BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil= civilian population). 2. PBB dan Kellogg-Briand Pact, atau Paris Pact-1928.

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Oleh : Ardiya Megawati E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

TINJAUAN YURIDIS KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ABSTRACT

BAB III METODE PENELITIAN. yang sedang berlaku. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hukum positif (Ius

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

RANCANGAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan

STATUS DAN PERKEMBANGAN PERAN ICRC SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL S K R I P S I SHADRINANINGRUM S. Bagian Hukum Internasional

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NASIONAL PMI DI SALATIGA

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

JURNAL PELAKSANAAN KEWAJIBAN PENYEBARLUASAN PENGETAHUAN KONVENSI-KONVENSI JENEWA 1949 OLEH INDONESIA KEPADA SELURUH PENDUDUK INDONESIA

SILABUS 2015 KULIAH HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIPOL UGM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara dalam hukum internasional disebut sebagai subyek hukum utama

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam usahanya menegakkan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB I PENDAHULUAN. Perang sipil Libya Tahun 2011 adalah konflik yang merupakan bagian dari musim semi

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP RELAWAN KEMANUSIAN BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH

Merah/Bulan Sabit Merah Internasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PRINSIP MARTENS CLAUSE DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN RELAWAN KEMANUSIAAN

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

BAB IV PENUTUP. Bab ini merupakan bab terakhir yang akan memaparkan kesimpulan atas

Pengantar Prinsip Kemanusiaan

BAB IX HUKUM HUMANITER

WAJIB BELA NEGARA DAN PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (KAJIAN PASAL 30 UUD 1945) Lina Hastuti

BAB I PENDAHULUAN. berbagai peperangan yang ganas akibat digunakannya berbagai persenjataan modern

PELAKSANAAN SOSIALISASI KETENTUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DI LINGKUNGAN PRAJURIT TNI AD BATALYON INFANTERI LITAS UDARA 501/BAJRA YUDHA

BAB II HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB I PENDAHULUAN. atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban

BAB I P E N D A H U L U A N. pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan laut ini. Tetapi karena

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hubungan-hubungan yang ada di antara manusia itu sendiri. Perang adalah

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis data seperti yang tertuang pada Bab II, maka dapat. disimpulkan bahwa:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

BAB II ASPEK HUKUM LAMBANG PALANG MERAH

BAB I PENDAHULUAN. sejarah yang panjang. Diawali dengan Pada tahun 1595 Belanda. mengirimkan tim ekspedisi menuju Nusantara dengan pimpinan Cornelis

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Sumber Hk.

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015. PERANAN HUKUM HUMANITER DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL 1 Oleh: Hendrik B. Sompotan.

BAB I PENDAHULUAN. perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama

Konsep Keikutsertaan Langsung dalam Permusuhan dan Prinsip Pembedaan dalam Konflik Bersenjata

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suriah merupakan salah satu negara yang terletak di Asia Barat yang

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari peperangan adalah menaklukan lawan, dan lawan hanya akan takluk ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran yang merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan diri. 2 Jean-Jacques Rousseau memberikan inspirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia mengatakan bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka. Satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan. Pada Abad ke 18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The social Contract mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. 1 International Committee of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, halaman 1. 2 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, P.T. Alumni, Bandung,2002, halaman 11.

Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional. Terdapat suatu kenyataan yang menyedihkan dalam sejarah peradaban manusia yang tercatat yaitu selama 3400 tahun, umat manusia hanya menikmati masa damai selama 250 tahun saja. 3 Peperangan dari masa ke masa senantiasa mengambil korban dakam jumlah yang banyak yang berujung kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut. Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan segalanya sah dilakukan dalam peperangan telah menjadi strategi dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan, penyerangan terhadap petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum humaniter. 4 Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. 3 Jean Picted, The Geneva Convention and The Laws of War, Revue International de la croix Rouge, Septembre, 1962, p. 295, dalam Mochtar Kusumaatmadja, ibid, halaman 12. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, halaman 12.

Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Kelahiran hukum humaniter moderen dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, Un Souvenir de Solferino, Dunant menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan. Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan International Committee for Aid to the Wounded yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa melalui Konvensi Jenewa I pada tahun 1864 5, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the Wounded in Armies in the Field. Dengan lahirnya konvensi ini, perlahan prinsip pembedaan mulai berkembang menjadi lebih konkrit, karena meskipun 5 International Committee of The Red Cross, Loc. Cit.

lembaga yang didirikan oleh Henry Dunant adalah lembaga sosial kemanusiaan dan konvensi Jenewa 1864 adalah konvensi tentang perlindungan korban perang, namun kejadian-kejadian diatas secara tidak langsung turut memisahkan perlakuan antara combatant dan non-combatant yang mana sebelum lahirnya konvensi Jenewa dan sebelum terbentuknya ICRC, perlakuan antara kedua subjek ini tidaklah dibedakan, jadi dapat dikatakan semenjak lahirnya Konvensi Jenewa dan setelah ICRC berdiri, prinsip pembedaan dalam hukum humaniter muncul secara konkrit dan diterapkan ke dalam hukum tertulis. Prinsip pembedaan (Distinction Principle) adalah asas yang membedakan penduduk dari suatu Negara yang sedang berperang dalam dua golongan yaitu: kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civillian). Dalam perjanjian internasional, Teori Pembedaan antara Penduduk Sipil dan Kombatan diterima sebagai prinsip hukum internasional yang kemudian diterima sebagai cornerstone hukum perang. 6 Konvensi Den hag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat) memuat ketentuan mengenai Prinsip Pembedaan tersebut secara implicit, khususnya dalam lampiran atau Annex-nya yang berjudul Regulating Respecting Laws and Customs of War atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations (HR). Bagi kalangan angkatan bersenjata, ketentuan dalam HR ini sangatlah penting dan dijuluki sebagai The Soldier s Vadamecum. Sedangkan dalam Konvensi-Konvensi jenewa, mulai dari 6 E. Rosenblad, International Humanitarian Law of Armed Conflict, Henry Dunant Institute, Geneva, 1979, p. 53-55, dalam F. Sugeng Istanto, perlindungan penduduk sipil dalam perlawanan rakyat semesta dan hukum internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992, halaman 8.

Konevensi Jenewa I-IV tidak ada penyebutan istilah Kombatan, melainkan hanya menentukan siapa yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh. 7 Bahwa mereka yang disebut dalam pasal tersebut harus dibedakan dengan penduduk sipil. Seiring perkembangan, Distinction Pinciple mengalami perluasan makna menjadi Prinsip Pembedaan Obyek Sipil dan Sasaran Militer yang dimuat dalam protocol I tahun 1977, dalam protocol tersebut dipergunakan istilah rakyat sipil (civilian population), penduduk sipil (civilian individual), obyek sipil (civilian objects), kombatan (combatant), dan sasaran militer (military objectives). 8 Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan dengan perkembangan perang itu sendiri yang pada masa sekarang ini semakin berkembang ke arah borderless war dimana prinsip-prinsip hukum humaniter terutama Prinsip Pembedaan, banyak disimpangi oleh pihak-pihak yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap penduduk- 7 Konvensi Jenewa III Pasal 4. 8 International Committee of The Red Cross, Loc. Cit halaman 204.

penduduk sipil yang menjadi korban peperangan sebagaimana yang menjadi tujuan dari adanya Distinction Principle ini. B. Rumusan Masalah Adapun hal yang menjadi permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah: 1. Mengapa perlu dilakukan pembedaan antara combatant dan civillian dalam konflik bersenjata? 2. Bagaimana Ketentuan Hukum Humaniter Internasional yang mengatur tentang Distinction Principle ini dalam peperangan dan konflik bersenjata? 3. Bagaimanakah relevansi dari Distinction Principle ini dalam peperangan ataupun konflik bersenjata moderen? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui tujuan dan kegunaan dari Distinction Principle dalam hukum humaniter internasional. 2. Untuk mengetahui Ketentuan Hukum Internasional apa saja yang mengatur tentang penerapan Distinction Principle ini. 3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dan relevansi dari ketentuan yang ada dalam berbagai instrumen hukum internasional

yang mengatur Distinction Principle ini berkaitan dengan peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen. Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara teoritis. Secara teoritis, manfaat yang dapat diperoleh dari pembahasan yang ada dalam skripsi ini adalah mengetahui dan menambah pemahaman mengenai Distinction Principle, Hal-hal apa saja yang menjadi ruang lingkup pembahasan Distinction Principle, pengaturannya dalam berbagai ketentuan hukum internasional, penerapan dan relevansinya dalam peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen ini, seperti yang kita ketahui, peperangan dan konflik bersenjata pada masa sekarang ini lebih bergeser menjadi perang kota, dan mengakibatkan kaburnya pembedaan antar obyek sipil dan sasaran militer, yang kemudian akan menyulitkan tegaknya Distinction Principle ini, sehingga diharapkan setelah mebaca pembahasan yang ada dalam skripsi ini, pembaca dapat memahami kedudukan Distinction Principle dalam keadaan demikian. 2. Secara praktis. Secara praktis, tulisan dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan dan kajian bagi para akademisi untuk dapat mengembangkan dan memberikan pengurusan yang dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum humaniter internasional.

D. Tinjauan Kepustakaan Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan yang ada, dapat dikatakan tinjauan kepustakaan merupakan lebih dari separuh sumber yang digunakan dalam penulisan ini, yang dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku yang relevan dan jurnal-jurnal internasional yang kemudian digabungkan dengan bahan-bahan perkuliahan, sehingga penulisan ini bukanlah bersifat trial and error 9 Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam Distinction Principle sebenarnya adalah menentukan perlakuan yang tepat terhadap masing-masing obyek dalam peperangan dan konflik bersenjata sekaligus membedakan yang mana yang boleh menjadi sasaran yang sah dalam peperangan dan yang mana yang tidak boleh diserang, prinsip ini adalah prinsip yang penting dalam hukum humaniter dan telah lama dikenal dalam hukum humaniter, dan Distinction Principle ini senantiasa mengalami perkembangan dari masa perang konvensional hingga ke peperangan moderen, hal ini karena peperangan itu sendiri juga turut berkembang, baik dari segi persenjataan, pihak-pihak, dan bahkan objek peperangan. 10 Untuk memantapkan pembahasan terhadap permasalahan ini, penulis menggunakan data-data sekunder yang valid dan relevan, antara lain: 9 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, halaman 112. 10 F. Sugeng Istanto, Loc. Cit.

a. Bahan-bahan tulisan yang mengikat dan terdiri dari sumber-sumber hukum internasional seperti: hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, konvensi, Doktrin, dan Yurisprudensi. b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer seperti komentar dari suatu konvensi, diktat perkuliahan, jurnal-jurnal hukum internasional yang ditulis oleh para akademisi dan para sarjana hukum. c. Bahan-bahan lain yang mendukung penulisan skripsi ini seperti diktat, ensiklopedi, dan kamus hukum bahasa inggris E. Keaslian Penulisan TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum dan telah diperiksa di dalam data base arsip skripsi departemen hukum internasional fakultas hukum USU, dan telah dinyatakan belum pernah ditulis oleh mahasiswa lain di fakultas hukum USU, penulis menyusun tulisan ini melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan bimbingan dari dosendosen pembimbing dan berbagai pihak lain. F. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normative, dengan mengumpulkan data secara studi pustaka atau library research. Penulis mempelajari sumber-sumber berupa bahan-bahan tertulis dan elektronik yang dapat dijadikan materi dalam penulisan skripsi ini dan kemudian disusun menjadi sebuah pembahasan terhadap suatu permasalahan, kemudian diakhiri dengan mensintesiskan bahan-bahan tersebut menjadi sebuah penulisan dan pembahasan yang baru, adapun dalam penulisan ini, tidak perlu dilakukan studi lapangan untuk mengumpulkan datadatanya dikarenakan bahan-bahan dari studi kepustakaan telah cukup. G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan secara runut dan teratur dengan menggunakan pola deduktif yang dibagi dalam pembahasan bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya diuraikan menjadi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, metode pengumpulan data, sistematika penulisan. BAB II: HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL.

Merupakan pembahasan mengenai posisi hukum humaniter sebagai bagian dari hukum internasional dan ruang lingkup yang diaturnya. BAB III: PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER. Merupakan penjelasan dan pembahasan mengenai perkembangan konflik bersenjata dan pengaturannya dalam hukum humaniter internasional dari masa ke masa. BAB IV: TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG EFEKTIFITAS PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN. Merupakan penjelasan dan pembahasan sekaligus analisis mengenai inti dari skripsi ini dan sekaligus menjadi puncak pengkerucutan pembahasan dari permasalahan yang diangkat. BAB V : PENUTUP Bab terakhir ini merupakan pemberian kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada serta saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis.