuk dilakukan. Mekanisme ini nantinya akan mampu meminimalisir tantangantantangan yang dihadapi dalam proses merefleksikan preferensi ini dalam rencana. Dengan demikian, Kota Depok akan dapat menyediakan set pelayanan umum perkotaan secara efektif, dengan alokasi sumber daya yang lebih efisien. 77

4.1 Set Pelayanan Umum Perkotaan yang Sesuai dengan Preferensi Local Business Penyediaan pelayanan umum perkotaan akan menjadi lebih efisien apabila dilakukan dengan mengikuti urutan prioritas yang disampaikan oleh local business di Kota Depok. Adapun urutan prioritas penyediaan yang diberikan local business untuk set pelayanan fisik perkotaan adalah jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, ketersediaan kawasan usaha untuk bisnis, jaringan air kotor dan drainase, pengumpulan dan pengelolaan sampah, serta terminal angkutan orang dan barang. Sementara itu, urutan prioritas penyediaan pelayanan non fisik perkotaan yang dimiliki oleh local business ini diantaranya adalah jaminan keamanan usaha, kemudahan perizinan usaha, kepastian hukum, kesesuaian antara pajak yang dibayar dengan pelayanan yang diperoleh, serta kemudahan menyuarakan aspirasi. Secara teoritis, ketersediaan akses jalan merupakan aspek mendasar yang perlu diperhatikan oleh pemerintah kota untuk dapat meningkatkan minat investasi di daerahnya. Kondisi jaringan jalan yang memadai akan memperlancar proses distribusi barang dan jasa dari dan menuju lokasi usaha. Sebaliknya, kondisi jalan yang kurang baik akan menghambat proses distribusi, sehingga pada akhirnya akan memberikan dampak langsung terhadap kelancaran usaha bisnis di Kota Depok. Mengingat pentingnya peran fasilitas ini, sudah sewajarnya apabila penyediaan jaringan jalan yang memadai menjadi prioritas utama dalam alokasi sumber daya publik di Kota Depok. Selain ketersediaan jaringan jalan yang memadai, local business memerlukan ketersediaan air bersih untuk mendukung produktivitas usahanya. Untuk kegiatan usaha perdagangan eceran yang mendominasi jenis usaha di Kota Depok, ketersediaan air bersih mungkin tidak akan mempengaruhi produktivitas usahanya secara langsung. Sementara untuk usaha bisnis yang bergerak di bidang reparasi alat-alat, ketersediaan air bersih akan sangat mempengaruhi kelancaran usahanya. Namun karena jaringan air bersih ini 78

termasuk ke dalam set pelayanan dasar perkotaan yang mutlak untuk disediakan, dan sampai saat ini belum tersedia dengan baik, local business menempatkannya sebagai prioritas kedua. Untuk mendukung kelancaran usaha, local business memerlukan pasokan listrik dan ketersediaan jaringan telekomunikasi yang memadai. Oleh karena itu, local business di Kota Depok menempatkan kedua bentuk pelayanan fisik ini sebagai prioritas ketiga dan keempat yang harus disediakan oleh Pemerintah Kota Depok. Sementara itu, hal yang tidak kalah pentingnya untuk disediakan adalah kawasan usaha untuk bisnis. Kawasan usaha baru yang saat ini banyak bermunculan di Kota Depok, ternyata dinilai beberapa local business sebagai sesuatu yang mematikan. Itulah sebabnya mengapa penyediaan kawasan usaha untuk bisnis ditempatkan pada posisi kelima, karena penyediaannya tidak jauh lebih penting dari penyediaan jaringan jalan, jaringan air bersih, listrik serta telekomunikasi. Meskipun jaringan air kotor dan pengelolaan sampah merupakan sesuatu yang juga penting untuk mendukung kelangsungan usaha, local business di Kota Depok hanya menempatkan penyediaannya di posisi ke enam dan ke tujuh. Hal ini terjadi karena dengan kondisi pelayanan yang ada saat ini, Kota Depok masih dapat terhindar dari bahaya banjir dan penumpukkan sampah. Sementara itu, terminal menjadi prioritas akhir yang penyediaannya perlu diperhatikan oleh pemerintah kota. Untuk penyediaan pelayanan non fisik perkotaan, local business menyatakan bahwa keamanan merupakan prioritas utama yang penyediaannya harus diperhatikan oleh pemerintah kota. Tanpa jaminan keamanan yang memadai, local business akan enggan beroperasi di Kota Depok. Tanpa jaminan keamanan, local business juga akan mengalami kesulitan untuk bertahan dan berkembang. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan minat investasi dan mempertahankan usaha-usaha yang saat ini sudah berjalan, pemerintah perlu memberikan jaminan terhadap keamanan usaha local business di Kota Depok. 79

Selain keamanan, kemudahan izin usaha juga menjadi alasan mengapa iklim investasi di suatu daerah berkembang, sementara di daerah lainnya tidak. Kemudahan izin usaha pada dasarnya merupakan sebuah insentif yang dapat mendorong peningkatan kegiatan usaha bisnis di suatu daerah. Pengurusan izin usaha yang panjang dan berbelit-belit akan membuat local business berkembang menjadi usaha-usaha yang bentuknya informal. Akibatnya, meskipun berkembang dalam jumlah yang banyak, usaha tersebut tidak akan memberikan kontribusi yang nyata bagi keuangan daerah. Oleh karena itu, kemudahan dalam pengurusan izin ini menjadi penting untuk diperhatikan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan upaya merangsang minat investasi dan membuat kegiatan usaha memberikan kontribusi yang nyata pada perekonomian suatu kota. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah masalah kepastian hukum, kesesuaian besar pajak yang dibayarkan dengan pelayanan yang diterima, serta kemudahan untuk menyampaikan aspirasi. Tanpa ketiga hal tersebut, kemungkinan local business melakukan perpindahan ke luar Kota Depok akan menjadi sangat besar. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dinyatakan secara teoritis oleh Tiebout (1956: 420). Local business sangat sensitif terhadap perbedaan besar pajak usaha yang ditetapkan oleh daerah (Oates, 1969: 45). Apabila sistem perpajakan dan alokasi sumber daya yang ada tidak sesuai dengan harapannya, Local business bisa pindah ke tempat lain dengan sistem perpajakan dan alokasi sumber daya yang lebih sesuai. Padahal, local business memiliki peran yang besar dalam menggerakkan perekonomian di daerah tempatnya berada. Oleh karena itu, prioritas yang disusun oleh local business ini menjadi sangat penting untuk direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Pilihan-pilihan urutan di atas telah dibuat oleh local business Kota Depok berdasarkan atas pertimbangan rasionalitas yang dimiliki unit bisnis tersebut. Oleh karena itu, apabila urutan-urutan tersebut bisa direfleksikan 80

dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan, alokasi sumber daya publik di Kota Depok bisa dilakukan dengan lebih efisien. Sebagai bagian dari entitas lokal, local business memiliki hak agar preferensinya diperhatikan oleh pemerintah. Perhatian ini dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan memperhatikan aspirasi yang disampaikan oleh local business. Hal ini secara eksplisit ditunjukkan oleh 93,1 % unit bisnis Kota Depok yang menyatakan bahwa preferensi yang disampaikan oleh local business, sangat penting untuk diperhatikan dan direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Menurut local business, perhatian tersebut sudah menjadi kewajiban yang dipegang oleh pemerintah selaku pemangku kepentingan publik. 4.2 Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan di Kota Depok Saat ini, kebijakan penyediaan set pelayanan umum perkotaan di Kota Depok masih dilakukan tanpa memperhatikan preferensi local business-nya. Perhitungan kebutuhan pelayanan perkotaan masih dilakukan berdasarkan standar pemenuhan kebutuhan minimum perkotaan yang dikeluarkan oleh Dinas PU Cipta Karya, Propinsi Jawa Barat. Hal ini dilakukan, karena pada saat ini pemerintah kota masih memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling mengetahui kebutuhan entitas lokalnya, termasuk local business. Kondisi ini pada akhirnya membuat alokasi sumber daya publik yang dilakukan oleh Kota Depok menjadi tidak efisien. Preferensi local business sampai saat ini belum dijadikan sebagai pertimbangan oleh pihak pemerintah kota dalam menyusun rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan karena belum terdapat saluransaluran (forum) yang secara khusus menampung aspirasi dari local business ini. Akibatnya, meskipun local business berusaha semaksimal mungkin untuk membuat preferensinya di dengar oleh pemerintah, belum tentu aspirasi tersebut sampai kepada pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Selama ini, usaha menyampaikan aspirasi usaha bisnis hanya dilakukan dengan memanfaatkan peran koperasi-koperasi usaha. Namun pada kenyataannya 81

koperasi tersebut belum dapat berperan optimal untuk menyampaikan aspirasi dari local business kepada pemerintah. Ketiadaan saluran-saluran aspirasi tersebut membuat 46,6 % local business Kota Depok tidak tahu harus menyampaikan preferensinya ke mana. Meskipun ada kesempatan untuk menyampaikan preferensinya, local business belum bisa memperoleh jaminan bahwa preferensi tersebut akan direfleksikan dalam rencana penyediaan set pelayanan umum kota. Hal ini terjadi karena kesadaran pemerintah pemerintah kota untuk memperhatikan preferensi local business ini masih sangat rendah. Meskipun pelayanan umum perkotaan yang disediakan belum sesuai dengan preferensinya, local business di Kota Depok memiliki kecenderungan untuk merasa puas dengan apa yang sudah disediakan oleh pemerintah saat ini. Kondisi seperti ini seolah-olah mengindikasikan bahwa meskipun tidak ada proses pertimbangan terhadap preferensi, pemerintah kota sudah mampu menyediakan pelayanan perkotaan yang sesuai dengan kebutuhan local business. Namun setelah di kaji lebih dalam, sikap puas yang ditunjukkan oleh local business tersebut muncul karena karakteristik loyalty yang cenderung dimiliki oleh unit-unit bisnis terhadap Kota Depok. Hasil analisis menunjukkan bahwa 33,33% local business di Kota Depok memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan apa-apa ketika fasilitas perkotaan yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Karakteristik inilah yang disebutkan Hirschmann (1970) sebagai bentuk kesetiaan (loyalty) local business terhadap pemerintah. Karakteristik ini pula yang kemudian membuat local business mau menerima segala kondisi pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Meskipun sebenarnya kondisi tersebut masih belum memenuhi preferensi yang dimilikinya. Kondisi local business yang cenderung menerima keadaan tidak membuat aspirasi (preferensi) usaha bisnis ini menjadi kurang penting untuk diperhatikan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, sebagian local business Kota Depok juga memiliki potensi untuk menyuarakan pendapatnya (voice) dan pindah (exit) ketika dalam jangka panjang pemerintah tetap tidak 82

menyediakan pelayanan sesuai dengan preferensinya. Dengan kata lain, meskipun tingkat mobilitas local business ini cenderung rendah, dalam jangka panjang potensi untuk pindah ke kota-kota lain di Jabodetabek tetap ada. Walaupun karakteristik loyalty mendominasi local business di Kota Depok, pemerintah kota seharusnya semakin memiliki kewajiban untuk memasukkan pertimbangan preferensi tersebut dalam penyusunan rencana. Hal ini terjadi karena potensi unit bisnis tersebut menyuarakan pendapat dan melakukan perpindahan juga tetap ada. Suatu saat, local business bisa pindah dan membawa investasinya ke kota-kota lain dengan set pelayanan yang lebih memenuhi preferensinya. Kondisi ini seharusnya bisa menjadi salah satu pemicu bagi pemerintah untuk dapat menyediakan pelayanan umum perkotaan yang sesuai dengan preferensi local business di Kota Depok. 4.3 Mekanisme Memasukkan Preferensi Local Business dalam Rencana Penyediaan Set Pelayanan Umum Perkotaan di kota Depok Untuk menghasilkan efisiensi, preferensi local business harus benarbenar dipertimbangkan dalam penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Pertanyaannya kemudian, bentuk mekanisme seperti apa yang mampu membuat preferensi tersebut diperhatikan dalam rencana penyediaan pelayanan kota? Menurut local business Kota Depok, setidaknya terdapat empat mekanisme yang dapat digunakan untuk membuat preferensi mereka didengar oleh pemerintah. Mekanisme tersebut diantaranya adalah: 1. membentuk forum-forum usaha bisnis sebagai penyalur aspirasi ke tingkat pemerintah, 2. melakukan upaya dialog dengan pemerintah, 3. memfasilitasi pembentukkan kotak suara, dan 4. melakukan demo kepada pemerintah. 83

Meskipun terlihat sederhana, mekanisme-mekanisme di atas belum tentu dapat menjadi alternatif yang efektif dalam proses memasukkan pertimbangan preferensi ke dalam rencana penyediaan pelayanan umum perkotaan. Mekanisme-mekanisme ini dapat digunakan ketika local business mau berperan secara proaktif untuk menyuarakan preferensinya dan pemerintah memiliki kesediaan untuk memperhatikan apa yang disampaikan oleh local business tersebut. Persoalannya, hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat keaktifan local business Kota Depok dalam menyuarakan aspirasinya masih rendah. Hal ini terjadi karena sebagian besar local business memiliki karakteristik loyal terhadap wilayahnya. Sementara itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa kesadaran pemerintah Kota Depok untuk memperhatikan preferensi local business masih sangat kurang. Kondisi ini terlihat dari tidak tersedianya forum (saluran) tempat local business menyampaikan harapannya kepada pemerintah. Dengan karakteristik tersebut, upaya untuk membentuk forum usaha bisnis sebagai penyalur aspirasi ke tingkat pemerintah akan sulit dilakukan. Upaya dialog dengan pemerintah juga akan mengalami hambatan, karena pemerintah pada dasarnya tidak menyediakan ruang khusus untuk dilakukannya dialog dengan unit-unit bisnis tersebut. Upaya pembentukan kotak suara juga tidak akan berhasil secara optimal apabila belum ada kesadaran dari pemerintah untuk memperhatikan masukan-masukan unit bisnis di dalam kotak saran tersebut. Dan akhirnya, upaya demo menjadi satusatunya jalan untuk membuat pemerintah memahami preferensi local business. Namun sekali lagi, hasil analisis menunjukkan bahwa local business yang berniat menyampaikan aspirasinya lewat demo hanyalah sebagian kecil. Sementara itu sisanya lebih memilih diam dan menerima kondisi pelayanan yang sudah diberikan oleh pemerintah sampai saat ini. Oleh karena itu, dalam rangka memasukkan pertimbangan atas preferensi local business ke dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran atas pentingnya 84

preferensi dari kedua belah pihak (local business dan pemerintah). Meskipun demikian, mengingat adanya karakteristik loyal dari local business, inisiasi lebih banyak diharapkan berasal dari pihak pemerintah kota. Namun untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah kota perlu memiliki political will yang kuat untuk mau memahami pentingnya preferensi local business ini. Kesadaran pemerintah kota akan pentingnya memperhatikan preferensi local business ini bisa dilakukan dengan banyak cara. Cara pertama yang bisa digunakan adalah dengan mengembangkan penelitian-penelitian mengenai preferensi lokal. Hasil penelitian mengenai preferensi lokal ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan penyediaan set pelayanan umum perkotaan yang efektif dengan alokasi sumber daya yang efisien. Apabila disampaikan dengan baik, hasil-hasil penelitian ini akan menarik perhatian pemerintah. Dan secara perlahan-lahan, pemerintah akan semakin terdorong untuk memahami preferensi lokal, termasuk preferensi local business, lalu mulai memasukkan preferensi tersebut sebagai pertimbangan dalam menyusun rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Cara kedua yang bisa dilakukan untuk meningkatkan political will dari pemerintah adalah dengan melakukan upaya-upaya pengembangan Kualitas Sumber Daya Aparat Pemerintahan. Pengembangan kualitas SDM ini bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan (training) kepada aparat pemerintah tentang pentingnya memasukkan pertimbangan atas preferensi lokal ke dalam rencana alokasi sumber daya publik di suatu kota. Melalui training, pengetahuan aparat pemerintah mengenai preferensi lokal akan bertambah. Bertambahnya pengetahuan ini diharapakan akan membuat aparat pemerintah semakin paham bahwa efisiensi hanya dapat dicapai apabila pertimbangan atas taste dan preference lokal dijadikan sebagai pertimbangan dalam mengalokasikan sumber daya publik. Sementara upaya untuk meningkatkan political will dari aparat pemerintah tersebut dilakukan, upaya lainnya untuk meningkatkan peran aktif dari local business dalam menyuarakan aspirasinya juga perlu ditingkatkan. 85

Peran aktif ini bisa ditingkatkan dengan cara membentuk forum-forum bisnis. Forum tersebut secara berkala akan menjadi tempat bagi local business untuk berdiskusi dan menyuarakan aspirasinya. Selain dapat digunakan untuk mendorong peningkatan political will pemerintah, hasil studi mengenai preferensi lokal juga dapat digunakan untuk mendorong peningkatan peran aktif local business dalam menyampaikan aspirasinya. Hasil-hasil penelitian dan studi mengenai preferensi lokal dapat dijadikan sebagai salah satu input dalam kegiatan diskusi forum bisnis. Hasilhasil penelitian tersebut diharapkan mampu mendorong local business untuk aware akan pentingnya menyampaikan preferensi yang mereka miliki kepada pihak pemerintah. Karena pemerintah sudah memahami pentingnya preferensi lokal, aspirasi yang disampaikan oleh local business tentu akan semakin diperhatikan. Dengan demikian, secara sederhana, mekanimse yang dapat ditawarkan untuk membuat preferensi local business terefleksi dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan adalah sebagai berikut: 1. membentuk forum-forum bisnis di tingkat lokal atas inisiasi pemerintah dan atau local business, sebagai saluran penyampaian preferensi. Forum-forum ini bisa dibentuk berdasarkan batasan administrasi kecamatan maupun jenis kegiatan usaha pokok yang dilakukannya, 2. menyelenggarakan diskusi informal di dalam forum-forum bisnis, untuk memperoleh urutan preferensi local business di setiap forum bisnis, 3. meng-agendakan pertemuan antara forum-forum bisnis dengan pemerintah kota, 4. membangun kesepakatan antara forum bisnis dan pemerintah kota. (dalam kesepakatan tersebut disepakati bahwa pemerintah kota akan memasukkan pertimbangan terhadap preferensi local business dalam penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan). 86

Dengan kata lain, mekanisme yang ditawarkan adalah dengan membangun kesepakatan antara forum-forum (kelompok) bisnis dengan pihak pemerintah melalui forum deliberatif (musyawarah) dan demokratis. Dalam forum deliberatif ini, potensi untuk menyamakan pendapat menjadi lebih besar (Snary, 2004 dalam Schiveli, 2007: 261). Forum deliberatif seperti ini juga memiliki potensi untuk mengurangi rasa frustasi dan permusuhan yang seringkali menjadi resiko (Slovic, Fischoff dan Lichtenstein, 1982; dalam Schiveli, 2007: 261) dari kegiatan diskusi yang dilakukan oleh dua pihak dengan kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, mekanisme ini dapat dikatakan sebagai mekanisme yang paling dapat diterima dalam kegiatan mendudukkan prioritas penyediaan pelayanan perkotaan berdasarkan preferensi local business Kota Depok. Pada tingkat local business, kegiatan diskusi internal yang dilakukan dalam forum-forum bisnis akan menjadi lebih efisien apabila dilakukan dengan cara-cara yang cenderung informal. Menurut Kasperson, Golding dan Tuller (1992), proses yang infomal lebih efektif untuk digunakan dalam membangun kesepakatan (Schiveli, 2007: 259). Dengan cara-cara informal, proses pertukaran informasi untuk memperoleh kesepakatan mengenai preferensi akan berlangsung dengan lebih baik. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar 4.1 berikut: 87

GAMBAR 4.1 MEKANISME MEMASUKKAN PREFERENSI LOCAL BUSINESS KE DALAM RENCANA PENYEDIAAN SET PELAYANAN UMUM KOTA FORUM BISNIS 1 FORUM BISNIS 2 FORUM BISNIS 3 Local business A Local business B Local business C Local business D Local business E Local business F Diskusi Informal I Diskusi Informal II Diskusi Informal III Alternatif Urutan Preferensi 1 Alternatif Urutan Preferensi 2 Alternatif Urutan Preferensi 3 Hasil penelitian/ studi preferensi lokal Musrenbang Perwakilan forum bisnis 1,2,3 Forum musyawarah antara local business dengan pemerintah kota Kesepakatan untuk memperhatikan preferensi local business dalam penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan Training aparat pemerintah tentang pentingnya pemahaman atas preferensi lokal Sumber: Hasil analisis, 2007 Proses memasukkan preferensi local business ke dalam rencana merupakan sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini diantaranya adalah local business dan pemerintah kota. Masing-masing pihak memiliki kepentingannya masing-masing. Local business memiliki kepentingan untuk membuat preferensinya didengarkan oleh pemerintah. Sementara itu, pemerintah memiliki kepentingan untuk mengalokasikan sumber daya publik yang jumlahnya terbatas secara efisien. Oleh karena itu, konsistensi untuk dapat saling mendengarkan masukan menjadi sangat diperlukan. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan musyawarah ini harus mampu meningkatkan kepercayaan sosial (social trust) antarpihak. Hal ini penting, karena kepercayaan sosial merupakan dasar dari kegiatan pembangunan 88

kesepakatan.. Apabila local business tidak percaya kepada institusi pengambil keputusan, proses pembangunan kesepakatan tidak akan berjalan dengan baik, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, kepercayaan antara kedua belah pihak harus dibangun terlebih dahulu dengan inisiasi yang lebih banyak berasal dari pihak institusi (pemerintah). Apabila kita kembalikan kepada usulan upaya yang disampaikan oleh local business, mekanisme ini sudah merangkum keempat usulan yang ada. Untuk dapat melakukan mekanisme ini, terlebih dahulu dilakukan pembentukan forum-forum pengusaha sebagai lembaga penampung preferensi local business dengan inisiasi yang berasal dari pihak pemerintah dan atau local business itu sendiri. Selanjutnya, melalui forum bisnis tersebut, local business bisa melakukan dialog dan diskusi dengan pihak pengambil keputusan (pemerintah). Dengan kepercayaan yang sudah terbangun antara kedua belah pihak, pihak pengambil keputusan memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan preferensi yang telah disampaikan oleh local business dalam rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan. Mekanisme ini juga bisa diintegrasikan dengan upaya membuat kotak saran. Kotak saran dapat dijadikan sarana untuk mengumpulkan aspirasi secara tertutup, sebelum aspirasi tersebut dijadikan sebagai bahan rembug antara forum (kelompok) bisnis dengan pemerintah. Apabila pada kenyataannya nanti pemerintah tidak dapat memegang kepercayaan yang diberikan (preferensi tetap tidak diperhatikan dalam penyusunan rencana penyediaan set pelayanan umum perkotaan), local business bisa melakukan protes (demo). Protes (demo) yang dilakukan ini tentunya akan menjadi sangat beralasan, karena pemerintah mengingkari kepercayaan sosial dan kesepakatan yang sudah dibangun sebelumnya oleh kedua belah pihak. Melalui mekanisme ini, jaminan bahwa preferensi local business akan dimasukkan sebagai pertimbangan dalam penyediaan pelayanan umum perkotaan menjadi lebih besar. Dengan demikian, kesempatan untuk mewujudkan efisiensi dalam kegiatan alokasi sumber daya publik juga menjadi lebih besar. 89