BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. empat tipe, yaitu atrisi, abrasi, erosi, dan abfraksi. Keempat tipe tersebut memiliki

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. palatum, lidah, dan gigi. Patologi pada gigi terbagi menjadi dua yakni karies dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

BAB 1 PENDAHULUAN. Antropologi kesehatan dipandang oleh para dokter sebagai disiplin biobudaya

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. keberhasilan perawatan kaping pulpa indirek dengan bahan kalsium hidroksida

BAB 1 PENDAHULUAN. ini. Anak sekolah dasar memiliki kerentanan yang tinggi terkena karies,

Definisi Yaitu keausan gigi yang disebabkan oleh kontaknya gigi.makin sering kontak terjadi, makin besar keausannya.

ANATOMI GIGI. Drg Gemini Sari

umumnya, termasuk kesehatan gigi dan mulut, mengakibatkan meningkatnya jumlah anak-anak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

BAB II TINJAUAN TEORETIS. renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh penggunaan susu botol atau cairan lainnya yang termasuk karbohidrat seperti

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berdasarkan usia, jenis kelamin, elemen gigi dan posisi gigi. Berikut tabel

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PROSES PENYEMBUHAN JEJAS PADA JARINGAN PULPA. Sartika Puspita *

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Beer dkk., 2006; Walton dan Torabinejad, 2008). gejalanya, pulpitis dibedakan menjadi reversible pulpitis dan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dimana sebanyak 129,98 juta jiwa merupakan penduduk dengan jenis kelamin

I. PENDAHULUAN. Kalsium merupakan kation dengan fosfat sebagai anionnya, absorbsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagian selular, termasuk odontoblas yang membentuk dentin. Anatomi

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mengevaluasi keberhasilan perawatan yang telah dilakukan. 1,2,3 Kemudian dapat

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi dan radang gusi (gingivitis) merupakan penyakit gigi dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. protein, berbagai vitamin dan mineral (Widodo, 2003). Susu adalah cairan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pertumbuhan dalam tulang rahang melalui beberapa tahap berturut-turut hingga

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maturitas adalah proses pematangan yang dihasilkan oleh pertumbuhan dan

FUNGSI JARINGAN PULPA DALAM MENJAGA VITALITAS GIGI. Sartika Puspita *

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi. Penyakit ini dapat menyerang seluruh lapisan masyarakat dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MEKANISME ERUPSI DAN RESORPSI GIGI

BAB I PENDAHULUAN. lengkung rahang dan kadang-kadang terdapat rotasi gigi. 1 Gigi berjejal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cukup tinggi. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, indeks DMF-T Indonesia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. prevalensi yang terus meningkat akibat fenomena perubahan diet (Roberson dkk.,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK. Kata kunci: hipersensitivitas dentin, strontium chloride hexahydrate 10%, sodium monofluorophosphate, visual analogue scale.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yang disebabkan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. kesehatan, terutama masalah kesehatan gigi dan mulut. Kebanyakan masyarakat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DMF-T Indonesia menurut hasil Riskesdas pada tahun 2013 adalah 4,6% yang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah atrisi, abrasi, abfraksi, fraktur dan erosi.walaupun kata-kata ini mempunyai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diterima oleh dokter gigi adalah gigi berlubang atau karies. Hasil survey

BAB I PENDAHULUAN. karbohidrat dari sisa makanan oleh bakteri dalam mulut. 1

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan prevalensi nasional untuk masalah gigi dan mulut di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

IV. PRINSIP BIOMEKANIK PREPARASI

BAB I PENDAHULUAN. kejadian yang penting dalam perkembangan anak (Poureslami, et al., 2015).

BAB I PENDAHULUAN. bagi tubuh. Fungsi gigi berupa fungsi fonetik, mastikasi dan. ataupun yang hilang bisa berdampak pada kesehatan.

Pendahuluan. Harmas Yazid Yusuf 1

toksisitas amalgam yang dikaitkan dengan merkuri yang dikandungnya masih hangat dibicarakan sampai saat ini. 1,2,3 Resin komposit adalah suatu bahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranahta

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pinang (Areca catechu L.) atau jambe dalam Bahasa Sunda merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG Kehilangan tulang dan cacat tulang yang diakibatkan penyakit periodontal membahayakan bagi gigi, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan

HUBUNGAN KEBIASAAN MENYIRIH DAN MENYUNTIL DENGAN DERAJAT ATRISI DAN ABRASI GIGI PADA PEREMPUAN PENYIRIH/PENYUNTIL SUKU KARO DI PANCUR BATU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Karies gigi adalah penyakit infeksi dan merupakan suatu proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

STAINLESS STEEL CROWN (S. S. C)

BAB 1 PENDAHULUAN. ditimbulkan oleh gangguan erupsi gigi di rongga mulut, sudah selayaknya bagi dokter

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DENTIN PULPA ENDODONTIK ATAU OPERATIVE DENTISTRY? Hubungan yang sangat erat antara dentin dan pulpa. Perlindungan jaringan pulpa terhadap iritasi luar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. utama yaitu preparasi biomekanis saluran akar atau pembersihan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan. satu atau lebih gigi asli, tetapi tidak seluruh gigi asli dan atau struktur

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akar, mencegah kontaminasi sistem saluran akar dengan saliva, menghambat

Proses erupsi gigi adalah suatu proses isiologis berupa proses pergerakan gigi yang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dentin Pulpa Kompleks Dentin merupakan pembentuk utama struktur gigi dan meluas hampir keseluruh panjang gigi. Di bagian mahkota, dentin dilapisi enamel, di bagian akar dilapisi oleh sementum. 9,12 Dentin merupakan jaringan keras tetapi juga elastis yang tersusun dari tubulus-tubulus kecil tersusun sejajar dalam matriks kolagen. Berdasarkan beratnya dentin terdiri dari 70% kristal hidroksiapatit (anorganik), 20% merupakan zat organik yang tersusun dari kolagen dan substansi dasar mukopolisakarida, 10% air dan berdasarkan volumenya terdiri dari 50% anorganik, 28% organik dan 20% air. 12,13 Dentin dibentuk oleh odontoblas, dimulai dari pusat perkembangan di sepanjang Dentino Enamel Junction (DEJ) dan akan menyebar ke dalam dan keluar sehingga membentuk ruang pulpa. Lapisan bagian dalam dentin akan membentuk dinding pulpa. Odontoblas akan membatasi dinding pulpa, dari sini akan berlanjut membentuk dan memperbaiki dentin. 13 Odontoblas merupakan sel yang responsibel terhadap pembentukan dentin. Odontoblas berasal dari sel ektomesenkim, berbentuk kolumnar tinggi. Setelah proses dentinogenesis, odontoblas tersusun memanjang mengelilingi pulpa gigi yang akan memulai pertahanan gigi dengan membentuk lapisan dentin yang baru sepanjang hidup. Odontoblast-like cell bisa juga membentuk lapisan dentin reparatif setelah injuri merusak beberapa jaringan. 8 Fungsi utama odontoblas yang berada dalam jaringan pulpa gigi adalah membentuk dentin gigi. Original odontoblast terdapat di dalam pulpa sejak masa pembentukan gigi dan merupakan sel khusus yang berdiferensiasi sehingga akan kehilangan kemampuan untuk membelah diri. 14 Dentin pulpa kompleks diyakini merupakan sistem yang memiliki kemampuan beradaptasi terhadap stimulus sebagai respon untuk mempertahankan vitalitasnya dimana pertahanannya berfokus pada pembentukan dentin. Ketika

pembentukan gigi sudah sempurna, pulpa mendukung dentin dengan cara mempertahankan homeostasis dan mekanisme perlindungan dentin. Pulpa juga mampu mengaktifkan kembali proses dentinogenesis untuk mempertahankan diri dari injuri eksternal dan internal. 9 Dentin pada mamalia dapat diklasifikasikan menjadi dentin primer, sekunder, dan dentin tersier. Dentin primer disebut juga dentin regular atau tubular dentin, dan dibentuk sebelum gigi erupsi. Dentin sekunder disebut juga dentin regular yang terbentuk seumur hidup. Dentin tersier disebut juga dentin irregular, dan dibentuk disekitar injuri seperti karies atau preparasi kavitas, dan dapat juga dibedakan menjadi dentin reaksioner dan dentin reparatif (Gambar 3). 14 Respon terhadap stimuli luar datang dari pulpa gigi tetapi manisfestasinya terhadap struktur dentin adalah pembentukan dentin baru. Pembentukan dentin tersier akan mencegah meluasnya proses karies atau toksin. Meskipun pembentukan dentin sekunder berlangsung seumur hidup, akan tetapi ini bukan merupakan respon terhadap stimuli eksternal, tetapi berkontribusi sebagai fungsi barrier dentin. 12 Gambar 1. Struktur gigi 15

2.1.1 Dentin Primer Dentin primer merupakan dentin yang pertama kali terbentuk dari mulai proses pembentukan gigi sampai gigi tersebut erupsi sempurna dan merupakan bagian terbesar dari gigi. Dentin primer dibentuk oleh sel odontoblas mulai dari proses pembentukan gigi sampai setelah penutupan akar sempurna. Lapisan terluar dari dentin primer berbatasan langsung dengan enamel atau dentin primer terletak tepat di bawah enamel. Secara histologis dentin primer memiliki tubulus dentin yang lebih banyak dibanding dentin sekunder. 16 Gambar 2. Dentin primer, Dentin sekunder 11 2.1.2 Dentin Sekunder Dentin sekunder mulai terbentuk setelah gigi erupsi dan berlanjut dengan sangat lambat sepanjang umur gigi dan perlahan-lahan akan memperkecil ruang pulpa seiring bertambahnya umur. 13 Strukturnya sangat mirip dengan dentin primer sehingga sulit untuk membedakan keduanya. 12 Schour (1988) menjelaskan bahwa terdapat 4 mikron dentin sekunder yang terbentuk setiap hari. Pembentukan dentin sekunder lambat dan perlahan-lahan, meningkat ketika mencapai usia 33-40 tahun. Pada gigi molar, pembentukan dentin terlihat paling banyak di dasar pulpa, berkurang pada daerah atap, dan sedikit di bagian samping. 10 Dengan bertambahnya

usia tinggi ruang pulpa akan menurun dengan signifikan dalam arah oklusal-radikular tetapi tidak bertambah luas dalam arah mesiodistal. Pada gigi anterior, dentin sekunder paling banyak terbentuk di bagian lingual ruang pulpa, sebagai akibat gaya pengunyahan kemudian akan terbentuk di bagian insisal dan puncak pulpa. 11 2.1.3 Dentin Tersier Dentin tersier adalah jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi terhadap stimulus eksternal yang kuat dalam penggunaan gigi geligi. Dentin tersier tidak dibentuk oleh sel odontoblas yang sama dengan dentin primer dan sekunder. Dentin ini dibentuk oleh odontoblast-like cell yang berdiferensiasi dari sel-sel yang ada dalam pulpa. Sel odontoblas banyak terdapat dalam pulpa gigi yang baru erupsi akan tetapi akan berkurang jumlahnya seiring bertambahnya usia. Dentin tersier memiliki struktur yang tidak beraturan dan terlokalisasi pada daerah tubulus dentin yang terpapar. 17 Dibandingkan dengan dentin primer, dentin tersier kurang sensitif terhadap suhu, osmotik, dan rangsangan. 18 Dentin tersier merupakan dentin irregular yang dibentuk sebagai respon terhadap stimuli abnormal, seperti keausan gigi, preparasi kavitas, material restorasi gigi, dan karies. Dentin tersier sering juga disebut sebagai dentin irregular, dentin iritasi, dentin reparatif, atau dentin pengganti. 19 Berdasarkan injuri dan iritasi yang diterima, misalnya prosedur restorasi atau proses karies yang meluas, original odontoblast akan mati. Oleh karena sel ini merupakan sel postmitosis, maka sel original odontoblast tidak bisa beregenerasi. Dalam keadaan seperti ini dentin baru tidak akan terbentuk, sehingga terjadilah proses pembentukan dentin perbaikan oleh sel odontoblas yang baru, disebut odontoblast-like cell. Pembentukan sel odontoblas baru ini berasal dari populasi stem sel postnatal yang ada pada jaringan pulpa. Sel-sel ini akan bergabung dan menyusun jaringan mineral di bawah lapisan dentin. 20 Odontoblast-like cell akan membentuk dentin tersier sesuai dengan tingkat keparahan dan lamanya injuri. Pembentukan lapisan jaringan keras ini akan menambah ketebalan lapisan dentin. 20

Dentin tersier terdiri dari 2 tipe, yaitu yang pertama adalah dentin reaksioner, salah satu tipe dentin tersier yang memiliki struktur yang hampir sama dengan dentin primer dan sekunder. Kedua yaitu dentin reparatif, tersusun dari tubulus yang tidak beraturan atau tidak memiliki tubulus, dan dibentuk dari odontoblast-like cell. Keduanya dibedakan berdasarkan tingkat keparahan injuri. 21 2.1.3.1 Dentin Reaksioner Pembentukan dentin reaksioner dapat dijelaskan sebagai sekresi dentin tersier oleh original odontoblast yang selamat dari injuri yang diterima gigi. Dentin reaksioner akan terlihat pada injuri dengan intensitas sedang, seperti masa prekavitas pada karies enamel dan proses lambat pada lesi dentin. 18 Lesi karies dengan proses yang lambat diawali dengan meningkatnya dentin yang termineralisasi. Hipermineralisasi ini terbentuk apabila terjadinya karies pada enamel, sebelum akhirnya akan mengenai dentin. Setelah beberapa lama karies akan mencapai dentin, pelepasan mineral-mineral garam yang mengendap dalam tubulus dentin akan membentuk daerah transparan pada dentin sebagai akibat demineralisasi karies dentin. 18 Perubahan histologi yang terjadi pada batas odontoblas-predentin yang berkaitan dengan karies proses lambat relatif sedikit, akan tetapi penigkatan pembentukan dentin reaksioner terlihat jelas. Sebagian besar odontoblas yang selamat hanya bertahan dalam waktu singkat. Jumlah odontoblas yang membentuk dentin reaksioner akan berkurang sehingga tidak mendukung peningkatan pembentukan matriks dentin. 18 Dentin reaksioner memiliki tubulus yang berhubungan dengan sekunder dentin, dan ketebalan dentin reaksioner yang terbentuk tergantung pada intensitas dan lamanya injuri yang diterima. Dentin reaksioner memiliki komponen mineral yang mirip dengan dentin primer dan sekunder. 8

2.1.3.2 Dentin Reparatif Reparatif dentinogenesis merupakan sekresi dentin tersier setelah kematian original odontoblast yang merupakan awal dari injuri. Dentin reparatif akan terbentuk setelah injuri mencapai intensitas yang lebih besar dan memengaruhi rentetan peristiwa biologis yang kompleks, yang melibatkan perekrutan sel progenitor dan diferensiasi serta meningkatkan sekresi sel. 18 Matriks dentin reaksioner disekresi oleh primary post-mitotic odontoblast (yang juga membentuk dentin primer dan sekunder) sebagai respon terhadap stimulus yang adekuat misalnya karies atau prepasrai kapitas. Sebaliknya matriks dentin reparatif dibentuk sebagai reaksi terhadap stimulus oleh generasi baru odontoblast-like cell setelah kehilangan primary post-mitotic odontoblast. 8,14 Pulpa memiliki sel khusus yaitu odontoblas yang membentuk dentin seumur hidup. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan pulpa dengan mengimbangi kehilangan enamel dan dentin akibat karies atau keausan gigi. Odontoblas membentuk dentin reaksioner dan dentin reparatif sebagai respon terhadap stimulus injuri. Dentin reparatif terbentuk di permukaan pulpa dan hanya terlokalisasi dekat bagian yang terkena iritasi. 7 Segera setelah dentin terpapar karena karies atau preparasi gigi, original odontoblast akan rusak. Pada injuri akibat trauma minor terhadap jaringan pulpa gigi, original odontoblast yang tidak rusak akan terangsang membentuk reaksioner dentin. Pada kasus yang lebih parah akibat trauma mekanis pada pulpa, original odontoblast akan mati. Sel ini akan diganti oleh sel-sel pulpa yang tidak berdiferensiasi. 14 Pembentukan dentin reparatif, sebagai salah satu bentuk dentin tersier, disusun tepat di permukaan pulpa dibawah dentin primer dan sekunder serta hanya dibentuk di tempat yang berhubungan langsung dengan iritasi. Ketika keausan gigi sudah melewati lapisan enamel dan menyebabkan dentin terpapar, maka dentin reparatif akan dibentuk di permukaan pulpa tepat dibawah dentin yang telah terpapar. Pembentukan dentin ini bertujuan untuk mencegah pulpa terpapar oleh mineralmineral asing. 19

Odontoblast-like cell membentuk dentin sesuai dengan tingkat keparahan dan lamanya injuri. Pembentukan jaringan keras ini akan menambah ketebalan lapisan dentin. Dentin yang dibentuk oleh odontoblast-like cell tidak beraturan, amorphous, dan diisi lebih sedikit tubulus dentin daripada dentin primer. Tubulus dentin ini tidak berhubungan langsung dengan tubulus dentin primer, sehingga batasan dentin primer dan dentin reparatif kurang permeabel terhadap benda dari luar. Hal ini juga menyebabkan dentin kurang sensitif terhadap suhu, osmotik dan rangsangan lainnya. 20 Gambar 3. Dentin tersier akibat atrisi (40X) 22 2.2 Menyirih Kebiasaan menyirih merupakan kebiasaan yang sangat populer sejak 200 tahun lalu di Cina dan India dan diperkirakan sekitar 200-600 juta jiwa di seluruh dunia melakukan kegiatan menyirih. 12 Menyirih telah lama ditemukan di Asia Selatan dan Tenggara, daerah Asia Pasifik, juga ditemukan pada kelompok imigrasi di Afrika, Eropa, dan Amerika Utara. Kebiasaan menyirih merupakan kelompok empat besar bahan psikoaktif di dunia (setelah kafein, alkohol dan nikotin) yang digunakan oleh ratusan juta jiwa di dunia. 23 Tradisi ini juga dilakukan oleh berbagai

suku di Indonesia secara turun temurun yang berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. 1,24 Di Indonesia, menyirih dilakukan dengan mengunyah bahan sirih terlebih dulu, kemudian menggunakan gulungan besar tembakau untuk membersihkan gigi geligi dan membiarkannya di dalam mulut dalam beberapa saat. 21 Kebiasaan menyirih dijumpai pada perempuan suku Karo di Sumatera Utara, yang berlangsung sampai saat ini, baik itu merupakan kebiasaan sehari-hari atau untuk acara adat.1 Menyirih adalah kegiatan mengunyah campuran bahan yang umumnya dilakukan dengan campuran daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Komposisi menyirih berbeda di setiap daerah dan setiap suku. Pada suku Karo di Sumatera Utara, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur sirih, gambir, dan pinang. 1 Di Papua, khususnya pada masyarakat pesisir pantai, Komposisi menyirih terdiri dari pinang, sirih, dan kapur sirih. 25 2.3 Komposisi Menyirih 2.3.1 Daun Sirih Daun sirih (Piper Betel Linn) adalah tumbuhan merambat Asia tropis yang berhubungan dekat dengan lada. Daun ini banyak digunakan sebagai penyegar mulut dan tumbuh secara ekstensif di India, Sri Lanka, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan negara-negara Asia Tenggara. Daunnya dikunyah tersendiri atau bersama dengan bahan lain. 26 Daun sirih memiliki rasa pedas dan menghasilkan minyak esensial yang banyak digunakan sebagai obat. Penelitian lain menunjukkan bahwa minyak esensial daun sirih memiliki efek antijamur, antiseptik, dan anthelmintik. 27 2.3.2 Kapur Kapur sirih diperoleh dari berbagai sumber, seperti kerang laut, kerang air tawar, remis, muluska, batu kapur, dan batu karang. Supaya cocok untuk dikunyah, kapur diolah menjadi bubuk (kalsium oksida) dan dicampur dengan air sehingga

konsistensinya seperti pasta (kalsium hidroksida). 28 Kapur sirih memiliki sifat kasar, sehingga akan memperparah derajat atrisi yang terjadi. 29 2.3.3 Pinang Pinang (Areca Catechu) adalah pohon palem berbatang tunggal dan ramping yang dapat tumbuh sampai 28 m. Pinang dibudi dayakan dari Afrika Timur dan Semenanjung Arab sampai ke Asia Tropis dan di Indonesia sampai ke Pasifik Tengah dan New Guinea. Bijinya dikunyah sebagai stimulan pengunyahan sebesar 5% populasi dunia. Pinang sering digunakan dalam ritual budaya atau sosial, dan dijumpai dalam upacara-upacara kebudayaan Asia dan Pasifik. 30 Pinang adalah bahan yang bersifat keras, sehingga dapat memperparah derajat atrisi gigi. 29,30 2.3.4 Gambir Gambir adalah bahan astrigen berwarna coklat kemerahan, yang sering dioleskan pada daun sirih yang digunakan untuk membungkus bahan menyirih. Terdapat dua jenis gambir berdasarkan sumber pohon gambir tersebut diekstrak. Salah satunya dari rebusan dan ekstrak inti kayu Acacia catechu, Wild, yang berasal dari India dan Myanmar, sering disebut sebagai gambir hitam. Kandungan utamanya adalah Catechu-tannic Acid (25-33%), Acacatechin (2-10%), Quercetin, dan Red Catechu. Jenis gambir yang lain diperoleh dari air ekstrak daun dan tunas Uncaria Gambir, yaitu sejenis semak merambat yang berasal dari kepulauan Melayu, sering disebut gambir pucat. Kandungan utamanya adalah catechin (7-31%), catechu-tannic acid (22-50%), quercetin, dan Red Catechu. 30 2.4 Frekuensi, Lama Menyirih dan Usia Penyirih Setelah gigi erupsi dan tumbuh sempurna, perubahan dentin memiliki hubungan yang erat dengan respon terhadap stimulus yang diterima gigi geligi, seperti karies atau atrisi. Seiring perubahan fisiologis usia, dentin sekunder dan dentin transparan akan terlihat jelas. 9

Schonland dan Bradshaw (1969) melakukan survei di India dengan referensi khusus untuk mengetahui kebiasaan mengunyah sirih. 1842 perempuan dari segala usia, 28,7% adalah penyirih, sedangkan dari 1.834 laki-laki, 5,5% adalah penyirih. Persentase penyirih meningkat dengan usia baik pada pria maupun wanita, 71,9% wanita dan 10,3% pria berusia 60 tahun atau lebih adalah penyirih. Meskipun usia rata-rata di mana menyirih dimulai adalah antara usia 20-24 tahun, wanita mulai sedikit lebih awal daripada laki-laki. Dua perlima dari penyirih memulai kebiasaan sebelum usia 20 tahun dan sejumlah lainnya setelah usia 38 tahun. Juga, sebagian besar wanita merupakan penyirih berat (empat kali atau lebih dalam sehari) dan lebih banyak orang yang ringan atau sesekali menyirih (1-6 kali seminggu). Tidak ada perbedaan usia yang signifikan yang dicatat dalam frekuensi menyirih, dan tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan dalam durasi rata-rata kebiasaan menyirih. 31 Permana B (2013) menjelaskan bahwa derajat atrisi 3 semakin meningkat persentasenya seiring meningkatnya frekuensi menyirih. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi frekuensi menyirih, permukaan oklusal gigi akan semakin terkikis, yang menyebabkan atrisi gigi derajat 1 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 2, dan atrisi gigi derajat 2 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 3. Atrisi gigi derajat 3 juga akan meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya lama menyirih. Dari segi umur, derajat atrisi gigi 3 juga meningkat persentasenya seiring dengan bertambahnya usia penyirih. 6 2.5 Atrisi Gigi Atrisi gigi adalah hilangnya struktur gigi akibat kontak antar gigi selama kegiatan menggigit atau mengunyah. Atrisi selalu terjadi pada permukaan gigi yang digunakan dalam pengunyahan tetapi juga bisa terjadi pada bagian proksimal gigi, dimana gigi berkontak dengan gigi sebelahnya. Perubahan yang terjadi akibat atrisi dimulai dari titik kecil dan akan meluas sampai berkurangnya tinggi gigi dan permukaan pengunyahan atau cusp menjadi rata. 32 Atrisi merupakan kejadian normal dan berjalan sesuai dengan penuaan. Atrisi terjadi pada masa gigi desidui dan masa gigi permanen, umumnya atrisi merupakan proses yang lambat. 14

Dari hasil penelitian Zainab Hanudi (2011) prevalensi keausan gigi yang tertinggi terdapat pada gigi molar dan keausan gigi pada gigi molar rahang bawah lebih tinggi daripada molar rahang atas. 33 Atrisi gigi dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu : 4 a. Atrisi Fisiologis Atrisi fisiologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan normal. b. Atrisi Patologis Atrisi patologis adalah atrisi yang terjadi akibat kegiatan oklusi yang tidak normal, mengunyah bahan atau sesuatu yang dapat merusak gigi geligi. Hal ini sering menyebabkan kehilangan lapisan gigi yang luas, sehingga dapat mengganggu fungsi dan nilai estetik gigi. 2.5.1 Derajat Atrisi Derajat atrisi merupakan indeks yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan atrisi gigi. Indeks yang umumnya digunakan adalah indeks keausan gigi Smith dan Knight. Atrisi gigi dikelompokkan menjadi 5 derajat, yaitu : 5 - Derajat 0 = Tidak terjadi atrisi. - Derajat 1 = Atrisi sebatas pada enamel saja. - Derajat 2 = Atrisi sampai sepertiga oklusal dengan dentin terbuka ( 1 mm). - Derajat 3 = Atrisi lebih dari sepertiga oklusal dengan dentin terbuka (1-2 mm). - Derajat 4 = Atrisi sampai sepertiga servikal dengan pulpa terbuka ( 2 mm). Derajat atrisi dipengaruhi oleh diet makanan. Bruxism, mengunyah tembakau, sengaja atau tidak sengaja memasukkan benda abrasif ke dalam mulut dapat memicu terjadinya atrisi gigi. Atrisi meningkat seiring bertambahnya usia, dan dilaporkan bahwa atrisi lebih parah pada laki-laki daripada perempuan. 14,20

2.5.2 Faktor Penyebab Atrisi Patologis Atrisi patologis disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 4 a. Oklusi abnormal, berhubungan dengan susunan gigi, seperti gigi berjejal atau malposisi gigi. Dalam kasus ini, posisi oklusal yang abnormal akan memicu kontak traumatik yang besar selama proses pengunyahan dimana akan memperparah terjadinya keausan gigi. b. Prematur ekstraksi, pencabutan beberapa gigi akan meningkatkan tekanan pengunyahan pada masing-masing gigi. c. Kebiasaan mengunyah abnormal, kebiasaan parafunsional seperti Bruxism (kebiasaan menggesekkan gigi) dan kebiasaan mengunyah bahan abrasif kronis, seperti tembakau atau mengunyah sirih. d. Kelainan struktur gigi, keadaan ini memungkinkan gigi lebih mudah terjadi atrisi meskipun digunakan dalam fungsi normal, seperti amelogenesis imperfecta dan dentinogenesis imperfecta. Dalam kondisi ini kekerasan enamel atau dentin lebih rendah dibanding dengan gigi normal, sehingga akibatnya derajat keausan gigi akan lebih gampang terjadi meskipun gigi geligi digunakan dalam pengunyahan normal. Gambar 4. indeks atrisi gigi

2.6 Hubungan Menyirih dengan Atrisi Menyirih memiliki efek negatif terhadap kesehatan gigi dan mulut. Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan kehilangan lapisan permukaan insisal dan oklusal gigi. Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih. 3 Dalam proses menyirih akan terjadi peningkatan frekuensi pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi sehingga pengikisan pada permukaan gigi akan semakin banyak. Derajat atrisi dipengaruhi oleh pola diet. Bahan makanan yang kasar dan keras akan memperparah derajat atrisi. 29 Kapur sirih dan pinang yang umumnya dipakai sebagai bahan menyirih merupakan bahan yang bersifat kasar dan keras akan menambah pengikisan permukaan gigi selama proses menyirih. 30 Kehilangan lapisan enamel juga menyebabkan lapisan dentin di bawahnya terpapar dan lapisan ini merupakan jaringan yang lebih lembut sehingga derajat atrisi akan meningkat. Terpaparnya dentin akan menyebabkan dentin yang sensitif. 3 Gambar 5. gigi atrisi 34 2.7 Hubungan Atrisi dengan Dentin Tersier

Atrisi merupakan kehilangan struktur gigi selama proses pengunyahan. Hal ini merupakan kejadian normal dan biasanya terjadi akibat pertambahan usia. 10 Atrisi pada cusp gigi akan menyebabkan terpaparnya dentin. Atrisi gigi yang parah menyebabkan pembentukan dentin tersier dan ini terjadi pada gigi desidui dan gigi permanen. 29,35 Atrisi akibat pengunyahan yang cepat dan berlebihan akan memperparah kehilangan enamel dan dentin. Dentin akan terpapar dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang merupakan gejala klinis akibat tubulus dentin tidak ditutupi lapisan mineral. 36 Penuaan dan tingkat keparahan stimuli yang mencapai pulpa gigi sangat bervariasi. Dentin tersier merupakan jaringan yang tersusun sebagai respon terhadap stimuli yang berbeda-beda. Pulpa gigi tidak merespon stimuli luar dengan meningkatkan pembentukan dentin sekunder akan tetapi akan menginduksi odontoblast-like cell untuk memproduksi dentin tersier. 12 Dentin tersier merupakan jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi, terhadap stimuli eksternal dalam penggunaan gigi geligi. Keausan yang lambat selama penggunaan gigi secara normal, akan menstimulasi efek perubahan setelah erupsi pada dentin dengan perubahan mineralisasi. Perubahan ini hanya dapat di pengaruhi perubahan usia yang terlihat disekitar titik keausan. Keausan akibat fungsional yang memulai atrisi minor, umumnya terdapat pada permukaan insisal dan cusp yang mendapat kontak maksimal biasanya dijumpai adanya odontoblas. Beberapa odontoblas akan hilang akibat injuri dan dilokasi ini terjadi peningkatan pembentukan dentin tersier yang merupakan struktur irregular akan tetapi tanpa adanya pembentukan jarak antar dentin. Dentin tersier yang dibentuk memiliki struktur yang berbeda-beda, tergantung jumlah original odontoblast yang tersedia. 11 Apabila proteksi dari enamel tidak ada lagi maka gigi akan mengalami hipersensitivitas dentin, selain itu gigi terlihat tidak estetis. Respon endodontik terhadap keausan gigi terdiri dari hipersensitvitas, dentin sklerosis, dead tract dan dentin tersier. 37

2.8 Ciri-ciri Molar 1 dan Molar 2 Rahang Bawah Ciri-ciri molar 1 dan molar 2 rahang bawah adalah sebagai berikut : 38 1. Molar 1 memiliki 5 cusp, 3 pada bagian bukal (bukomesial, bukodistal, dan distal.) dan 2 pada lingual (linguomesial dan linguodistal). Molar 2 memiliki 4 cusp, 2 pada bagian bukal (bukomesial dan bukodistal) dan 2 pada bagian lingual (linguomesial dan linguodistal) 2. Gigi molar 2 rahang bawah lebih kecil daripada gigi molar 2 rahang bawah 3. Molar 1 rahang bawah memiliki 3 kanal pulpa, 2 pada bagian mesial dan, 1 pada bagian distal. Molar 2 rahang bawah memiliki satu kanal pulpa di setiap akar. 2.9 Olympus SZX16 microscope Olympus SZX16 microscope merupakan jenis mikroskop cahaya yang telah dikembangkan untuk penggunaan jangka panjang dan daya tahan yang besar. 39 Penggunaan mikroskop ini sangat cocok untuk semua aplikasi dan metode kontras yang digunakan dalam pendidikan kesehatan, seperti untuk melihat : 39 a. Bagian jaringan yang diwarnai dalam bidang kedokteran. b. Sel-sel yang tidak diwarnai pada metode kontras dalam bidang kedokteran dan bilogi. c. Pengamatan dan analisa pembiakan dan bakteri. Gambar 6. Olympus SZX16 microscope 39

2.10 Landasan Teori Menyirih adalah kegiatan mengunyah campuran bahan yang umumnya dilakukan dengan campuran daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Komposisi menyirih berbeda di setiap daerah dan setiap suku. Pada suku Karo di Sumatera Utara, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur sirih, gambir, dan pinang. 1 Di Papua, khususnya pada masyarakat pesisir pantai, komposisi menyirih terdiri dari pinang, sirih, dan kapur sirih. 25 Menyirih memiliki efek negatif terhadap kesehatan gigi dan mulut. Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan kehilangan lapisan permukaan insisal dan oklusal gigi. Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih. 3 Dalam proses menyirih akan terjadi peningkatan frekuensi pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi sehingga pengikisan pada permukaan gigi akan semakin banyak. Derajat atrisi dipengaruhi oleh pola diet. Bahan makanan yang kasar dan keras akan memperparah derajat atrisi. 29 Atrisi merupakan kehilangan struktur gigi selama proses pengunyahan. Hal ini merupakan kejadian normal dan biasanya terjadi akibat pertambahan usia. 10 Atrisi pada cusp gigi akan menyebabkan terpaparnya dentin. Atrisi gigi yang parah menyebabkan pembentukan dentin tersier dan ini terjadi pada gigi desidui dan gigi permanen. 29,35 Atrisi akibat pengunyahan yang cepat dan berlebihan akan memperparah kehilangan enamel dan dentin. Dentin akan terpapar dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang merupakan gejala klinis akibat tubulus dentin tidak ditutupi lapisan mineral. 36 Dentin tersier merupakan jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi, terhadap stimuli eksternal dalam penggunaan gigi geligi. Keausan yang lambat selama penggunaan gigi secara normal, akan menstimulasi efek perubahan setelah erupsi pada dentin dengan perubahan mineralisasi. Perubahan ini hanya dapat di pengaruhi perubahan usia yang terlihat disekitar titik keausan. Keausan akibat fungsional yang memulai atrisi minor, umumnya terdapat pada permukaan insisal dan

cusp yang mendapat kontak maksimal biasanya dijumpai adanya odontoblas. Beberapa odontoblas akan hilang akibat injuri dan dilokasi ini terjadi peningkatan pembentukan dentin tersier yang merupakan struktur irregular akan tetapi tanpa adanya pembentukan jarak antar dentin. Dentin tersier yang dibentuk memiliki struktur yang berbeda-beda, tergantung jumlah original odontoblast yang tersedia. 11

Kerangka Teori Menyirih Usia Penyirih Frekuensi Menyirih Lama Menyirih Bahan Menyirih Daun Sirih Kapur Pinang Gambir Atrisi Gigi Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4 Atrisi Enamel Atrisi Dentin Pulpa Terbuka Original odontoblast Respon Pulpa Odontoblast -like-cells Dentin Reaksioner Dentin Tersier Dentin Reparatif Cusp Mesial Fisur Cusp Distal

2.11 Kerangka Konsep Menyirih Atrisi Gigi Molar Bawah Lama Menyirih 2 Tahun Usia Menyirih 20 Tahun Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4 Dentin tersier yang terbentuk di Atas permukaan Puncak Dipotong Secara Vertikal dengan diamound bur disc Puncak pulpa Linguo mesial Linguodistal Fisur Bukomesial Bukodistal Olympus SZX16 microscope Dentin Tersier