BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENDUDUK, TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

JUMLAH PERUSAHAAN INDUSTRI BESAR DAN SEDANG DENGAN JUMLAH TENAGA KERJA DI KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012)

Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA

JADWAL PENGAMBILAN FOTO DAN SIDIK JARI PNS TAHAP II DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA

BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA

Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Jumlah Sekolah, Guru dan Murid di Kabupaten Majalengka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia belum memiliki ketahanan pangan yang cukup. Barat unggul di tanaman pangan yang tersebar merata pada seluruh Kabupaten

ANGGARAN DAN REALISASI PENDAPATAN DAERAH MENURUT JENISNYA TAHUN ANGGARAN PENDAPATAN DAERAH Anggaran. Realisasi JENIS PENDAPATAN ( Rp.

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas Geografi

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kab. Majalengka, Purbalingga, Gunung Kidul, Madiun, Gowa, Aceh Tamiang, Ngawi dan Donggala

DAFTAR ISI. BAB I Pendahuluan Latar Belakang Tujuan Sasaran Metodologi Ruang Lingkup Wilayah 2

Draft Laporan Akhir. Rencana Penataan Lingkungan Permukiman Desa Paningkiran GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-0

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi dunia cenderung bergerak lambat, sedangkan

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

3. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Asal Terjadinya Tanah. 4. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Sifat Dan Bentuk Tanah

GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan alam Indonesia yang beriklim tropis mempunyai banyak habitat

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BAB III PROFIL UMUR DAN JENIS KELAMIN PENDUDUK KABUPATEN MAJALENGKA

PARAMETER KUALITAS AIR

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Majalengka Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 11 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan Zat Gizi Komoditas Kedelai. Serat (g) Kedelai Protein (g) Sumber: Prosea 1996 ( Purwono: 2009)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

Produksi ikan patin pasupati (Pangasius sp.) kelas pembesaran di kolam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung,

Produksi ikan nila (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas pembesaran di kolam air tenang

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Balai Benih Ikan Inovatif ( BBII ) merupakan unit pelaksanaan teknis daerah

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

GEOGRAFI. Sesi PETA DAN PEMETAAN D. SIMBOL PETA. a. Berdasarkan Wujudnya

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas benih sebar

ANALISIS POTENSI LAHAN PADI SAWAH DI KABUPATEN MAJALENGKA PROVINSI JAWA BARAT

KONDISI WILAYAH DAERAH ALIRAN SUNGAI LARIANG MAMASA

Nur Rahmah Fithriyah

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

Ikan patin jambal (Pangasius djambal) Bagian 5: Produksi kelas pembesaran di kolam

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar

MODUL: PENYIAPAN TAMBAK

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU DAN PENANAMAN MODAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Karakteristik Lahan Kesesuaian Tanaman Karet

BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 4.1 Peta lokasi penelitian (PA-C Pasekan)

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

3. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 10 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

BAB 2 KEBIJAKAN DAN LANDASAN TEORI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

Transkripsi:

27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lahan 4.1.1 Kemiringan Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter kemiringan lahan disusun berdasarkan peta kemiringan lereng yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 2). Peta ini menggambarkan kondisi kemiringan lahan di Kabupaten Majalengka yang dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu : 1. Kemiringan 0-3% 2. Kemiringan 3-8% 3. Kemiringan 8-15% 4. Kemiringan 15-25% 5. Kemiringan 25-40% 6. Kemiringan >40% Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter kemiringan lahan. Kemiringan lahan berkaitan dengan pengisian air kolam secara gravitasi. Wilayah dengan kemiringan lahan berkategori Sesuai (S1) adalah wilayah yang memiliki kemiringan lahan 3-5%. Kolam yang dibangun pada tanah yang terlalu miring akan memiliki daya tampung air yang sedikit (Susanto 2012). Kemiringan lahan hingga 15% masih bisa diterima sebagai lokasi budidaya gurame, namun kemiringan lahan di atas 15% terlalu curam sehingga tidak bisa digunakan sebagai lahan budidaya gurame (Hossain et al. 2007). Pemetaan berdasarkan parameter kemiringan lahan bisa dilihat pada Gambar 8. Wilayah yang termasuk kategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna coklat. Wilayah yang termasuk kategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna coklat muda, sedangkan wilayah yang termasuk kategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna kuning. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 9.

28 Gambar 8. Peta Kemiringan Lahan Tabel 9. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kemiringan Lahan Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 10.718 9,15 Cukup Sesuai (S2) 67.089 57,26 Tidak Sesuai (N) 39.350 33,59

29 4.1.2 Ketinggian Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter ketinggian disusun berdasarkan peta ketinggian yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 3). Peta ini menggambarkan kondisi ketinggian (elevasi) di Kabupaten Majalengka yang dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu : 1. Ketinggian dibawah 25 mdpl 2. Ketinggian 25-50 mdpl 3. Ketinggian 50-100 mdpl 4. Ketinggian 100-500 mdpl 5. Ketinggian 500-1000 mdpl 6. Ketinggian di atas 1000 mdpl Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter ketinggian lokasi budidaya gurame. Ketinggian lokasi budidaya gurame berpengaruh terhadap kondisi suhu udara, semakin tinggi lokasi budidaya gurame maka semakin rendah suhu udara disekitarnya. Suhu udara yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan gurame. Wilayah yang sesuai untuk budidaya gurame adalah wilayah dengan ketinggian 50-400 m. Wilayah dengan ketinggian dibawah 50 m masih bisa digunakan sebagai lahan budidaya gurame, namun ketinggian di atas 400 m tidak sesuai digunakan sebagai lahan budidaya gurame karena suhu udara pada ketinggian tersebut terlalu rendah untuk budidaya gurame (Bappenas 2000). Pemetaan berdasarkan parameter ketinggian bisa dilihat pada Gambar 9. Wilayah yang termasuk kategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna hijau. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna biru, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna coklat. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 10.

30 Gambar 9. Peta Ketinggian Tabel 10. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Ketinggian Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 34.624 29,55 Cukup Sesuai (S2) 44.240 37,76 Tidak Sesuai (N) 38.293 32,69

31 4.1.3 Penggunaan Lahan Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter penggunaan lahan disusun berdasarkan peta rencana pola ruang yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 4). Peta ini menggambarkan rencana penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka yang terbagi ke dalam kawasan industri, pertambangan, pariwisata, perhutanan, konservasi, pemukiman, pertanian, perikanan dan rawan bencana alam. Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah penggolongan fungsi lahan secara umum berupa pengkhususan kawasan-kawasan tertentu menurut tujuan penggunaannya. Tidak semua lahan cocok dijadikan sebagai lokasi budidaya ikan. Kawasan yang berkategori Sesuai (S1) untuk budidaya gurame adalah kawasan perikanan, sedangkan kawasan pertanian masih bisa dijadikan lahan budidaya gurame. Kawasan lainnya yaitu kawasan industri, pertambangan, pariwisata, perhutanan, konservasi, pemukiman, dan rawan bencana alam tidak bisa digunakan sebagai lahan budidaya gurame. Pemetaan berdasarkan parameter penggunaan lahan bisa dilihat pada Gambar 10. Kawasan berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru muda. Kawasan berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna biru tua, sedangkan kawasan berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 11.

32 Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan Tabel 11. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Penggunaan Lahan Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 1.228 1,05 Cukup Sesuai (S2) 43.889 37,46 Tidak Sesuai (N) 72.040 61,49

33 4.2 Kondisi Tanah 4.2.1 Tekstur Tanah Kegiatan budidaya perikanan di Indonesia umumnya masih menggunakan sistem budidaya tradisional dan semi intensif, sehingga jenis tanah yang digunakan untuk membangun kolam harus diperhatikan dengan baik. Tanah yang digunakan untuk kolam harus mampu menahan massa air sehingga tidak terjadi kebocoran. Tanah yang baik untuk pembuatan kolam adalah tanah yang memiliki kandungan liat tinggi. Tanah ini jika digenggam mudah terbentuk, tidak pecah dan tidak melekat pada tangan. Jenis tanah lain yang masih bisa digunakan untuk pembuatan kolam adalah tanah berlempung. Tanah lempung memiliki tekstur yang tidak sekuat tanah liat namun masih sanggup menahan massa air sehingga dapat dibentuk mejadi kolam yang kokoh. Tanah yang memiliki kandungan pasir tinggi dan tanah berlumpur tidak sesuai untuk dijadikan kolam karena tidak dapat menahan massa air kolam (Susanto 2012). Berdasarkan peta jenis tanah yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 5), tanah yang terdapat di Kabupaten Majalengka terdiri dari delapan jenis yaitu Aluvial, Andosol, Glei, Grumosol, Latosol, Litosol, Podsol Merah Kuning dan Regosol. Setiap jenis tanah memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan data karakteristik tanah pada Tabel 12, tanah yang tergolong ke dalam kategori Sesuai (S1) adalah tanah berjenis Aluvial, Grumosol dan Latosol. Jenis tanah yang tergolong kategori Cukup Sesuai (S2) adalah Andosol dan Podsol Merah Kuning, sedangkan jenis tanah yang tergolong kategori Tidak Sesuai (N) adalah tanah Glei, Litosol dan Regosol. Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter tekstur tanah dapat dilihat pada Gambar 11. Kawasan berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna coklat. Kawasan berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna oranye, sedangkan kawasan berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna krem. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 13.

34 Tabel 12. Karakteristik Berdasarkan Jenis Tanah Jenis Tanah Tekstur ph Tanah Karbon Organik (%) Aluvial Andosol Glei Grumosol Latosol Tanah endapan, tekstur liat atau liat berpasir Tanah berlempung dengan tekstur sedang Struktur tanah berlumpur Kandungan liat tinggi Kandungan liat tinggi Masam hingga netral (5 6,5) Masam hingga netral (5,6 6,5) Masam (4,5 6) Agak masam hingga netral (6 7,6) Sangat masam (4,5 6) Litosol tekstur berpasir Sangat masam Podsol Merah Kuning Lempung liat berpasir (4,5 6) Sangat masam (4,2-4,8) Regosol Tekstur berpasir Agak masam hingga netral (6 7) Sumber : Ariyanto 2012, Fiantis 2012, Fitriani 2006 Kandungan karbon organik tinggi (2 3) Kandungan karbon organik tinggi (2 3) Kandungan karbon organik tinggi (2 3) Kandungan karbon organik sedang (1 2) Kandungan karbon organik sedang (1 2) Kandungan karbon organik sangat rendah (>0,5) Kandungan karbon organik sedang (1 2) Kandungan karbon organik tinggi (2 3)

35 Gambar 11. Peta Tekstur Tanah Tabel 13. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Tekstur Tanah Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 44.605 38,07 Cukup Sesuai (S2) 47.792 40,79 Tidak Sesuai (N) 24.760 21,13

36 4.2.2 ph Tanah Nilai ph tanah akan berpengaruh terhadap ph air kolam. Tanah yang memiliki ph 6,5-7,5 sangat berpotensi untuk budidaya perikanan karena produktivitas perairan pada kisaran ph tersebut berada pada kondisi maksimal. Tanah yang memiliki ph antara 5,5-6,5 dan 7,5-8,5 masih bisa digunakan untuk budidaya perikanan, namun tanah dengan nilai ph dibawah 5,5 atau diatas 8,5 tidak bisa digunakan untuk budidaya perikanan karena pada kondisi tersebut produktivitas perairan mengalami penurunan (Boyd 1990). Berdasarkan Tabel 9 jenis tanah yang memiliki nilai ph berkategori Sesuai (S1) adalah Grumosol dan Regosol. Jenis tanah yang memiliki nilai ph berkategori Cukup Sesuai (S2) adalah Aluvial dan Andosol, sedangkan jenis tanah yang memiliki nilai ph berkategori Tidak Sesuai (N) adalah tanah Glei, Litosol dan Regosol. Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter ph tanah dapat dilihat pada Gambar 12. Wilayah berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna kuing, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna oranye. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 14.

37 Gambar 12. Peta ph Tanah Tabel 14. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan ph Tanah Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 26.783 22,86 Cukup Sesuai (S2) 32.925 28,10 Tidak Sesuai (N) 57.448 49,04 Tanah yang memiliki ph rendah (masam) dapat diperbaiki dengan proses pengapuran ketika tahap persiapan kolam. Pada tahap pengapuran tanah pada dasar kolam ditaburi kapur tohor dengan dosis tertentu sehingga tingkat keasamannya akan bertambah.

38 4.2.3 Kandungan Bahan Organik Bahan organik pada dasar kolam dapat menjadi sumber makanan bagi organisme bentos sehingga berpengaruh terhadap kesuburan perairan. Kandungan bahan organik tanah dapat diketahui melalui persentasi kandungan karbon organik (Zalina 2011). Tanah dengan kandungan karbon organik 1,5-2,5% sangat berpotensi untuk budidaya perikanan karena produktivitas perairan pada konsentrasi karbon organik tersebut berada dalam kondisi maksimal. Tanah dengan kandungan karbon organik 0,5-1,5% masih bisa digunakan untuk budidaya perikanan, sedangkan tanah dengan kandungan organik dibawah 0,5% atau diatas 2,5% tidak bisa digunakan karena kurang berpotensi untuk budidaya perikanan (Boyd 1990). Berdasarkan Tabel 9 jenis tanah yang memiliki kandungan karbon organik berkategori Sesuai (S1) adalah Aluvial, Andosol, Glei dan Regosol. Jenis tanah yang memiliki nilai ph berkategori Cukup Sesuai (S2) adalah Grumosol dan Latosol, sedangkan jenis tanah yang memiliki nilai ph berkategori Tidak Sesuai (N) adalah tanah Litosol. Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter kandungan karbon organik dapat dilihat pada Gambar 13. Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna hijau tua. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau muda, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 15.

39 Gambar 13. Peta Kandungan Karbon Organik Tanah Tabel 15. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kandungan Bahan Organik Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 56.045 47,84 Cukup Sesuai (S2) 59.472 50,76 Tidak Sesuai (N) 1.640 1,40 Tanah yang memiliki kandungan bahan organik rendah dapat diperbaiki dengan proses pemupukan pada saat persiapan kolam atau ketika pemeliharaan ikan. Pupuk yang diberikan biasanya berupa pupuk kandang sehingga bisa meningkatkan kesuburan perairan. Perlakuan lain yang bisa diterapkan adalah penggunaan teknologi perikanan yang lebih maju seperti bioflok atau probiotik.

40 4.3 Kualitas Air Sungai di Kabupaten Majalengka berperan sebagai sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti industri, perikanan dan pertanian. Salah satu sungai besar yang melalui Kabupaten Majalengka adalah Sungai Cimanuk dengan anak sungai yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Majalengka. Data kualitas air Kabupaten Majalengka adalah data primer yang diperoleh melalui pengukuran langsung di lokasi penelitian. Titik pengukuran berjumlah 11 titik yang terletak pada sungai-sungai besar di Kabupaten Majalengka (Gambar 14). Data hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 16. Gambar 14. Titik Pengukuran Data Kualitas Air

41 No Nama Sungai 1 Cimanuk (hulu) 2 tidak ada data 3 tidak ada data Tabel 16. Data Kualitas Air Sungai Kabupaten Majalengka Titik Koordinat 108º 9' 47" BT 6º 45' 58" LS 108º 10' 3" BT 6º 43' 53" LS 108º 11' 50" BT 6º 45' 40" LS 4 Cideres 108º 12' 10" BT 6º 45' 30" LS 5 Cisambeng 108º 13' 50" BT 6º 44' 30" LS 6 Cikeruh 108º 16' 50" BT 6º 43' 30" LS 7 Ciwaringin 108º 22' 0" BT 6º 42' 0" LS C8 Cipondoh 108º 12' 10" BT 6º 49' 40" LS 9 Cijurei 108º 11' 50" BT 6º 49' 0" LS 10 Cilutung 108º 16' 45" BT 11 Cimanuk (hilir) 6º 58' 30" LS 108º 13' 30" BT 6º 39' 0" LS Suhu Air (ºC) ph Air DO (mg/l) Sumber : Data Primer, BPLH Kabupaten Majalengka 2013 Kecerahan (cm) Debit (m³/detik) 26,4 8,17 7,7 4 50,608 27,0 7,37 4,4 5 tidak ada data 27,0 6,90 5,6 9 tidak ada data 26,4 7,05 5,2 6 4,749 26,8 7,40 5,2 10 tidak ada data 28,2 7,62 7,7 13 10,68 27,0 7,40 6,0 15 6,36 26,4 7,42 6,4 10 tidak ada data 26,2 7,81 5,4 8 0,8 25,4 7,46 6,6 27 19,9 25,7 7,57 4,8 5 141,308 Suhu perairan berpengaruh terhadap proses metabolisme yang berlangsung dalam tubuh ikan dan secara tidak langsung ikut berpengaruh pula terhadap tingkat konsumsi ikan terhadap pakan. Pada suhu 29-30 C tingkat konsumsi ikan terhadap pakan berada dalam kondisi optimal (Gusrina 2008), sehingga perairan dengan kisaran suhu tersebut digolongkan ke dalam kategori Sesuai (S1). Pada suhu 24-28 C gurame bisa tumbuh dengan baik (Mahyuddin 2009), sehingga perairan dengan kisaran suhu tersebut digolongkan ke dalam kategori Cukup Sesuai (S2). Suhu dibawah 24 C atau diatas 30 C digolongkan ke dalam kategori

42 Tidak Sesuai (N) karena pada suhu tersebut tingkat konsumsi ikan terhadap pakan mengalami penurunan. Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, suhu air sungai di Kabupaten Majalengka berkisar antara 25,4-28,2 C sehingga tergolong ke dalam kategori Cukup Sesuai (S2). Nilai derajat keasaman (ph) perairan berpengaruh terhadap kondisi organisme yang hidup pada perairan tersebut. Nilai ph yang terlalu asam atau terlalu basa dapat menimbulkan kematian bagi ikan dan organisme perairan lainnya. Nilai ph yang sesuai untuk budidaya perikanan berkisar antara 7-8 (Gusrina 2008). Nilai ph yang masih bisa diterima oleh gurame adalah 6,5 (Mahyuddin 2009), sedangkan nilai ph dibawah 6,5 tidak sesuai untuk budidaya gurame. Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, ph air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Sesuai (S1), kecuali pada titik pengukuran 1 yang bernilai 8,17 dan titik pengukuran 3 yang bernilai 6,90. Oksigen dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup untuk bernapas. Ikan mendapatkan oksigen dalam bentuk oksigen terlarut (DO). Kandungan DO yang optimal untuk budidaya ikan adalah 4-9 mg/l (Gusrina 2008). Gurame memiliki organ pernapasan tambahan yang disebut labirin sehingga masih bisa hidup pada perairan dengan kandungan DO hingga 2 mg/l, namun perairan dengan kandungan DO kurang dari 2 mg/l tidak bisa digunakan untuk budidaya gurame (Mahyuddin 2009). Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, kandungan DO air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Sesuai (S1), yaitu berkisar antara 4,4-7,7 mg/l. Kecerahan merupakan ukuran tingkat transparansi perairan yang diukur dengan alat berupa kepingan yang dinamakan secchi disk. Air yang digunakan untuk budidaya ikan harus jernih tetapi tetap mengandung plankton. Air yang terlalu keruh tidak bisa digunakan untuk budidaya karena akan menurunkan daya pandang ikan, daya ikat oksigen dan selera makan ikan. Nilai kecerahan yang sesuai untuk budidaya gurame adalah 30-45 cm karena pada nilai tersebut perairan berada dalam kondisi yang baik. Kecerahan yang masih bisa diterima untuk budidaya gurame adalah 20-30 cm dan 45-60 cm. Pada kecerahan dibawah 20 cm air terlalu keruh sehingga tidak baik untuk kondisi ikan, sedangkan pada

43 kecerahan di atas 60 cm air terlalu jernih karena kandungan plankton mengalami penurunan (Boyd 1990). Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, nilai kecerahan air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Tidak Sesuai (N), yaitu berkisar antara 4-15 cm kecuali pada titik pengukuran 10 yang bernilai sebesar 27 cm. Hal ini terjadi karena pengukuran kualitas air dilakukan di sungai besar yang menampung sedimentasi dari sungai-sungai kecil disekitarnya, sehingga memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi. Setiap parameter diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan kualitas air secara keseluruhan (Gambar 15). Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru muda. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna biru tua. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 17. Gambar 15. Peta Kualitas Air

44 Tabel 17. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kualitas Air Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 50.621 43,21 Cukup Sesuai (S2) 457 0,39 Tidak Sesuai (N) 66.078 56,40 Kualitas air dapat diperbaiki dengan perlakuan sebagai berikut : 1. Perairan yang memiliki ph rendah dapat diperbaiki dengan proses pengapuran pada saat persiapan kolam. Pengapuran dapat meningkatkan nilai ph perairan sehingga dapat mencapai nilai yang optimal. 2. Perairan yang memiliki kandungan DO rendah dapat diperbaiki dengan perlakuan yang dapat meningkatkan difusi oksigen dengan air seperti penggunaan kincir air, air terjun buatan, aerasi, dll. 3. Air yang terlalu keruh dapat dijernihkan dengan proses pengendapan sebelum air digunakan untuk budidaya. 4.4 Kondisi Infrastruktur 4.4.1 Jarak dari Jalan Berdasarkan peta rencana jaringan jalan yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 6), jalan di Kabupaten Majalengka terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal yang telah menjangkau ke setiap desa. Lahan yang sesuai untuk budidaya gurame tidak boleh terlalu jauh dari jalan agar tidak menyulitkan transportasi. Lokasi lahan maksimal berjarak 500 m dari jalan. Jarak yang masih bisa diterima adalah 1000 m dari jalan (Hossain et al. 2007). Metode geoprocessing yang digunakan untuk mengolah peta jaringan jalan adalah metode buffering. Hasil buffering adalah pemetaan wilayah yang berjarak 500 dan 1000 m dari jalan (Gambar 16). Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna hitam. Wilayah yang berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna merah muda, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 18.

45 Gambar 16. Hasil Buffering Peta Jaringan Jalan Tabel 18. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Jaringan Jalan Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 98.904 84,42 Cukup Sesuai (S2) 16.118 13,76 Tidak Sesuai (N) 2.135 1,82

46 4.4.2 Kepadatan Penduduk Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka (2012) Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka adalah 1.171.478 jiwa yang tersebar di 26 kecamatan. Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.071 jiwa/km², sedangkan kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Kertajati dengan kepadatan penduduk 305 jiwa/km² (Tabel 19). Data diolah menggunakan ArcGis 9.3 dengan proses digitasi menghasilkan pemetaan kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka yang dapat dilihat pada Gambar 17. Wilayah berkategori Sesuai (S1) mempunyai kepadatan penduduk di bawah 1000 jiwa/km². Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) mempunyai kepadatan penduduk berkisar antara 1000-1500 jiwa/km. Wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) mempunyai kepadatan penduduk diatas 1500 jiwa/km² (Hossain et al. 2007). Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 20.

47 Tabel 19. Data Kepadatan Penduduk Kabupaten Majalengka No Kecamatan Kepadatan Penduduk (jiwa/km²) 1 Lemahsugih 731 2 Bantarujeg 644 3 Malausma 911 4 Cikijing 1380 5 Cingambul 971 6 Talaja 999 7 Banjaran 571 8 Argapura 554 9 Maja 747 10 Majalengka 1217 11 Cigasong 1421 12 Sukahaji 1224 13 Sindang 600 14 Rajagaluh 1207 15 Sindangwangi 957 16 Leuwimunding 1709 17 Palasah 1182 18 Jatiwangi 2071 19 Dawuan 1885 20 Kasokandel 1464 21 Panyingkiran 1294 22 Kadipaten 1991 23 Kertajati 305 24 Jatitujuh 690 25 Ligung 903 26 Sumberjaya 1739 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka 2012

48 Gambar 17. Peta Kepadatan Penduduk Tabel 20. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kepadatan Penduduk Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 76.615 65,39 Cukup Sesuai (S2) 26.358 22,50 Tidak Sesuai (N) 14.184 12,11

49 4.4.3 Jarak ke Sumber Listrik Peta jaringan listrik Kabupaten Majalengka diperoleh dari PLN Kabupaten Majalengka. Lahan yang sesuai untuk budidaya gurame tidak boleh terlalu jauh dari sumber listrik. Lokasi lahan maksimal berjarak 200 m dari sumber listrik, sedangkan jarak yang masih bisa diterima adalah 500 m dari sumber listrik (Hossain et al. 2007). Metode geoprocessing yang digunakan untuk mengolah peta jaringan listrik adalah metode buffering. Hasil buffering adalah pemetaan wilayah yang berjarak 200 dan 500 m dari sumber listrik (Gambar 18). Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna merah. Wilayah yang berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna biru tua. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 21. Gambar 18. Hasil Buffering Peta Jaringan Listrik

50 Tabel 21. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Jaringan Listrik Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 24.773 21,14 Cukup Sesuai (S2) 31.841 27,18 Tidak Sesuai (N) 60.542 51,68 4.5 Lahan Potensial Budidaya Gurame Data dari setiap parameter diolah dengan metode overlay menggunakan ArcGis 9.3 sehingga menghasilkan sebuah pemetaan lahan potensial budidaya gurame. Interval kelas lahan potensial budidaya gurame ditentukan berdasarkan rumus interval kelas (Selamat 2007 dalam Nurdin et al. 2008). Perhitungan rumus selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil akhir overlay adalah peta kesesuaian lahan budidaya gurame yang dapat dilihat pada Gambar 19. Wilayah berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna kuning, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna merah. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 22.

51 Gambar 19. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Gurame Tabel 22. Luas Lahan Setiap Kategori Kesesuaian Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) 13.265 11,32 Cukup Sesuai (S2) 36.738 31,36 Tidak Sesuai (N) 67.153 57,32 Berdasarkan SNI 01-7241-2006 tingkat optimal padat tebar gurame pada tahap pembesaran adalah 5-7 ekor/m² dengan sintasan berkisar antara 85-95%. Jika lahan berkategori Sesuai (S1) dimanfaatkan seluruhnya untuk budidaya gurame, maka lahan tersebut dapat menghasilkan produksi gurame sebanyak 289.531 ton/tahun pada tingkat kepadatan 5 ekor/m² dan sintasan sebesar 85%.

52 4.6 Pengamatan Lapangan Pengamatan lapangan (ground check) dilakukan pada akhir penelitian sebagai tahap evaluasi. Pengamatan dilakukan pada 3 titik yang mewakili setiap kelas kesesuaian lahan budidaya gurame. Kelas Sesuai (S1) diwakili oleh titik 1 yang berlokasi di Kecamatan Panyingkiran. Kelas Cukup Sesuai (S2) diwakili oleh titik 2 yang berlokasi di Kecamatan Leuwimunding. Kelas Tidak Sesuai (N) diwakili oleh titik 3 yang berlokasi di Kecamatan Kadipaten. Data hasil pengamatan lapangan dapat dilihat pada Tabel 23. Foto dokumentasi pengamatan lapangan dapat dilihat pada Lampiran 9, sedangkan peralatan yang digunakan pada saat pengamatan lapangan dapat dilihat pada Lampiran 10. No Lokasi Tabel 23. Data Kualitas Air Pada Pengamatan Lapangan Titik Koordinat Suhu Air ph Air DO Kecerahan Pengamatan (ºC) (mg/l) (cm) 1 Kecamatan 108º 11' 42" BT 26,4 7,21 5,8 25 Panyingkiran 6º 48' 51" LS 2 Kecamatan 108º 20' 20" BT 27 7,86 6,3 30 Leuwimunding 6º 45' 1" LS 3 Kecamatan 108º 9' 30" BT 26,8 7,52 5,4 4 Kadipaten 6º 44' 53" LS