8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah

PENDAHULUAN. Latar Belakang

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

PERKEBUNAN RAKYAT SEBAGAI LOKOMOTIF PENGENTASAN KEMISKINAN DI PEDESAAN

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

VII. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KARET

A. KERANGKA PEMIKIRAN

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan lingkungan atau Corporate Social Responbility (CSR) sebagai

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

Siklus Adopsi & Model Operasi e-bisnis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kemitraan Agribisnis. Julian Adam Ridjal. PS Agribisnis Universitas Jember

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

DUKUNGAN PROYEK SREGIP DALAM PENCAPAIAN SASARAN PEMBANGUNAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KERANGKA TEORITIS

STRATEGI DAN KEBIJAKAN INOVASI PENGEMBANAGAN AGROINDUSTRI ROTAN DI KALIMANTAN TENGAH

BAB l PENDAHULUAN. memiliki daya saing yang relatif baik sehingga dinilai belum mampu

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

RINGKASAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

IV. METODE PENELITIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tambah (value added) dari proses pengolahan tersebut. Suryana (2005: 6)

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

TEKNOLOGI DALAM AGRIBISNIS

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MODEL KEMITRAAN USAHA DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMlSKlNAN Dl DAERAH TERTINGGAL

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN. 6.1 Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan

BAB I PENDAHULUAN. dan kemajuan di segala bidang. Tidak hanya dalam bidang teknologi saja, perusahaan

POLA PENGEMBANGAN KOMODITI JAGUNG HIBRIDA. di KAB. SUMBA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan usaha peternakan unggas di Sumatera Barat saat ini semakin

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

3 KERANGKA PEMIKIRAN

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP

Materi Pengantar Agroindustri

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Kakao Indonesia

PENDAHULUAN (Renstra Kementrian Koperasi dan UMKM ) diketahui jumlah

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Untuk mewujudkan Visi Daerah Kabupaten Temanggung di. atas, pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan dilakukan dalam 6

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

Abstrak Pembicara Utama

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis data di atas, kesimpulan dari analisis strategi yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

Transkripsi:

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif serta ada kaitan antar wilayah, antar sektor bahkan antar komoditas. Integrasi adalah to make into a whole baik dari sisi permintaan maupun pasokan (Frohlich dan Westbrook, 2002) yang dicirikan oleh ko-operasi, kolaborasi, berbagi informasi, kepercayaan, kemitraan, penyebaran teknologi, pergeseran dari proses individual ke proses rantai terintegrasi (Power, 2005; Rahman et al., 2008). Kriteria standar yang umum digunakan untuk melihat lebih jauh industri hilir berbasis perkebunan adalah: (1) keterkaitan output, (2) keterkaitan pendapatan, (3) multiplier output, (4) multiplier pendapatan, dan (5) multiplier nilai tambah. Pengembangan agroindustri karet terintegrasi secara vertikal dan horizontal dalam konteks rantai pasok dapat dilakukan baik berbasis karet maupun kayu karet. Integrasi berbasis karet untuk mengolah bahan baku karet masih sebatas menjadi produk antara berbentuk karet remah, belum sampai barang jadi karet mengingat hingga saat ini daya serap industri hilir barang jadi karet dalam negeri baru mencapai 15%. Integrasi rantai nilai berbasis kayu karet dapat dilakukan dari hulu (penyediaan bahan baku) mulai dari peremajaan hingga ke hilir berupa barang jadi furnitur. Para petani secara kolektif memiliki potensi untuk melakukan integrasi, meningkatkan skala usaha dan memiliki seluruh saham industri berbasis kayu karet. Integrasi hilir seperti dikemukakan Flynn et al. (2008) memiliki dampak ekonomi lebih kuat daripada integrasi ke hulu karena integrasi hilir memberikan nilai tambah lebih tinggi. Untuk industri berbasis kayu, menurut Hierold (2010) nilai produk olahan kayu akan memberikan nilai tambah empat kali dibandingkan kayu log, dan 12 kali jika dalam bentuk furnitur. Secara teoritis integrasi rantai nilai dalam kasus integrasi industri kayu karet ini lebih menguntungkan, meningkatkan efisiensi, menurunkan biaya transaksi, koordinasi dan pemasaran serta mengurangi pengeluaran pajak. 131

Dibandingkan kajian-kajian model pengembangan integrasi sebelumnya, model pengembangan ini memiliki keunggulan diantaranya: 1) Integrasi dilakukan secara vertikal (rantai nilai) dan horizontal (kelembagaan) pada berbagai level sesuai kebutuhan, ketersediaan teknologi, SDM dan pasar. 2) Model ini dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) maupun pemilik modal (shareholder). 3) Model ini mengintegrasikan unit kegiatan usaha berikut sumber dana yang bersifat mandiri (self finance) dalam konteks pemberdayaan petani karet secara kolektif. 4) Model ini dapat juga mengadopsi konsep pengembangan wilayah sehingga dapat dikombinasikan dengan model-model pengembangan berbasis wilayah seperti agroforestri, agropolitan, agroestat, agrowisata dan klaster. 5) Keterlibatan pemerintah daerah sebagai pemilik modal atau pelaku usaha lebih menjamin bahwa pola kemitraan sebagai salah satu elemen integrasi dapat berjalan sesuai aturan main. Model ini melengkapi konsep aliansi strategis industri karet remah (Haris, 2006) yang mencoba menjembatani keterpisahan spasial dan fungsional antara petani karet dan pengusaha karet remah. Model proyek kemitraan terpadu PKT (Bank Indonesia, 2003) masih tidak beranjak dari konsep plasma-inti yang mengharuskan adanya avalis (penjamin) dan cenderung menempatkan para petani pada posisi imperior dan di bawah tekanan. Bahkan menurut Syams (2006) bentuk kemitraan usaha yang diarahkan pemerintah berdasarkan PP No. 44/1997 untuk memberdayakan UKM ini tidak efektif karena UKM selalu dipandang sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh pengusaha besar untuk mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah dengan mengatasnamakan kemitraan. Kebaruan dan pembeda penelitian ini dibandingkan beberapa model sebelumnya disajikan pada Tabel 8.1. 132

Tabel 8.1. Posisi penelitian yang dilakukan dibandingkan dengan penelitian sebelumnya No. Sumber (tahun) Kajian Kelebihan & Kekurangan 1 Ghandi et al. (2001) 2 Bank Indonesia (2003) Perbandingan lima model pengembangan agroindustri perdesaan di India Pola kemitraan terpadu 3 Haris (2006) Aliansi strategis industri karet alam 4 Esham (2009) Perbandingan beberapa model kemitraan perusahaan agribisnis di Bangladesh Cukup komprehensif dalam pemetaan kelebihan & kekurangan masing-masing model Deskriptif tanpa rekomendasi Sebagian sudah diterapkan & ada jaminan dana akan dicairkan Paradigma lama, pola inti-plasma Syarat ada perusahaan penjamin Petani selalu pada posisi lemah Menjembatani keterpisahan spasial dan fungsional antara petani dan pabrik karet remah Mengabaikan fakta bahwa aliansi hanya bisa dilakukan jika pihak-pihak memiliki kekuatan relatif seimbang Cukup komprehensif dalam pemetaan kelebihan & kekurangan masing-masing model Memasukkan peran pendamping dari pihak LSM Deskriptif tanpa rekomendasi Keterlibatan lembaga penelitian & perguruan tinggi tidak diperhitungkan 5 Kajian ini (2012) Model integrasi agroindustri karet alam Terintegrasi secara vertikal (hulu-hilir) dan secara horizontal kelembagaan Self-finance Melibatkan seluruh pemangku kepentingan Menghadirkan alternatif teori integrasi agroindustri Dikombinasikan dengan model-model pengembangan berbasis wilayah Industri karet dibatasi pada industri karet remah Pemanfaatan kayu karet baru pada industri kayu olahan dan furnitur Kurang menyentuh aspek lingkungan 133

Seperti dikemukakan Ghandi dan Jain (2011), faktor kunci sukses model pengembangan agroindustri harus memenuhi syarat: 1) Menciptakan insentif bagi petani untuk memproduk bahan baku sesuai kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan, dan memasok produk sesuai ketetapan kontrak. 2) Menyediakan input dan teknologi pertanian yang dibutuhkan dan memastikan siapa yang menanggung biaya dan risiko. 3) Mampu mengakses teknologi pengolahan berkualitas tinggi 4) Memperhatikan perubahan permintaan pelanggan melalui pasar cerdas yang efektif. 5) Menarik modal investasi. 6) Memperhatikan isu-isu pemilikan, organisasi, manajemen dan kendali mutu. Menurut ADB (2010) sukses kemitraan agroindustri harus didukung oleh: 1) Riset yang kuat di sektor pertanian dan dukungan teknologi untuk agroindustri. 2) Mendorong investasi oleh sektor swasta 3) Dukungan dan fasilitasi terhadap pengembangan agroindustri 4) Peningkatan kemitraan 5) Pengembangan institusi agroindustri, dan 6) Kebijakan pemerintah yang kondusif. Dengan demikian integrasi agroindustri memiliki beberapa elemen kunci yaitu: (1) investasi, (2) insentif, (3) riset, inovasi dan teknologi, (4) kemitraan dan organisasi, (5) dukungan kebijakan, dan (6) partisipatif. Dari sini dapat dibangun teori integrasi agroindustri secara vertikal dan horizontal dengan melibatkan berbagai pihak seperti disajikan pada Gambar 8.1. 134

Kemitraan multi-pihak Integrasi rantai nilai SCM Aksi kolektif Reduksi biaya transaksi & koordinasi Fasilitasi & inisiatif PEMERINTAH Payung hukum Kebijakan pro-poor & pro-growth Insentif & subsidi Integrasi agroindustri Dukungan & fasilitasi Perguruan tinggi & Lembaga penelitian Riset Inovasi teknologi Manfaat ekonomi, sosial & ekologi Nilai tambah Keunggulan kompetitif berkelanjutan Manfaat ekonomi, sosial & ekologi Gambar 8.1. Bangunan teori integrasi agroindustri Implementasi dukungan kebijakan pemerintah dalam bentuk fasilitasi dan insiatif digunakan untuk menerjemahkan program dan payung hukum yang propoor dan pro-growth bisa dalam bentuk insentif dan subsidi. Analisis struktur kendala pengembangan (Gambar 6.4) menunjukkan bahwa sub-elemen kunci kendala pengembangan agroindustri adalah adalah kurangnya dukungan kebijakan pemerintah. Analisis struktur kelembagaan (Gambar 7.3) juga memperkuat bahwa pemerintah merupakan sub-elemen kunci kelembagaan yang paling berpengaruh. Pemerintah juga harus memberikan dukungan dan fasilitasi kepada lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam riset dan inovasi teknologi. Kemitraan agroindustri melibatkan multi-pihak khususnya para pelaku utama kegiatan agroindustri terkait penyediaan bahan baku, penanganan pasca panen, pengolahan hasil, distribusi, transportasi dan jasa-jasa lainnya hingga mencapai konsumen (manajemen rantai pasok). Aksi kolektif khususnya di kalangan petani diperlukan untuk mencapai efisiensi dan skala ekonomis internal. Secara eksternal, aksi kolektif ini akan menurunkan biaya transaksi dan koordinasi. Kemitraan akan berkelanjutan jika semua pihak yang terlibat di sepanjang rantai nilai merasa nyaman, memperoleh nilai tambah yang layak, ada 135

keterbukaan, saling percaya dan komitmen yang kuat terhadap isi kontrak. Keterlibatan pemerintah sebagai pelaku usaha atau penyertaan saham akan lebih menjamin pelaksanaan isi kontrak. Fokus agroindustri adalah penciptaan nilai tambah dan dayasaing berkelanjutan. Keunggulan kompetitif adalah kemampuan untuk menghasilkan barang atau jasa sesuai permintaan pasar dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah dan mampu meningkatkan kesejahteraan pelakunya. Nilai tambah dan keunggulan ini harus kembali kepada pemangku kepentingan yang dalam hal ini adalah para pelaku kemitraan, lembaga riset dan perguruan tinggi. Peran lembaga riset dan perguruan tinggi berdasarkan analisis struktur kelembagaan bersifat linkage (strong driver strong dependence) yang memiliki daya dorong kuat dalam integrasi agroindustri. Pihak perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat menjadi penggerak utama model ini didasarkan pada fakta independensi, idealisme, kompetensi dan pengamalan tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). 136