Keywords: Status, Authority, Relationship, Mahkamah Syar iyah, Aceh Province

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Keywords: Status, Authority, Relationship, Mahkamah Syar iyah, Aceh Province"

Transkripsi

1 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh dengan Peradilan Agama dan Peradilan Umum (Relationship and the authority of Mahkamah Syar iyah in Aceh Province to the Religious and General Court) Oleh Hadi Iskandar 1 Abstract Article 18 B Poin (1) the 1945 Constitution states that the State recognizes and respects the local government units that special and specific, which is established by law. There for the special autonomy provinces such as Aceh, Papua, and West Papua are exist. This study describes the relationship and the authority of Mahkamah Syar iyah based on Indonesian law in Aceh. It was conducted through descriptive analytic legal research. The primary data was collected from literature or library research and government documents. This study shows that according to the law, Mahkamah Syar iyah in Aceh is a special court in religious court system and special court in general court. In fact, the problem found in this study that is the regulation concerning the function of Mahkamah Syar iyah is still not comprehensive yet. Keywords: Status, Authority, Relationship, Mahkamah Syar iyah, Aceh Province A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang Undang Dasar 1945 mengatur tentang Otonomi khusus suatu daerah atau bersifat istimewa 2. Daerah yang telah mendapat otonomi khusus tersebut adalah Provinsi 1 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 2 Dalam UUD 1945 Pasal 18 disebutkan Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa. Setelah UUD

2 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) Papua dan Provinsi Aceh 3 yang keduanya tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hal tersebut merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pada Sidang Umum MPR tahun 1999 melahirkan Ketetapan MPR Nomor/IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara mengatur secara hukum otonomi khusus yang di berikan kepada dua Provinsi, Yaitu Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya. 4 Dalam kontek sejarah penyelenggaraan Pemerintahan Republik Indonesia menunjukan, bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi penting penyelenggaraan pemerintahan negara. Otonomi Daerah diadakan bukan sekedar menjamin efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, bukan pula sekedar menampung kenyataan Negara yang luas, penduduk banyak dan beribu-ribu pulau, akan tetapi otonomi daerah merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat bahkan tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah merupakan salah satu sendi ketatanegaraan Republik Indonesia. 5 Daerah otonomi yang bebas dan mandiri mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri 1945 diamandemen klausul tersebut tercantum dalam pasal 18 B Ayat (1) disebutkan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang 3 Sebelum diadopsinya ketentuan Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945, daerah Provinsi yang sudah lebih dulu berstatus sebagai daerah khusus atau istimewa adalah (i) Daerah Istimewa Aceh; (ii) Daerah Istimewa Yogyakarta; (iii) Daerah Khusus Ibukota Jakarta., Aceh disebut istimewa karena memang dalam sejarahnya didasarkan atas kompromi untuk mengatasi pergolakan terus menerus dalam hubungannya dengan pemerintahan pusat, Yogyakarta dinamakan khusus karena latar belakang kesultanan sebagai bentuk pemerintahan keraton Yogyakarta. Sedangkan Jakarta sebagai ibukota negara diperlakukan sebagai daerah Provinsi yang bersifat khusus. Lihat Jimly Asshiddiqi, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer,Jakarta, hlm Dalam rangka pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh maka perlu di tempuh langkah-langkah sebagai berikut; Mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh dan irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus yang diatur dengan Undang undang. Lihat Titik Triwulan, 2006, Pokok-Pokok hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka Republika,Jakarta, Hlm Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Uniska, Krawang, hlm

3 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN merasa diberi tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia 6 Salah satu bentuk formal otonomi khusus Aceh adalah implementasi syariat Islam yang kemudian dibentuknya lembaga Peradilan Syari at Islam di Provinsi Aceh dilakukan oleh Mahkamah Syariah didasarkan atas Syari at Islam yang menjadi salah satu bagian dari otonomi khusus di Provinsi Aceh. 7 Pelaksanaan Syari at Islam yang diberikan untuk Aceh merupakan otonomi khusus yang di amanatkan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134), telah dicabut dan diganti dengan Undang undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633) sebagai tindak lanjut dari salah satu pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani di Helsinky, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, berdasarkan konsiderans dan hierarki perundang-undangan yaitu Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 18 B ayat (1) Undang Undang Dasar Pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. Bunyi pasal ini merupakan fundamen dasar dalam mengatur kewenangan yang terdapat pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, artinya diberlakukan undang-undang ini merupakan bagian dari bentuk Negara kesatuan. Dalam kaitannya dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan dalam hal proses pembentukan Undang-undang tersebut. 8 Selain itu Pasal 18 B ayat (1) menjelaskan Negara juga mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, hal tersebut dicantumkan pada konsiderans di masing-masing Undang Undang tersebut. 6 Husni Jalil, 2005, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Aceh dalam Negara Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV.Utomo, Bandung, hlm.3. 7 Pasal 25 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 sebagai UU yang mengatur otonomi khusus daerah Istimwa Aceh sebagai Provinsi NAD & Pasal 128 Ayat (4) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 8 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang Undang Dasar

4 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 172, tambahan lembaran Negara Nomor 3893), telah memberikan harapan bagi masyarakat Aceh untuk menyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada daerah yaitu: penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. 9 Inti dari penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat 10, Undang undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang undang Nomor 11 Tahun 2006 mengandung ketentuan untuk mengaplikasikan syariat Islam (hukum Islam) dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh. 11 Berdasarkan Pasal 18 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara tahun 2009 Nomor 157, tambahan lembaran Negara Nomor 4958), Lingkungan Peradilan di Indonesia terdiri dari: a. Lingkungan Peradilan Umum b. Lingkungan Peradilan Agama c. Lingkungan Peradilan Militer d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Ke-empat lingkungan Peradilan tersebut berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan negara tertinggi dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 12 Keberadaan Peradilan Agama yang diatur dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jontco Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan 9 Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh 10 Pasal 4 Ayat (1) UU No. 44 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh 11 Penjelasan umum UU No. 11 tahun 2006 disebutkan...kehidupan demikian menghendaki adanya implementasi formal penegakan Syariat Islam. Itulah yang menjadi bagian dari anatomi keistimewaan Aceh. Penegakan Syariat Islam dilakukan dengan asas personalitas keislaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh. 12 Lihat Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 63

5 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Agama, sampai saat ini sangat dirasakan perlu dan berguna sebagai Peradilan keluarga bagi umat Islam, dan telah berjalan sebagaimana mestinya, putusannya ditaati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. 13 Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia keberadaan Mahkamah Syar iyah (Pengadilan Agama) di Aceh, selain merupakan kelanjutan dari Mahkamah Agama di zaman jepang, juga didasarkan kepada kawat Gebernur Provinsi Sumatera tanggal 22 Pebruari 1947 Nomor 226/3/Djaps yang berisi perintah untuk membentuk Mahkamah Syar iyah di Aceh. Kemudian dikuatkan lagi dengan keputusan Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor 35 tanggal 3 Desember setelah itu Mahkamah Syar iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tentang Pengadilan Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh Muchtar Yusuf, Of.Cit. Hlm Ada dua ketentuan dari PP ini yang menjadi kendala bagi Pengadilan Agama (Mahkamah Syar iyah), Pertama tentang kompetensi absolutnya yang mengambang. PP ini menyatakan bahwa beberapa bidang hukum kekeluragaan dan kewarisan menjadi kewenangan pengadilan agama hanyalah apabila menurut hukum yang hidup masalah tersebut diselesaikan dengan hukum Islam dan masyarakat setempat pun telah memberlakukan (menerima) hukum Islam dengan suka rela. Tidak ada lembaga yang berhak menentukan batas atau ukuran dari menurut hukum yang hidup tersebut, sehingga pengertiannya cenderung sangat elastis dan menjadi perebutan antara Pengadilan Agama dan pengadilan Negeri. Kedua lembaga ini cenderung menafsirkannya sesuai dengan selera dan kepentingan masing-masing. Masalah kedua putusan Pengadilan Agama hanya bisa dijalankan setelah memperoleh pengukuhan dari pengadilan Negeri dan yang menjalankannya pun adalah Pengadilan Negeri, karena hal tersebut, keberadaan pengadilan Agama sangat bergantung pada belas kasihan Pengadilan Negeri. PP ini tidak berjalan efektif di Aceh karena masalah yang sudah di pengadilan agama, oleh pihakyang merasa dirugikan akan diajukan kembali ke Pengadilan Negeri, dan Pengdilan Negeri Pada Umumnya akan memeriksa serta memutuskannya kembali berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai hukum adat. Keputusan inilah yang akan berlaku ditengah masyarakat. Sebaliknya, apabila perkara dibawa ke Pengadilan Negeri dan pihak yang tidak puas, maka sengketa tersebut akan diajukan kembali ke Mahkamah Syariah dan oleh kebijakan Mahkamah Syariah akan diperiksa serta diputus berdasar hukum Islam. Tetapi putusan ini tidak akan dapat dijalankan di lapangan karena yang melaksanakan putusan Mahkamah Syariah adalan pengadilan Negeri. Biasanya mereka tidak mau menjalankan putusan yang tidak sejalan dengan putusan yang telah mereka buat. Keadaan ini hanya bisa diatasi setelah terjadi kesepakatan bersama antara Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan Ketua Mahkamah Syariah Provinsi Aceh pada tahun 1971 yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Nomor 4448/UM/P.T dan B/I/228. Dalam kesepakatan ini ditetapkan bahwa semua masalah kewarisan diserahkan kepada Pengadilan Agama. Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan memutuskannya. 64

6 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) Berdasarkan gambaran tentang keberadaan Peradilan Islam, khususnya Mahkamah Syar iyah pada masa lalu di Aceh sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kehadiran Peradilan Syariat Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh saat ini, bukanlah hadiah dari pemerintah pusat kepada masyarakat Aceh, tetapi lebih merupakan Pengembalian Hak Masyarakat Aceh yang telah pernah hilang. 15 Oleh karana itu kehadiran dan kiprahnya di tengah masyarakat Aceh sebagai bagian dari pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah di Provinsi Aceh merupakan hal yang ditunggu-tunggu mayarakat di tanah rencong ini. Lahirnya Undang Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2001 serta Undang Undang No 11 Tahun 2006 membawa harapan yang sangat besar bagi masyarakat Aceh untuk terlaksananya syari at Islam di Provinsi Aceh, dan ada kajian yang sangat menarik dan berbeda khususnya menyangkut kedudukan Pengadilan Agama di Aceh, apakah berada dalam empat lingkungan perdilaan atau merupakan peradilan khusus yang disebut dengan Mahkamah Syar iyah di Aceh termasuk penambahan kewenangannya dalam menyelesaikan bidang jinayah (pidana). Keberadaan Mahkamah Syar iyah di Aceh diperkuat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh. Keberadaan dan pembentukan Mahkamah Syar iyah yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 4 Maret Mengacu kepada keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003, Mahkamah Syar iyah dan Mahkamah Syar iyah Provinsi langsung menggantikan fungsi wewenang Pengadilan Agama (PA) menjadi wewenang Mahkamah Syar iyah dan wewenang Pengadilan Tinggi Agama (PTA) menjadi Mahkamah Syar iyah Provinsi, maka sejak tanggal 4 Maret 2003 seluruh sarana, prasarana, pegawai dan alat kelengkapan pengadilan serta wilayah hukum Pengadilan Agama yang ada di Provinsi Aceh menjadi milik Mahkamah Syar iyah di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Mahkamah Syar iyah dijadikan sebagai Sedang mengenai pelaksanaan putusan, Mahkamah Syariah (Pengadilan Agama) tetap dianggap tidak berhak. Pelaksanaan putusan tetap menjadi kewenangan dan hanya boleh dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Ahmad Gunarya, 2006, Pergumulan Politik & Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Semarang, Hlm Sofyan M. Saleh, 2003, Mahkamah Syar iyah Di Prov. NAD. Mimeo, Makalah di sampaikan pada Pelatihan Para Hakim Mahkamah Syar iyah di Banda Aceh, 25 Agustus Hlm

7 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN peradilan syari at Islam dengan kewenangan Absolut meliputi aspek Syari at Islam, yang pengaturan ditetapkan oleh qanun Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, maka dirumuskan permasalahan yang berkenaan dengan pokok penelitian tentang bagaimana hubungan dan wewenang Mahkamah Syar iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Peradilan Agama dan Peradilan Umum? 3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan dan wewenangan Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh dengan Peradilan Agama dan Peradilan Umum. 4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1) Secara teoretis, penelitian ini berguna dalam rangka pengembangan HTN, terutama bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang sistem peradilan di Indonesia umumnya dan di Provinsi Aceh khususnya Selanjutnya, dengan penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang kedudukan dan wewenang Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh dengan diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 2) Secara praktis, diharapkan penelitian ini berguna sebagai sumbangan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Aceh dalam penyelenggaraan penegakan hukum ke depan yang lebih baik, dan dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna daerah, khususnya dalam mempertahankan penegakaan syariat islam dan mempertahankan tiga keistimewaannya. Di samping itu juga dapat menjadi sumbangan bagi Pemerintah Pusat dalam perencanaan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan hak-hak asal-usul daerah istimewa sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD Pasal 128 Ayat (4) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 66

8 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) 5. Metode Penelitian Jenis Penelitian ini adalah penelitian normatif 17, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analistis yaitu penelitian yang mengambarkan fakta-fakta yang diteliti, kemudiaan menganalisa dan mengevaluasi persoalan-persoalan yang ada dalam fakta-fakta tersebut atau menggambarkan beberapa persoalan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya mengenai kewenangan Mahkamah Syar iyah dalam penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang selanjutnya akan dianalisis menggunakan konsep-konsep yang terdapat dalam kerangka pemikiran. dengan pendekatan yuridis normative. 18 Melalui pendekatan yuridis normatif, penulis mengkaji kaidah-kaidah hukum dan aturan yang berlaku dari aspek kaidah-kaidah hukum tata negara, khususnya kaidah yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum. 17 Penelitian hukum normatif adalah prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif. Jonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum. Malang, Bayumedia. Hlm. 47. Sedangkan Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan bahwa penelitian hukum normatif yang juga bisa disebut penelitian hukum yang doktrinal biasanya hanya dipergunakan sumber-sumber data sekunder saja, yaitu peraturan-peraturan perundang-undanga, keputusan pengadilan, teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka. Soejono dan Abdurrahman,1999, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, Hlm Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial yang dikenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif. Bahder Johan Nasution,2008 Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, Hlm

9 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Teori hukum akan membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. 19 Untuk dapat menjawab rumusan masalah di atas serta pandangan yang lebih terarah terhadap kedudukan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Aceh, penelitian ini mendasarkan pada teori tentang negara hukum dan teori organ oleh J.H.A. Logemann, dan makna asas desentralisasi dalam negara kesatuan serta kekhususan yang diberikan untuk Aceh, khususnya tentang Mahkamah Syar iyah. B. PEMBAHASAN Upaya pelaksanaan penegakan hukum atas pelanggaran kekuasaan kehakiman yang merdeka pada pasal 3 ayat (2) dan (43) Nomor 48 Tahun 2009 merupakan cita hukum saja, sebab bila diperhatikan ketentuan hukum pidana materil belum, seharusnya untuk mewujudkan hal tersebut terlebih dahulu harus diatur dalam hukum pidana materil. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 18 menentukan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Sudikno Mertokusomo kebebasan pengadilan, hakim, atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat dimanamana, kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap warga atau negara. Dimanamana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan dinegara-negara Eropa timur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun semuanya mengenal kebebasan peradilan, tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan dinegaranya. 20 Secara konstitusional pengaturan mengenai lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah diatur dalam Bab IX dengan titlel kekuasaan Kehakiman pasal 24, pasal 25 A, Pasal 24B dan pasal 24C 19 W. Friedmann,1993, Teori & Filsafat hukum terjemahan dari Legal Theory, cetakan kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm Sudikno Mertokusumo,1997, Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No.9 Vol 4,Hlm

10 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) UUD 1945, Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (tidak mengenal adanya cabang kekuasaan kehakiman), baru sebelum amandemen ketiga UUD 1945 dalam Bab IX kekuasaan kehakiman menganut siste bifurkasi (bifurcation system) dimana kekuasaan kehakiman terbagi 2 (dua) cabang yaitu: 1) Cabang peradilan biasa (ordinal court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi (judical review) yang dilakukan oleh mahkamah konstitusi 21. Selain kedua cabang tersebut diatas masih ada satu cabang kekuasaan kekuasaan kehakiman yang dianut dalam amandemen Undang Undang Dasar 1945, yaitu cabang bidang pengawasan dilaksanakan oleh komisi yudisial. Perubahan Undang Undang Dasar 1945 dalam bidang kekuasaan kehakiman (bab IX) amandemen ketiga, memberikan kewenangan yang sangat luas terhadap kekuasaan kehakiman untuk melakukan koreksi terhadap segala perbuatan atas pelanggaran hukum yang yang terjadi dalam masyarakat, melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang-undang, pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar dan memeriksa sengketa politik. Demi efektifitas pelaksanaan dari ketentuan pasal 24 Undang Undang Dasar 1945, maka dibuatlah dan ditetapkannya beberapa undang-undang di bidang kehakiman yaitu antara lain, Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Undang Undang Nomor 5 tahun 2005 tentang Mahkamah Agung, Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha negara, Undang Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang Uundang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pengertian kekuasaan kehakiman secara normatif diatur dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetapkan bahwa: Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal sebagaimana disebut 21 Fathurahman, dkk, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT.Aditya Bakti, Bandung. 69

11 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945, Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusannya berdasarkan pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan Aceh sebagai daerah Otonomi Khusus yang diberikan kekuasaan dan wewenang bagi Provinsi Aceh yang luas. Ini sangat berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah lain di Indonesia, dimana Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Aceh yang diberikan hak-hak yang khusus dalam tiga hal, Pendidikan, Agama dan Peradatan. Dengan demikian kedudukan Provinsi Aceh dalam penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan daerah mendapat kedudukan yang Khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Aceh. Sebelum dikeluarkan keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar iyah dan Mahkamah Syar iyah Provinsi Naggroe Aceh Darusalam, terdapat 2 (dua) pandangan tentang pembentukan Mahkamah Syar iyah berkenaan dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001, Pertama, Mahkamah Syar iyah merupakan badan peradilan tersendiri diluar Pengadilan Agama dan pengadilan Tinggi Agama, Kedua, Mahkamah Syar iyah merupakan pengembangan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang mengacu pada Undang undang Nomor 7 tahun 1989, tentang Pengadilan Agama, namum berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan (3) KEPPRES Nomor 11 Tahun 2003, Pengadilan Agama yang telah ada di Provinsi NAD diubah menjadi Mahkamah Syar iyah dan Pengadilan Tinggi Agama di Banda Aceh di ubah menjadi Mahkamah Syar iyah Provinsi, dengan demikian pandangan kedua mengandung masalah kekuasaan pengadilan ketika dihubungkan dengan pelaksanaan syari at Islam sebagaimana dirumuskan dalam Perda Provinsi Aceh Nomor 5 tahun 2000, tentang Pelaksanaan Syari at Islam yang juga mencakup pada bidang muamalah dan jinayah 22. Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, yakni bidang Perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, 22 Pasal 5 ayat (2) Perda Provinsi Aceh No 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam meliputi: (a) Aqidah; (b) Ibadah; (c) Mu amalah; (d) Akhlak; (e) Pendidikan dan dakwah Islamiyah/amarma ruf nahimungkar; (f) Baitul Mal; (g) Kemasyarakatan; (h) Syiar Islam; (i) Qadha; (j) Jinayat; (k) Munakahat; (l) Mawaris 70

12 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) zakat, infaq, sahdaqoh, dan ekonomi syari ah. 23 Pada sisi yang lain berkembang dalam masyarakat Aceh yang menghendaki Kekuasaan Mahkamah Syar iyah lebih luas baik dalam bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana yang didasarkan atas syari at Islam. 24 Setelah diresmikan pembentukan Mahkamah Syar iyah pada tanggal 4 maret 2003, belum ada peraturan yang melimpahkan kewenangan dari peradilan umum kepada Mahkamah Syar iyah di Provinsi Naggroe Aceh Darusalam, namum baru tanggal 6 Oktober 2004 dilakukan pelimpahan sebagian kewenangan dari Peradilan umum kepada Mahkamah Syar iyah melalui keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/070/SK/X/2004 tentang pelimpahan sebagian kewenangan dari peradilan umum kepada Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh.yang tergolong ke dalam bidang Perdata (Mu amalah) dan Pidana (jinayah) sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dilimpahkan kepada Mahkamah Syar iyah Provinsi Naggroe Aceh Darusalam. Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa pelimpahan kewenangan dalam perkara jinayah dan Mu amalah tersebut hanya bagi subjek hukum yang beragama Islam dalam perkara yang ditetapakan oleh qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, sementara dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dijelaskan bahwa. Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah 25 Dengan dimulainya formalisasi syariat di Aceh maka benturan antara pusat dan daerah terjadi di wilayah wewenang dan pelimpahan kekuasaan, di satu sisi Aceh telah diberi hak untuk membuat aturan pelaksanaan hukum berdasar syariat Islam, namum pengaturan itu hanya di undangkan dengan qanun (peraturan daerah) yang berada di level terbawah dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia. 23 Pasal 48 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undag-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 24 Pasal 128 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 25 Pasal 129 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 71

13 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Sebagai tindaklanjut dari pelaksanaan Undang-Undang tersebut di atas, Pemerintah Provinsi Aceh telah mengeluarkan Qanun Nomor 10 Tahun 2002, Tentang Peradilan Syariat Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober berdasarkan Qanun tersebut Mahkamah Syar iyah merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya. 26 Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002, Tentang Peradilan Syariat Islam kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar iyah adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang: (a) Al-ahwal Al-syakhshiyah. (b) Muamalah. (c) Jinayah 27. Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum Nasional 28 yang akan diatur lebih lanjut dalam Qanun Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam. 29 Di Nanggroe Aceh Darussalam, cita-cita penegakan syari at Islam dengan cakupan yang lebih luas diharapkan dapat terlaksana di bumi Serambi Mekkah ini, dibanding daerah-daerah lain yang juga berupaya memanfaatkan momentum otonomi daerah, melalui status keistimewaannya di Aceh tampak lebih 26 Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada yang diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang juga berwenang menangani perkara-perkara tertentu sesuai dengan hukum Syar at Islam, harus dikembangkan, diselaraskan dan disesuaikan dengan maksud Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, agar tidak terjadi dualisme dalam pelaksanaan Peradilan Syariat Islam yang dapat menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum. Maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana dan prasarananya) yang telah ada di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dialihkan menjadi lembaga Peradilan Syariat Islam. Lihat Pasal 2 ayat (3) beserta penjelasannya Qanun No. 10 Tahun Penjelasan Pasal 49 tersebut huruf c tentang jinayah sebagai berikut yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayah adalah: (i) Hudud yang meliputi : zina,menuduh berzina, mencuri,merampok, minuman keras, dan Napza, murtad, pemberontakan (Bughaat); (ii) Kishash/diyat yang meliputi: pembunuhan dan penganiayaa; (iii) Ta zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran Syariat selain hudud dan kisas/diat seperti: Judi, Khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan 28 Topo Santoso, 2003, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, hlm Pasal 25 ayat (2) Undang Undang Nomor 18 Tahun

14 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) progresif dalam upaya membumikan syariat. 30 Ada dua dasar hukum awal mengenai penegakan syariat di Nanggroe Aceh Darussalam yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan titik awal berdirinya kembali Provinsi Aceh yang sebelumnya telah di leburkan dengan Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 1950 oleh Pemerintah Republik Indonesia. dan dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh juga disebutkan pada konsiderans mengingat angka 2 tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun Sesuai perkembangan sosial politik dan aspirasi yang sangat kuat bagi otonomi yang luas, dua dasar hukum di atas masih dianggap belum cukup untuk menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh GBHN Tahun , dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang Undang ini memberikan fondasi yang kuat bagi Pemerintah Provinsi NAD untuk berperan aktif dalam rangka menegakan syari at Islam di Aceh secara Kaffah, tampak ada upaya penegakan syariat Islam dengan cakupan yang lebih luas, jadi bukan hanya dibidang hukum keluarga/waris saja, tapi juga dalam lapangan hukum publik. 32 Dengan berpijak Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dipelajari mengenai kewenangan yang diperoleh keempat peradilan lingkungan peradilan. Pada prinsipnya, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Apabila menelaah dari teori Montesquie mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, maka kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari dua kekuasaan lain di dalam suatu negara yakni kekuasaan eksekutif dan legislatif. Baik kekuasaan Yudikatif, Eksekutif maupun legislatif masing-masing berdiri sendiri, dari kekuasaan yudikatif inilah dibuat suatu pembidangan badan peradilan sendiri. 30 Topo Santosa, Loc. Cit. hlm Lihat konsiderans Undang-Undang Nomor 44 Tahun Topo Santoo, Loc.Cit. 73

15 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Di Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya menganut teori Montesquie, Mahkamah Agung dianggap sebagai cerminan kekuasaaan yudikatif. Sebagai kekuasaan Yudikatif, Mahkamah Agung membagi kekuasaan atas badan-badan peradilan dibawahnya. Badan-badan peradilan tersebut, masing-masing mempunyai kewenangan tersendiri yang sering disebut kewenangan absolut. Kewenangan Absolut yang sering disebut juga antribusi kekuasaan adalah semua ketentuan tentang apa yang termasuk di dalam Undang-Undang yang mengatur susunan dan kekuasaan lembaga peradilan yang bersangkutan. 33 Sebagaimana yang tersebut sebelumnya, badan-badan peradilan yang yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan di dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.sebagai pengadilan negaa tertinggi, kewenangan Mahkamah absolut Mahkamah Agung disebutkan sebagaiberikut: a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua lingkungan peradilan yang yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain; b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan c. Kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang. Sementara itu, Peradilan Syariat Islam di Provinsi Aceh yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar iyah Kota atau Kabupaten atau pada tingkat pertama dan Mahkamah Syar iyah Provinsi untuk tingkat banding, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, mempunyai keunikan yang bebeda dengan badan peradilan khusus lainnya karena ia merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. 33 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada,1997,hal

16 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) Kewenangan peradilan agama seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syari ah. 34 Dengan melihat kewenanganan pengadilan agama, maka Mahkamah Syar iyah pun sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama mampunyai kewenaganan sebagaimana tersebut di atas, dengan disesuaikan kedudukannya. Dalam hal ini kewenangan Mahkmah Syariah Provinsi sesuai dengan kewenangan pengadilan Tinggi Agama, dan kewenangan Mahkamah Syar iyah kabupaten atau kota sesuai dengan kewenangan pengadilan agama. Hal yang sama juga terjadi jika melihat kewenangan Pengadilan Umum seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Sementara Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili : a. Perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding, b. Di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar c. Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Dengan melihat pengadilan umum, maka Mahkamah Syar iyah pun sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum mempunyai kewenangan sebagaimana tersebut di atas dengan disesuaikan kedudukannya. Dalam hal ini kewenangan Mahkamah Syar iyah Provinsi sesuai dengan kewenangan pengadilan tinggi, dan kewenangan Mahkamah Syar iyah Kabupaten atau kota sesuai dengan kewenangan Pengadilan Negeri. Apabila diartikan secara sederhana, bahwa Mahkamah Syar iyah di tingkat Provinsi merupakan peralihan dari Pengadilan Agama dan Tinggi Agama, sedangkan Mahkamah Syar iyah di tingkat kota atau kabupaten, merupakan peralihan dari pengadilan negeri yang berdasarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar iyah dan Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh. Kesan secara sederhana ini dapat dipahami jika melihat yang terjadi saat ini dapat 34 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 75

17 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN dipahami jika melihat yang terjadi saat ini (selain pengadilan khusus 35 antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial) dan pengadilan pajak yaitu tempat kedudukan Pengadilan Niaga (yang berada di jakarta) dan pengadilan HAM berada di pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman lebih bersifat substansi kewenangannya yaitu sesuai dengan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang itu. Mahkamah Syar iyah dapat merupakan suatu tempat kedudukan tersendiri yang terpisah dari badan peradilan agama. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Provinsi Aceh di bidang Al-ahwal Alsyakhshiyah,Muamalah dan Jinayah, kewenangan tersebut berlaku asas personalitas, diberlakukan hanya pada pemeluk agama Islam dan Pelaku yang bukan beragama Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah, dan penduduk Aceh yang melakukan perbuatan Jinayah diluar Aceh berlaku aturan Hukum KUHP dan hubungan Mahkamah Syar iyah dengan peradilan lainnya dimana Peradilan Agama telah dileburkan menjadi Mahkamah Syar iyah, Peradilan syariat Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah merupakan pengadilan khusus jika dilihat dari segi wewenang yang dimiliki. Dikatakan pengadilan khusus karena Mahkamah Syariah di Provinsi NAD mempunyai 2 (dua) kewenangan sekaligus yakni kewenangan pengadilan umum dan kewenangan pengadilan agama yang dilakukan oleh satu badan peradilan, dan Pengaturan terhadap lembaga peradilan tersebut merupakan konsekuensi dari pelaksaan syariat Islam dan Peraturan Perundangundangan. 2. Saran a. Agar Mahkamah Syar iyah dapat melaksanakan tugas pokoknya secara optimal, masih diperlukan seperangkat peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar iyah itu sendiri. Untuk 35 Lihat Pasal 1 Angka 8 Undang Undang Nomor 48 Thaun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan Khusus adalah Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang. 76

18 Hubungan dan Wewenang Mahkamah Syar iyah (Hadi Iskandar) mengatasi hal tersebut maka perlu ditetapkan peraturan yang lebih rinci lagi khususnya menyangkut hukum materil dan formil yang digunakan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara oleh Mahkamah Syar iyah. b. Disarankan kepada DPR Aceh dan Pemerintahan Aceh untuk segera Mengesahkan Qanun Formil tentang Jinayah Mahkamah Syar iyah agar pelaksanaan Hukum materil dapat berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada KUHAP, karena sangat berbeda antara hukum dalam Qanun dengan dalam KUHAP, baik dari ancaman hukumannya, alat bukti dan prosedur, tata cara penangkapan sampai dengan tatacara pembinaan dan terhadap perkara-perkara jinayah yang telah menjadi wewenang Mahkamah Syar iyah. BUKU-BUKU DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan,1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, IND-HILL- CO , 2001, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum, FH UII ,1993, Perjalan Historis Pasal 18 UUD 1945, Krawang, Uniska. Bahder Johan Nasution, 2008, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju. Husni Jalil., 2005, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945, Bandung, CV. Utomo. Jimmly Asshiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, BIP , 2000, Reformasi dan Reposisi Lembaga-lembaga Tinggi Negara, Jakarta,UI Press , 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, The Habibi center. Jonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum., Malang, Bayumedia. Moh. Mafud MD,2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press. 77

19 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN Muhammad Daud Ali., Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Satjipto Rahardjo,2009, Hukum Progrsif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta, Genta Publising ,1986, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni , 2009, Hukum dan Prilaku, Jakarta, Kompas , 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, cet. Ke tiga, Yogyakarta, Genta , 2000, Ilmu Hukum, Cet I, Bandung, Citra Aditya Bakti. Soerjono Soekonto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet.IV, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekonto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press. Topo Santoso., Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani , 2000, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syari ah Islam Dalam Konteks Modernitas, Bandung, Asy Syamil. Lili Rasjidi, 2004, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, ed, Cet IX, bandung, Citra Aditya Bakti. W. Friedmann,1993, Teori & Filsafat hukum terjemahan dari Legal Theory, cetakan kedua, Raja Grafindo Persada. ARTIKEL, JURNAL, MAKALAH DAN BAHAN KULIAH, Jurnal Hukum, Edisi Ke-2 tahun ke-2, Juni Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Bagir Manan,1991, Suatu Kaji Ulang atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Majalah Pro Justitia, Fakultas Hukum UNPAR, Bandung, Nomor 2 Tahun IX April Saleh, M. Sofyan, Mahkamah Syar iyah Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mimeo. makalah disampaikan pada Pelatihan dan Pembekalan Para Hakim Mahkamah Syar iyah Se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Provinsi, 25 Agustus Syahrizal, Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah Dalam Bidang Jinayah. Mimeo. makalah disampaikan pada Pelatihan dan Pembekalan Para Hakim Mahkamah Syar iyah Se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Provinsi, 6 Oktober

KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 65-76. KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengadilan merupakan tempat bagi seseorang atau badan hukum untuk mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan hukum yang muncul selain alternatif penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah Indonesia di bagi atas daerah - daerah dengan wilayah batas - batas dan hak - haknya ditetapkan dengan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah

PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA Oleh: Ahsan Dawi Mansur Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

Lebih terperinci

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN KEKUASAAN KEHAKIMAN SEJARAH: UU Nomor 13 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari pembahasan bab-bab di atas dapat disimpulkan bahwa: hukum Republik Indonesia. Kata Merdeka disini berarti terbebas dari

BAB V PENUTUP. Dari pembahasan bab-bab di atas dapat disimpulkan bahwa: hukum Republik Indonesia. Kata Merdeka disini berarti terbebas dari 88 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan bab-bab di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Di dalam setiap pengambilan putusan yang dihasilkan, Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada Undang-Undang No. 48

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN AQIDAH

-1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN AQIDAH -1- QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN AQIDAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia)

FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia) FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia) Oleh: Miftahul Ulum 1 Email: miftahul_ulum2001@yahoo.com Abstract: Syar iyah

Lebih terperinci

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto I. Pendahuluan Pada tahun 1999 2002 dilakukan amandemen terhadap UUD Tahun 1945 yang merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN DARI PERADILAN UMUM KEPADA MAHKAMAH SY AR'IY AH 01 PROVINSI NANGGROE ACEH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang sejarah perkembangan manusia, manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, kecuali dalam keadaan terpaksa manusia dapat berpisah dari kelompoknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hukum merupakan kumpulan peraturan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bersifat memaksa agar orang menaati tata tertib dalam masyarakat, serta memberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 1 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM

Lebih terperinci

-1- BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG -1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN YANG BERKAITAN DENGAN SYARI AT ISLAM ANTARA PEMERINTAHAN ACEH DAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Armen Yasir, 2007. Hukum Perundang-Undangan. Bandar Lampung: Pusat Studi Universitas Lampung. Bagir

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

Soal Undang-Undang Yang Sering Keluar Di Tes Masuk Sekolah Kedinasan

Soal Undang-Undang Yang Sering Keluar Di Tes Masuk Sekolah Kedinasan Soal Undang-Undang Yang Sering Keluar Di Tes Masuk Sekolah Kedinasan Posted by KuliahGratisIndonesia Materi soal Undang-undang merupakan salah satu komposisi dari Tes Kompetensi Dasar(TKD) yang mana merupakan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA Rabu, 10 April :53

KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA Rabu, 10 April :53 Â KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA ABSTRACT Delfina Gusman, SH, MH [1] Syar'iyah is a judicial institution established to implement Islamic law in Aceh as part

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. I Hukum Islam telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA I. Buku Achmad Ali, 2012, Vol. 1 Pemahaman Awal: Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aceh adalah sebuah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan kebijakan publik dan penyelenggaraan negara. Namun, pasca 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi tahun 1998 lalu, telah banyak membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem ketetanegaraan Indonesia. Sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

OTONOMI HUKUM PROVINSI ACEH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL: SEBUAH TANTANGAN

OTONOMI HUKUM PROVINSI ACEH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL: SEBUAH TANTANGAN OTONOMI HUKUM PROVINSI ACEH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL: SEBUAH TANTANGAN Oleh Muhammad Siddiq Armia, MH, PhD (msiddiq@ar-raniry.ac.id, muhammad.siddiq.armia@gmail.com) 1 Di presentasikan pada Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN. Pasal 19 s/d 37. Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan

ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN. Pasal 19 s/d 37. Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan ANALISIS UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN Pasal 19 s/d 37 Tugas untuk memenuhi Mata Kulia Pendidikan Kewarganegaraan Yang dibina oleh Bapak Gatot Isnani Oleh Kelompok Ihwan Firdaus Ma rifatun Nadhiroh

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008 I. PEMOHON Nama pekerjaan Alamat : Suryani : Buruh sesuai dengan KTP : Serang Propinsi Banten II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945), Negara Indonesia ialah

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 MAHKAMAH KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

DESAIN DAERAH KHUSUS/ ISTIMEWA DALAM SISTEM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT KONSTITUSI

DESAIN DAERAH KHUSUS/ ISTIMEWA DALAM SISTEM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT KONSTITUSI Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, April 2016, Halaman 85-92 p-issn : 2086-2695, e-issn : 2527-4716 DESAIN DAERAH KHUSUS/ ISTIMEWA DALAM SISTEM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT KONSTITUSI

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara Bantu dalam Struktur Ketatanegaran Republik Indonesia Corruption Eradication Commission Institutional

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI ABSTRACT: Oleh : I Nyoman Wahyu Sukma Suriyawan I Wayan Novy Purwanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana Authority to legislate

Lebih terperinci

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA Montisa Mariana Fakultas Hukum, Universitas Swadaya Gunung Jati E-mail korespondensi: montisa.mariana@gmail.com Abstrak Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintahan Daerah atau di negara-negara barat dikenal dengan Local Government dalam penyelenggaraan pemerintahannya memiliki otonomi yang didasarkan pada asas, sistem,

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

Efektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath

Efektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath Efektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath Danial * Abstrak: Salah satu bentuk hukuman yang terkandung dalam Qanun nomor 14/ 2003 tentang khalwat dan DQHR tentang

Lebih terperinci

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! MATERI KHUSUS MENDALAM TATA NEGARA Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia Menurut Uud 1945 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

I. UMUM

I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH ABSTRACT: Oleh : Putu Tantry Octaviani I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana terdapat sekelompok masyarakat maka dapat dipastikan di situ ada sebuah aturan atau hukum yang

Lebih terperinci

Oleh: Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri *) Keywords: Authority Aceh Government, National Judicial System.

Oleh: Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri *) Keywords: Authority Aceh Government, National Judicial System. Kewenangan Pemerintah Aceh terhadap Pelaksanaan Fungsi Mahkamah Syar iyah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 49-64. KEWENANGAN PEMERINTAH ACEH

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang :

Lebih terperinci

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

12 Media Bina Ilmiah ISSN No 12 Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN RI MENURUT UUD 1945 Oleh : Jaini Bidaya Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram Abstrak: Penelitian ini berjudul Kewenangan

Lebih terperinci

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14 1 of 14 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN HARTA AGAMA YANG TIDAK DIKETAHUI PEMILIK DAN AHLI WARISNYA SERTA PERWALIAN GUBERNUR ACEH, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh : 209 LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA Oleh : I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Indonesia is a unitary state based

Lebih terperinci

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 POKOK BAHASAN Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 Wewenang Mahkamah

Lebih terperinci

Pajak Kontemporer Peradilan Pajak

Pajak Kontemporer Peradilan Pajak Modul ke: Pajak Kontemporer Peradilan Pajak Fakultas Pasca Sarjana Dr.Harnovinsah M.Si,Ak,CA Program Studi Magister Akuntansi www.mercubuana.ac.id PENDAHULUAN Bagir Manan memberikan definisi sistem peradilan

Lebih terperinci

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional Dewi Triwahyuni AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional revision To alter the constitution Constitutional

Lebih terperinci

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PERKEMBANGAN KONTEMPORER SISTEM ETIKA PUBLIK Dewasa ini, sistem etika memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci