II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

GEOMORFOLOGI GUNUNGAPI GUNTUR (GARUT, JAWA BARAT) DAN ANALISIS ALIRAN LAVA MENGGUNAKAN DATA SYNTHETIC APERTURE RADAR

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PENDAHULUAN. Latar Belakang

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

ISTILAH DI NEGARA LAIN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Citra Satelit IKONOS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek serta fenomena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

Interpretasi Citra SAR. Estimasi Kelembaban Tanah. Sifat Dielektrik. Parameter Target/Obyek: Sifat Dielektrik Geometri

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

III. METODOLOGI PENELITIAN

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

Gambar 1. Satelit Landsat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

DETEKSI KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT AWAN PANAS MERAPI 2010 MENGGUNAKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI

SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA

Transkripsi:

6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Perhatian geomorfologi mencakup proses terbentuknya bentuklahan, sifat-sifatnya, perkembangannya dan komposisi material yang menyusunnya. Dengan kata lain kajian geomorfologi merupakan pemerian (description) dan penjelasan (explanation) bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya. Selain itu, geomorfologi merupakan suatu dieliktika antara geologi, topografi, proses geomorfik dan iklim (Wiradisastra dan Tjahjono, 1998). 2.2. Citra Satelit Citra adalah gambaran kenampakan bumi hasil penginderaan pada spektrum elektromagnetik tertentu yang ditayangkan pada layar atau disimpan pada media rekam/cetak. Citra satelit adalah citra hasil penginderaan suatu jenis satelit tertentu (Departemen Kehutanan, 2009). Jenis citra satelit berdasarkan tingkat resolusi spasial ; Citra resolusi rendah memiliki resolusi spasial antara > 30 m Contoh : citra satelit Landsat 1-3 MSS, Landsat TM, Landsat ETM Citra resolusi sedang memiliki resolusi spasial antara 2,5-10 m Contoh : citra satelit SPOT Citra resolusi tinggi memiliki resolusi spasial antara 0,6 1 m Contoh : citra satelit IKONOS dan Quickbird Satelit IKONOS adalah satelit observasi bumi komerisal pertama yang beresolusi tinggi. Satelit ini diluncurkan oleh perusahaan GeoEye pada tanggal 24 September 1999. IKONOS membawa satu sensor pankromatik dan satu sensor multispektral (Geoeye, 2006). Karakteristik citra IKONOS disajikan pada Tabel 1.

7 Tabel 1. Karakteristik Citra IKONOS (Geoeye, 2006) Karakteristik Resolusi Spasial 4 m (Multispektral) 1 m (Pankromatik) Resolusi Spektral Band 1 (Blue) 0,445-0,516 µm Band 2 (Green) 0,506-0,595 µm Band 3 (Red) 0,632-1,698 µm Band 4 (NIR) 0.757-0,853 µm Pankromatik 0,526-0,929 µm Resolusi Temporal 3 hari pada latitude 40 dan elevation > 60 Tinggi Orbit 681 km Ukuran Scene Maksimum 11x13 km 2.3. Radar Radar merupakan sistem penginderaan jauh aktif karena dapat menyediakan sendiri sumber energinya. Sistem mengiluminasi medan dengan energi elektromagnetik, mendeteksi pantulan energi dari medan, dan mencatat pantulan energi sebagai sebuah citra. Sistem Radar beroperasi secara bebas pada berbagai kondisi pencahayaan dan umumnya tidak tergantung pada cuaca. Radar merupakan singkatan dari radio detection and ranging bekerja pada spektrum elektomagnetik dengan panjang gelombang 1 mm - 1 m (Sabins, 2007). Komponen sistem pencitraan Radar disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Diagram Komponen Sistem Pencitraan Radar (Sabins, 2007)

8 Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), Radar merupakan suatu cara penggunaan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan letak posisinya. Prosesnya meliputi transmisi gelombang pendek dan atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari echo atau pantulan yang diterima objek dalam sistem medan pandang. Tabel 2 dibawah menunjukkan panjang gelombang dan frekuensi Radar yang digunakan dalam penginderaan jauh. Tabel 2. Panjang Gelombang dan Frekuensi Radar (Sabins, 2007) No Band Panjang Gelombang (λ) Frekuensi (v) cm GHz 1 K 0.8-2.4 40.0-12.5 2 X (3.0 cm) 2.4-3.8 12.5-8.0 3 C (6 cm) 3.8-7.5 8.0-4.0 4 S (8.0 cm, 12.6 cm) 7.5-15.0 4.0-2.0 5 L (23.5 cm, 25.0 cm) 15.0-30.0 2.0-1.0 6 P (68 cm) 30.0-100.0 1.0-0.3 Panjang gelombang sinyal Radar menentukan bentangan yang terpencar oleh atmosfer. Efek atmosferik yang parah pada sinyal Radar terbatas pada gelombang lebih pendek (kurang dari 3 cm) (Lillesand dan Kiefer 1990). Gelombang Radar dapat menembus lapisan pelindung yang tipis seperti abu dan aeolian deposit (Carter et al., 2006). Besar kecilnya panjang gelombang yang digunakan berpengaruh pada citra yang diperoleh. Semakin besar panjang gelombang maka semakin kuat daya tembus gelombang (Sabins, 2007). 2.4. SAR Polarimetri Polarisasi gelombang elektromagnetik menggambarkan orientasi vektor bidang elektrik pada titik yang diberikan selama satu periode gerakan (Ban, 1996). Kedalaman penetrasi dari sumber gelombang mikro tergantung pada polarisasi dan frekuensi gelombang (Sabins, 2007). Gambar 2 menyajikan polarisasi energi Radar. Panjang gelombang sinyal Radar dapat ditansmisikan atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Sinyal dapat disaring sehingga gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan

9 gelombang (tenaga yang tidak terpolarisasi menyebar kesemua arah tegak lurus arah perambatannya) X Y Magnetic Field Z Gambar 2. Polarisasi Energi Radar (Sabins, 2007) Satu sinyal SAR (Synthetic Aperture Radar) dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Jadi terdapat empat kemungkinan kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim Horizontal diterima Horizontal (HH), dikirim Horizontal diterima Vertikal (HV), dikirim Vertikal diterima Horizontal (VH), dan dikirim Vertikal diterima Vertikal (VV). Citra dengan polarisasi searah (parallel polarization) dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang (cross polarization) dihasilkan dari paduan HV atau VH (Lillesand dan Kiefer, 1990). Berbagai obyek dapat mengubah polarisasi energi Radar yang dipantulkan sehingga bentuk polarisasi sinyal sangat mempengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan (Sabins, 2007) 2.5. Hamburan Balik (backscatters) Koefisien hamburan balik (backscatter coefficient) adalah ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang balik ke antena. Hamburan balik Radar banyak dipengaruhi oleh karakteristik permukaan seperti kekasaran permukaan

10 (Sabins, 2007). Oleh karena itu, hasil interpretasi Radar ditentukan oleh hamburan balik (backscatter) dari obyek yang diterima kembali oleh sensor. Ada dua parameter yang mempengaruhi sinyal balik yaitu parameter sistem sensor yang meliputi panjang gelombang, polarisasi, dan sudut pancaran (incident angle, depression angle, look angle dan look direction) sedangkan parameter permukaan obyek meliputi kekasaran permukaan (roughness surface), efek geometri permukaan, dan sifat dieletrik obyek. Permukaan yang memiliki kekasaran yang sama atau lebih besar dari panjang gelombang akan tampak kasar karena permukaan yang kasar akan bertindak sebagai pemantul baur dan memencarkan tenaga yang datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Permukaan halus pada umumnya akan memantulkan sebagian besar energi Radar dengan sudut pantul yang sama menjauhi sensor dan mengakibatkan hamburan balik (backscatter) menjadi rendah namun apabila orientasi obyek mengarah ke sensor maka hamburan balik yang dihasilkan akan sangat kuat. Untuk permukaan dengan kekasaran permukaan yang sedang, akan memantulkan sebagian kecil energi Radar melalui hamburan balik (backscatter) secara acak (Hemphill, 2007). Efek geometri obyek dan intensitas sinyal hasil balik Radar akan berpadu dengan efek kekasaran permukaan. Adapun kekasaran permukaan obyek merupakan fungsi dari variasi relief yang berkaitan dengan panjang gelombang pantulan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Keterangan : A = Pemantulan sempurna B = Pemantulan baur C = Pemantulan sudut Gambar 3. Pantulan Radar dari Berbagai Permukaan (Lillesand dan Kiefer, 1990)

11 Mengingat gelombang datang dapat dibuat dari berbagai jenis polarisasi, dan matriks hamburan adalah 4 bilangan kompleks (VV, HH, VH, dan HV), maka sangatlah bermanfaat jika mempunyai sebuah metode grafis untuk dapat memvisualkan respon dari suatu sasaran sebagai fungsi dari polarisasi datang dan hamburan balik. Visualisasi tersebut salah satunya diberikan oleh penciri polarisasi (polarization signature) (Susilo, 2007). Incident angle juga mempengaruhi hamburan balik ke antenna. Incident angle merupakan sudut yang terbentuk antara pancaran gelombang dengan garis yang tegak lurus pada permukaan obyek. Permukaan obyek yang halus akan memantulkan sinyal secara sempurna pada sudut lebih kecil 20, namun sebaliknya pada permukaan kasar dengan sudut lebih kecil dari 20, sebagian besar sinyal akan dipancarkan secara acak sehingga total hamburan balik yang diterima antena lebih rendah dibandingkan dengan permukaan halus dengan sudut yang sama (Hemphill, 2007). 2.6. Satelit ALOS Satelit ALOS (Advanched Land Observing Satelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada tanggal 24 Januari 2006. Satelit ini adalah satelit generasi lanjutan dari Japanese Earth Resources Satellite-1 (JERS-1) dan Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS). ALOS merupakan satelit terbesar yang dikembangkan oleh JAXA dan diluncurkan dari Tanegashima Space Center Jepang dengan menggunakan wahana peluncuran H-IIA. Satelit ini memiliki periode kunjungan ulang (revisiting period) 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat, maka satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. ALOS dapat digunakan untuk kartografi, observasi regional, pemantauan bencana dan peninjauan sumberdaya. Tabel 3 berikut ini menyajikan spesifikasi dari satelit tersebut (EORC JAXA, 1997). ALOS merupakan salah satu satelit terbesar untuk pengamatan permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan antara lain : 1. Menyediakan peta untuk Jepang dan Negara lain yang termasuk dalam wilayah Asia-Pasifik (Cartography).

12 2. Melakukan pengamatan regional untuk pembangunan berkelanjutan, yaitu kesesuaian antara lingkungan bumi dengan pembangunan (Regional Observation). 3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring). 4. Melakukan survei sumberdaya alam (Resources Surveying). 5. Mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan bumi masa depan (Technology Development). Tabel 3. Spesifikasi ALOS No Tipe Karakteristik 1 Bobot 4 ton 2 Jangka Waktu 3-5 Tahun 3 Ketinggian Orbit 691, 65 km (di khatulistiwa) 4 Periode Orbital 98,7 menit 5 6 7 8 Tipe Orbit Inklinasi Siklus kunjungan ulang Power Sun-synchronous Subrecurrent 98,16 deg 46 hari Approx. 7 kw (pada akhir operasional) Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/alos (diakses 22 Februari 2010) Satelit ALOS memiliki tiga jenis sensor, yaitu PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping) untuk pemetaan elevasi digital, AVNIR-2 (Advanched Visible and Near Infrared Radiometer type 2) untuk pengamatan penutupan lahan, dan PALSAR (Phased Array type L-Band Synthetic Aperture Radar) untuk pengamatan lahan sepanjang siang-malam pada berbagai kondisi cuaca. Satelit ALOS ditunjukkan pada Gambar 4. ALOS dirancang dengan dua teknologi maju, pertama adalah mempunyai kecepatan tinggi dan memiliki kapasitas penyimpanan data yang besar, dan kedua adalah mempunyai presisi tinggi terhadap posisi pesawat ruang angkasa dan kemampuan penentuan ketinggian. PALSAR merupakan suatu sensor gelombang mikro aktif yang bekerja pada tipe frekuensi band L (1, 27GHz) dengan lebar kanal 28/14 MHz untuk melakukan observasi siang dan malam tanpa dipengaruhi oleh gangguan awan.

Hal ini memberikan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan Synthetic Aperture Radar (SAR) JERS-1. 13 Gambar 4. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997) Salah satu mode observasi PALSAR, yaitu ScanSAR yang memungkinkan PALSAR dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang lebih luas, yaitu 250-350 km. Pembangunan PALSAR merupakan proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Tabel 4 menyajikan spesifikasi sensor PALSAR dan Gambar 5 menyajikan bentuk dari instrument PALSAR. Sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah yang berada diluar posisi geografis berikut : 87,8 Lintang Utara dan 75,9 Lintang Selatan ketika off-nadir mempunyai sudut 41,5. Hal ini dikarenakan terbatasnya konsumsi daya yang mengakibatkan waktu operasi sensor dibatasi. Fine mode bekerja pada incident angle dengan sudut 34,3, ScanSAR mode pada incident angle dengan sudut 34,1 dan Polarimetric Mode pada incident angle dengan sudut 21,5 (EORC JAXA, 1997). Gambar 6 menyajikan prinsip geometri PALSAR. 2.7. Data Mining Data Mining adalah proses analitik yang dirancang untuk menggali data (biasanya data dalam jumlah besar seperti dalam bisnis atau pasar terkait) untuk mencari pola yang konsisten dan atau hubungan sistematis antar variabel, dan

kemudian untuk memvalidasi temuan dengan menerapkan pola terdeteksi subset data baru (Elektronik Statistik, 2011) 14 Tabel 4. Spesifikasi ALOS PALSAR No Mode Fine Polarimetric Resolution ScanSAR Mode (Experimental mode)* Mode 1 Frekuensi Pusat Tipe L-Band 1270 mhz 2 Chrip 14 MHz, 28 Bandwidth 28 MHz 14 MHz MHz 14 MHz 3 Polarisasi HH/VV HH+HV/VV+VH HH/VV HH+VH+HV+VV 4 Incident angle 8-60 8-60 18-43 8-30 5 Range 100 m Resolution 7-44 m 14-88 m (multilook) 24-89 m 6 Observation Swath 40-70 km 40-70 km 250-350 km 20-65 km 7 Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3-5 bit 8 Date Rate 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps 240 Mbps 240 Mbps Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/alos (diakses 22 Februari 2010) Sumber : RESTEC (2010) Gambar 5. Instrumen PALSAR

15 Sumber : RESTEC (2010) Gambar 6. Prinsip Geometri PALSAR Data mining dapat diaplikasikan pada representasi data seperti domain data spatial berbasis teks dan multimedia (citra) (Seiner, 1999). Data mining melakukan pencocokan model atau menentukan pola dari data yang diobservasi. Ada dua pendekatan matematis yang digunakan dalam pencocokan model statistik yang memberikan efek non-deterministik dan logik yang murni determinstik (Seiner, 1999). Data mining merupakan himpunan algoritma yang sangat besar. Berbagai teknik dapat ditemui pada himpunan tersebut, seperti jaringan syaraf tiruan (artificial neural network), support vector machines, analisis gerombol (clustering), dan pohon keputusan (decision tree). 2.8. Metode Decision Tree Pohon keputusan berbasis logika dimana metodologi aturan keputusan adalah tipe yang paling kuat dari klasifikasi terbimbing yang menunjukkan kinerja baik di berbagai masalah data mining (Leung, 2007). Klasifikasi ini mengadopsi pendekatan topdown dan menggunakan pembelajaran terbimbing untuk membangun pohon keputusan (decision tree) dari satu set data pembangun yang ditetapkan. Sebuah pohon keputusan terdiri dari node yang merupakan atribut yang diuji. Keluaran dari cabang node sesuai dengan semua kemungkinan hasil uji pada setiap node (Leung, 2007). Teknik ini sangat bermanfaat untuk analisis data pendahuluan mengingat kesederhanaan pola pikir dalam pengembangan

16 pembuatan keputusan (rule). Namun demikian, kesederhanaan ini tidak identik dengan ketidakakuratan. Penelitian pendahuluan dari Panuju dan Trisasongko (2008) menunjukkan bahwa walaupun perbedaan kinerja algoritma pohon keputusan tidak terlalu signifikan, namun kinerja algoritma pohon keputusan secara konsisten selalu lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasik seperti algoritma kemungkinan maximum likelihood classification. 2.9. Algoritma QUEST QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees) merupakan salah satu algoritma dari metode pohon keputusan yang diperkenalkan oleh Loh dan Shih (1997). Secara subtansial QUEST ditunjukkan dengan proses cepat dengan ketelitian dan keakuratan klasifikasi yang sebanding dengan metode klasifikasi rumit lainnya. Algoritma ini merupakan algoritma pemisahan (split) biner pohon keputusan yang dapat digunakan untuk tujuan klasifikasi. Pada algoritma ini, proses pemisahan dapat dilakukan pada peubah tunggal (unvariate) atau berdasarkan pemisahan (split) kombinasi linear. Pada algoritma QUEST, seleksi peubah bias dapat diabaikan, mempertahankan kesederhanaan, pemangkasan sebagai pilihan, dan menghasilkan pemisahan biner. Alasan pemisahan binary adalah agar pohon QUEST mudah dibandingkan dengan pencarian pohon lengkap dalam stabilitas pemisahan dan jumlah nodes. QUEST menggunakan satu atau dua akar sebagai titik pemisahan yang salah satunya memiliki nilai yang lebih dekat dengan mean sampel masing-masing kelas (Loh and Shih, 1997). Ciri unik dari algoritma ini adalah pemilihan seleksi atribut yang memiliki penyimpangan yang tidak terlalu penting. Parameter pada QUEST antara lain akurasi klasifikasi, variabilitas pemisahan dan ukuran pohon. Model ini dapat mengurangi ukuran pohon, mengembangkan prediksi kelas, dan membangun data visualisasi. Telaah dengan menggunakan pendekatan algoritma ini telah digunakan sebelumnya untuk pemantauan lahan sawah (Tjahjono et al., 2009a; Panuju dan Trisasongko, 2008).

17 2.10. Gunungapi Gunungapi adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan bumi umumnya membentuk kerucut terpancung (Bakosurtanal, 2010). Gunungapi diklasifikasikan berdasarkan dua sumber erupsi yaitu erupsi pusat dan erupsi samping. Erupsi pusat adalah erupsi yang keluar melalui kawah utama dan erupsi samping adalah erupsi yang keluar dari lereng tubuhnya. Erupsi samping dapat dibedakan menjadi erupsi celah dan erupsi eksentrik. Erupsi celah adalah erupsi yang muncul pada retakan atau sesar yang memanjang sampai beberapa kilometer. Erupsi eksentrik adalah erupsi samping tetapi magma yang keluar bukan dari kepundan pusat yang menyimpang kesamping melainkan melalui kepundan tersendiri. Struktur cekungan gunungapi dapat dibedakan menjadi struktur kawah, kaldera, rekahan dan graben serta depresi vulkanotektonik (Bakosurtanal, 2010). Bahaya langsung akibat letusan gunungapi dapat berupa : Leleran Lava Leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas yang dapat merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung dari kekentalan magmanya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara 800-1200 C. Aliran Piroklastik (awan panas) Aliran piroklastik dapat terjadi sebagai akibat runtuhan tiang asap erupsi, seperti yang terjadi pada erupsi tipe plinian. Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma atau lava. Kecepatan aliran dapat mencapai 150-250 km/jam atau lebih. Jatuhan Piroklastik Jatuhan piroklastik terjadi dari letusan yang membentuk tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis abu akan menyebar sesuai arah angin kemudian jatuh ke permukaan bumi.

18 Lahar Letusan Lahar letusan terjadi pada gunungapi yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air alam dalam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung apabila terjadi letusan sehingga akan menumpahkan lumpur panas. Gas Vulkanik Beracun Gas beracun umumnya muncul pada gunungapi aktif berupa CO, CO 2, HCN, H 2 S, SO 2 dan lain-lain. Konsentrasi gas ini jika melebihi ambang batas maka akan dapat berbahaya bagi makhluk hidup di sekelilingnya. Untuk bahaya sekunder akibat letusan gunungapi antara lain adalah lahar hujan dan longsoran vulkanik (Bakosurtanal, 2010).