KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

dokumen-dokumen yang mirip
KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM

PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi

ANALISIS TERHADAP UU NO 3 TAHUN 2006 DAN UU NO. 50 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN PERADILAN AGAMA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

Pajak Kontemporer Peradilan Pajak

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Aceh, pemerintah Aceh telah mengesahkan beberapa Qanun untuk pelaksanaan

FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCABUTAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

HAMBATAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA JINAYAH PADA MAHKAMAH SYAR IYAH BIREUEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA Rabu, 10 April :53

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN TEMUBUAL. Ketua Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Lhokseumawe, Aceh.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana

BAB I PENDAHULUAN. Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan sebutan Seramoe Mekkah

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

Oleh Eggy Dwikurniawan (Mahasiswa Hukum Universitas Pakuan)

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik. 1. Lembaga Negara independen adalah lembaga yang dalam pelaksanaan

OTONOMI HUKUM PROVINSI ACEH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL: SEBUAH TANTANGAN

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)

UNIVERSITAS INDONESIA KUASA HUKUM PADA PENGADILAN PAJAK SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2)

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

Perbedaan Sistem Hukum

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

Keywords: Status, Authority, Relationship, Mahkamah Syar iyah, Aceh Province

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

B A B III KEADAAN PERKARA. dan fungsinya sebagaimana tersebut dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERKARA PIDANA DI PENGADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Bagi sebagian orang judul di atas terasa aneh, atau bahkan

It s me. Contact : : :

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

BAB I PENDAHULUAN. diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

Transkripsi:

Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 65-76. KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA THE AUTHORITY OF ISLAMIC COURTS IN ACEH AS THE SPECIAL COURTS IN SETTLING THE DISPUTES Oleh: Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis *) ABSTRACT Special courts are the courts having the authority o access, judge, and decide special cases that can only be established in one of the courts types under the supervision of the Indonesia s Supreme Courts as regulated in the laws. Such court are the courts for children, trading court, human rights court, the court for corruption, the relantonship industrial court and fishery court under the first instance court and tax court under the supervision of administration court. Keywords: Islamic Court, Special Courts, Settling the Disputes. A. LATAR BELAKANG Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa: Peradilan Syari ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum. 1 Pasal 1 Angka (8) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Pengadilan khusus tersebut hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang pembentukannya harus *) Yusrizal, S.H., M.H., Sulaiman, S.H., M.Hum, Mukhlis, S.H., M.H., adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. 1 Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, jo Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ISSN: 0854-5499

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis diatur dalam undang-undang. 2 Lebih lanjut penjelasan Pasal 27 ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara. Undang-undang tersebut tidak menjelaskan dimana kedudukan Mahkamah Syar iyah sebagai pengadilan khusus sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Sejak peresmian Mahkamah Syar iyah pada tanggal 4 Maret 2003, Mahkamah Syar iyah dan Mahkamah Syar iyah Provinsi langsung menggantikan fungsi wewenang Pengadilan Agama (PA) menjadi wewenang Mahkamah Syar iyah, wewenang Pengadilan Tinggi Agama (PTA) menjadi wewenang Mahkamah Syar iyah Provinsi. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003. Pengalihan fungsi dan wewenang pengadilan itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan undang-undang ini, Mahkamah Syar iyah dijadikan sebagai peradilan syari at Islam dengan kewenangan absolut meliputi seluruh aspek syari at Islam, yang pengaturannya ditetapkan dalam bentuk Qanun. Secara yuridis kedudukan Mahkamah Syar iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem Peradilan Nasional memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah membuat ketidakjelasan mengenai kedudukan Mahkamah Syar iyah di Aceh. 2 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 66

Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011). Hingga saat ini Mahkamah Syar iyah belum sepenuhnya melaksanakan fungsinya sebagai pengadilan khusus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Mahkamah Syar iyah hanya melaksanakan fungsinya dalam ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari ah, sedangkan perkara jinayah hanya terbatas pada perkara khamar (minuman keras), khalwat (mesum), maisir (judi). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka terlihat bahwa masih banyak fungsi Mahkamah Syar iyah sebagai pengadilan khusus yang belum dilaksanakan khususnya untuk perkaraperkara pidana (jinayah) yang merupakan kewenangan peradilan umum. Berdasarkan uaian di atas tulisan ini akan menguraikan 2 (dua) permasalahan yaitu pertama, fungsi dan kedudukan Mahkamah Syar iyah sebagai pengadilan khusus dalam penyelesaian sengketa. kedua, konsep keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar iyah dalam menjalankan fungsinya sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan di Indonesia? B. PEMBAHASAN 1. Fungsi dan kedudukan Mahkamah Syar iyah sebagai pengadilan khusus dalam penyelesaian sengketa negara hukum. Pembicaraan tentang adanya kekuasaan kehakiman yang bebas tidak terlepas dari ide Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok Negara hukum (Rechtsstaat) dan prinsip the rule of law. Demokrasi mengutamakan the will of the people, Negara Hukum mangutamakan the rule of law. Banyak sarjana yang membahas kedua konsep itu, yakni demokrasi dan negara hukum dalam satu kontinum yang tak terpisahkan satu sama lain. Namun keduanya perlu dibedakan dan dicerminkan dalam institusi yang terpisah satu sama lain. 3 Membicarakan tentang pelaksanaan kemandirian kekuasaan kehakiman, perlu ada parameter yang jelas yang menjadi tolak ukur mandiri atau tidaknya lembaga peradilan 3 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Buana Ilmu Popular, Jakarta, 2007, hlm. 511 67

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis tersebut. Kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari pertama, kemandirian lembaganya, kemandirian proses peradilannya, dan kemandirian hakimnya. Prinsip merdeka dalam menyelenggarakan peradilan ini berasa1 dari pemisahan kekuasaan, baik yang dikemukakan John Locke maupun Montesquieu. Dari kedua teori tentang pemisahan kekuasaan ini yang lebih dikenal adalah teori pemisahan kekuasaan yang berasal dari Montesquieu. Menurut Montesquieu, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, cabang-cabang kekuasaan yang ada dalam negara harus terpisah dalam tiga organ (badan). 4 Munculnya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan lain, dijiwai oleh teori Trias Politica dari Montesquieu. Ternyata pengaruh teori tersebut juga terjadi terhadap Indonesia. Hal ini dapat kita baca dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Di Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya menganut teori Montesquie, Mahkamah Agung dianggap sebagai cerminan kekuasaan yudikatif. Sebagai kekuasaan yudikatif, Mahkamah Agung, membagi kekuasaannya pada badan-badan peradilan di bawahnya dan dalam hal ini Mahkamah Agung mempunyai kekuasaan atas badan-badan peradilan di bawahnya. Badan-badan peradilan tersebut, masing-masing mempunyai kewenangan tersendiri yang sering disebut sebagai kewenangan absolut. Kewenangan absolut yang disebut juga atribusi kekuasaan adalah semua ketentuan tentang apa yang termasuk dalam kekuasaan suatu lembaga peradilan. Kewenangan ini biasanya diatur di dalam undangundang yang mengatur susunan dan kekuasaan lembaga peradilan yang bersangkutan. 5 4 Sri soemantri, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, dikutib dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial, Jakarta, 2006, hlm. 8 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 332 68

Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011). Berbicara tentang peradilan, sesungguhnya pada saat yang sama kita telah pula membicarakan mengenai kekuasaan kehakiman atau sistem peradilan sebagai bagian dari kekuasaan negara. Sistem peradilan Indonesia dari masa kemasa ada perubahan sesuai dengan perubahan ketatanegaraan yang berlaku. Sistem peradilan ditentukan sistem hukum yang dianut dan politik, untuk yang terakhir dalam ketatanegaraan Indonesia dalam Amandemen ketiga UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 UUD 1945 ayat (1), (2), dan (3) merumuskan bahwa : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Sebagaimana Pasal tersebut di atas, badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Sementara itu, Peradilan Syari at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar iyah Kota atau Kabupaten untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syar iyah Provinsi untuk tingkat banding, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mempunyai keunikan yang berbeda dengan badan peradilan khusus lainnya karena ia merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. Undang-undang kekuasaan kehakiman yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Pengadilan Khusus adalah 69

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Pengadilan khusus tersebut hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang pembentukannya harus diatur dalam undang-undang. 6 Lebih lanjut penjelasan Pasal 27 ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara. Undang-undang tersebut tidak menjelaskan kedudukan Mahkamah Syar iyah sebagai pengadilan khusus sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dimungkinkan dibentuknya pengadilan khusus seperti pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum. Pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha Negara adalah pengadilan pajak. Dalam lingkungan pengadilan agama terdapat peradilan syari at Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syar iyah. Peradilan syari at Islam di Aceh (Mahkamah Syar iyah) merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang 6 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 70

Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011). kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pengadilan khusus tersebut dapat dilihat dari obyek perkara yang diadili dan juga berdasarkan kewenangan yang dimiliki badan peradilan. Jika dilihat dari obyek perkara, ada perkara-perkara yang memerlukan keahlian khusus dalam pemeriksaannya, bidang tersebut tidak semua hakim dapat mengadilinya karena keterbatasan hakim dalam bidang itu seperti perkara niaga, hak asasi manusia dan pajak. Selain memerlukan keahlian khusus, ada juga pengadilan yang membutuhkan penanganan khusus seperti pengadilan anak agar anak yang melakukan tindak pidana tidak merasa bahwa dirinya sedang diadili sehingga harus diciptakan kesan kekeluargaan bagi anak. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa Provinsi Aceh adalah provinsi yang diberi otonomi khusus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemberian otonomi khusus tersebut juga memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi Aceh untuk membentuk Mahkamah Syar iyah yang merupakan bagian dari pelaksanaan syari at Islam. Dengan disahkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka undang-undang ini memberikan pengaturan yang lebih jelas dibandingkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam hal pengaturan lembaga peradilan. Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus, yang berbentuk qanun mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Syar iyah dengan didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang hanya diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. 71

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis Kewenangan terhadap orang-orang yang bukan beragama Islam menurut ketentuan Pasal 129 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemeintahan Aceh dapat pula dialihkan dari Pengadilan Negeri ke Mahkamah Syar iyah, yaitu : Dalam hal terjadi perbuatan Jinayah (Tindak Pidana) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama Bukan Islam, pelaku yang beragama Bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jinayah. Hukum Jinayah ini yang berwenang adalah Mahkamah Syar iyah. Kemudian bagi orang-orang yang Bukan Islam melakukan tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana diluar KUHP, maka diberlakukan atas dasar Syari at Islam pula, yaitu di Mahkamah Syar iyah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh memberi landasan bagi peradilan syariah di Nanggroe Aceh Darussalam sehingga mempunyai kedudukan yang cukup kuat. Dalam pasal 269 ayat (3) disebutkan bahwa perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Akan tetapi di sisi lain, keberadaan peradilan syari ah yang dituangkan di dalam peraturan perundangundangan yang lebih pada pertimbangan politis, dan tidak didasarkan (misalnya) pada referendum atau penelitian khusus, mungkin dalam pelaksanaannya dapat mengalami hambatan dan menjadi permasalahan. 7 Oleh karenanya peradilan syariah ini harus diletakkan secara tepat di dalam sistem peradilan di Indonesia. 7 Azyumardi Azra, Republika Online, 7 Maret 2003. 72

Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011). 2. Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar iyah dalam menjalankan fungsinya sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan di Indonesia Peradilan syari at Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syar iyah merupakan pengadilan khusus jika dilihat dari segi wewenang yang dimiliki. Dikatakan pengadilan khusus karena Mahkamah Syar iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai 2 (dua) kewenangan sekaligus yakni kewenangan pengadilan umum dan kewenangan pengadilan agama yang dilakukan oleh satu badan peradilan. Syari at Islam di Aceh telah diberlakukan secara khusus, yaitu dengan keluarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka secara yuridis Syari at Islam tersebut menjadi Hukum Positif bagi masyarakat NAD, karena Syari at Islam telah mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara kaffah. Konsekuensi logis dari diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dan Syari at Islam sebagai landasan hukumnya bagi masyarakat NAD ini, maka seluruh lapisan masyarakat NAD yang beragama Islam wajib hukumnya untuk mentaati dan mengamalkan Syari at Islam. Landasan filosofis pelaksanaan Syari at Islam di Aceh tersebut terdapat dalam Pembukaan alenia ketiga. Otje Salman 8 mengatakan bahwa pembukaan alenia ketiga menjelaskan pemikiran religius bangsa Indonesia, bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang begitu kental dengan nilai-nilai ke- Tuhanan. Hukum yang berlandaskan Syari at Islam ini, karena sudah merupakan sebagai Hukum Positif bagi masyarakat Aceh yang beragama Islam, apabila masyarakat melakukan pelanggaran Syari at Islam atau pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya, seperti melakukan Perbuatan Jinayah ( Tindak Pidana ), maka bagi masyarakat Aceh yang beragama Islam akan diperiksa dan diadili perkaranya oleh Mahkamah Syar iyah bukan oleh Pengadilan 8 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 157 73

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis Negeri lagi, yaitu Pengadilan selaku pelaksana Kekuasaan Kehakiman dalam Lingkungan Peradilan Agama yang merupakan bagian dari Sistem Peradilan Nasional. Dengan diberlakukannya Undang Undang Pemerintahan Aceh, hampir semua kewenangan Pengadilan Negeri dalam hal memeriksa dan mengadili perkara Pidana dan perkara Perdata akan dialihkan ke Mahkamah Syar iyah terutama bagi para terdakwa dan para pencari keadilan yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 128 ayat (2) UUPA, yang berbunyi : Mahkamah Syar iyah merupakan Pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka secara otomatis kewenangan Pengadilan Negeri yang berada di seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam menjadi sangat terbatas, yaitu terbatas pada para Terdakwa dan para Pencari Keadilan yang beragama bukan Islam saja. Bahkan kewenangan terhadap orang-orang yang bukan beragama Islam pun menurut ketentuan Pasal 129 ayat ( 1 ) UUPA dapat pula dialihkan dari Pengadilan Negeri ke Mahkamah Syar iyah, yaitu : Dalam hal terjadi perbuatan Jinayah (Tindak Pidana) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama Bukan Islam, pelaku yang beragama Bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jinayah. Dan Hukum Jinayah ini yang berwenang adalah Mahkamah Syar iyah. Kemudian bagi orang-orang yang Bukan Islam melakukan tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana diluar KUHP, maka diberlakukan atas dasar Syari at Islam pula, yaitu di Mahkamah Syar iyah ( Vide : Pasal 129 ayat 2 UUPA ), sehingga dengan demikian semakin sempit dan sangat terbatas kewenangan Pengadilan Negeri di Aceh pasca undang-undang ini. Dengan bertambahnya kewenangan Mahkamah Syar iyah untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang sebelumnya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, maka akan bertambah pula volume perkara yang masuk untuk diperiksa dan diadili, sehingga akan bertambah sibuk dan diperlukan Sumber Daya Manusia yang handal, baik Hakim-hakimnya 74

Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011). maupun para karyawannya, karena selama ini Mahkamah Syar iyah belum terbiasa untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara seperti di Pengadilan Negeri. Oleh karena itu di Mahkamah Syar iyah perlu penambahan Hakim dan karyawannya, karena tugas dan kewenangannya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. C. KESIMPULAN 1. Hingga saat ini Mahkamah Syar iyah belum sepenuhnya melaksanakan fungsinya sebagai pengadilan khusus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Mahkamah Syar iyah hanya melaksanakan fungsinya dalam ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari ah, sedangkan perkara jinayah hanya terbatas pada perkara khamar (minuman keras), khalwat (mesum), maisir (judi). 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Mahkamah Syar iyah merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama. Kewenangan Mahkamah Syar'iyah tidak lagi terbatas dalam bidang perdata tertentu saja, tetapi juga mencakup bidang mu'amalah dan jinayah. Namun faktanya peraturan perundangundangan yang menyangkut tugas-tugas Mahkamah Syar'iyah masih belum lengkap dan hal ini merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi. Sementara Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tidak lagi menjelaskan tentang Mahkamah Syar iyah sehingga kedudukan dan kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh menjadi tidak jelas. 75

Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 53, Th. XIII (April, 2011). Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis DAFTAR PUSTAKA Jimly Assiddiqie (2007), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Buana Ilmu Popular, Jakarta. Mohammad Daud Ali (1997), Hukum Islam dan Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Otje Salman dan Anton F. Susanto (2005), Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung. Sri Soemantri (2006), Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, dikutib dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Sumber Lain Azyumardi Azra, Republika Online, 7 Maret 2003. 76