BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI. pejabat pengandilan yang di tugaskan melakukan penggilan-panggilan dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peneliti terdahulu. Beberapa judul skripsi tersebut yaitu:

Tahap pemanggilan para pihak. 1. Aturan umum

Sekitar Kejurusitaan

TATA CARA PEMANGGILAN Oleh : Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, SH.,M.Hum

MAKALAH : PEMBAHASAN :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

W23-A6/ 7.a /OT.01.3/I/ SOP Pemanggilan Kepada Para Pihak. Tanggal Pembuatan 03 Januari 2017 Tanggal Revisi -

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Atambua MAHKAMAH AGUNG RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Persiapan Sidang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN UMUM.

BAB I PENDAHULUAN. perceraian, tetapi bukan berarti Agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari

PUTUSAN. Nomor : 0839/Pdt.G/2012/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PERADILAN AGAMA Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BATANG. NO.742/Pdt.G/2005/PA.Btg TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

*9788 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 1997 (17/1997) TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

PUTUSAN. Nomor : 1089/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG DUDUK PERKARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 1258/Pdt.G/2010/PA.Kbm BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Allah SWT menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda. perempuan dan laki-laki agar mereka dapat berpasang-pasangan.

PUTUSAN Nomor:343/Pdt.G/2011/PA.Dum BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG UNDANG PERADILAN AGAMA HASIL PERUBAHAN & &&& &&& &&& &&& &&& &&& &&& &&& &&& & DISUSUN SATU NASKAH DALAM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. hukum tersebut memiliki unsur-unsur kesamaan, walaupun dalam beberapa

Perkara Tingkat Pertama Cerai Gugat. Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

Undang Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang : Peradilan Tata Usaha Negara

P U T U S A N. Nomor : 0108/Pdt.G/2013/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 350/Pdt.G/2013/PA.SUB. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. PEGAWAI NEGERI. Aparatur. Warga Negara.

P U T U S A N Nomor : 0241/Pdt.G/2012/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 2019/Pdt.G/2011/PA.Kbm BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N Nomor : 0328/Pdt.G/2012/PA.SKH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor: 0177/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURAT EDARAN Nomor : 1 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan Eks Pasal 71 ayat (2) Dan Akta Cerai Eks Pasal 84 ayat (4)

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN. A. Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGGUGAT ; MELAWAN TERGUGAT ;

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI A. Pengertian Jurusita / Jurusita Pengganti Jurusita (deurwaarder : dalam bahasa Belanda) adalah seorang pejabat pengandilan yang di tugaskan melakukan penggilan-panggilan dan peringatan atau ancaman-ancaman resmi terhadap pihak-pihak yang berperkara di pengadilan. 1 Sedangkan jurusita pengganti merupakan jurusita yang bertugas membantu tugas jurusita di bidang kejurusitaan. Pemanggilan merupakan tindak lanjut dari tugas kepeniteraan dan panitera karena jabatannya adalah pelaksana tugas kejurusitaan. 2 Jurusita/jurusita pengganti adalah pejabat resmi negara, yang di angkat berdasarkan Surat Keputusan (SK), jurusita di angkat dan di berhentikan oleh Menteri Agama dengan diusulkan oleh Ketua Peradilan Agama dan jurusita penganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Peradilan Agama. 3 Sedangkan syarat-syarat untuk di angkat menjadi jurusita diatur dengan UU No. 7 tahun 1989 pasal 39 ayat (1) : a). Warga negara Indonesia b). Beragama Islam c). Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 1 Subekti dan Tjitro Soedikin, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), Cet. 14, hlm. 64. 2 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) Cet. III, hlm. 29. 3 Bahder Johan Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bandung: Tarsito, 1992), hlm. 36. 13

14 d). Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 e). Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) f). Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai jurusita pengganti. Pasal 39 ayat (2) mengatur tentang jurusita pengganti : a). Syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) a, b, c, d, dan e. b). Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama. 4 Dalam menjalankan tugas jurusita/jurusita pengganti tidak diperbolehkan untuk : 1. Menjadi wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia berkepentingan. 2. Menjadi penasehat hukum 3. Jabatan yang tidak boleh di rangkap oleh jurusita selain jabatan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Makhkamah Agung. Pasal 41 UU No. 7 tahun 1989 menyatakan bahwa jurusita/jurusita pengganti di ambil sumpah menurut agama Islam oleh ketua Pengadilan Agama sebelum melaksanakan tugasnya, sumpah tersebut berbunyi : 4 Muh Amin, Rencana Kerja Peningkatan Pelaksanaan Tugas Jurusita/Jurusita Pengganti dalam Rangkah Penerapan Konsep Tentang Profesionalitas Jurusita/Jurusita Pengganti di Lingkungan Peradilan Agama Semarang, (Semarang: Peradilan Agama Semarang, 2004), hlm. 5-6.

15 Demi Allah SWT, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidaka memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak maka bukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun. Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan segala peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajibannya saya sebaik-sebaiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya jurusita, jurusita pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan. 5 Menurut penulis, jurusita/jurusita pengganti adalah pejabat pengadilan yang di angkat dan diberhentikan serta bertugas di bidang kejurusitaan yang sebelumnya berdasarkan Undang-Undang Dasar. B. Dasar Hukum Jurusita/Jurusita Pengganti Susunan Pengadilan Agama yang diatur oleh Undang-Undang No. 7 tahun 1989 telah menempatkan jurusita/jurusita pengganti sebagai bagian tak terpisahkan dari susunan pengadilan agama, yang diatur dalam Pasal 38 yang menyatakan Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya jurusita atau jurusita pengganti dan Pasal 2 Keputusan Makhkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/055/SK/X/1996, serta Pasal 40 dan Pasal 41 UU No. 7 tahun 1989 tentang pengangkatan jurusita/jurusita pengganti dan sumpah jabatan di lingkungan Peradilan Agama. 6 5 UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 41. 6 Departemen Agama RI, Badan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000, hlm. 66.

16 Pemanggilan pihak-pihak yang berperkara yang dilakukan jurusita/jurusita pengganti diatur dengan Pasal 122, 338 dan 390 HIR dan Pasal 146-718 RBg serta pada Pasal 26-28 PP No. 9 tahun 1975 juga Pasal 138-140 Kompilasi HukumIslam. 7 C. Tugas dan Wewenang Jurusita/Jurusita Pengganti Jurusita/jurusita pengganti dalam melaksanakan tugasnya diatur berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 ayat (1) menjelaskan : a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan ketua sidang b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman atau putusan peradilan menurut cara-cara berdasarkan Undang-undang. c. Melakukan penyitaan atas perintah, ketua Peradilan Agama d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 8 Pasal 103 ayat 2 UU No. 7 tahun 1989 menerangkan tentang kewenangan jurusita/jurusita pengganti. Jurusita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan. 9 Salah satu tugas jurusita/jurusita pengganti adalah pemanggilan pihak-pihak yang berperkara, tetapi tugas pemanggilan oleh jurusita/jurusita pengganti dari Pengadilan 7 Abdul Manan, Pemanggilan dan Pemberitahuan Putusan, Dalam Mimbar Hukum, VII, 28, September-Oktober, 1996, hlm. 86. 8 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Parsada, 2002), hlm. 275. 9 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), hlm. 261.

17 Agama hanya menangani pemanggilan perkara permohonan cerai talak dan perkara gugat cerai selain dari dua hal tersebut tidak diatur. 10 Pemanggilan pihak-pihak yang di Pengadilan Agama, di dasarkan atas perintah Hakim/ketua sidang/ketua majlis di dalam Penetapan Hari Sidang (PHS), yang memuat tentang perintah kepada para pihak untuk hadir di persidangan pada hari, tanggal, dan jam sebagaimana tersebut di dalam Penetapan Hari Sidang (PHS) di tempat sidang yang telah ditetapkan. Tata cara pemanggilan diatur dalam Pasal 390 jo Pasal 389 dan 122 HIR. Panggilan terhadap pihak berperkara dilaksanakan secara resmi dan patut, dengan ketentuan : 1. Dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti yang sah, yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan (SK) dan telah di sumpah untuk jabatan ini, ini sesuai dengan Pasal 40 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 21 UU No. 7 tahun 1989, jurusita/jurusita pengganti dalam melaksanakan tugasnya di wilayah hukum Peradilan Agama yang bersangkutan. 2. Pemanggilan di sampaikan langsung kepada pihak yang berperkara secara pribadi di tempat tinggal yang bersangkutan. 11 Pemanggilan para pihak dilakukan oleh jurusita yang menyerahkan surat pemanggilan beserta salanan surat gugatannya kepada tergugat pribadi di tempat tinggalnya. 12 Dan memberitahukan bahwa yang bersangkutan boleh menjawab surat gugatan tersebut secara 10 Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 82. 11 Mukti Arto, Op. cit, hlm. 63. 12 M. Nur Rosaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), Cet. II, hlm. 23.

18 tertulis (ini sesuai dengan Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 145 ayat (2) RBg serta jurusita/jurusita pengganti tidak dapat bertemu secara langsung dengan orang yang bersangkutan di tempat tinggalkan (kediaman tetap), maka surat panggilan atau Relaas disampaikan kepada kepala desa, yang wajib dengan segera memberitahukan panggilan itu kepada pihak yang bersangkutan (Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 18 ayat (1) RBg). 13 Penyampaian relaas kepada kepala desa ini dianggap sah walaupun tidak sampai pada pihak yang bersangkutan, walau kepala desa tersebut melakukan kelalaian dalam menyampaikan relaas tersebut, dan tidak ada sanksi bagi kepala desa tersebut. 14 Dalam hak pihak yang di panggil tidak di ketahui tempat tinggalnya/domisilinya atau pihak yang bersangkutan tidak di kenal maka surat panggilan tersebut disampaikan lewat Bupati yang mana pihak berperkara bertempat tinggal di daerah kekuasaan Bupati tersebut, yang kemudian Bupati meletakkan/menempelkan surat pemanggilan itu di papan pengumuman persidangan hakim yang berhak atas perkara tersebut. 15 Apabila yang di panggil telah meninggal dunia maka relaas tersebut disampaikan kepada ahli waris, 16 dan bila ahli waris tidak di 13 Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 48. 14 Sudikno Mertokisimo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), Edisi Keempat, Cet. I, hlm. 35-36. 15 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Seriphartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktis, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 96. 16 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1998), Cet. I, hlm. 38.

19 kenal maka disampaikan melalui lurah/kepada desa tempat tinggal terakhir si mayit. Mengenai pihak yang di panggil berada di luar negeri maka panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat lewat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta. 17 3. Antara jarak dan hari pemanggilan dengan hari sidang, ketua pengadilan yang bersangkutan harus memperhatikan jauh dekatnya letak tempat tinggal atau domilisi kedua pihak di tempat pengadilan bersidang (Pasal 122 HIR) dan waktu antara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara dengan waktu sidang tidak boleh kurang dari tiga hari termasuk tanggal merah (hari libur) kecuali pada hal yang amat mendesak dan penting yang dapat di tunda yang mana perkara harus di adili secepatnya (Pasal 122 HIR) untuk memenuhi senggang waktu yang patut. 18 Dalam hal pemanggilan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat dengan ketentuan : a) Perkara permohonan cerai talak, perkara permohonan lebih dari seseorang dan perkara gugat cerai secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan sejak perkara terdaftar di kepaniteraan peradilan agama. b) Untuk selain perkara di point (a) maka dipertimbangkan waktu dan jarak yang di panggil untuk menghadap pengadilan agama yang bersangkutan. 17 Taihan A. Rasyid, Op. cit. 18 R. Sopomo, Hukum Acara Perkara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000), Cet. 14, hlm. 32.

20 Pihak yang di panggil tidak di ketahui tempat tinggalnya dan perkaranya bukan tentang gugat cerai, maka penggilan di beri tenggang waktu antara panggilan dan sidang selama 30 hari. 19 Pemanggilan melalui mass media di umumkan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu antara penggilan kedua dengan waktu persidangan adalah sekurang-kurangnya tiga bulan. Demikian aturan umum yang berpediman pada Hukum Acara Perdata yang bersangkutan di lingkungan Peradilan Umum (HIR dan RBg) mengingat Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang peradilan agama. 20 D. Pemanggilan Para Pihak Berperkara Menurut UU No. 7 Tahun 1989 dan PP No. 9 Tahun 1975 Yang Khusus Mengenai Perkara Permohonan Talak Dan Gugat Cerai. 1. Pemanggilan kepada pemohon (suami) dan termohon (istri) dalam perkara permohonan cerai talak, permohonan suami dalam masalah gugatan cerai selambat-lambatnya 30 hari sejak perkara terdaftar di kepaniteraan dan surat panggilan sudah di terima 3 hari sebelum sidang, surat pemanggilan harus sudah di terima oleh pihak yang 19 Raihan A. Rasyid, Op.cit. 20 Bahder Johan Nasution, Op. cit, hlm. 61.

21 bersangkutan. 21 Dan para pihak yang lain yang ada kaitannya menjadi dengan perkara tersebut serta jurusita/jurusita pengganti tanda terima dari yang di panggil. 22 2. Dalam pemanggilan, pihak yang di panggil tidak ada (tidak di jumpai) di tempat tinggal, maka pemanggilan disampaikan lewat kepala desa /lurah dan termasuk di dalamnya aparat dea. Setidak-tidaknya ketua Rukun Tetangga. Dalam melaksanakan pemanggilan, jurusita/jurusita pengganti harus menggunakan surat panggilan yang sah dan di ketik rapi, tidak boleh ada doubel ketikan atau menggunakan tipe x, bila ada kesalahan harus dengan renvoy, sama hal dengan mempergunakan blangko yang di kirim oleh Departemen Agama, maka coret dengan renvoy yang tidak perlu. 23 Relaas tersebut dibuat rangkap dua, lembar yang asli nantinya di tanda tangani sebagai tanda terima oleh para pihak yang di panggil, dan tandasan kedua diserahkan kepada pihak yang di panggil sebagai bukti pemanggilan, serta surat penggilan (relaas) di tanda tangani oleh jurusita/jurusita pengganti harus bertemu langsung secara pribadi kepada pihak yang di panggil. 24 21 PP. No. 9 Tahun 1975, Pasal 15, 29 ayat (1), 42 ayat (2), 26 ayat (4) Jo UU No. 7 tahun 1989 Pasal 68 ayat (1) dan ayat (1). 22 Departemen Agama RI, Tata Laksana Ketatausahaan dan Kepaniteraan Pengadilan Agama Tingkat Pertama dan Tingkat Banding, (Proyek Penelitian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Agama, 1975), hlm. 52. 23 Abdul Manan, Op. cit, hlm. 90. 24 Ibid.

22 3. Panggilan terhadap pihak yang berperkara di sertai salinan gugat/surat permohonan. Dalam hal pihak yang di panggil tidak di ketahui atau tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, maka dilakukan dengan ketentuan : a. Menempelkan gugat/permohonan atau surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan agama. b. Mengemukakan lewat satu atau beberapa surat kabar atau mass media yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama dengan tenggang waktu pengumuman satu (1) bulan antara pengumuman yang satu dengan kedua dan pengumuman ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali. 25 4. Dalam hal yang di panggil berada di luar negeri, maka relaas disampaikan lewat kantor perwakilan Republik Indonesia dan negara mana si tergugat berada, dan persidang dilakukan minimal enam (6) bulan sejak perkara di daftarkan di pengadilan Pasal 28 dan 29 PP. No. 9 tahun 1975. 26 5. Apabila tergugat berada di laur wilayah yuridiksi pengadilan yang bersangkutan, maka ketua Pengadilan Agama memohon bantuan pemanggilan kepada pengadilan dimana para pihak yang dipanggil berada, surat tersebut ditanda tangani oleh panitera sekaligus membuat surat relaas tersebut, yang isinya minta bantuan kepada pengadilan dimana pihak yang dipanggil berada (bertempat tinggal) untuk hadir di 25 Mukti Arto, Op. cit, hlm. 64. 26 Bahder Johan Nasution, OP. cit, hlm. 64.

23 pengadilan agama yang memeriksa perkaranya (pengadilan yang meminta bantuan). 27 6. Surat permohonan pemanggilan dilampirkan surat relaas panggilan yang membuat dan menandatangani relaas panggilan adalah jurusita/jurusita pengganti Pengadilan Agama tempat dimohonkan permintaan pemanggilan. 28 7. Dalam hal pihak yang dipanggil tidak menerima dan menandatangani relaas panggilan maka jurusita/jurusita pengganti menulis (catatan) pada relaas tersebut bahwa yang bersangkutan (pihak yang dipanggil) tidak mau menerima dan menandatangani relaas tersebut, tanggal catatan itu sama dengan tanggal telah disampaikan. 29 8. Dalam pemanggilan pada point (5) perhitungan biayanya dapat ditempuh dalam dua cara : a. Bila jarak radius sudah diketahui, maka dikirimkan bersama dengan permohonan pemanggilan kepada pengadilan yang bersangkutan dimana tergugat berada. b. Bila jarak radius belum diketahui, maka pengiriman biaya setelah pemanggilan relaas dilaksanakan oleh pengadilan yang dimana tergugat berada. 30 27 Abdul Manan, Op.cit, hlm. 91. 28 Ibid. 29 Raihan A. Rasyid. Loc. Cit. 30 Abdul Manan, Op. cit, hlm. 92.

24 c. Sedangkan untuk pemanggilan yang ada di wilayah yuridiksi pengadilan yang bersangkutan, perhitungan biaya pemanggilan di hitung berdasarkan jauh-dekatnya jarak radius. E. Kewajiban Memanggil Dan Akibat Hukumnya Pemanggilan terhadap para pihak yang berpekara adalah kewajiban pengadilan, dan suatu perkara di periksa di pengadilan agama setelah suatu gugatan atau surat permohonan diajukan dan pihak-pihak telah di panggil, kelalaian terhadap cara pemanggilan dapat berakibat batalnya pemeriksaan dan putusan meskipun para pihak hadir. 31 Dan bila petugas (jurusita/jurusita pegganti) lalai dalam melaksanakan tugasnya, tidak sesuai denga ketentuan yang berlaku tentang pemanggilan, maka pemanggilan tersebut tidak sah dan jurusita/jurusita pengganti itu wajib mengganti semua biaya pemanggilan dan wajib memanggil ulang, dan jurusita/jurusita pengganti dapat di tuntut ganti rugi oleh pihak yang merasa dirugikan. 32 Maka tugas jurusita/jurusita pengganti amat penting dalam usaha untuk memperlancar jalannya suatu perkara yang akan disidangkan atau sedang disidangkan, karena kelancaran dan kesesuaian pemanggilan dengan undang-undang yang berlaku akan mempengaruhi proses dan putusan akhir dari sidang suatu perkara. 31 Mukti Arto, Op. cit, hlm 65. 32 Abdul Manan, Op. cit, hlm. 91.