GEOMORFOLOGI GUNUNGAPI GUNTUR (GARUT, JAWA BARAT) DAN ANALISIS ALIRAN LAVA MENGGUNAKAN DATA SYNTHETIC APERTURE RADAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GEOMORFOLOGI GUNUNGAPI GUNTUR (GARUT, JAWA BARAT) DAN ANALISIS ALIRAN LAVA MENGGUNAKAN DATA SYNTHETIC APERTURE RADAR"

Transkripsi

1 GEOMORFOLOGI GUNUNGAPI GUNTUR (GARUT, JAWA BARAT) DAN ANALISIS ALIRAN LAVA MENGGUNAKAN DATA SYNTHETIC APERTURE RADAR POLARIMETRI PENUH (FULLY POLARIMETRY) LULUK DWI WULAN HANDAYANI A DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN LULUK DWI WULAN HANDAYANI. Geomorfologi Gunungapi Guntur (Garut, Jawa Barat) dan Analisis Aliran Lava Menggunakan Data Synthetic Aperture Radar Polarimetri Penuh (fully polarimetry). Dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO. Indonesia merupakan negara yang dilalui oleh jalur gunungapi aktif (Ring of fire) sehingga memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 130 diantaranya termasuk dalam kategori gunungapi aktif. Persebaran gunungapi yang merata hampir diseluruh wilayah merupakan konsekuensi dari tumbukan lempeng tektonik. Letusan gunungapi adalah salah satu gejala alam yang berbahaya bagi makhluk hidup di sekitar gunungapi tersebut, meskipun gunungapi juga banyak memberikan manfaat bagi manusia seperti abu vulkanik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Gunungapi Guntur yang berada di Kabupaten Garut memiliki karakteristik produk aliran lava yang dominan dan jelas terlihat secara visual dibandingkan aliran lava gunungapi lainnya. Oleh karena itu, identifikasi dan pemetaan aliran lava penting dikaji untuk studi geomorfologi dan pemetaan bahaya gunungapi. Hal ini dapat dilakukan melalui analisis geomorfologi dan pemanfaatan teknologi geospasial, yaitu dengan penginderaan jauh optik maupun non optik (radar). Sejak tahun 1980, data optik telah banyak digunakan untuk pemetaan gunungapi. Namun jenis data ini memiliki keterbatasan informasi dikarenakan adanya penutupan awan. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan data radar yaitu SAR Polarimetri band L sehingga perlu dilakukan penelitian yang mengetengahkan pemanfaatan data SAR polarimetri untuk mengidentifikasi karakteristik hamburan (scattering) aliran lava yang dipadukan dengan analisis geomorfologi pada G. Guntur sehingga dapat dilakukan pencirian (signature) pada obyek. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah : 1) Geomorfologi bentuklahan G. Guntur dengan menggunakan citra optik IKONOS, 2) Geomorfologi bentuklahan G. Guntur dengan menggunakan citra non optik PALSAR (Phased Array Type L- Band Synthetic Aperture Radar) polarimetri penuh dan membandingkannya dengan data optik IKONOS, 3) Kombinasi sinyal polarisasi ganda yang efisien untuk identifikasi aliran lava menggunakan radar polarimetri band-l, dan 4) Klasifikasi obyek menggunakan teknik klasifikasi Pohon Keputusan (decision tree) dengan algoritma QUEST. Hasil analisis menunjukkan bahwa analisis geomorfologi dapat digunakan untuk pemetaan bentuklahan gunungapi (V) didasarkan pada aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi dan litologi. Berdasarkan hasil interpretasi diketahui bahwa bentuklahan yang diidentifikasi menggunakan citra IKONOS Google Earth menghasilkan 17 bentuklahan yaitu 3 kawah (crater), 1 kubah lava (lava dome), 9 aliran lava (lava flow) yang merupakan hasil erupsi eksplosif membentuk lava bongkah segar dan saling menindih. Hasil erupsi tahun 1840 (aliran lava muda) membentuk lidah memanjang dan tapal kuda pada bagian ujung yang berkomposisi basaltik. Tubuh kerucut terdiri dari 3 bentukan yang

3 tersusun atas blok lava basaltik dengan matriks pasir kasar berwarna abu kehitaman hingga cokelat. Selain itu, terdapat 1 bentuklahan terdegradasi (Degraded Lower Slope Volcanic Cone) akibat proses geomorfik antropogenik sedangkan interpretasi pada citra PALSAR dapat diidentifikasi 6 bentuklahan aliran lava dan 1 bentuklahan kawah. Perbedaan hasil interpretasi ini dipengaruhi oleh panjang gelombang dan resolusi spasial yang dimiliki masing-masing citra. Namun pada data polarimetri penuh dapat ditentukan nilai hamburan balik (backscatter) dari permukaan bentuklahan. Hasil klasifikasi pohon keputusan dengan algoritma QUEST dan analisis keterpisahan spektral menunjukkan bahwa polarisasi HV dan VV berperan sebagai kombinasi terbaik dalam identifikasi aliran lava. Keterpisahan spektral ditunjukkan dengan metode Transformed Divergence (TD) pada data training. Hasilnya, bentuklahan kawah memiliki keterpisahan yang tinggi (nilai mendekati 2) dan demikian pula dengan bentuklahan aliran lava termuda sehingga dapat diidentifikasi dengan mudah. Sedangkan bentuklahan aliran lava 1, aliran lava 3, dan aliran lava tua tidak terpisah dengan cukup baik (nilai mendekati 0). Pada nilai statistik deskriptif ini dapat ditunjukkan bahwa bentuklahan aliran lava termuda memiliki nilai rataan tertinggi pada polarisasi HV dibandingkan bentuklahan aliran lava lainnya. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa nilai akurasi yang cukup baik yaitu 51,80 % dengan nilai koefisien Kappa sebesar 0,43. Hal ini menunjukkan bahwa identifikasi aliran lava menggunakan polarisasi linier dipadukan dengan klasifikasi pohon keputusan memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik. Kata kunci : Geomorfologi, Bentuklahan, Aliran Lava, SAR Polarimetri, G. Guntur

4 SUMMARY LULUK DWI WULAN HANDAYANI. Geomorphology Guntur Volcano (Garut, Jawa Barat) and Lava Flow Analysis Using Synthetic Aperture Radar Fully Polarimetry Data. Under supervision of BOEDI TJAHJONO and BAMBANG H. TRISASONGKO. Indonesia is a country which is traversed by ring of fire, it has more than 400 volcanoes and 130 of them are in category of active volcanoes. Equitable distribution of volcanoes in nearly all region consequently impacts tectonic plates. Volcanic eruption is one of the natural phenomena considered harmful to inhabitants around the volcano. Although the volcano also provides many benefits to human such as volcanic ashes that could increase soil fertility. Mt. Guntur in Garut Regency dominantly characterize by lava flows and visually distinctive toother volcans. Identification and mapping of the lava flows is important to study geomorphological aspect and mapping of volcanic hazardous materials. This can be done through geomorphological analysis and utilization of geospatial technologies, i.e. remote sensing with optical and non-optical (Radar) sensors. Since 1980, the optical data has been widely used for mapping the volcano. However, this kind of data have limited information due to cloud cover. This can be subsituted by using radar data, especially L-band SAR Polarimetry. Therefore a research to explore the use of SAR Polarimetry data for identifying the characteristic of scattering lava flows combined with analysis of geomorphology is needed. This study aims to examine : 1) Landform geomorphology of Mt. Guntur using optical IKONOS imagery, 2) landform geomorphology of Mt. Guntur using non optical PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) fully polarimetry and comparison with IKONOS optic data, 3) The combination of an efficient dual polarization signal for the identification of the lava flow using L-band radar polarimetry, and 4) Classification of object using decision tree (QUEST) algorithm. The analysis suggested that the geomorphological analysis can be used for volcanic (V) landform mapping based on aspects of morphology, morphogenesis, morfokronology and litology. Based on the result of interpretation, 17 landforms were identified using IKONOS imagery of Google Earth i.e : 3 craters, a lava dome, 9 lava flows which were results of explosive eruption which formed fresh lava chunks on top of each other. Results of 1840 eruption (youngest lava flow) created an elongated tongue and horseshoe at the end with basaltic composition. Cone body consists of 3 block structure composed of basaltic lava with a matrix of coarse sand colored brown black ash. In addition, there was a degraded landforms (Degraded Lower Slope Volcanic Cone) due to antropogenic geomorphic processes. Although, PALSAR interpretation could identify 6 landforms lava flows and a crater landforms. Differences in interpretation were influenced by the wavelength and spatial resolution of each image. Full polarimetry data however contributed to backscattering retrievals from the surface landforms.

5 Decision tree classification using algorithm QUEST and spectral separability analysis showed that the HV and VV polarization served as the best combination in the identification of lava flows. Spectral separability was shown by transformed divergence (TD) method on the training data. The result indicated that crater had high separation (close to 2), as well as the youngest lava flow that was easly identified. Meanwhile, landforms of lava flow 1, lava flow 3, and an old lava flow did not separate well (close to 0). Descriptive statistics on the feature showed that the youngest lava flow ranked highest average value at HV polarization, compared to other lava flows. Classification showed a fairly good accuracy, around 51,80% with kappa coefficient value of 0,43. This suggested that the identification of lava flows using linear polarization combined with a classification decision tree produced fairly good level of confidence. Keywords : Geomorphology, Landform, Lava Flow, SAR Polarimetry, Mt. Guntur

6 GEOMORFOLOGI GUNUNGAPI GUNTUR (GARUT, JAWA BARAT) DAN ANALISIS ALIRAN LAVA MENGGUNAKAN DATA SYNTHETIC APERTURE RADAR POLARIMETRI PENUH (FULLY POLARIMETRY) LULUK DWI WULAN HANDAYANI A Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

7 Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Geomorfologi Gunungapi Guntur (Garut, Jawa Barat) dan Analisis Aliran Lava Menggunakan Data Synthetic Aperture Radar Polarimetri Penuh (Fully Polarimetry) : Luluk Dwi Wulan Handayani : A Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Boedi Tjahjono Ir. Bambang H. Trisasongko, M. Sc. NIP : NIP : Mengetahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Syaiful Anwar, M. Sc. NIP Tanggal lulus :

8 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sumbawa Besar pada tanggal 1 Mei 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Y. Yoyok Sutarto, S.Pd (alm) dan Aisyah S. Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis berawal dari SD Negeri 1 Sumbawa Besar ( ). Selepas Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Sumbawa Besar ( ) dan SMA Negeri 1 Sumbawa Besar ( ). Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan sumberdaya Lahan. Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan sebagai Public Relation BEM KM IPB Departemen Informasi dan Komunikasi ( ), anggota International Association of Agriculture and Science (IAAS) IPB, staf pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah IPB divisi PSDM dan Pengembangan & Penelitian ( ), dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) IPB. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra 2008/2009, mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap 2008/2009, dan mata kuliah sistem Informasi Geografis 2009/2010. Selain itu juga aktif di beberapa kepanitiaan lain yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, dan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Penulis juga menjadi juara III dalam lomba GISIC 2010-GIS for natural Disaster di ITB. Selain itu penulis juga menjadi juara poster terbaik dalam Seminar Nasional Geomatika Bakosurtanal tahun 2011.

9 KATA PENGANTAR Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penlis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Geomorfologi Gunungapi Guntur (Garut, Jawa Barat) dan Analisis Aliran Lava Menggunakan Data Synthetic Aperture Radar Polarimetri Penuh (Fully Polarimetry). Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Boedi Tjahjono dan Bambang H. Trisasongko, M. Sc. selaku pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan motivasi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. 3. Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Direktorat jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia yang telah membantu penulis dalam memberikan data yang sangat dibutuhkan selama pelaksanaan karya ilmiah ini. 4. Pusat Perencanaan, Pengembangan dan Pengkajian Wilayah LPPM IPB atas kesempatan yang telah diberikan untuk memperoleh ilmu dalam pelaksanaan karya ilmiah ini. 5. Orang tua tercinta Mama dan Almarhum Papa, Ieke Wulan Ayu, Heru TS dan adik Reyga Yhosa N yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, restu, kepercayaan serta dukungan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 6. Keluarga besar Bpk Tjejep Hasmitha atas doa, restu dan dukungannya selama ini 7. Sheila N, Sri Malahayati, Irma N, Emma P, Ida S, dan Ina F atas kesabaran, doa dan dukungannya selama ini. 8. Decky Sanjaya, Zaini, Stefanny, Dodo, Anggi, Mike, Purwanti, dan Rudi atas doa, motivasi, dan kebersamaanya selama ini

10 9. Poppy, Melita, Bayu, Sabda, Ika, Suci, Raditya P, Pram, Melly, Miranti, Arif, Anief, Putri, Uli, Handris, Okky, Lili, Ranti, anak-anak pondok Amanah B dan C atas dukungannya selama ini. 10. Keluarga besar Bagian Penginderaan Jauh IPB dan seluruh mahasiswa MSL angkatan 43 atas dukungannya selama ini. 11. Dwi Shanty, Annisa N, Agi M, Reni K, Topan L, Ricky, Gusmaini, Febria, Vanesza, Rani Y, Afifah, Sri M, dan Bu Nina atas bantuan dan dukungannya selama ini. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Namun, penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2011 Luluk Dwi Wulan Handayani

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Geomorfologi Citra Satelit Radar SAR Polarimetri Hamburan Balik (Backscatters) Satelit ALOS Data Mining Metode Decision Tree Algoritma QUEST Gunung Api III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Tahap Pengecekan Lapang Tahap Pengolahan dan Interpretasi Data Tahap Analisis Hasil IV. KEADAAN UMUM LOKASI Letak Geografis Topografi Iklim Geologi Geokimia Batuan... 33

12 4.6. Tanah Penggunaan dan Penutupan Lahan Geomorfologi G. Guntur Satuan Morfologi Lereng Tertoreh Sedang Satuan Morfologi Lereng Tertoreh Lemah Satuan Morfologi Aliran Lava Sejarah Letusan G. Guntur V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Geomorfologi Kawah (Crater) Kubah Lava (Lava Dome) Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Terdegradasi Aliran Lava (Lava Flow) Tubuh Kerucut Vulkanik Interpretasi Geomorfologi dari Citra PALSAR Keterpisahan Spektral Analisis Keterpisahan Statistik Klasifikasi Akurasi VI. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 79

13 DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Karakteristik Citra IKONOS Panjang Gelombang dan Frekuensi Radar Spesifikasi ALOS Spesifikasi ALOS PALSAR Komposisi Kandungan Unsur Mayor pada Batuan Penggunaan Lahan (BPN 2007) Sejarah Letusan G. Guntur Interpretasi Penutupan Lahan pada Citra PALSAR Ukuran Transformed Divergence (TD) Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Akurasi Klsifikasi Maximum Likelihood... 71

14 DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Diagram Komponen Sistem Pencitraan Radar Polarisasi Energi Radar Pantulan Radar dari Berbagai Permukaan Satelit ALOS (JAXA EORC 1997) Instrumen PALSAR Prinsip Geometri PALSAR Diagram Alir Penelitian Lokasi Penelitian Peta Kelas Kemiringan Lereng Kabupaten Garut Peta Elevasi Kabupaten Garut Curah Hujan Tahunan Stasiun Nariewatie Tahun Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Nariewatie Tahun Peta Geologi G. Guntur Batuan Skorea di G. Guntur Peta Tanah Kabupaten Garut Tipe Penggunaan Lahan Sekitar G. Guntur pada Citra IKONOS Kegiatan Penambangan Bahan Galian di G. Guntur tahun Citra IKONOS Google Earth Peta Bentuk Lahan G. Guntur Hasil Analisis Citra IKONOS GE Kawah G. Guntur Kubah Lava G. Guntur Degraded Lower Slope Volcanic Cone G. Guntur Aliran Lava (Lava Flow) 1, 2, 3, 4, 5, dan Aliran Lava (Lava Flow) tua, 1840 dan Tubuh Kerucut G. Guntur pada Citra IKONOS GE Citra PALSAR G. Guntur Hasil Interpretasi Citra PALSAR G. Guntur Kekasaran Permukaan Aliran Lava G. Guntur, Garut Perbandingan Nilai Polarisasi Aliran Lava G. Guntur Analisis Visual Kombinasi Polarisasi Citra PALSAR G. Guntur Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra PALSAR.. 66 G. Guntur

15 32. Citra ALOS PALSAR G. Guntur dan Hasil Klasifikasi Algoritma QUEST Citra ALOS PALSAR G. Guntur 33. Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood Citra PALSAR G. Guntur... 68

16 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh proses alami. Salah satu contoh fenomena alami yang melahirkan bencana alam adalah letusan gunungapi. Seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang dilalui oleh jalur gunungapi aktif yang disebut cincin api pasifik atau ring of fire. Oleh karena itu, Indonesia memiliki lebih dari 400 gunungapi dan 130 diantaranya masuk ke dalam kategori gunungapi aktif. Dengan demikian Indonesia menjadi negara dengan jumlah gunungapi aktif terbanyak di dunia, dimana sebagian besar gunungapi tersebut berada di pulau Sumatera dan Jawa. Letusan gunungapi merupakan gejala alam yang sangat berbahaya bagi semua makhluk hidup yang berada di sekitarnya karena material yang dikeluarkan terdiri atas gas, piroklastika, dan lava yang mempunyai suhu yang tinggi. Lava merupakan salah satu material yang dikeluarkan pada suatu periode letusan yang dapat merusak semua obyek yang dilaluinya. Sehingga fenomena ini cukup berbahaya bagi manusia. Walaupun demikian, aktifitas gunungapi banyak memberikan manfaat bagi manusia karena abu vulkanik yang disemburkan dapat meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, bentang alam gunungapi dapat menjadi aset untuk wisata alam, lokasi konservasi air, cagar alam, margasatwa dan bahkan material dari lava dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan galian untuk bahan bangunan hingga bahan industri kimia. Kajian bencana alam gunungapi merupakan suatu upaya yang sangat penting dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk dari letusan gunungapi. Kajian dapat dilakukan melalui berbagai analisis dan salah satunya merupakan analisis geomorfologi. Kajian geomorfologi mencakup aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (tenaga endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya (Wiradisastra dan Tjahjono, 1998). Analisis geomorfologi gunungapi dapat dilakukan melalui identifikasi bentuklahan, persebarannya, dan proses-proses

17 2 vulkanik yang terjadi sebelumnya atau sejarah letusannya, dan jenis-jenis produk letusan yang dominan. Penyebaran gunungapi di Indonesia terbentang dari barat ke timur mengikuti busur gunungapi Indonesia, sehingga kegiatan-kegiatan identifikasi, pemantauan lapang, dan mitigasi bahaya gunungapi memerlukan waktu dan biaya yang besar. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi geospasial berupa penginderaan jauh sangat dibutuhkan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa studi gunungapi melalui pendekatan penginderaan jauh cukup baik, efektif dan efisien serta menghemat biaya untuk pemetaan produk-produk vulkanik seperti piroklastik, aliran lava dan sebagainya (Crowley et al., 2003). Pemanfaatan data penginderaan jauh saat ini telah berkembang pesat baik penggunaan data hyperspectral maupun multispectral. Namun demikian, dikarenakan Indonesia merupakan daerah tropik maka tutupan awan seringkali menjadi kendala dalam pemanfaatan data penginderaan jauh optik. Gangguan awan dan bayangannya pada umumnya tidak dapat diperbaiki. Dalam penginderaan jauh gangguan ini direpresentasikan sebagai data yang hilang (missing data) dalam analisisnya, sehingga memerlukan proses masking dalam keseluruhan analisis (Tjahjono et al., 2009). Oleh karena itu, pemanfaatan Radar (SAR) cukup menarik untuk dapat menjadi salah satu alternatif guna mengatasi masalah tersebut. Radar (SAR) merupakan salah satu jenis penginderaan jauh yang tidak tergantung pada kondisi cuaca dan dapat beroperasi siang maupun malam. Pemanfaatan teknologi spektrum elektromagnetik gelombang mikro khususnya Radar saat ini berkembang sangat pesat. Bukan hanya dimanfaatkan dalam bidang kemiliteran, pelayaran, dan prakiraan cuaca tetapi juga diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Radar banyak dimanfaatkan untuk mendapatkan data sumberdaya alam seperti analisis geologi (Weeks et al., 1997), pemetaan pola aliran permukaan (Vieux et al., 2005), pemetaan tipe tumbuhan (Simard et al., 2002), pemetaan hutan mangrove (Trisasongko, 2009), pemetaan gunung berapi (Weissel et al., 2004), dan aplikasi lainnya. Perkembangan terakhir pemanfaatan Radar juga dimanfaatkan untuk pengidentifikasian deposit lava melalui pencirian

18 3 obyek lava pada gunungapi yang dikaitkan dengan aspek geomorfologi (Handayani et al., 2011). Secara umum, SAR (Synthetic Apreture Radar) merupakan penginderaan jauh aktif yang terdiri atas komponen pemancar (transmitter), penerima (receiver), antena, dan sistem elektronik untuk memproses dan merekam data. Rekaman data SAR dapat disimpan dalam berbagai format yang mengandung informasi tentang amplitudo dan beda fase (phase). Untuk mendapatkan hasil dengan tingkat reabilitas tinggi, maka diperlukan beragam dimensi parameter (multi parameter) yang bisa didapatkan dengan pendekatan data multi-temporal, multi-frekuensi, dan multi-polarisasi. Beberapa telaah pendahulu mengenai pengidentifikasian aliran lava dengan memanfaatkan data SAR telah dilakukan oleh Rodriguez et al. (2001) dalam penelitiannya dengan menggunakan polarimetri multi frekuensi Shuttle Imaging Radar-C (SIR-C). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tekstur aliran lava dapat digunakan untuk estimasi usia aliran di kompleks gunungapi Virunga, Afrika Timur. Menurut hasil penelitian ini aliran lava yang berumur kurang dari 30 tahun menghasilkan peningkatan polarisasi silang (cross- polarization) adapun pencirian yang diperoleh merupakan hasil dari volume scattering dan kanopi hutan. Menurut Plaut et al. (2004) karakteristik hamburan balik (backscatters) dalam sistem radar dapat digunakan untuk memisahkan kekasaran permukaan kubah lava kental yang memiliki struktur geometrik unik pada kompleks gunungapi Inyo, California. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa ukuran dan bentuk permukaan lava menhasilkan karakteristik hamburan yang unik dibandingkan dengan aliran lava lainnya. Kaupp et al. (1986) menggunakan L- band dari Shuttle Imaging Radar-B (SIR-B) untuk mengidentifikasi aliran lava dan deposit piroklastika terbaru pada aliran lava gunungapi Kilauea, Hawaii Selatan menghasilkan bahwa Radar dapat digunakan untuk memisahkan lava tipe aa dan pahoehoe dimana proses identifikasi pahoehoe lebih sulit dibandingkan dengan tipe aa namun pada lava pahoehoe ditunjukkan suatu hamburan permukaan yang mendekati ideal. Campbell et al. (1989) dalam penelitiannya di Monumen National Moon, Idaho Selatan memaparkan bahwa komponen hamburan Radar quad-polarization (quad-pol) dapat digunakan untuk analisis

19 4 morfologi permukaan aliran lava. Jika hasil hamburan dibandingkan dengan pengamatan lapang yang konsisten maka akan memperlihatkan bahwa perilaku hamburan berkorelasi dengan kekasaran permukaan yang mengindikasikan bahwa Radar sensitif terhadap perubahan kekasaran. Selain itu, Dierking dan Haack (1998) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pencirian suatu aliran lava dapat dilakukan dengan polarisasi penuh band L citra EMISAR dari kompleks gunungapi di Islandia utara. Dalam penelitiannya, ditunjukkan bahwa perbedaan beda fase antara polarisasi VV dan HH dapat menyediakan informasi mengenai vegetasi penutup pada aliran lava. SAR polarimetri dapat digunakan untuk menentukan respon sasaran (obyek) atau hamburan balik (backscatters) dengan menggunakan citra SAR polarisasi penuh (fully polarimetry) berdasarkan keempat polarisasi (HH, VV, HV dan VH). Selain itu analisis data polarisasi penuh dapat menggunakan teknologi sintesis polarisasi (polarization synthesys), yaitu teknik pengolahan sinyal polarisasi dasar baik vertikal (V) maupun horizontal (H) menjadi berbagai bentuk polarisasi turunannya (linear, ellips dan circular) yang didapatkan pada modifikasi fasenya. Oleh karena itu, sangat bermanfaat jika dilakukan penyajian suatu metode grafis untuk memvisualisasikan respon dari suatu sasaran (obyek) sebagai fungsi dari polarisasi datang dan hamburan balik (backscatters). Salah satu visualisasi yang dapat disajikan adalah melalui penciri polarisasi (polarization signature) dari suatu obyek. Beberapa penelitian yang menggunakan citra SAR polarisasi penuh umumnya menghasilkan suatu keakuratan klasifikasi yang cukup tinggi. Namun sering bersifat khas untuk daerah tertentu (site-specific). Hal ini disebabkan hamburan balik (backscatters) dipengaruhi oleh faktor sifat khas geometris yang terkait dengan kekasaran permukaan dan sifat khas dielektrik masing-masing obyek. Oleh karena itu, metode yang sama belum tentu dapat diterapkan untuk daerah lainnya. Gunung Guntur merupakan salah satu gunungapi aktif di Indonesia yang memiliki karakteristik produk aliran lava yang sangat dominan dibandingkan dengan produk-produk aliran lava gunungapi lainnya. Aliran lava pada G. Guntur secara visual sangat jelas terlihat sehingga pemetaan landform aliran lava dapat

20 5 dilakukan. Selain itu, penelusuran literatur menunjukkan bahwa telaah mengenai identifikasi aliran lava dengan menggunakan SAR polarimetri untuk daerah tropis seperti Indonesia masih sangat minim. Untuk itu dalam kaitan dengan pengembangan aplikasi data Radar perlu dilakukan penelitian yang mengetengahkan analisis geomorfologi yang dipadukan dengan teknologi pemanfaatan data SAR polarimetri untuk mengidentifikasi karakteristik hamburan (scattering) dari aliran lava G. Guntur sehingga dapat dilakukan pencirian pada obyek gunungapi tersebut 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Melakukan analisis geomorfologi bentuklahan G. Guntur menggunakan citra Optik IKONOS. 2. Melakukan analisis geomorfologi bentuklahan G. Guntur menggunakan citra non optik PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) polarimetri penuh dan membandingkannya dengan data optik IKONOS 3. Menentukan kombinasi sinyal polarisasi penuh yang efisien untuk identifikasi aliran lava dengan menggunakan Radar polarimetri band L. 4. Melakukan klasifikasi obyek dengan menggunakan teknik klasifikasi pohon keputusan (decision tree) dengan algoritma QUEST.

21 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Perhatian geomorfologi mencakup proses terbentuknya bentuklahan, sifat-sifatnya, perkembangannya dan komposisi material yang menyusunnya. Dengan kata lain kajian geomorfologi merupakan pemerian (description) dan penjelasan (explanation) bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya. Selain itu, geomorfologi merupakan suatu dieliktika antara geologi, topografi, proses geomorfik dan iklim (Wiradisastra dan Tjahjono, 1998) Citra Satelit Citra adalah gambaran kenampakan bumi hasil penginderaan pada spektrum elektromagnetik tertentu yang ditayangkan pada layar atau disimpan pada media rekam/cetak. Citra satelit adalah citra hasil penginderaan suatu jenis satelit tertentu (Departemen Kehutanan, 2009). Jenis citra satelit berdasarkan tingkat resolusi spasial ; Citra resolusi rendah memiliki resolusi spasial antara > 30 m Contoh : citra satelit Landsat 1-3 MSS, Landsat TM, Landsat ETM Citra resolusi sedang memiliki resolusi spasial antara 2,5-10 m Contoh : citra satelit SPOT Citra resolusi tinggi memiliki resolusi spasial antara 0,6 1 m Contoh : citra satelit IKONOS dan Quickbird Satelit IKONOS adalah satelit observasi bumi komerisal pertama yang beresolusi tinggi. Satelit ini diluncurkan oleh perusahaan GeoEye pada tanggal 24 September IKONOS membawa satu sensor pankromatik dan satu sensor multispektral (Geoeye, 2006). Karakteristik citra IKONOS disajikan pada Tabel 1.

22 7 Tabel 1. Karakteristik Citra IKONOS (Geoeye, 2006) Karakteristik Resolusi Spasial 4 m (Multispektral) 1 m (Pankromatik) Resolusi Spektral Band 1 (Blue) 0,445-0,516 µm Band 2 (Green) 0,506-0,595 µm Band 3 (Red) 0,632-1,698 µm Band 4 (NIR) ,853 µm Pankromatik 0,526-0,929 µm Resolusi Temporal 3 hari pada latitude 40 dan elevation > 60 Tinggi Orbit 681 km Ukuran Scene Maksimum 11x13 km 2.3. Radar Radar merupakan sistem penginderaan jauh aktif karena dapat menyediakan sendiri sumber energinya. Sistem mengiluminasi medan dengan energi elektromagnetik, mendeteksi pantulan energi dari medan, dan mencatat pantulan energi sebagai sebuah citra. Sistem Radar beroperasi secara bebas pada berbagai kondisi pencahayaan dan umumnya tidak tergantung pada cuaca. Radar merupakan singkatan dari radio detection and ranging bekerja pada spektrum elektomagnetik dengan panjang gelombang 1 mm - 1 m (Sabins, 2007). Komponen sistem pencitraan Radar disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Diagram Komponen Sistem Pencitraan Radar (Sabins, 2007)

23 8 Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), Radar merupakan suatu cara penggunaan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan letak posisinya. Prosesnya meliputi transmisi gelombang pendek dan atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari echo atau pantulan yang diterima objek dalam sistem medan pandang. Tabel 2 dibawah menunjukkan panjang gelombang dan frekuensi Radar yang digunakan dalam penginderaan jauh. Tabel 2. Panjang Gelombang dan Frekuensi Radar (Sabins, 2007) No Band Panjang Gelombang (λ) Frekuensi (v) cm GHz 1 K X (3.0 cm) C (6 cm) S (8.0 cm, 12.6 cm) L (23.5 cm, 25.0 cm) P (68 cm) Panjang gelombang sinyal Radar menentukan bentangan yang terpencar oleh atmosfer. Efek atmosferik yang parah pada sinyal Radar terbatas pada gelombang lebih pendek (kurang dari 3 cm) (Lillesand dan Kiefer 1990). Gelombang Radar dapat menembus lapisan pelindung yang tipis seperti abu dan aeolian deposit (Carter et al., 2006). Besar kecilnya panjang gelombang yang digunakan berpengaruh pada citra yang diperoleh. Semakin besar panjang gelombang maka semakin kuat daya tembus gelombang (Sabins, 2007) SAR Polarimetri Polarisasi gelombang elektromagnetik menggambarkan orientasi vektor bidang elektrik pada titik yang diberikan selama satu periode gerakan (Ban, 1996). Kedalaman penetrasi dari sumber gelombang mikro tergantung pada polarisasi dan frekuensi gelombang (Sabins, 2007). Gambar 2 menyajikan polarisasi energi Radar. Panjang gelombang sinyal Radar dapat ditansmisikan atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Sinyal dapat disaring sehingga gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan

24 9 gelombang (tenaga yang tidak terpolarisasi menyebar kesemua arah tegak lurus arah perambatannya) X Y Magnetic Field Z Gambar 2. Polarisasi Energi Radar (Sabins, 2007) Satu sinyal SAR (Synthetic Aperture Radar) dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Jadi terdapat empat kemungkinan kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim Horizontal diterima Horizontal (HH), dikirim Horizontal diterima Vertikal (HV), dikirim Vertikal diterima Horizontal (VH), dan dikirim Vertikal diterima Vertikal (VV). Citra dengan polarisasi searah (parallel polarization) dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang (cross polarization) dihasilkan dari paduan HV atau VH (Lillesand dan Kiefer, 1990). Berbagai obyek dapat mengubah polarisasi energi Radar yang dipantulkan sehingga bentuk polarisasi sinyal sangat mempengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan (Sabins, 2007) 2.5. Hamburan Balik (backscatters) Koefisien hamburan balik (backscatter coefficient) adalah ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang balik ke antena. Hamburan balik Radar banyak dipengaruhi oleh karakteristik permukaan seperti kekasaran permukaan

25 10 (Sabins, 2007). Oleh karena itu, hasil interpretasi Radar ditentukan oleh hamburan balik (backscatter) dari obyek yang diterima kembali oleh sensor. Ada dua parameter yang mempengaruhi sinyal balik yaitu parameter sistem sensor yang meliputi panjang gelombang, polarisasi, dan sudut pancaran (incident angle, depression angle, look angle dan look direction) sedangkan parameter permukaan obyek meliputi kekasaran permukaan (roughness surface), efek geometri permukaan, dan sifat dieletrik obyek. Permukaan yang memiliki kekasaran yang sama atau lebih besar dari panjang gelombang akan tampak kasar karena permukaan yang kasar akan bertindak sebagai pemantul baur dan memencarkan tenaga yang datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Permukaan halus pada umumnya akan memantulkan sebagian besar energi Radar dengan sudut pantul yang sama menjauhi sensor dan mengakibatkan hamburan balik (backscatter) menjadi rendah namun apabila orientasi obyek mengarah ke sensor maka hamburan balik yang dihasilkan akan sangat kuat. Untuk permukaan dengan kekasaran permukaan yang sedang, akan memantulkan sebagian kecil energi Radar melalui hamburan balik (backscatter) secara acak (Hemphill, 2007). Efek geometri obyek dan intensitas sinyal hasil balik Radar akan berpadu dengan efek kekasaran permukaan. Adapun kekasaran permukaan obyek merupakan fungsi dari variasi relief yang berkaitan dengan panjang gelombang pantulan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Keterangan : A = Pemantulan sempurna B = Pemantulan baur C = Pemantulan sudut Gambar 3. Pantulan Radar dari Berbagai Permukaan (Lillesand dan Kiefer, 1990)

26 11 Mengingat gelombang datang dapat dibuat dari berbagai jenis polarisasi, dan matriks hamburan adalah 4 bilangan kompleks (VV, HH, VH, dan HV), maka sangatlah bermanfaat jika mempunyai sebuah metode grafis untuk dapat memvisualkan respon dari suatu sasaran sebagai fungsi dari polarisasi datang dan hamburan balik. Visualisasi tersebut salah satunya diberikan oleh penciri polarisasi (polarization signature) (Susilo, 2007). Incident angle juga mempengaruhi hamburan balik ke antenna. Incident angle merupakan sudut yang terbentuk antara pancaran gelombang dengan garis yang tegak lurus pada permukaan obyek. Permukaan obyek yang halus akan memantulkan sinyal secara sempurna pada sudut lebih kecil 20, namun sebaliknya pada permukaan kasar dengan sudut lebih kecil dari 20, sebagian besar sinyal akan dipancarkan secara acak sehingga total hamburan balik yang diterima antena lebih rendah dibandingkan dengan permukaan halus dengan sudut yang sama (Hemphill, 2007) Satelit ALOS Satelit ALOS (Advanched Land Observing Satelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) pada tanggal 24 Januari Satelit ini adalah satelit generasi lanjutan dari Japanese Earth Resources Satellite-1 (JERS-1) dan Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS). ALOS merupakan satelit terbesar yang dikembangkan oleh JAXA dan diluncurkan dari Tanegashima Space Center Jepang dengan menggunakan wahana peluncuran H-IIA. Satelit ini memiliki periode kunjungan ulang (revisiting period) 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat, maka satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. ALOS dapat digunakan untuk kartografi, observasi regional, pemantauan bencana dan peninjauan sumberdaya. Tabel 3 berikut ini menyajikan spesifikasi dari satelit tersebut (EORC JAXA, 1997). ALOS merupakan salah satu satelit terbesar untuk pengamatan permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan antara lain : 1. Menyediakan peta untuk Jepang dan Negara lain yang termasuk dalam wilayah Asia-Pasifik (Cartography).

27 12 2. Melakukan pengamatan regional untuk pembangunan berkelanjutan, yaitu kesesuaian antara lingkungan bumi dengan pembangunan (Regional Observation). 3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring). 4. Melakukan survei sumberdaya alam (Resources Surveying). 5. Mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan bumi masa depan (Technology Development). Tabel 3. Spesifikasi ALOS No Tipe Karakteristik 1 Bobot 4 ton 2 Jangka Waktu 3-5 Tahun 3 Ketinggian Orbit 691, 65 km (di khatulistiwa) 4 Periode Orbital 98,7 menit Tipe Orbit Inklinasi Siklus kunjungan ulang Power Sun-synchronous Subrecurrent 98,16 deg 46 hari Approx. 7 kw (pada akhir operasional) Sumber : (diakses 22 Februari 2010) Satelit ALOS memiliki tiga jenis sensor, yaitu PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping) untuk pemetaan elevasi digital, AVNIR-2 (Advanched Visible and Near Infrared Radiometer type 2) untuk pengamatan penutupan lahan, dan PALSAR (Phased Array type L-Band Synthetic Aperture Radar) untuk pengamatan lahan sepanjang siang-malam pada berbagai kondisi cuaca. Satelit ALOS ditunjukkan pada Gambar 4. ALOS dirancang dengan dua teknologi maju, pertama adalah mempunyai kecepatan tinggi dan memiliki kapasitas penyimpanan data yang besar, dan kedua adalah mempunyai presisi tinggi terhadap posisi pesawat ruang angkasa dan kemampuan penentuan ketinggian. PALSAR merupakan suatu sensor gelombang mikro aktif yang bekerja pada tipe frekuensi band L (1, 27GHz) dengan lebar kanal 28/14 MHz untuk melakukan observasi siang dan malam tanpa dipengaruhi oleh gangguan awan.

28 Hal ini memberikan kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan Synthetic Aperture Radar (SAR) JERS Gambar 4. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997) Salah satu mode observasi PALSAR, yaitu ScanSAR yang memungkinkan PALSAR dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang lebih luas, yaitu km. Pembangunan PALSAR merupakan proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Tabel 4 menyajikan spesifikasi sensor PALSAR dan Gambar 5 menyajikan bentuk dari instrument PALSAR. Sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah yang berada diluar posisi geografis berikut : 87,8 Lintang Utara dan 75,9 Lintang Selatan ketika off-nadir mempunyai sudut 41,5. Hal ini dikarenakan terbatasnya konsumsi daya yang mengakibatkan waktu operasi sensor dibatasi. Fine mode bekerja pada incident angle dengan sudut 34,3, ScanSAR mode pada incident angle dengan sudut 34,1 dan Polarimetric Mode pada incident angle dengan sudut 21,5 (EORC JAXA, 1997). Gambar 6 menyajikan prinsip geometri PALSAR Data Mining Data Mining adalah proses analitik yang dirancang untuk menggali data (biasanya data dalam jumlah besar seperti dalam bisnis atau pasar terkait) untuk mencari pola yang konsisten dan atau hubungan sistematis antar variabel, dan

29 kemudian untuk memvalidasi temuan dengan menerapkan pola terdeteksi subset data baru (Elektronik Statistik, 2011) 14 Tabel 4. Spesifikasi ALOS PALSAR No Mode Fine Polarimetric Resolution ScanSAR Mode (Experimental mode)* Mode 1 Frekuensi Pusat Tipe L-Band 1270 mhz 2 Chrip 14 MHz, 28 Bandwidth 28 MHz 14 MHz MHz 14 MHz 3 Polarisasi HH/VV HH+HV/VV+VH HH/VV HH+VH+HV+VV 4 Incident angle Range 100 m Resolution 7-44 m m (multilook) m 6 Observation Swath km km km km 7 Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3-5 bit 8 Date Rate 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps 240 Mbps 240 Mbps Sumber : (diakses 22 Februari 2010) Sumber : RESTEC (2010) Gambar 5. Instrumen PALSAR

30 15 Sumber : RESTEC (2010) Gambar 6. Prinsip Geometri PALSAR Data mining dapat diaplikasikan pada representasi data seperti domain data spatial berbasis teks dan multimedia (citra) (Seiner, 1999). Data mining melakukan pencocokan model atau menentukan pola dari data yang diobservasi. Ada dua pendekatan matematis yang digunakan dalam pencocokan model statistik yang memberikan efek non-deterministik dan logik yang murni determinstik (Seiner, 1999). Data mining merupakan himpunan algoritma yang sangat besar. Berbagai teknik dapat ditemui pada himpunan tersebut, seperti jaringan syaraf tiruan (artificial neural network), support vector machines, analisis gerombol (clustering), dan pohon keputusan (decision tree) Metode Decision Tree Pohon keputusan berbasis logika dimana metodologi aturan keputusan adalah tipe yang paling kuat dari klasifikasi terbimbing yang menunjukkan kinerja baik di berbagai masalah data mining (Leung, 2007). Klasifikasi ini mengadopsi pendekatan topdown dan menggunakan pembelajaran terbimbing untuk membangun pohon keputusan (decision tree) dari satu set data pembangun yang ditetapkan. Sebuah pohon keputusan terdiri dari node yang merupakan atribut yang diuji. Keluaran dari cabang node sesuai dengan semua kemungkinan hasil uji pada setiap node (Leung, 2007). Teknik ini sangat bermanfaat untuk analisis data pendahuluan mengingat kesederhanaan pola pikir dalam pengembangan

31 16 pembuatan keputusan (rule). Namun demikian, kesederhanaan ini tidak identik dengan ketidakakuratan. Penelitian pendahuluan dari Panuju dan Trisasongko (2008) menunjukkan bahwa walaupun perbedaan kinerja algoritma pohon keputusan tidak terlalu signifikan, namun kinerja algoritma pohon keputusan secara konsisten selalu lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasik seperti algoritma kemungkinan maximum likelihood classification Algoritma QUEST QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees) merupakan salah satu algoritma dari metode pohon keputusan yang diperkenalkan oleh Loh dan Shih (1997). Secara subtansial QUEST ditunjukkan dengan proses cepat dengan ketelitian dan keakuratan klasifikasi yang sebanding dengan metode klasifikasi rumit lainnya. Algoritma ini merupakan algoritma pemisahan (split) biner pohon keputusan yang dapat digunakan untuk tujuan klasifikasi. Pada algoritma ini, proses pemisahan dapat dilakukan pada peubah tunggal (unvariate) atau berdasarkan pemisahan (split) kombinasi linear. Pada algoritma QUEST, seleksi peubah bias dapat diabaikan, mempertahankan kesederhanaan, pemangkasan sebagai pilihan, dan menghasilkan pemisahan biner. Alasan pemisahan binary adalah agar pohon QUEST mudah dibandingkan dengan pencarian pohon lengkap dalam stabilitas pemisahan dan jumlah nodes. QUEST menggunakan satu atau dua akar sebagai titik pemisahan yang salah satunya memiliki nilai yang lebih dekat dengan mean sampel masing-masing kelas (Loh and Shih, 1997). Ciri unik dari algoritma ini adalah pemilihan seleksi atribut yang memiliki penyimpangan yang tidak terlalu penting. Parameter pada QUEST antara lain akurasi klasifikasi, variabilitas pemisahan dan ukuran pohon. Model ini dapat mengurangi ukuran pohon, mengembangkan prediksi kelas, dan membangun data visualisasi. Telaah dengan menggunakan pendekatan algoritma ini telah digunakan sebelumnya untuk pemantauan lahan sawah (Tjahjono et al., 2009a; Panuju dan Trisasongko, 2008).

32 Gunungapi Gunungapi adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan bumi umumnya membentuk kerucut terpancung (Bakosurtanal, 2010). Gunungapi diklasifikasikan berdasarkan dua sumber erupsi yaitu erupsi pusat dan erupsi samping. Erupsi pusat adalah erupsi yang keluar melalui kawah utama dan erupsi samping adalah erupsi yang keluar dari lereng tubuhnya. Erupsi samping dapat dibedakan menjadi erupsi celah dan erupsi eksentrik. Erupsi celah adalah erupsi yang muncul pada retakan atau sesar yang memanjang sampai beberapa kilometer. Erupsi eksentrik adalah erupsi samping tetapi magma yang keluar bukan dari kepundan pusat yang menyimpang kesamping melainkan melalui kepundan tersendiri. Struktur cekungan gunungapi dapat dibedakan menjadi struktur kawah, kaldera, rekahan dan graben serta depresi vulkanotektonik (Bakosurtanal, 2010). Bahaya langsung akibat letusan gunungapi dapat berupa : Leleran Lava Leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas yang dapat merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung dari kekentalan magmanya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara C. Aliran Piroklastik (awan panas) Aliran piroklastik dapat terjadi sebagai akibat runtuhan tiang asap erupsi, seperti yang terjadi pada erupsi tipe plinian. Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma atau lava. Kecepatan aliran dapat mencapai km/jam atau lebih. Jatuhan Piroklastik Jatuhan piroklastik terjadi dari letusan yang membentuk tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis abu akan menyebar sesuai arah angin kemudian jatuh ke permukaan bumi.

33 18 Lahar Letusan Lahar letusan terjadi pada gunungapi yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air alam dalam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung apabila terjadi letusan sehingga akan menumpahkan lumpur panas. Gas Vulkanik Beracun Gas beracun umumnya muncul pada gunungapi aktif berupa CO, CO 2, HCN, H 2 S, SO 2 dan lain-lain. Konsentrasi gas ini jika melebihi ambang batas maka akan dapat berbahaya bagi makhluk hidup di sekelilingnya. Untuk bahaya sekunder akibat letusan gunungapi antara lain adalah lahar hujan dan longsoran vulkanik (Bakosurtanal, 2010).

34 19 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah G. Guntur yang secara administratif berada di wilayah Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat dengan luas ± ha. Secara geografis G. Guntur terletak pada 07 11'55,2767'' Lintang Selatan dan '39,1195'' Bujur Timur. Penelitian ini dimulai dari bulan September 2010 sampai dengan bulan Maret Analisis data dilakukan di laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Satelit yaitu ALOS PALSAR (Phased Array L-band Synthetic Aperture Radar) fully polarimetric yang diakuisisi pada tanggal 30 Maret 2009 dengan look angle 21,5 degree. Citra tambahan yang digunakan adalah Citra Satelit IKONOS Google Earth diakuisisi pada tanggal 28 Juni Data tambahan lainnya yang digunakan yaitu Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1: lembar Samarang ( ) yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) tahun 1999 dan Peta Geologi Gunungapi Guntur, Jawa Barat skala 1: yang diterbitkan oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia tahun Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) Envi 4.5 disertai program (toolbox) tambahan, ASF MapReady 2.3.6, Google Earth versi 6.0, ArcView GIS versi 3.3 disertai program (toolbox) tambahan, ArcGIS versi 9.3, GPS, Microsoft Word 2007, Microsoft Excel 2007, Microsoft Visio 2007, kamera digital, dan alat tulis menulis Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian secara umum terdiri dari beberapa tahapan, yaitu : 1) tahap persiapan dan pengumpulan data, 2) tahap

35 20 pengecekan lapang, 3) tahap pengolahan dan interpretasi data, dan 4) tahap analisis hasil. Adapun diagram alir penelitian disajikan pada Gambar Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan data baik yang berasal dari penelitian sebelumnya maupun data penunjang untuk memahami metode yang telah berkembang berkaitan dengan penelitian ini. Data penunjang yang diperlukan antara lain : berbagai jurnal ilmiah, prosiding seminar, artikel ilmiah dan buku teks yang terkaitan dengan penelitian. Selain itu, melakukan eksplorasi perangkat lunak (software) Envi 4.5, ASF MapReady 2.3.6, dan Google Earth. Pada tahapan ini juga dilakukan identifikasi bentuklahan vulkanik pada data IKONOS Google Earth Tahap Pengecekan Lapang Tahap pengecekan lapang dilakukan pada tanggal 27 September Pada tahap ini dilakukan pengambilan beberapa lokasi piksel / titik (x,y) untuk menentukan daerah kajian penelitian (Region of Interest) dengan menggunakan perangkat GPS. Pada lokasi G. Guntur ditentukan 9 titik koordinat. Jumlah titik koordinat dipengaruhi oleh terbatasnya waktu dan akses perjalanan menuju puncak G. Guntur. Selain pengambilan titik pada setiap lokasi tersebut dilakukan pengamatan kekasaran permukaan untuk mendapat data secara kualitatif. Pengamatan kekasaran permukaan ini dilakukan dengan menggunakan millimeter block dengan satuan pengukuran per 5 cm sehingga didapatkan gambaran dari kekasaran permukaan lava (Gambar Lampiran 1). Pengamatan daerah sekitar lokasi pengambilan titik koordinat juga dilakukan seperti bentukan aliran lava (Gambar Lampiran 2), pengamatan batuan (Gambar Lampiran 3), serta pengamatan vegetasi (Gambar Lampiran 4) Tahap Pengolahan dan Interpretasi Data Pengolahan awal citra dilakukan koreksi terrain (geocoding) data dengan mengubah data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) G. Guntur menjadi data DEM (Digital Elevation Model) sebagai data masukan pada pengolahan koreksi terrain citra PALSAR sehingga dihasilkan data yang telah terkoreksi (registered). Citra geocoded yang dihasilkan menggunakan sistem proyeksi UTM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Perhatian geomorfologi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah G. Guntur yang secara administratif berada di wilayah Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut, Provinsi

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Geomorfologi Interpretasi geomorfologi G. Guntur melalui studi bentuklahan didasarkan pada aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi serta struktur dan litologi

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

Interpretasi Citra SAR. Estimasi Kelembaban Tanah. Sifat Dielektrik. Parameter Target/Obyek: Sifat Dielektrik Geometri

Interpretasi Citra SAR. Estimasi Kelembaban Tanah. Sifat Dielektrik. Parameter Target/Obyek: Sifat Dielektrik Geometri Interpretasi Citra SAR Synthetic Aperture Radar Polarimetry Parameter Target/Obyek: Sifat Dielektrik Geometri Bambang H. Trisasongko Parameter Sistem/Sensor: Frekuensi/Panjang Gelombang Incidence Angle

Lebih terperinci

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth. menggunakan data latih kedua band citra berbasis rona (tone, sehingga didapatkan pohon keputusan untuk citra berbasis rona. Pembentukan rule kedua menggunakan data latih citra berbasis rona ditambah dengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Latar Belakang PENDAHULUAN Wilayah peri-urban yang berkonotasi sebagai wilayah yang berada di sekitar kota dapat diartikan juga sebagai wilayah Pra- Urban. Istilah ini mengandung makna bahwa wilayah peri-urban

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian lahan berbeda dengan tanah, namun dalam kenyataan sering terjadi kekeliruan dalam memberikan batasan pada kedua istilah tersebut. Tanah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2009 sampai November 2009 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di ring of fire (Rokhis, 2014). Hal ini berpengaruh terhadap aspek geografis, geologis dan klimatologis. Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas gunung api dapat dipelajari dengan pengamatan deformasi. Pemantauan deformasi gunung api dapat digolongkan menjadi tiga kategori berbeda dari aktifitas gunung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

Editor:. Prof Dr. Fahmi Amhar Prof Aris Poniman Dr. Dewayany Sutrisno Dr. SobarSutisna Dr. Sri Handoyo Dr. Ibnu Sofian Dr.

Editor:. Prof Dr. Fahmi Amhar Prof Aris Poniman Dr. Dewayany Sutrisno Dr. SobarSutisna Dr. Sri Handoyo Dr. Ibnu Sofian Dr. Editor:. Prof Dr. Fahmi Amhar Prof Aris Poniman Dr. Dewayany Sutrisno Dr. SobarSutisna Dr. Sri Handoyo Dr. Ibnu Sofian Dr. Mulyanto Da IDENTIFIKASI ALIRAN LAVA MENGGUNAKAN METODE HAMBURAN BALIK RADAR POLARIMETRI

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT Oleh : DERY RIANSYAH A24103087 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Synthetic Aperture Radar (SAR) untuk Mendukung Quick Response dan Rapid Mapping Bencana (Studi Kasus: Deteksi Banjir Karawang, Jawa Barat) Oleh: Fajar Yulianto, Junita

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No. 3 Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Juli September 2010 Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m BAMBANG RUDIANTO Jurusan Teknik

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam Bencana alam pada dasarnya adalah sebuah konsekuensi dari gabungan proses-proses alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunungapi, gempa bumi, tanah longsor,

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang 4.1.1. Analisis Data Eksploratif Hasil penerapan teori dekomposisi Cloude Pottier pada penelitian ini terwakili oleh

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI IV.1 Sekilas Tentang Gunung Api Batur Area yang menjadi kajian (studi) untuk dilihat sinyal deformasinya (vertikal) melalui Teknologi InSAR selama kurun waktu

Lebih terperinci

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA Oleh : Amelia Oktaviani dan Yarjohan Prodi Ilmu Kelautan Mahasiwa Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu *E-mail : ameliaoktaviani049@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak KAJIAN AWAL KEBUTUHAN TEKNOLOGI SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PROGRAM REDD DI INDONESIA Oleh : Dony Kushardono dan Ayom Widipaminto LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak menyampaikan

Lebih terperinci

Eko Yudha ( )

Eko Yudha ( ) Eko Yudha (3507 100 045) Fenomena letusan Gunung Berapi Teknologi InSAR Terjadinya perubahan muka tanah (deformasi) akibat letusan gunung Berapi Penggunaan Teknologi InSAR untuk pengamatan gunung api Mengetahui

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan 09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital by: Ahmad Syauqi Ahsan Remote Sensing (Penginderaan Jauh) is the measurement or acquisition of information of some property of an object or phenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS A. Pendahuluan Di bumi ini tersebar berbagai macam fenomena fenomena alam yang sudah diungkap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

DETEKSI KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT AWAN PANAS MERAPI 2010 MENGGUNAKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH

DETEKSI KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT AWAN PANAS MERAPI 2010 MENGGUNAKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DETEKSI KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT AWAN PANAS MERAPI 2010 MENGGUNAKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH Seftiawan Samsu Rijal 1, Mousafi Juniasandi Rukmana 1, Ahmad Syukron Prasaja 2 1 Magister Penginderaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU JAKARTA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR POLARISASI GANDA

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU JAKARTA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR POLARISASI GANDA ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU JAKARTA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR POLARISASI GANDA JakartaGreen Open Space Analysis using Dual Polarization ALOS PALSAR Satellite Imagery Wida Nindita, Bambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Pengukuran Kekotaan Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Contoh peta bidang militer peta topografi peta rute pelayaran peta laut

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL

ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI M. Rokhis Khomarudin, Parwati, dan Suwarsono Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pendahuluan Indonesia adalah suatu negara yang terletak di ring of fire,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dikenal sebagai teknologi yang memiliki manfaat yang luas. Pemanfaatan yang tepat dari teknologi ini berpotensi meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi. BENTUK LAHAN ASAL VULKANIK 1.Dike Terbentuk oleh magma yang menerobos strata batuan sedimen dengan bentuk dinding-dinding magma yang membeku di bawah kulit bumi, kemudian muncul di permukaan bumi karena

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding ANALISIS PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENENTUKAN DAERAH BAHAYA DALAM RANGKA MENDUKUNG UPAYA MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA DEM DAN LANDSAT DAERAH GUNUNG BATUR KABUPATEN BANGLI PROVINSI

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci