V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Geomorfologi Interpretasi geomorfologi G. Guntur melalui studi bentuklahan didasarkan pada aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi serta struktur dan litologi penyusunnya. G. Guntur merupakan kerucut termuda kompleks G. Guntur- Gandapura yang terletak di sebelah baratlaut-tenggara. Kompleks gunung api ini terdiri dari beberapa pusat erupsi antara lain Windu-Malang-Putri, Kancing, Gandapura, Randukurung, Putri-Katomas-Cikakak, Pasir Malang, Gajah, Agung, Cidadali, Ayakan-Wayu-Laja, dan Picung termasuk beberapa lubang Cileungsing, Pasir Panggulaan, Pasir Laku, Masigit dan yang terkecil yaitu Batususun dan Guntur (Purbawinata 1990). Banyak kerucut vulkanik yang terbentuk di sekitar G. Guntur yang membuktikan bahwa erupsi gunungapi ini tidak selalu terjadi pada lokasi yang sama (Sutawidjaja et al., 1998). G. Guntur adalah gunungapi yang berumur kuarter (1,8 juta tahun lalu) dan letusan yang tercatat mengalami erupsi pertama kali adalah letusan tahun Erupsi G. Guntur menghasilkan produk vulkanik antara lain berupa kerucut vulkanik dan kawah beserta aliran yang dihasilkan pada setiap aktivitasnya. Kebanyakan produk dari G. Guntur seperti aliran lava dan pyroklastik mengalir ke arah tenggara (Purbawinata, 1990). Di bagian bawah yaitu pada lereng-lereng kaki G. Guntur yang landai tersusun oleh deposit lahar yang terbentang luas. Dataran lahar ini tersusun atas blok-blok lava andesit dan basaltik baik yang berukuran kerakal hingga bongkahbongkah, membentuk sudut yang tumpul dengan ukuran sedang hingga kecil dan tertanam dalam matriks pasir kasar. Deposit lahar berasal dari abu yang jatuh dari puncak pada saat terjadinya erupsi atau yang meluncur pada lereng yang terjal saat musim hujan. Menurut Purbawinata (1990) lahar yang terdapat di bagian sisi selatan kerucut G. Guntur sebenarnya berasal dari abu G. Galunggung saat terjadi letusan pada tahun Gunungapi ini berlokasi 60 km di sebelah tenggara dan lahar yang dihasilkan bercampur dengan material piroklastik G. Guntur. Lokasi deposit lahar saat ini dimanfaatkan sebagai pemukiman dan lokasi wisata oleh penduduk sekitar G. Guntur.

2 41 G. Guntur bagian barat bersebelahan dengan G. Putri-Katomas dimana hasil letusan G. Guntur berupa pyroklastik dan material lainnya menutupi bagian puncak dari gunungapi ini. Selain itu, bagian selatan G. Guntur bersebelahan dengan G. Kabuyutan. Pada bagian timur G. Guntur dapat ditemukan endapan aluvial yang tersusun atas fragmen batuan beku dalam dengan matriks pasir yang bersifat lepas. Daerah ini terdapat di sepanjang aliran sungai Citiis, Cimanuk kawah Gandapura dan danau Pangkalan. Morfologi komplek G. Guntur memiliki kemiringan yang sangat bervariasi antara Kemiringan landai 10 sampai 30 umumnya terdapat pada dareah pemukiman seperti kota Garut, Kadung Ora, Leles, Taragong dan Cipanas sedangkan untuk kemiringan terjal terdapat disekitar puncak G. Guntur Analisis geomorfologi menjadi aspek penting dalam identifikasi bentuklahan melalui interpretasi citra. Identifikasi bentuklahan pada citra didasarkan pada aspek morfologi terkait dengan bentuk dan ukuran dari obyek yang terdapat di G. Guntur. Sebagai contoh, bentuklahan aliran lava dapat ditentukan berdasarkan bentuk aliran lava yang memanjang menyerupai lidah yang mungkin bertampalan dan berselang-seling dan berasosiasi dengan kawah Gunungapi. Lava yang kental akan membentuk aliran yang tebal dengan tepi yang terjal dan menonjol sedangkan lava cair membentuk aliran yang tipis kurang dari 15 m. selain melalui bentuk, identifikasi bentuklahan lava pada citra dapat didasarkan pada warna/rona yang ditampilkan citra. Secara umum, rona pada aliran lava baru yang belum lapuk dan belum tertutup vegetasi akan berwarna gelap. Aspek morfogenesis didominasi oleh proses-proses vulkanik, sedangkan aspek morfokronologi lebih memperlihatkan kronologi aliran-aliran lava mengikuti struktur atau susunan lava dari atas hingga dibawahnya termasuk yang diketahui umurnya melalui tahun letusan. Untuk aspek litologi lebih didominasi oleh batuan lava basaltik produk dari aktivitas G. Guntur. Intrepretasi geomorfologi ini dapat dilakukan secara visual menggunakan citra yang beresolusi tinggi, yaitu citra Optik IKONOS yang dipadukan dengan data hasil pengamatan langsung di lapang. Interpretasi visual citra IKONOS yang diunduh dari perangkat lunak Google Earth menghasilkan 17 jenis bentuklahan, yaitu 3 bentuklahan kawah, 1

3 Gambar 18. Citra IKONOS Google Earth G. Guntur, Garut 42

4 Gambar 19. Peta Bentuklahan G. Guntur Hasil Analisis Citra IKONOS Google Earth 43

5 44 bentuklahan kubah lava, 9 bentuklahan aliran lava, 3 bentuklahan tubuh kerucut, dan 1 bentuklahan terdegradasi. Citra IKONOS Google Earth yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 18 dan hasil interpretasi disajikan pada Gambar Kawah (Crater) Kawah G. Guntur merupakan hasil dari erupsi eksplosif yang terjadi berkali-kali dengan tipe letusan strombolian (tampak lebih dominan) yang dicirikan dengan banyaknya endapan lapilli berbentuk skori. Pada gunungapi ini terdapat 3 bentuklahan kawah yaitu Crater 1, Crater 2, dan Crater 3. Untuk Crater 1 hasil dari letusan G. Guntur yang lebih tua dibandingkan dengan kawahkawah lainnya dan terletak di sebelah barat dari puncak kerucut. Bentukan ini ditandai oleh tekstur dinding kawah yang lebih halus dan telah ditumbuhi oleh vegetasi berupa semak belukar. Bentuk kawah ini sudah tidak lagi berbentuk lingkaran sempurna karena tertutup oleh bentukan kawah baru lainnya. Crater 2 merupakan bentukan hasil letusan berikutnya setelah kawah 1 terbentuk. Kawah ini terletak di bagian utara puncak kerucut dan ditandai dengan tekstur dinding kawah yang agak halus namun hanya ditumbuhi oleh vegetasi berupa rumputrumputan. Crater 3 merupakan bentukan hasil letusan terbaru sehingga bentukan lingkar kawah sangat terlihat dengan jelas. Kawah ini ditandai dengan tekstur batuan pada dinding kawah yang masih sangat kasar dan membentuk cekungan yang agak dalam. Bagian dalam dari cekungan tersebut telah ditumbuhi oleh beberapa jenis vegetasi seperti semak dan rumputan. Menurut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998), di bentuklahan kawah G. Guntur terdapat beberapa titik solfatara dan fumarol yang mengeluarkan CO 2, H 2 O dan oksida belerang (SO 2 dan SO 3 ). Gambar kawah (crater) G. Guntur disajikan pada Gambar Kubah Lava (Lava Dome) Bentuklahan ini merupakan hasil akumulasi lava di dalam kawah gunungapi. Citra memperlihatkan bahwa tekstur pada batuan dinding kubah agak kasar dan telah ditumbuhi oleh vegetasi jenis semak di bagian tengah kubah. Menurut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998) di kubah lava G. Guntur ditemukan batuan berkomposisi gelas pada bagian tepi tubuh kubah lava. Hal ini juga terlihat pada

6 45 citra yang ditunjukkan oleh garis setengah melingkar dengan rona terang dan bertekstur halus yang terletak pada tepi kubah. (a) (b) Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur (c) Gambar 20. Kawah G. Guntur (a), crater 1 (b), crater 2 (c), dan crater 3 (d) pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : (d) Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur Gambar 21. Kubah Lava G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 :

7 Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Terdegradasi (Degraded Lower Slope Volcanic Cone) Pada awalnya bentuklahan ini berasal dari aliran lava yang didominasi oleh tipe lava basalt bersifat porfiritik dengan mineral-mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam masadasar gelas. Namun selanjutnya bentuklahan ini mengalami degradasi oleh proses antropogenik berupa kegiatan penambangan yang lebih dikenal dengan istilah galian C atau penambangan sirtu (pasir dan batu) yang berasal dari batuan beku (andesit-basaltis), tanah lempung (hasil pelapukan batuan vulkanik), pasir sungai (Suhadi et al., 2001) sehingga bentukan asli telah berubah. Pada citra, diatas bentuklahan ini terlihat sangat jelas ditandai dengan jalur transportasi yang dibuat oleh manusia untuk mempermudah pengangkutan bahan galian. Gambar bentuklahan Degraded Lower Slope Volcanic Cone G. Guntur disajikan pada Gambar 22. Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur Gambar 22. Degraded Lower Slope Volcanic Cone G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : Lava (Lava Flow) lava merupakan bentuklahan yang mendominasi tubuh G. Guntur sebagai hasil erupsi vulkanik yang berasal dari magma yang keluar ke permukaan bumi. Berdasarkan hasil pengamatan lapang, sebagian besar merupakan lava basaltik tipe pahoehoe dan aa, dan sebagian tipe aliran lava bongkah (blocky lava flows) yaitu lava yang relatif kental, berkomposisi basalt andesit dengan tekstur permukaan kasar berbongkah-bongkah kecil (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Pada G. Guntur, dapat diidentifikasi 9 bentuklahan aliran lava yang masih dapat diamati secara jelas yaitu aliran lava 1(lava flow 1), aliran lava 2 (lava flow

8 47 2), aliran 3 (lava flow 3), aliran lava 4 (lava flow 4), aliran lava 5 (lava flow 5) aliran lava 6 (lava flow 6), aliran lava (1840), aliran lava (1847), dan aliran lava tua (older lava flow). lava 1 (lava flow 1) merupakan aliran lava yang posisinya berada di atas aliran lava 3. lava ini berbentuk membundar seperti kipas pada bagian ujung dan mengalir ke arah selatan. lava berada pada lereng yang agak landai dan memiliki struktur berbongkah dengan sudut tajam dan berongga (vesicular). Bentuklahan ini telah ditumbuhi oleh vegetasi jenis semak. Pada citra telihat garis-garis melengkung pada permukaan aliran lava yang menunjukkan massa lava mengalir mengikuti arah kontur sehingga permukaan aliran lava tampak bergelombang. lava 2 (lava flow 2) merupakan bentuklahan dengan ujung aliran yang membundar membentuk seperti kipas dan mengalir ke arah selatan pada lereng yang agak curam. lava 3 (lava flow 3) merupakan aliran yang terletak di kaki kerucut G. Guntur. ini berbentuk memanjang dengan ujung membundar. Melihat bentuk dan ukurannya, aliran lava 1 tampaknya berasal dari magma yang encer atau volume yang besar sehingga mengalir jauh mencapai kaki kerucut hingga lereng yang agak landai. lava ini mempunyai struktur berbongkah dengan sudut tajam dan berongga (vesicular). lava 4 (lava flow 4) merupakan aliran yang memanjang ke sebelah selatan dari kawah. Pada bagian tengah aliran menyempit membentuk lembah dikarenakan pusat aliran lava berada di bagian tengah dari aliran ini. lava ini memiliki struktur berbongkah dengan sudut tajam dan vesicular. lava 5 (Lava Flow 5) merupakan bentuklahan yang memanjang hingga kaki kerucut dan mengarah ke arah tenggara. Berdasarkan pengamatan di lapangan, bentuklahan ini berwarna kehitaman dengan tekstur pasir kasar. Daerah sekitar bentuklahan ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tegalan dan kebun campuran. Lava 6 (Lava Flow 6) merupakan bentuklahan yang berada paling bawah dan tertutupi bentuklahan lainnya. Berdasarkan pengamatan, lapangan lava ini menyerupai lidah dengan tekstur pasir kasar, berwarna agak kehitaman, dan terdiri atas batuan andesit. Menurut Purbawinata (1990) kandungan SiO 2 pada bentuklahan ini sebesar 59,12%. Keenam aliran lava ini berkomposisi basal, porfiritik dengan mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam

9 48 masadasar gelas (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Gambar aliran lava (lava flow) G. Guntur disajikan pada Gambar 23. (a) (b) (c) (d) Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur (e) (f) Gambar 23. lava 1 (a), lava 2 (b), lava 3 (c), lava 4(d), lava 5 (e), dan lava 6 (f) pada Citra IKONOS Goole Earth Skala 1 : lava tua (older lava flow) merupakan aliran lava yang usianya relatif lebih tua dibandingkan dengan aliran-aliran lava lainnya yang disebutkan di atas. Stratigrafi aliran lava ini berada di urutan bawah dan tertutupi oleh aliran-aliran lava muda dan endapan piroklastik. lava ini tersebar di sebelah tenggara tubuh gunungapi. lava tua berbentuk kipas yang memanjang pada bagian

10 49 atasnya dimana dan pada bagian tepi terdapat aliran yang membentuk cabang kecil yang terlihat mulai lapuk berdasarkan pengamatan lapang. lava tua berada pada ketinggian m dan tersusun atas lava dengan matrik pasir kasar coklat kekuningan. lava (1840) merupakan aliran lava hasil erupsi pada tahun 1840 yang mengalir dari kawah G. Guntur ke arah tenggara. ini membentuk morfologi lidah memanjang dan sempit namun di bagian ujungnya melebar seperti tapal kuda sebagai akumulasi aliran lava yang berasal dari lereng atasnya. ini berada pada ketinggian m dpl dan berujung di daerah Cipanas sekitar 400 m sebelah utara lokasi pemandian Cipanas. Lembah membentuk cekungan huruf V dengan kedalaman m dan keimiringan lereng berkisar antara Pada bagian tengah tubuh aliran lava terdapat percabangan aliran lava ke arah tenggara. Menururut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998) aliran lava ini berkomposisi basalt (SiO 2 51,56%) dengan low-k tholeiite dan blok lava berwarna gelap, porfiritik dengan mineral-mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam masadasar gelas (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Bentuk aliran lava tergantung pada kekentalan lava yang mengalir, semakin tinggi kandungan silikat (SiO2) dan Alumunium (Al 2 O 2 ) pada lava maka semakin tinggi kekeantalannya. Lava yang paling cair adalah lava basaltik dengan kandungan silikat dan alumunium sekitar 65% (Lillesand dan Kiefer, 1990). Berdasarkan hasil pengamatan lapang, pada ujung bagian tenggara aliran, dibangun suatu tanggul pada kedua ujungnya oleh penduduk setempat setinggi 30 m sejauh 400 m untuk menanggulangi aliran lahar jika hujan lebat terjadi di atas gunungapi ini. lava (1847) merupakan aliran lava hasil erupsi terakhir pada tahun lava ini menutupi bagian puncak kerucut hingga lereng tengah bagian selatan tubuh. lava ini membentuk beberapa cabang aliran memanjang yang bersambungan dan berujung pada bagian leher kerucut. lava ini berada pada ketinggian di atas m. Hasil erupsi terakhir ini berkomposisi basaltis (SiO 2 51,29%), porfiritik dengan mineral-mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam masadasar gelas (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). lava ini mempunyai kemiringan

11 50 lereng dengan struktur permukaan berbongkah bersudut tajam dan vesikular. Gambar aliran lava ini disajikan pada Gambar 24 (a) (b) Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur (c) Gambar 24. lava tua (a), lava 1840 (b), dan lava 1847 (c) di G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : Tubuh Kerucut Vulkanik Kerucut vulkanik merupakan tubuh gunungapi yang secara umum berbentuk kerucut yang dihasilkan dari erupsi vulkanik dan memiliki lereng bervariasi dari agak miring hingga sangat curam. Kerucut ini tersusun atas blokblok lava dengan tekstur dominan pasir berwarna cokelat kekuningan dan aliran piroklastik berupa susunan blok-blok lava yang memiliki tekstur pa sir kasar. Pada tubuh kerucut G. Guntur dapat diidentifikasi empat bentuklahan yaitu (1) Lereng atas tubuh kerucut (upper slope volcanic cone), (2) Lereng tengah kerucut vulkanik (middle slope volcanic cone), (2) Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone), dan (3) Kaki lereng vulkanik (volcanic foot slope).

12 51 Lereng atas tubuh kerucut (upper slope volcanic cone) meliputi kawah dan aliran lava (1847). Lereng tengah kerucut vulkanik (middle slope volcanic cone) merupakan bentuklahan yang berada pada bagian tengah tubuh kerucut G. Guntur. Bentuklahan ini terbentuk dari aliran lava dan material pyroklastik dan ditandai oleh lereng yang miring hingga terjal dan merupakan bidang luncur untuk aliran lava dan aliran pyroklastik. Lereng tengah kerucut tersusun atas blok-blok lava dan bom vulkanik dengan matriks pasir kasar berwarna abu kehitaman hingga kecokelatan karena proses pelapukan. Blok lava basalt berwarna kehitaman, dengan ukuran bervariasi sekitar 5-20 cm dan berstruktur skori (scorea). Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone) merupakan bentuklahan yang berada di bagian bawah dari lereng tengah kerucut vulkanik. Bentuklahan ini mengarah ke arah barat kerucut dan pada bagian ujungnya berbentuk kipas pada lereng yang agak landai. Berdasarkan pengamatan lapang, bentuklahan ini tersusun atas fragmen lava basaltik dan andesitik serta bom vulkanik dengan struktur skori berukuran bervariasi sekitar 5-10 cm dan berwarna abu-abu kehitaman. Bentuklahan ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk lahan pertanian. Kaki lereng vulkanik (volcanic foot slope) merupakan bentuklahan yang berbentuk seperti kipas, berada pada bagian paling dari bawah kerucut vulkanik, sehingga umumnya mempunyai lereng landai hingga sangat landai. Proses geomorfik yang terjadi pada bentuklahan ini adalah proses deposisi. Bentuklahan ini telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan pemukiman oleh masyarakat sekitar gunungapi. Gambar tubuh kerucut disajikan pada Gambar Interpretasi Geomorfologi dari Citra PALSAR Dalam ilmu penginderaan jauh dikenal ada 2 sistem penginderaan, yaitu penginderaan jauh pasif dan aktif. Pada penginderaan jauh pasif, informasi dikirim melalui gelombang elektromagnetik yang berasal dari energi matahari, sedangkan penginderaan jauh aktif, gelombang elektromagnetik berasal dari perangkat radar yang digunakan. Pada penginderaan jauh ini, gelombang elektromagnetik sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan, sifat dielektrik dan efek geometri permukaan bumi. Oleh karena itu informasi yang direkam oleh sensor merupakan hasil pengukuran dari hamburan balik (backscatter) yang

13 52 diterima sensor. Pada penelitian ini, data penginderaan jauh pasif yang digunakan adalah citra IKONOS Google Earth dapat telah dijelaskan sebelumnya pada subbab 5.1. sedangkan untuk penginderaan jauh aktif digunakan citra PALSAR. (a) (b) Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur (c) Gambar 25. Lereng tengah kerucut vulkanik (middle slope volcanic cone) (a), Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone) (b), dan Lereng kaki vulkanik (volcanic foot slope) (c) G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : Citra PALSAR yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1, mempunyai panjang gelombang 24,0 cm pada spektrum gelombang mikro dan memakai frekuensi band-l (1270 MHz). Dengan panjang gelombang ini diharapkan akan dapat meminimalkan efek serapan (absorption) atmosferik sehingga pengaruhnya terhadap komposisi spektral radiasi tidak terlalu besar selama dilakukan transmisi sinyal. Band-L pada sistem radar bekerja pada panjang gelombang yang maksimal sehingga memungkinkan untuk pencitraan radar dan memiliki potensi sangat baik dalam menembus obyek vegetasi (Sabins, 2007).

14 53 Selain panjang gelombang, sifat khas transmisi sinyal sistem radar dipengaruhi oleh polarisasi yang digunakan. Pada citra PALSAR ini digunakan polarisasi linier yang terdiri dari tiga kombinasi polarisasi transmisi dan penerimaan untuk menghasilkan citra komposit. Citra PALSAR polarisasi penuh memiliki 4 polarisasi linier yaitu HH, HV, VH dan VV. Dikarenakan berlakunya teori reciprocity pada akuisisi tunggal, dimana HV=VH maka kombinasi linier yang dapat digunakan adalah kombinasi band HH, band HV dan band VV yang dimasukkan secara berurutan kedalam kanal merah, hijau dan biru. Proses filtering yang dilakukan dengan menggunakan JS Lee Filter dengan ukuran jendela 5x5 menghasilkan piksel pada citra yang relatif lebih homogen dibandingkan sebelum proses filtering (Gambar 26). Hal ini dikarenakan proses filter berfungsi untuk mengurangi derau (noise) pada citra. Pada citra yang belum dilakukan proses filter (Gambar 26a), terlihat adanya variasi piksel yang beragam sehingga tekstur pada kenampakan citra menjadi lebih kasar dan rona pada obyek masih beragam. Hal ini mengakibatkan identifikasi obyek pada citra menjadi agak sulit dan berpengaruh terhadap tingkat ketelitian klasifikasi citra. Sedangkan pada citra yang telah dilakukan proses filtering (Gambar 26b), piksel pada citra menjadi lebih homogen dengan tekstur yang lebih halus sehingga batas antar obyek menjadi lebih jelas. Ukuran filter ini juga digunakan oleh Joyce et al. (2009) dalam pemanfaatan tipe data dan teknik penginderaan jauh untuk mendeteksi aliran lahar pada Gunung Ruapehu, New Zeland. Hasil penelitian Riansyah (2008) menunjukkan bahwa filter JS Lee Refined Filter menghasilkan citra yang lebih baik dibandingkan filter lainnya. Interpretasi citra PALSAR seperti halnya interpretasi pada citra lainnya juga didasarkan pada unsur interpretasi, antara lain rona/warna, tekstur, bentuk dan ukuran. Secara umum, kategori penutupan lahan dibagi menjadi hutan, vegetasi non-hutan, dan non-vegetasi. Interpretasi dilakukan pada citra komposit dengan kombinasi HH, HV dan VV pada kanal merah, hijau dan biru. Tabel 8 menunjukkan hasil interpretasi penutupan lahan pada citra PALSAR.

15 54 Sumber : Citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1 Tahun 2009 (a) Gambar 26. Citra PALSAR G. Guntur Sebelum Filter (a) dan Sesudah Filter (b). (b) Tabel 8. Interpretasi Penutupan Lahan pada Citra PALSAR G. Guntur Tahun 2009 Kategori Penutupan Karakteristik Fisik Interpretasi Gambar Lahan Hutan hutan hujan tropis warna hijau terang tekstur sedang memiliki batas tidak teratur berada di perbukitan dengan lereng sedang hingga terjal warna hijau terang hutan ditanami berbagai jenis tanaman tertentu tekstur lebih halus Vegetasi Non-Hutan terbentuk setelah penebangan hutan semak belukar merupakan campuran antara rumput, semai, serta anakan bambu dan pohon warna campuran merah dan hijau dengan rona terang warna hijau terang dan bercampur merah biasanya terlihat kenampakan warna putih yang tersebar

16 55 Tabel 8. Lanjutan terdapat pada berbagai kemiringan lereng landai hingga terjal tekstur kasar sawah tegalan warna hijau dan rona gelap jika dalam kondisi tergenang air tekstur halus bentuk teratur biasanya berbentuk pesegi terdapat pada lereng miring hingga landai dan berada dekat dengan pemukiman warna campuran merah muda dan hijau tekstur kasar berada pada lereng miring hingga landai bentuk tidak teratur air/danau/situ/sungai memiliki rona gelap berbentuk tidak beraturan atau memanjang dan berkelok-kelok tekstur halus Non- Vegetasi pemukiman/perumahan warna merah muda dengan rona terang pola teratur dan memusat tekstur kasar dengan bentuk persegi seragam berada pada lereng yang landai lahan kosong warna merah dan memiliki rona gelap jika tanah tergenang air

17 56 Interpretasi penggunaan lahan sangat penting untuk proses interpretasi bentuklahan (landform), karena seringkali terdapat hubungan yang erat antara penggunaan lahan dan bentuklahan (Tjahjono et al., 2009b). Oleh karena itu, kunci interpretasi di atas dapat digunakan sebagai penunjang dalam identifikasi bentuklahan. Menurut Musyarofah et al. (2010) kombinasi band yang paling sesuai untuk identifikasi obyek seperti vegetasi, daerah pemukiman, sawah, lahan terbuka dan ladang adalah kombinasi HH, HV, HH-HV. Sedangkan untuk identifikasi obyek dengan tekstur permukaan horizontal yang halus, kombinasi polarimetri yang dapat digunakan adalah kombinasi HH, HV, HH/HV atau kombinasi HH, HV, HH+HV. Interpretasi bentuklahan yang dilakukan pada G. Guntur juga didasarkan pada unsur-unsur interpretasi yang telah disebutkan sebelumnya. Pada G. Guntur dapat diidentifikasi 2 bentuklahan utama berupa kawah dan aliran lava yang dapat dipilahkan menjadi 7 bentuklahan yang lebih detil (Gambar 27). Kawah ditunjukkan dengan rona gelap dan berbentuk elips dengan bagian tengah membentuk cekungan. Rona gelap pada bentuklahan kawah disebabkan oleh bayangan pada dinding kawah. Bagian sisi tepi kawah ditunjukkan dengan warna hijau disebabkan vegetasi berupa semak yang tumbuh disekitar kawah. Kawah memiliki tekstur yang halus. Sedangkan aliran lava ditunjukkan dengan warna keunguan dan membentuk serangkaian aliran seperti lidah memanjang. Lava kental (andesit) memebentuk aliran tebal dengan tepi yang terjal dan menonjol sedangkan lava cair (basalt) membentuk aliran tipis dengan tepi yang berbentuk kipas. Rona aliran lava yang belum lapuk dan tidak tertutupi vegetasi berwarna gelap untuk (basalt) dan berwarna agak terang untuk andesit. Rona aliran lava terbaru lebih gelap dibandingkan dengan yang telah lapuk dan bervegetasi. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 27g yang merupakan aliran lava hasil letusan pada tahun lava muda memiliki tekstur yang kasar dan belum ditutupi oleh vegetasi. Hasil Interpretasi citra PALSAR G. Guntur disajikan pada Gambar 27.

18 57 (a) (b) (c) (d) (e) (f)

19 58 Sumber : Citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1 Tahun 2009 (g) (h) Gambar 27. Hasil training area PALSAR G. Guntur (a), Kawah (b), Lava 1(c), Lava 2 (d), Lava 3 (e), Lava Termuda (f), Lava Muda (g), dan Lava Tua (h) G. Guntur. Berdasarkan hasil interpretasi ini, jika dibandingkan dengan hasil interpretasi sebelumnya (citra IKONOS) maka dapat diketahui bahwa pada Citra PALSAR hanya dapat diidentifikasi sebanyak 1 kelas kawah dan 6 kelas aliran lava berdasarkan interpretasi visual. Seperti diketahui pada citra IKONOS dapat diidentifikasi 3 kelas kawah, 1 kelas kubah lava, 9 kelas aliran lava, 3 kelas tubuh kerucut, dan 1 kelas bentuklahan terdegradasi. Perbedaan hasil interpretasi tersebut disebabkan karena perbedaaan resolusi spasial dari masing-masing citra yang berpengaruh terhadap kedetilan kenampakan dan ketajaman interpretasi. Citra PALSAR memiliki ukuran piksel 19,41 x 14,94 m sedangkan citra IKONOS 4 x 4 m pada mulitispektral dan 1 m pada pankromatik. Ukuran sel dalam hal ini menentukan keakuratan kenampakan obyek (Barus dan Wiradisastra, 2000). Oleh karena itu, pada citra IKONOS lebih banyak obyek yang dapat diidentifikasi dibandingkan dengan obyek pada citra PALSAR karena semakin tinggi resolusi spasial akan semakin rinci informasi yang dapat ditangkap oleh sistem sensor. Dierking and Haack (1998) juga memperlihatkan bahwa SAR polarimetri dapat digunakan untuk memisahkan aliran lava dengan tipe bentuklahan lainnya karena radar sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan dan sifat dielektrik. Gambar 28 dibawah ini menunjukkan kekasaran permukaan lava pada G. Guntur.

20 59 Gambar 28. Kekasaran permukaan aliran lava G. Guntur, Garut (27 September 2010) 5.3. Keterpisahan Spektral Keterpisahan spektral dilakukan dengan menggunakan metode Transformed Divergence (TD). Metode Transformed Divergence (TD) ini memiliki tolok ukur kuantitatif. Data jarak Transformed Divergence (TD) antara 6 kelompok bentuklahan aliran lava dan 1 kelas kawah yang ditetapkan sebagai data training ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Ukuran Transformed Divergence (TD) Bentuklahan G. Guntur Bentuklahan (Landform) Kawah Lava 1 Lava 2 Lava 3 Lava Tua Lava Termuda Lava Muda Kawah - 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 Lava 1-1,240 1,072 1,364 1,350 0,856 Lava 2-1,607 1,253 1,732 1,193 Lava 3-0,600 1,981 1,485 lava Tua - 1,984 1,550 Lava Termuda - 1,826 Lava Muda - Tabel 9 menunjukkan tingginya keterpisahan (mendekati 2) antara kelompok piksel yang ditetapkan sebagai data training. Tabel 9 juga menunjukkan bahwa bentuklahan kawah dapat diidentifikasi dengan mudah dan memiliki keterpisahan yang cukup baik terhadap bentuklahan aliran lava di sekitarnya. Hal ini terlihat pada nilai yang cukup tinggi (mendekati 2). Bentuklahan aliran lava 1 terpisah cukup baik terhadap aliran lava lainya kecuali bentuklahan aliran lava muda

21 60 (mendekati 0). Nilai ini dihasilkan oleh keterpisahan pencirian yang sangat lemah disebabkan oleh kesalahan pada kombinasi band dan pengambilan data pembangun (training area) yang memiliki nilai spektral bervariasi dan memiliki kedekatan nilai dengan kelas-kelas lainnya (Richards, 2006) atau dengan kata lain kombinasi sensor dan polarisasi linier belum bisa memisahkan bentuklahanbentuklahan tersebut. Begitu juga bentuklahan aliran lava 2, secara garis besar memiliki keterpisahan cukup baik (mendekati 2). Sedangkan bentuklahan aliran lava 3 tidak terpisah secara baik terhadap aliran lava tua (mendekati 0). Selain faktor kesalahan yang disebutkan sebelumnya, keterpisahan spektral ini disebabkan oleh perbedaan umur batuan (morfokronologi) yang mempengaruhi tekstur permukaan aliran lava. Tekstur permukaan lava sangat berkaitan dengan kekasaran permukaan lava yang mempengaruhi besarnya nilai hamburan balik. Perbedaan kekasaran permukaan kemungkinan dihasilkan oleh jenis lava dan pelapukan yang terjadi pada masing-masing permukaan lava. lava menunjukkan perbedaan kekasaran permukaan yang signifikan (skala cm hingga m) baik pada aliran tunggal maupun aliran lainnya (Rodriguez et al., 2001) Analisis Keterpisahan Statistik Keterpisahan spektral dapat dieksplorasi secara statistik yang disajikan dalam bentuk boxplot. Gambar 29 menyajikan nilai statistik deskriptif dari bentuklahan kawah dan berbagai jenis aliran lava pada masing-masing polarisasi. Pada ketiga polarisasi, bentuklahan ALA menunjukkan nilai hamburan yang paling bervariasi dibandingkan bentuklahan aliran lava lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada bentuklahan tersebut terjadi penyebaran nilai hamburan yang sangat tinggi yang kemungkinan disebabkan oleh atenuasi vegetasi di atas permukaan lava. Secara umum, polarisasi HH dan polarisasi VV menunjukkan kemiripan pada tiap bentuklahan aliran lava. Pada polarisasi HH, bentuklahan yang memiliki nilai rataan paling tinggi ditunjukkan oleh bentuklahan AL2. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh bentuklahan AL2 pada polarisasi VV. Pada kedua polarisasi ini mempunyai nilai rataan hamburan paling rendah yang ditunjukkan oleh bentuklahan K. Hal ini disebabkan karena bentuklahan K memiliki kekasaran permukaan yang sangat berbeda dengan bentuklahan aliran lava.

22 POLASRISASI HH POLARISASI VV HH Median 25%-95% Non-Outlier Range Outliers VV Median 25%-95% Non-Outlier Range Outliers AL 1 AL 2 AL 3 ALA Kelas ALM ALT K AL 1 AL 2 AL 3 ALA Kelas ALM ALT K (a) (b) POLARISASI HV Keterangan : HV Median 25%-95% Non-Outlier Range Outliers K = Kawah AL 1 = Lava 1 AL2 = Lava 2 AL 3 = Lava 3 ALA = Lava Termuda ALM = Lava Muda ALT = Lava Tua AL 1 AL 2 AL 3 ALA Kelas ALM ALT K (c) Gambar 29. Perbandingan Nilai Polarisasi Lava G. Guntur (a) polarisasi HH, (b) polarisasi HV, dan (c) polarisasi VV Selain itu, hal ini disebabkan juga karena bentuklahan ini direpresentasikan dengan daerah cekungan yang memiliki rona gelap pada bayangan radar yang dihasilkan oleh topografi yang membelakangi sensor. Bentuklahan AL3 pada polarisasi HH menunjukkan nilai hamburan yang relatif homogen. Sedangkan pada polarisasi VV nilai hamburan yang relatif homogen ditunjukkan oleh bentuklahan K walaupun pada bentuklahan ini terdapat beberapa nilai ekstrim. Pada polarisasi HH, bentuklahan AL1, AL3, dan ALT memiliki kedekatan nilai rataan sehingga dapat diketahui bahwa ketiga aliran lava ini memiliki karakteristik tekstur permukaan dan fragmen penyusun batuan (sifat dielektrik) yang hampir sama. Sedangkan pada polarisasi VV, kedekatan nilai ini ditunjukkan oleh bentuklahan ALT dengan ALM dan AL1 dengan AL3. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh polarisasi HV. Pada polarisasi ini bentuklahan AL3 memiliki nilai hamburan yang relatif seragam sedangkan nilai

23 62 hamburan dengan variasi yang tinggi ditunjukkan oleh bentuklahan ALA. Bentuklahan ALA ini juga menunjukkan nilai rataan paling tinggi dibandingkan bentuklahan aliran lava lainnya sehingga dapat diketahui bahwa ALA dengan polarisasi HV memiliki nilai hamburan yang relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan kontribusi tanaman penutup lava (tanaman perdu dan rumputrumputan) masih cukup signifikan. Nilai rataan paling rendah dan beberapa nilai ekstrim ditunjukkan oleh bentuklahan K. Kedekatan nilai rataan ditunjukkan oleh bentuklahan AL3 dan ALT. Pada ketiga polarisasi tersebut dapat diketahui bahwa polarisasi searah (parallel polarization) yaitu polarisasi HH dan VV memperlihatkan karakteristik nilai hamburan yang hampir sama pada setiap bentuklahan aliran lava dan kawah. Hal ini juga ditunjukkan oleh Dierking and Haack (1998) yang menyatakan bahwa beda fase (phase) dan amplitudo antara komponen VV dan HH saja sudah cukup menyediakan informasi tentang tanaman penutup lahan pada permukaan lava. Sebaliknya karakteristik berbeda yang sangat jelas ditunjukkan oleh polarisasi silang (cross polarization). Hal ini memperlihatkan bahwa jenis polarisasi sangat mempengaruhi hasil identifikasi objek di permukaan bumi, selain ditentukan juga oleh kekasaran permukaan. Hal menarik yang dapat ditunjukkan oleh ketiga jenis polarisasi tersebut adalah bahwa bentuklahan ALA memiliki nilai variasi paling tinggi dibandingkan bentuklahan lainnya. Hal ini disebabkan karena ALA merupakan aliran lava paling muda dari G. Guntur yaitu letusan pada tahun Material yang dikeluarkan pada saat letusan dapat berupa batuan, kerikil ataupun abu gunungapi yang belum mengalami pelapukan ataupun erosi yang lanjut sehingga tekstur permukaan material masih sangat kasar yang mempengaruhi nilai hamburan balik (backscatter) obyek. Dengan demikian dapat diketahui bahwa proses pelapukan (weathering) belum banyak berpengaruh nyata pada aliran lava tersebut. Hal ini diperkuat oleh penelitian Dierking dan Haack (2008) yang menunjukkan bahwa nilai hamburan pada aliran lava sangat bervariasi. lava muda dan paling kasar dapat diidentifikasi dengan mudah pada citra karena memiliki intensitas hamburan balik yang besar dengan polarisasi silang. Selain itu Lilliesand dan Kieffer (1990) juga menyatakan bahwa sinyal

24 63 balik tinggi adalah yang diterima dari lereng yang menghadap sensor, obyek yang kasar, dan obyek dengan kelembaban tinggi. Identifikasi bentuklahan ini, selain dapat ditunjukkan melalui analisis keterpisahan statistik, dapat juga ditunjukkan dengan analisis visual melalui keterpisahan spektral. Analisis keterpisahan visual disajikan dalam bentuk diagram pencar (Gambar 30). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa bentuklahan kawah dan aliran lava dari ketiga diagram memiliki keterpisahan yang cukup baik. Hal ini dikarenakan morfologi dari kawah dan aliran lava sangat berbeda sehingga mempengaruhi hamburan balik pada gelombang elektromagnetik yang dipancarkan. Hamburan balik tersebut sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan. Hal ini juga ditunjukkan pada analisis keterpisahan statistik (Gambar 29). Diagram pencar juga menunjukkan keterpisahan pada tiap aliran lava. lava yang dapat diidentifikasi terdiri dari aliran lava 1, aliran lava 2, aliran lava 3, aliran lava tua, aliran lava muda dan aliran lava termuda. Dari peta geologi dapat diketahui bahwa aliran lava muda merupakan hasil letusan tahun 1840 sedangkan aliran lava termuda hasil letusan tahun Pada kombinasi HH-VV terlihat bahwa aliran lava 1, aliran lava 3 dan aliran lava muda tidak dapat dipisahkan secara baik. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh kombinasi polarisasi VV-HV dan HH-HV. Sedangkan untuk aliran lava 2, aliran lava termuda, dan aliran lava tua dapat dipisahkan secara baik pada ketiga kombinasi polarisasi. Kombinasi yang menunjukkan keterpisahan terbaik dari seluruh kombinasi adalah kombinasi VV-HV sehingga dapat diketahui bahwa identifikasi aliran lava menggunakan polarisasi dual polarization (dual-pol) telah cukup memadai. Selain itu, hal ini memperlihatkan bahwa polarisasi silang (cross-polarization) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan jenis aliran lava. Penelitian pendahulu menunjukkan bahwa intensitas citra pada polarisasi HV atau pada kombinasi HV-HH-VV dengan band L dan polarisasi silang (cross-polarization) yang diperoleh pada sudut kemiringan (incident angle) besar sangat optimal untuk interpretasi geologi (Dierking dan Haack 2008). Selain itu, Rodriguez et al. (2001) menunjukkan bahwa nilai polarisasi silang (cross-polarization) pada data

25 64 Kombinasi HH dan VV VV (ribuan) Kawah Lava 1 Lava 2 Lava 3 Lava Tua Lava Termuda HH (ribuan) Lava Muda (a) Kombinasi VV dan HV 300 Kawah 250 Lava 1 VH (ribuan) VV (ribuan) (b) Lava 2 Lava 3 Lava Tua Lava Termuda Lava Muda HH (ribuan) Kombinasi HV dan HH Kawah Lava 1 Lava 2 Lava 3 Lava Tua Lava Termuda Lava Muda VH (ribuan) (c) Gambar 30. Analisis Visual Kombinasi Polarisasi (a) kombinasi HH dan VV, (b) kombinasi VV dan HV, dan (c) kombinasi HV dan HH Citra PALSAR G. Guntur.

26 65 SIR-C dengan polarisasi HV dapat meningkat seiring dengan peningkatan usia aliran lava. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa jenis polarisasi selain dapat digunakan untuk identifikasi aliran lava dapat juga digunakan untuk estimasi usia aliran lava Klasifikasi Data hasil pengamatan yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui apakah sensor dapat berperan baik dalam pengidentifikasian aliran lava. Analisis yang dilakukan yaitu dengan pengujian melalui analisis klasifikasi numerik. Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing, yaitu klasifikasi pohon keputusan (decision tree). Adapun algoritma yang digunakan adalah algoritma QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees). Gambar 31 dibawah ini merupakan hasil kontruksi pohon keputusan yang diturunkan dari algoritma QUEST. Gambar 31. Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra PALSAR G. Guntur.

27 66 Gambar tersebut menunjukkan bahwa kontruksi algoritma QUEST menghasilkan struktur sebanyak 7 cabang. Secara teoritis, kesederhanaan struktur ini menunjukkan bahwa implementasi algoritma QUEST dapat dilakukan dengan cepat. Hal ini juga dapat ditemukan pada penelitian sebelumnya pada pemantauan daerah pesisir (Panuju et al., 2010). Kesederhanaan struktur tersebut pada segi komputasi berdampak positif dengan tingginya kecepatan pemrosesan. Hal ini tentu saja sangat penting bagi pengolahan data pada wilayah yang luas (Tjahjono et al., 2009a). Band 2 yang merupakan polarisasi HV berperan dalam pemisahan awal dan pembeda berbagai bentuklahan aliran lava yang ditetapkan sebagai data training. Polarisasi HV ini juga yang berperan untuk pemisahan bentuklahan ALA dan ALT dengan bentuklahan aliran lava lainnya sehingga hasilnya dapat mengidentifikasi ALA dan ALT dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Dierking and Haack (2008) yang menyatakan bahwa HV cukup potensial dalam proses pemisahan obyek. Sedangkan band 3 atau polarisasi VV dapat menjadi pemisah utama atau pembeda dari berbagai bentuklahan aliran lava yang ada. Polarisasi VV berperan dalam pencirian bentuklahan K, AL2, ALT, AL1 serta AL3. Selain itu, polarisasi ini juga dapat berperan sebagai pembeda antara kelas ALT dan AL3. Pada algoritma QUEST ini, polarisasi HH memberikan peranan yang cukup lemah dimana hanya berperan sebagai pemisah antara bentuklahan AL1 dan ALA. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pencirian aliran lava dengan menggunakan polarisasi HH dengan algoritma ini kurang berperan penting. Pada algoritma ini, sebagian besar komponen cabang menggunakan polarisasi VV dan HV sebagai penciri, sehingga dapat diketahui bahwa hamburan balik (backscatter) tersebut cukup sensitif terhadap bentuklahan aliran lava dan kawah serta cukup mampu berperan sebagai diskriminator untuk pengidentifikasian aliran lava dan kawah. Pohon keputusan yang dibangun dengan menggunakan algoritma QUEST dapat diimplementasikan untuk citra PALSAR dengan menggunakan polarisasi HV dan VV untuk pemetaan geomorfologi gunungapi. Citra PALSAR G. Guntur disajikan pada Gambar 32 (a), sedangkan hasil klasifikasi menggunakan algoritma ini disajikan pada Gambar 32 (b).

28 67 Sumber : Citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1 Tahun 2009 (a) Gambar 32. Citra ALOS PALSAR G. Guntur (a) dan Hasil Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra PALSAR G. Guntur (b) : kawah (merah), aliran lava 1 (hijau), aliran lava 2 (biru), aliran lava 3 (kuning), aliran lava tua (cyan). aliran lava teratas (sienna), dan aliran lava muda (chartreuse). (b) Gambar 33. Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood Citra PALSAR G. Guntur : kawah (merah), aliran lava 1 (hijau), aliran lava 2 (biru), aliran lava 3 (kuning), aliran lava tua (cyan). aliran lava termuda (sienna), dan aliran lava muda (chartreuse) Pada penelitian ini, selain dilakukan klasifikasi pohon keputusan dengan algoritma QUEST juga dilakukan klasifikasi Maximum Likelihood yang digunakan sebagai data pembanding. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui efektivitas klasifikasi pohon keputusan dalam pengidentifikasian aliran lava

29 68 dengan menggunakan citra PALSAR. Gambar 34 menyajikan hasil klasifikasi citra menggunakan klasifikasi Maximum Likelihood Akurasi Pengujian tingkat akurasi sangat diperlukan untuk memperoleh kesimpulan kuantitatif dari algoritma yang digunakan. Pada penelitian ini tingkat akurasi dianalisis dengan menggunakan data penguji (testing) agar bias yang dihasilkan dalam menarik kesimpulan dapat diminimalkan. Tingkat akurasi dianalisis dengan menggunakan confusion matrix yang menggambarkan jumlah persen piksel dari masing-masing kelas pada suatu kelompok atau cluster. Confusion Matrix yang digunakan didasarkan pada Region of Interest (ROI) dari masing-masing piksel kelas aliran lava dan kawah. Hasil analisis akurasi menggunakan algoritma QUEST disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR G. Guntur Data Training Kelas Kawah Lava 1 Lava 2 Data Testing (%) Lava 3 Lava Tua Lava Termuda Lava Muda Kawah 100,00 8,00 2,67-8, Lava 1-25,33 17,33 18,67 4,00 18,67 9,33 Lava 2-13,33 13,33-8,00 1,33 6,67 Lava 3-5,33 18,67 56,00 16,00 6,67 4,00 Lava Tua - 6,67 13,33 16,00 56,00 2,67 2,67 Lava Termuda - 1,33 9, ,33 28,67 Lava Muda - 40,00 25,33 9,33 8,00 17,33 58,67 Tabel 10 di atas menunjukkan secara lebih detil ukuran kuantitatif dari kenampakan visual yang disajikan pada Gambar 33(b). Pada tabel tersebut, bentuklahan K menunjukkan akurasi yang tinggi (100%). Hal ini menunjukkan bahwa algoritma QUEST mampu mengklasifikasikan jenis kelas tersebut dengan sangat baik. Pada bentuklahan AL1, nilai akurasi yang dihasilkan cukup rendah, yaitu 25,33%. Hal ini disebabkan adanya kesalahan klasifikasi yang cukup besar,

30 69 yaitu 40% data pembangun yang seharusnya masuk ke dalam bentuklahan AL1, diklasifikasikan sebagai bentuklahan ALM. Selain itu, kondisi ini dapat dijelaskan juga melalui keterpisahan spektral secara visual (Gambar 31) dan keterpisahan spektral pada metode TD (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa bentuklahan AL1 tidak dapat diidentifikasi atau dipisahkan secara sempurna. Kesalahan klasifikasi ini juga ditunjukkan oleh AL2, yaitu sebesar 25,33 % dari data pembangun yang termasuk kedalam AL2 namun diklasifikasikan sebagai bentuklahan ALM. Sedangkan nilai akurasi pada AL2 yang dihasilkan juga cukup rendah, yaitu sebesar 13,33 %. Hal ini menunjukan bahwa bias yang dihasilkan pada klasifikasi bentuklahan aliran lava ini cukup besar karena sebagian besar data pembangun pada bentuklahan ini diklasifikasikan ke dalam bentuklahan aliran lava lainnya. Dengan demikian algoritma QUEST kurang mampu untuk dapat memisahkan antara bentuklahan AL1 dan AL2 dengan bentuklahan ALM. Nilai hamburan balik (backscatters) pada kelas aliran lava ini dapat menjadi penyebabnya karena nilainya hampir mendekati dengan nilai hamburan balik dari bentuklahan aliran lava lainnya. Pada bentuklahan AL3, ALM,ALA dan ALT menghasilkan nilai akurasi yang hampir sama, yaitu sekitar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi dengan menggunakan algoritma QUEST telah cukup baik untuk memisahkan kelas aliran lava. Hasil akurasi total dari klasifikasi pohon keputusan menggunakan algoritma QUEST adalah % dengan nilai koefisien kappa sebesar Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi pohon keputusan memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik. Hasil akurasi dari klasifikasi ini disajikan pada Tabel 10 dan dapat dilihat bahwa akurasi total yang dihasilkan sebesar 50,28% dengan nilai koefisien kappa sebesar 0,42. Hal ini menunjukkan hasil yang hampir sama dengan hasil klasifikasi yang ditunjukkan oleh klasifikasi pohon keputusan (Decision Tree). Kemiripan nilai akurasi ini juga ditunjukkan pada detil parameter kuntitatif pada bentuklahan AL1, yaitu sebesar 13,33% dan pada AL2 sebesar 20%. Dengan demikian kedua kelas ini memiliki nilai bias yang cukup tinggi. Rendahnya nilai akurasi hasil klasifikasi dapat disebabkan oleh resolusi spasial yang dimiliki citra. Pada citra dengan resolusi tinggi, klasifikasi objek

31 70 lebih sulit dilakukan bila menggunakan metode klasifikasi yang standar seperti klasifikasi pembanding ini. Tabel 11. Akurasi Klasifikasi Maximum Likelihood Citra PALSAR G. Guntur Data Training Kelas Kawah Lava 1 Lava 2 Data Testing (%) Lava 3 Lava Tua Lava Termuda Lava Muda Kawah 97,33-2,67-4, Lava 1-13,33 24,00 9,33-18,67 17,33 Lava 2-13,33 20,00-13,33 6,67 6,67 Lava 3-13,33 22,67 72,00 28,00 8,00 9,33 Lava Tua 2,67 18,67 2,67 14,67 48,00 4,00 - Lava Termuda - 4,00 9, ,00 13,33 Lava Muda - 37,33 18,67 4,00 6,67 14,67 53,33 Dengan demikian nilai akurasi yang dihasilkan tidak cukup baik ini mengindikasikan bahwa jumlah band polarisasi linier yang terbatas mengalami kesulitan dalam memetakan obyek-obyek yang kompleks seperti aliran lava sehingga polarisasi linier kurang memberikan proses pemisahan kelas yang optimal. Jumlah band dan jumlah kelas yang digunakan dalam klasifikasi sangat mempengaruhi nilai akurasi yang dihasilkan. Beberapa penelitian pendahulu (Handayani et al., 2011; Syafril, 2010) menunjukkan bahwa jumlah kanal (band) yang digunakan berbanding lurus dengan jumlah kelas yang diklasifikasikan sehingga nilai akurasi yang dihasilkan dapat menunjukan nilai yang tinggi. Sedangkan pada penelitian ini jumlah band yang digunakan adalah 3 polarisasi untuk mengidentifikasi obyek sebanyak 7 kelas. Hal ini menyebabkan nilai akurasi yang dihasilkan tidak terlalu tinggi. Namun demikian, hasil yang diperoleh cukup relevan untuk digunakan dalam identifikasi awal dan pencirian aliran lava.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian 19 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi wilayah G. Guntur yang secara administratif berada di wilayah Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut, Provinsi

Lebih terperinci

Bab II Tatanan Geologi Daerah Penelitian

Bab II Tatanan Geologi Daerah Penelitian Bab II Tatanan Geologi Daerah Penelitian II.1 Tatanan Geologi Daerah Jawa Bagian Barat II.1.1 Fisiografi. Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Jawa Bagian Barat skala 1:500.000 (Gafoer dan Ratman,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK Bentuklahan asal vulkanik merupakan bentuklahan yang terjadi sebagai hasil dari peristiwa vulkanisme, yaitu berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma naik ke permukaan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

INTERPRETASI BENTUKLAHAN GUNUNGAPI GUNTUR MENGGUNAKAN CITRA IKONOS. Interpretation of Guntur Volcano s Landforms Using IKONOS Imagerie ABSTRACT

INTERPRETASI BENTUKLAHAN GUNUNGAPI GUNTUR MENGGUNAKAN CITRA IKONOS. Interpretation of Guntur Volcano s Landforms Using IKONOS Imagerie ABSTRACT J. Tanah Lingk., 15 (2) Oktober 2013: 76-83 ISSN 1410-7333 INTERPRETASI BENTUKLAHAN GUNUNGAPI GUNTUR MENGGUNAKAN CITRA IKONOS Interpretation of Guntur Volcano s Landforms Using IKONOS Imagerie Luluk Dwi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI

IV. KEADAAN UMUM LOKASI 25 IV. KEADAAN UMUM LOKASI 4.1. Letak Geografis Kompleks G. Guntur terdiri atas beberapa kerucut, yaitu Gunung Masigit (2249 m) sebagai kerucut tertinggi dan pada bagian tenggara terdapat kerucut Gunung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang 4.1.1. Analisis Data Eksploratif Hasil penerapan teori dekomposisi Cloude Pottier pada penelitian ini terwakili oleh

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi. BENTUK LAHAN ASAL VULKANIK 1.Dike Terbentuk oleh magma yang menerobos strata batuan sedimen dengan bentuk dinding-dinding magma yang membeku di bawah kulit bumi, kemudian muncul di permukaan bumi karena

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Berdasarkan pembagian Fisiografis Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) (gambar 2.1) dan menurut Pardiyanto (1970), daerah penelitian termasuk

Lebih terperinci

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat ) Gambar 3.12 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang, dibeberapa tempat terdapat sisipan dengan tuf kasar (lokasi dlk-12 di kaki G Pagerkandang). Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit

Lebih terperinci

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth. menggunakan data latih kedua band citra berbasis rona (tone, sehingga didapatkan pohon keputusan untuk citra berbasis rona. Pembentukan rule kedua menggunakan data latih citra berbasis rona ditambah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

01/04/2011 AL A F L ISO IS L L DAN DA ULT UL ISO IS L P L A P DA A DA VUL V K UL A K NIK A 3

01/04/2011 AL A F L ISO IS L L DAN DA ULT UL ISO IS L P L A P DA A DA VUL V K UL A K NIK A 3 APLIKASI ANALISIS LANSEKAP SEBARAN ALFISOL DAN ULTISOL PADA LANSEKAP ALFISOL Kandungan liat pada hor. B lebih tinggi Horison argilik Proses akumulasi liat pada hor. B (argilik, kandik) Beriklim sedang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam penelitian ini untuk letak daerah penelitian, manifestasi panasbumi, geologi daerah (geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan batuan ubahan) dikutip dari Pusat Sumber

Lebih terperinci

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si Panjang Gelombang 1 m = 0,001 mm 1 m = 0,000001 m 0,6 m = 0,6 X 10-6 = 6 x 10-7 PANTULAN SPEKTRAL OBJEK Terdapat tiga objek utama di permukaan bumi, yaitu vegetasi, tanah,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode tidak langsung

Lebih terperinci

1 AL A LUVI A FAN A S A l l uvi v a i l fan:

1 AL A LUVI A FAN A S A l l uvi v a i l fan: SEBARAN JENIS TANAH PADA LANSEKAP ANDISOL ANDISOL-1 Tanah berkembang dari abu vulkan (abu vulkan,batu apung, lava,dsb) Tebal lapisan minimal 60 cm Wilayah perbukitan 1 DAERAH FLUVIAL Bila kekuatan alirang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Regional Pulau Lombok terbentuk oleh suatu depresi yang memanjang (longitudinal depresion), yang sebagian besar sudah terisi dan tertutupi oleh suatu seri gunungapi

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

APLIK I AN LAN AN EKAP

APLIK I AN LAN AN EKAP APLIKASI ANALISIS LANSEKAP KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN PERKEBUNAN PADA LASEKAP KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN PERKEBUNAN Suhu : 25 28 0C Curah hujan : 1700 2500 Tekstur : halus sedang Bahaya erosi :

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lokasi penelitian adalah Ranu Segaran, terletak di sebelah timur Gunung Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran

Lebih terperinci

6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara

6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara 6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara KETERANGAN UMUM Nama Lain : Tonkoko Nama Kawah : - Lokasi Ketinggian Kota Terdekat Tipe Gunungapi Pos Pengamatan Gunungapi : Administratif: termasuk Desa Makewide, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Objek Penelitian Berdasarkan bentuk morfologinya, puncak Gunung Lokon berdampingan dengan puncak Gunung Empung dengan jarak antara keduanya 2,3 km, sehingga merupakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur

4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur 4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur G. Lewotobi Laki-laki (kiri) dan Perempuan (kanan) KETERANGAN UMUM Nama Lain Tipe Gunungapi : Lobetobi, Lewotobi, Lowetobi : Strato dengan kubah lava Lokasi

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA Julhija Rasai Dosen Fakultas Teknik Pertambangan, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Email.julhija_rasai@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Perhatian geomorfologi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI Berdasarkan pembagian fisiografi Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dan Pardiyanto (1979) (gambar 2.1), daerah penelitian termasuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbukitan Gendol (Gambar 1.1) merupakan kelompok perbukitan terisolir berada pada lereng sebelah baratdaya Gunungapi Merapi. Genesis Perbukitan Gendol menjadi hal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding ANALISIS PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENENTUKAN DAERAH BAHAYA DALAM RANGKA MENDUKUNG UPAYA MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA DEM DAN LANDSAT DAERAH GUNUNG BATUR KABUPATEN BANGLI PROVINSI

Lebih terperinci

Adi Hardiyono Laboratorium Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT

Adi Hardiyono Laboratorium Petrologi dan Mineralogi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran ABSTRACT Karakteristik batuan beku andesitik & breksi vulkanik, dan kemungkinan penggunaan sebagai bahan bangunan KARAKTERISTIK BATUAN BEKU ANDESIT & BREKSI VULKANIK, DAN KEMUNGKINAN PENGGUNAAN SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Gunungapi Soputan Geomorfologi Gunungapi Soputan dan sekitarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga satuan morfologi (Gambar 2.1) yaitu : 1. Satuan Morfologi Tubuh Gunungapi,

Lebih terperinci

ACARA IV POLA PENGALIRAN

ACARA IV POLA PENGALIRAN ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

Beda antara lava dan lahar

Beda antara lava dan lahar lahar panas arti : endapan bahan lepas (pasir, kerikil, bongkah batu, dsb) di sekitar lubang kepundan gunung api yg bercampur air panas dr dl kawah (yg keluar ketika gunung meletus); LAHAR kata ini berasal

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci