6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet

dokumen-dokumen yang mirip
4 METODOLOGI B C. Keterangan: Gambar 4 Bahan penyusun small bottom setnet. A = jaring B = pelampung C = desain

3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU

VISIBILITY OF MONOFILAMENT AND MULTIFILAMENT AS FISHING GEAR MATERIALS IN WATERS. Abstract

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR CONE DAN ROD. Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto

PROSES TERTANGKAPNYA IKAN KARANG DENGAN SMALL BOTTOM SETNET BARU SADARUN

VISIBILITAS TALI MULTIFILAMEN UNTUK BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PADA KEDALAMAN PERAIRAN YANG BERBEDA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS INDERA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPON UMPAN DEBBY SOFIANILA SARI NATSIR SKRIPSI

Marine Fisheries ISSN Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 29-38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KETAJAMAN PENGLIHATAN KAKAP MERAH DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING ULUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

Fishing Methods: Gillnetting. By. Ledhyane Ika Harlyan

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang


BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN KARANG BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR

Fishing Methods: Gillnetting. By. Ledhyane Ika Harlyan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

JAKARTA (22/5/2015)

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

III. METODE PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Aspek Interaksi Manusia dan Komputer

I. PENDAHULUAN. baku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meningkat dari 365 ribu ton menjadi. 99% dan hanya 1% dipenuhi dari kapas domestik.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

114 6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 5, leadernet berwarna kuning lebih efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan. Proporsi ikan yang tergiring leadernet berwarna kuning sekitar 84,12%, sedangkan yang tergiring leadernet berwarna hijau sekitar 45,59%, pada saat penggunaan leadernet berwarna hijau ikan cenderung menabrak dan tidak tergiring, berbeda dengan pada saat menggunakan leadernet berwarna kuning ikan cenderung tergiring dan tidak tersangkut. Hal ini terjadi karena leadernet berwarna kuning relatif lebih kontras sehingga ikan menghindar untuk menabraknya. Terkait dengan ini, pemilihan warna dan jenis bahan sangat penting dalam operasi penangkapan sehingga didapat hasil yang maksimal. Menurut Mumby et al. (1999), pemilihan alat merupakan bagian yang penting dalam operasi penangkapan. Pengenalan bahan jaring sintetis dengan warna kontras dan mutu yang tinggi akan merangsang perkembangan pemakaian alat tangkap. Hal ini disebabkan efisiensi penangkapan dengan cara menggiring ikan jauh lebih baik 2-13 kali pada PA monofillament yang kontras dalam dibanding dengan bahan serat alami (kapas, rami, rami halus) dan warna samarsamar. Hal ini karena persyaratan efisiensi penangkapan pada small bottom setnet memerlukan leadernet yang baik dalam memnggiring ikan. Hasil penelitain Bab 5, juga terlihat tingkah laku ikan (lolos, tergiring dan kembali menjauh) pada leadernet kuning masing-masing adalah 15,88%; 84,12%; dan 0%, sedangkan tingkah laku ikan (lolos, tergiring dan kembali menjauh) pada leadernet hijau masing-masing adalah 29,62%; 45,59%; dan 24%. Hal ini terjadi karena karena perbedaan daya tampak leadernet yang mempengaruhi tingkah laku ikan. Warna jaring yang sesuai pada leadernet dapat mengarahkan ikan menuju playground. Menurut Risamasu (2007), warna jaring dalam air akan dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman dari perairan, transparansi, sinar matahari, sinar bulan dan lain-lain faktor, dan pula sesuatu warna akan mempunyai perbedaan derajat terlihat oleh ikan-ikan yang berbeda-beda. Warna tersebut sangat

115 mempengaruhi tingkah laku ikan dan hal tersebut terlihat jelas pada beberapa alat tangkap misalnya gillnet dan lainnya. Pada gillnet, tingkah laku ikan dalam menubruk atau menerobos jaring sangat dipengaruhi oleh warna jaring. Serat jaring yang terlalu tipis juga kurang terlihat. Bahan yang daya mulurnya tinggi untuk beban kecil tidak sesuai untuk setnet (termasuk small bottom setnet). Hal ini sesuai dengan pendapat Subani dan Barus (1989) yang menyatakan bahwa untuk mendukung pemilihan warna yang tepat dalam menggiring ikan, jaring perlu memiliki kekuatan simpul yang stabil dan ukuran mata jaring tidak boleh dipengaruhi air. Menurut Risamasu (2007), di samping warna yang tepat, kekuatan bahan jaring juga harus diperhatikan, sehingga ikan hasil tangkapan dengan tingkah laku memberontak dapat ditahan. PA continous filament adalah bahan yang paling lunak dari semua bahan sintetis dalam kondisi basah, warna putih mengkilat yang alami adalah jauh lebih terlihat dalam air jernih. Warna hijau, biru, abu-abu dan kecoklatan merupakan warna-warna yang nampak digunakan paling umum pada perikanan komersial. Ikan yang datang dan kemudian berbalik arah menjauhi leadernet hijau berjumlah 149 ekor atau sekitar 24,79%. Fenomena ini tidak terlihat pada leadernet warna kuning atau dengan kata lain tidak seekorpun dari ikan yang datang mendekat kemudian berbalik arah menjauhi leadernet kuning. Diduga ini terjadi karena warna hijau pada leadernet mirip dengan warna air laut sehingga tidak ditakuti oleh ikan bahkan sebagian besar ikan tersebut mendekat dan memakan lumut yang ada pada leadernet. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Kawamura et al. (1996), bahwa ikan lebih mudah menghindari alat tangkap/pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah daripada berwarna biru dan hijau. Jumlah hasil tangkapan pada alat pengumpul berwarna biru dan hijau cenderung lebih banyak daripada alat pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah. Disamping jumlah berbeda, jenis ikan yang terkumpul tersebut juga berbeda untuk setiap jenis warna alat pengumpul tersebut. Perbedaan tersebut terjadi karena setiap ikan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon atau membedakan warna benda yang mirip maupun berbeda/kontras dengan warna lingkungan perairan. Menurut Risamasu (2007), warna jaring yang

116 sesuai untuk tujuan menangkap jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan sebaiknya diperhatikan karena sangat mempengaruhi hasil tangkapan. 6.2 Pengamatan Contoh Mata Ikan Karang yang Tergiring oleh Leadernet 6.2.1 Tipe reseptor mata ikan karang Berdasarkan gambar preparat histologi di atas, pada retina mata ikan sersan mayor dan ikan kerapu ditemukan cone cells yang merupakan fotoreseptor utama. Cone cells yang ditemukan terdiri dari dua tipe yaitu tipe single cone cell dan tipe twin cone cell. Menurut pendapat Matsuoka (1957), pada ikan bertulang sejati, ditemukan twin cone dan single cone. Adanya dua tipe cone cells pada ikan sersan mayor dan ikan kerapu menunjukan kedua ikan tersebut dapat mengenal warna. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitri (2002), menyatakan bahwa ikan yang memiliki fotoreseptor cone cells, baik tunggal maupun ganda/kembar dan membentuk susunan mosaik maupun tidak mengindikasikan bahwa ikan tersebut mampu membedakan warna. Penelitian yang telah dilakukan oleh Razak (2005) pada kelompok ikan karang Chaetodontidae menunjukkan pada fotoreseptor terdiri cone cells ganda dominan yang tersusun membentuk mosaik bujur sangkar memiliki ketajaman mata yang kuat agar mampu menangkap invertebrata kecil yang menjadi makanannya disamping polip koral. Berdasarkan uraian diatas, jika dihubungkan antara tipe cone cells ikan sersan mayor dan kerapu dengan warna leadernet maka dapat dikatakan bahwa kedua ikan karang tersebut yaitu ikan sersan mayor dan ikan kerapu dapat membedakan warna leadernet hijau dan leader kuning pada small bottom setenet. 6.2.2 Sumbu penglihatan (visual axis) Menurut Purbayanto et al. (2010) sumbu penglihatan mata ikan dapat ditentukan dengan terlebih dahulu mengetahui kepadatan cone cells pada area dorso-caudal, caudal, atau ventro-caudal pada retina mata ikan. Selanjutnya menurut Fitri (2008) sumbu penglihatan mata ikan dapat

117 ditentukan dengan melihat kebiasaan makan dan posisi densitas cone cell tertinggi pada ikan tersebut. Kebiasaan makan ikan kerapu dilakukan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya (Sale 2002). Ikan kerapu yang dipelihara pada kolam pemeliharaan akan mempunyai kebiasaan makan dengan menyergap pakan yang diberikan satu per satu sebelum pakan itu sampai ke dasar. Demikian juga kebiasaan makan ikan sersan mayor dengan cara menyantap makanannya sebelum sampai ke dasar perairan. Hasil pengamatan densitas cone cells tertinggi retina mata ikan sersan mayor terletak pada nomor sampel 22 dengan jumlah 90. Selanjutnya hasil pengamatan densitas cone cells tertinggi retina mata ikan kerapu terletak pada nomor sampel 21 dengan jumlah 98. Nomor sampel 21 dan 22 terletak pada bagian ventro-caudal, sehingga dapat dikatakan bahwa kepadatan cone cells ikan sersan mayor dan ikan kerapu berada pada bagian ventro-caudal. Berdasarkan kebiasaan makan dan posisi densitas cone cells tertinggi ikan sersan mayor dan ikan kerapu di atas maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya yaitu arah depan ke atas. Menurut Blaxter (1980) kepadatan tertinggi cone cells di bagian ventro-caudal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 30. 6.2.3 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) Hasil yang terlihat pada Bab 5, menunjukan bahwa semakin besar diameter objek yang dilihat oleh ikan sersan mayor dan ikan kerapu maka akan semakin besar pula angka jarak pandang maksimum (MSD). Hasil analisis jarak pandang maksimum pada ikan sersan mayor dengan diameter objek 3 mm berkisar antara 0,30 m sampai 0,43m sedangkan jarak pandang maksimum pada ikan kerapu dengan diameter objek 3 mm berkisar antara 0,44 m sampai 0,68 m. Demikian halnya hasil analisis jarak pandang maksimum pada ikan sersan mayor dengan diameter objek 4 mm berkisar antara 0,39 m - 0,57 m sedangkan jarak pandang maksimum pada ikan kerapu dengan diameter objek 4 mm berkisar antara 0,58 m - 0,91 m.

118 6.3 Pengoperasian Small Bottom Setnet pada Kawasan Konservasi Laut 6.3.1 Pengaturan interaksi small bottom setnet dengan terumbu karang Small bottom setnet hanya berdampak nyata terhadap frekuensi kehadiran ikan karang. Sedangkan gangguan terhadap karang hidup, kecerahan perairan yang mempengaruhi penyinaran karang, sirkulasi air/arus di sekitar karang, sedimentasi di karang, kehadiran biota laut non ikan tidak berdampak nyata dari adanya operasi small bottom setnet. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum pengoperasian small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, relatif aman dan tidak mengganggu kelestarian terumbu karang dan ekosistemnya. Kalaupun ada pengaruh terhadap kehadiran ikan karang tidaklah begitu riskan dibandingkan dengan seandainya terjadi kerusakan fisik dan pertumbuhan pada terumbu karang, karena terumbu karang merupakan kehidupan semua biota laut dan habitat termasuk ikan karang itu sendiri. Menurut Mumby et al. (1999) menyatakan bahwa terumbu karang dan padang lamun memiliki berbagai peran dan fungsi vital bagi kehidupan bawah laut. Terumbu karang dan padang lamun menjadi daerah asuhan (nursery ground) dan daerah perlindungan bagi berbagai ikan karang,udang, dan biota laut lainnya. Ekosistem terumbu karang dan padang lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut dan menjadi sumber utama produktivitas primer serta sumber makanan penting bagi berbagai ikan laut yang di tangkap nelayan. Mengacu kepada hal ini, maka menurut Subani dan Barus (1989), bila terjadi kepunahan pada karang, kehidupan bawah laut termasuk dari jenis ikan karang akan punah pula. Sedangkan menurut Gomez dan Yap (1988), dampak negatif terhadap kehadiran ikan dapat dihindari dengan memilih lokasi pemasangan small bottom setnet yang agak dalam sehingga tidak mengganggu pergerakan biota laut di sekitar karang. Operasi dan pengembangan small bottom set tersebut akan berhasil baik bila semua pihak mematuhi peraturan kaidah dan ketentuan hukum terkait pemanfaatan biota laut menggunakan small bottom set tersebut, serta tidak mengoperasikan alat tangkap yang telah dilarang/merusak lingkungan. Bila

119 mengacu kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, maka menurut Mamuaya et al (2007), pengembangan alat tangkap yang sesuai peraturan yang berlaku terkait pemanfaatan sumberdaya mempunyai dua sasaran, yaitu : (1) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; (2) terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, dimana hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat tersalurkan dengan baik. Pengaturan small botom senet terhadap hasil tangkapan ikan dapat dilakukan dengan pengaturan ukuran mata jaring pada leadernet, playground, dan bagnet. Ikan yang memiliki ukuran badan lebih kecil dari ukuran mata jaring tersebut akan dapat meloloskan diri. Sebaliknya ikan yang memiliki ukuran badan lebih besar dari ukuran mata jaring tersebut akan dapat tertangkap oleh small botom senet. Selanjutnya pengaturan terhadap hasil tangkapan dapat dilakukan dalam beberapa hal antara lain: bila ikan yang tertangkap berukuran lebih besar dari mata jaring tetapi merupakan jenis ikan yang dilindungi dan dikonservasi misalnya penyu atau ikan yang bertelur maka ikan tersebut dapat dengan mudah dilepas dalam keadaan hidup yang relatif tidak mengalami stress karena small bottom setnet adalah alat tangkap yang bersifat pasif (diam di tempat). Bila ikan yang tertangkap lebih besar dari ukuran mata jaring tersebut tetapi ikan tersebut belum layak ukuran pasar (masih dianggap kecil) misalnya ikan kerapu maka ikan tersebut dapat ditangkap dalam keadaan hidup untuk selanjutnya dipelihara dan dibesarkan dalam keramba sampai mencapai ukuran yang diharapkan. 6.3.2 Aktualisasi small bottom setnet sebagai alat tangkap Dampak operasi small bottom setnet terlihat tidak membahayakan lingkungan, karena itu small botom setnet dapat dijadikan sebagai alat tangkap alternatif di kawasan konservasi Kepulauan Seribu. Supaya tidak konflik bila dikembangkan secara luas sebagai alat tangkap alternatif, maka wilayah pemasangan small bottom setnet tersebut dapat dibagi-bagi, misalnya berdasarkan kedekatan dengan tempat tinggal atau alur melaut yang dilakukan selama ini. Pembagian wilayah penangkapan/pemasangan alat tangkap dapat mencegah

120 terjadi illegal fishing. Hal ini karena nelayan satu dengan lainnya tidak ada yang mengganggu atau mencuri ikan pada lokasi tangkap yang lainnya. Disamping itu, sebagian besar wilayah laut menjadi terjaga sehingga kegiatan penangkapan ikan illegal dari pihak luar dapat dicegah. Pemilihan lokasi pemasangan small bottom setnet di dekat tempat tinggal sangat cocok dilakukan mengingat small bottom setnet merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara tetap di suatu lokasi, dan untuk mengambil hasil tangkapannya tidak perlu membutuhkan armada penangkapan ukuran besar. Untuk menghemat biaya, maka sangat wajar bila lebih dipilih lokasi operasi yang berdekatan dengan tempat tinggal nelayan. Disamping itu, dampak pencemaran lebih bisa dihindari karena manusia biasanya tidak mau mencemari tempat tinggalnya.