BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan. Jika air tidak tersedia, maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumber daya air menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan pertanian, khususnya pertanian beririgasi (Sutawan, 2001). Dalam perkembangannya, air juga merupakan sumber daya dan faktor dominan yang menentukan kinerja sektor pertanian, karena tidak ada satu pun tanaman pertanian dan ternak yang tidak memerlukan air. Meskipun perannya sangat strategis, namun pengelolaan air masih jauh dari harapan, sehingga air yang semestinya sahabat petani berubah menjadi penyebab bencana bagi petani. Indikatornya, di musim kemarau, ladang dan sawah sering kali kekeringan dan sebaliknya di musim penghujan, ladang dan sawah banyak yang terendam air. Secara kuantitas, permasalahan air bagi pertanian terutama di lahan kering adalah persoalan ketidaksesuaian distribusi air antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) menurut waktu (temporal) dan tempat (spatial). Persoalan menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi karena pasokan air tergantung dari sebarannya yang tidak merata walau di musim hujan sekalipun. Oleh karena itu, diperlukan teknologi tepat guna, murah dan dapat dipakai (applicable) untuk mengatur ketersediaan air agar dapat memenuhi kebutuhan air (water demand) yang semakin sulit dilakukan dengan cara-cara alamiah (natural manner). 1
2 Teknologi embung atau tendon air merupakan salah satu pilihan, karena teknologinya sederhana, biayanya relatif murah dan dapat dijangkau kemampuan petani (Irianto, 2007). Menurut Kasiro, dkk. (1997), pengembangan sistem embung dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Embung Irigasi, yaitu embung yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air bagi daerah irigasi, pada saat tidak ada lagi hujan turun atau setelah musim hujan berakhir. 2. Embung Kecil, yaitu embung yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk, air minum untuk ternak dan menyiram tanaman di pekarangan. Pemerintah setiap tahun selalu mengalokasikan dana untuk pembangunan di berbagai sektor, salah satu program tersebut adalah pembangunan embung. Untuk Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Karangasem, juga memperoleh bantuan pembangunan embung, yang bertujuan untuk mengatasi kelangkaan air di daerah tersebut, terutama di musim kemarau. Menurut harian Bisnis Bali (18 April 2009), beberapa embung yang sudah dibangun di Kabupaten Karangasem meliputi Embung Seraya, berkapasitas 73.000 m 3, dibangun tahun 1996, Embung Baturinggit berkapasitas 14.048 m 3, dibangun tahun 2007, Embung Kedampal berkapasitas 16.250 m 3 dibangun tahun 2007, bersumber dari dana APBN. Sedangkan embung yang dibangun dari dana APBD Provinsi Bali antara lain Embung Nangka, atas bantuan gubernur, dibangun tahun 2006, berkapasitas 6.231 m 3, Embung Ban berkapasitas 16.750
3 m 3, dibangun tahun 2006, Embung Puragae berkapasitas 14.000 m 3 dibangun tahun 2006, Embung Pasar Agung berkapasitas 4.432 m 3 dibangun tahun 2000, Embung Tukad Mantri Jumeneng dibangun tahun 2008, berkapasitas 4.000 m 3. Sedangkan embung-embung yang dibangun dengan sumber pendanaan APBD II meliputi Embung Yeh Kori, berkapasitas 5.133 m 3, dibangun tahun 2006 dan Embung Batudawa yang berkapasitas 8.000 m 3. Keberadaan embung-embung yang dibangun di Kabupaten Karangasem, seluruhnya dapat dikategorikan sebagai embung kecil, karena embung-embung tersebut difungsikan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, ternak serta sedikit kebun. Dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, disebutkan bahwa sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Hal ini berarti bangunan embung merupakan salah satu sumber air yang ada, yaitu sumber air buatan. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air terdiri atas pemeliharaan sumber air, serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air. Dalam hal ini, masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air, termasuk terhadap bangunan embung. Untuk mendapatkan hasil dan manfaat yang maksimal dari pembangunan embung, perlu didukung dengan pola pengoperasian dan pemeliharaan embung beserta bangunan-bangunan pelengkapnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti pengoperasian bangunan-bangunan peleng-
4 kap tidak sesuai standar, sehingga dapat menurunkan fungsinya dan berakibat cepat rusaknya embung. Menurut Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) Nomor 7 Tahun 2004, pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air didasarkan atas rencana tahunan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA, yang ditetapkan oleh menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, setelah mendapat pertimbangan dari wadah koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA). Pada pasal 44 ayat 1 UU SDA, menyebutkan bahwa operasi dan pemeliharaan prasarana SDA yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau pengelola SDA air, dapat melibatkan peran/partisipasi masyarakat. Operasi embung/waduk adalah usaha-usaha untuk memanfaatkan suatu sarana dan prasarana yang telah dibangun secara optimal, sesuai dengan fungsinya. Dalam hal ini, operasi embung/waduk adalah usaha-usaha memanfaatkan air yang tertampung pada tampungan efektif secara optimal. Sedangkan pemeliharaan embung/waduk adalah usaha-usaha untuk menjaga agar sarana prasarana yang ada selalu dapat berfungsi dengan baik, selama umur bangunan embung dan jangka waktu pelayanan yang direncanakan (Suripin, 2004). Operasional pengelolaan air embung di Kabupaten Karangasem sejauh ini dilakukan oleh masyarakat pemakai air melalui perwakilan warga yang ditugaskan sebagai mandor/penjaga embung, yang telah mendapat persetujuan dari dinas terkait. Sedangkan petugas dari dinas pemerintah (Dinas Pekerjaan
5 Umum) berperan sebagai penyuluh/pembina, yang dalam struktur organisasi pengelolaan embung dinamakan Pengamat embung. Di dalam mengatur penggunaan air embung, berdasarkan kesepakatan diantara warga pemakai air embung, bagi masyarakat yang telah memiliki bak penampungan air (cubang), setelah musim hujan berakhir, mereka menggunakan air yang ada dalam cubang terlebih dahulu. Setelah air dalam cubang tersebut habis dipergunakan, masyarakat melaporkan kepada mandor/penjaga embung untuk membuka saluran pengeluaran (outlet), sehingga masyarakat dapat memanfaatkan air embung bagi kebutuhan air bersih dan ternak/kebun. Pemeliharaan embung di Kabupaten Karangasem dilakukan masih mengandalkan dari pemerintah (Dinas PU/Balai Wilayah Sungai Bali Penida), terutama terhadap kegiatan perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana embung. Jika ada kerusakan terhadap sarana dan prasarana tersebut, masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh mandor/penjaga embung akan melaporkan kepada pengamat embung secara langsung atau pada acara rapat bulanan yang rutin diadakan di kantor Dinas PU Kabupaten Karangasem. Pemeliharaan terhadap vegetasi dengan menjaga keasrian daerah hulu dan sekitar embung, serta kebersihan dalam tampungan, dilakukan atas partisipasi masyarakat di daerah layanan embung. Pemeliharaan embung terhadap kebersihan dilakukan dengan jalan tidak membuang sampah (baik padat/cair) ke dalam tampungan embung, serta kebersihan dari rumput pengganggu yang dapat menghambat operasional embung. Terhadap pengamanan bangunan embung, peran masyarakat juga dapat dilihat dari partisipasi untuk melarang mandi di kolam tampungan serta melarang
6 hewan ternak (sapi/kerbau/kambing) supaya tidak masuk ke areal embung, sehingga sedapat mungkin dapat menghindari rusaknya lapisan membran pada embung. Embung-embung yang telah dibangun, beberapa diantaranya berfungsi dengan baik. Akan tetapi beberapa buah lainnya mengalami penurunan fungsi. Sedangkan masyarakat mengharapkan bangunan tersebut dapat menjamin kelangsungan hidup mereka, terutama jaminan akan adanya air untuk kebutuhan rumah tangga, peternakan, maupun sedikit kebun. Menurunnya fungsi embung biasanya disebabkan oleh beberapa aspek, misalnya mekanisme kerja tidak optimal, operasional dan pemeliharaan tidak sesuai dengan perencanaan semula, serta kurang memperhatikan aturan pemakaian air embung. Harian Bali Post tanggal 13 Maret 2010, memberitakan bahwa dua buah embung yang dibangun di Kabupaten Karangasem, tidak dapat dimanfaatkan. Embung tersebut adalah embung Puragae dan embung Ban. Embung Puragae yang terletak di Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, sudah pecah serta plastik pelapisnya robek, sehingga airnya tidak bisa dinikmati oleh penduduk sekitarnya. Hal ini disebabkan, embung yang dibangun pada aliran sungai dan di hulu embung, keadaan vegetasinya kurang terjaga, sehingga saat hujan lebat, air sungai langsung masuk ke dalam embung dengan membawa sedimentasi seperti pasir, batu, tanah, maupun sampah. Akibatnya, plastik membran embung robek terkena pasir dan batu-batuan besar, sehingga bocor. Dengan demikian, warga setempat, setiap musim kemarau, terpaksa membeli air bersih yang dipasok dari mata air Arca di Menanga. Padahal, masyarakat sangat berharap dapat merasakan manfaat
7 dari pembangunan embung tersebut, diantaranya untuk keperluan sehari-hari (MCK), minum ternak sapi dan kambing, serta menyiram sayur-mayur di ladang. Sedangkan embung Ban yang berlokasi di Desa Ban, Kecamatan Kubu, juga tidak bisa dimanfaatkan oleh penduduk. Hal ini disebabkan oleh pembangunan embung dilakukan tanpa pengaman, serta tidak adanya pepohonan di pinggir embung, dimana kontur tanahnya juga agak bertebing. Tebing di sebelahnya longsor dan longsorannya masuk ke dalam embung. Selain itu, airnya keruh dan berbau busuk, sehingga warga tidak berani memanfaatkan untuk konsumsi. Permasalahan beberapa embung tersebut erat kaitannya dengan tata guna lahan dan vegetasi di daerah hulu maupun sekitar embung. Untuk daerah dengan topografi yang berbukit, hendaknya bercocok tanam dilakukan dengan sistem terasering, sehingga dapat mengurangi adanya longsor. Dengan terpeliharanya vegetasi di daerah tersebut, maka laju erosi menuju bangunan embung dapat dijaga, sehingga dapat mengurangi adanya sedimentasi yang berupa pasir/batu masuk ke kolam penampungan air. Maka, salah satu cara untuk menanggulangi adanya erosi dan sedimentasi ke dalam bangunan embung adalah dengan cara melakukan reboisasi, baik di hulu maupun sekitar embung. Menurut Susilawati (2009), dengan adanya sistem pengoperasian dan pemeliharaan yang tidak jelas, maka sangat diragukan keberlanjutan sistem dari tampungan embung yang ada. Situasi ini terjadi karena lemahnya sosialisasi pembangunan embung kepada masyarakat, pendekatan sosial masyarakat yang kurang tepat, kinerja pembangunan yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat setempat, sehingga tidak muncul adanya rasa memiliki dan ikut serta
8 memeliharanya. Aspek-aspek kelembagaan yang bertanggung jawab, organisasi pemakai air, sistem operasi dan pemeliharaan yang tidak nampak dalam pengelolaan embung, pemberdayaan masyarakat tidak direncanakan, tidak ada sosialisasi, pendidikan dan pelatihan masyarakat, menyebabkan sistem ini tidak berlanjut, dalam arti bahwa setelah proyek pembangunan selesai, maka tidak ada kegiatan lebih lanjut, dan embung menjadi tidak berfungsi lagi. Hal ini menggambarkan bahwa sistem pengelolaan dan pemeliharaan bangunan embung di daerah memiliki kelemahan dan ketidakjelasan. Apalagi kebanyakan embung yang telah selesai dibangun belum diserahkan kepada pemerintah setempat, sehingga tidak jelas pihak yang bertanggung jawab atas operasi dan pemeliharaan. Di samping itu, terdapat kendala transportasi petugas pemerintah ke lokasi embung, yang dapat menye-babkan tidak adanya koordinasi dan informasi lebih lanjut. Menurut Azdan (2008), bahwa ancaman keberlanjutan fungsi embung/waduk disebabkan oleh sedimentasi, sehingga dapat mengurangi kapasitas tampungannya, yang diakibatkan oleh tingginya tingkat erosi yang terjadi di daerah hulu. Hal ini karena adanya kerusakan hutan budidaya dan lahan pertanian di daerah hulu. Oleh karena itu upaya-upaya vegetasi dalam konservasi hutan harus dilakukan secepatnya. Upaya vegetasi ini tidak bisa langsung dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam waktu tersebut, kebutuhan air semakin meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat maupun pertambahan penduduk. Beberapa embung yang telah dibangun di Kabupaten Karangasem telah dilengkapi dengan cek-dam, sebagai sarana mencegah sedimen mengalir secara
9 langsung ke dalam kolam embung. Pengoptimalan fungsi bangunan cek-dam juga dapat dilakukan agar sedimen sudah dapat termitigasi sebelum masuk ke dalam embung. Operasi dan pemeliharaan cek-dam ini hendaknya dapat memanfaatkan komunitas penggali pasir yang berbasis masyarakat, sehingga dicapai bentuk kerjasama yang sinergis dan saling menguntungkan. Faktor sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor yang dapat memberikan kontribusi terhadap operasi dan pemeliharan embung. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan yang dimiliki masyarakat akan mempengaruhi terhadap pandangan dan kesadaran akan kebutuhan teknologi sebagai sarana menuju perbaikan kehidupan, dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada di tengah masyarakat, dalam hal ini permasalahan terhadap kelangkaan air. Terkait sumber daya manusia di daerah layanan embung yang terdapat di Kabupaten Karangasem, pada umumnya taraf tingkat pendidikan masyarakatnya relatif masih rendah. Hal ini merupakan kendala dalam melibatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan embung. Dengan demikian, untuk meningkatkan peran/partisipasi masyarakat, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang keberadaan teknologi embung ini, baik tentang manfaat, pengoperasian serta pemeliharaannya. Menurut Oakley (1991), konsep partisipasi masyarakat dibagi dalam tiga pengertian pokok, yaitu partisipasi sebagai kontribusi (kontribusi dana, sarana, pemikiran dan tenaga), partisipasi sebagai organisasi dan partisipasi sebagai pemberdayaan. Kontribusi pendanaan adalah hal yang penting dalam menggerakkan aktifitas, apalagi terhadap O&P embung, sehingga dengan adanya
10 kontribusi akan dapat menunjang dan menumbuhkan partisipasi masyarakat secara langsung dalam bentuk kontribusi pemikiran dan tenaga, dalam pengelolaan bangunan embung. Sedangkan partisipasi sebagai organisasi berperan dalam mengkoordinir segala kegiatan, baik terhadap koordinasi antar anggota masyarakat pengguna air, antara pengurus dan pihak pemerintah, maupun antara pemerintah pusat dan daerah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan yang dijelaskan pada latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana partisipasi masyarakat pemakai air embung dalam operasi dan pemeliharaan bangunan embung di Kabupaten Karangasem. b. Bagaimana pengaruhnya dari faktor sumber daya manusia (SDM), pendanaan, pemikiran dan tenaga, serta organisasi kelompok masyarakat pemakai air embung (kelembagaan), dalam operasi dan pemeliharaan embung. c. Manakah diantara faktor-faktor sumber daya manusia (SDM), pendanaan, pemikiran dan tenaga, serta organisasi kelompok masyarakat pemakai air embung (kelembagaan), yang berpengaruh secara dominan dalam operasi dan pemeliharaan embung di Kabupaten karangasem.
11 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang disampaikan diatas, yaitu untuk mengetahui : a. Partisipasi masyarakat pemakai air embung dalam operasi dan pemeliharaan embung di Kabupaten Karangasem. b. Pengaruh dari faktor sumber daya manusia (SDM), pendanaan, pemikiran dan tenaga, serta organisasi kelompok masyarakat pemakai air embung (kelembagaan), dalam operasi dan pemeliharaan embung. c. Faktor-faktor dari variabel sumber daya manusia (SDM), pendanaan, pemikiran dan tenaga, serta organisasi kelompok masyarakat pemakai air embung (kelembagaan) yang berpengaruh secara dominan dalam operasi dan pemeliharaan embung di Kabupaten Karangasem. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui gambaran peran serta masyarakat pemakai air embung di daerah layanan, dalam pengelolaan operasional dan pemeliharaan embung di Kabupaten Karangasem. Di samping itu dapat menambah referensi tentang mengoptimalkan pemanfaatan dan kegunaan bangunan embung bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air. Sedangkan bagi instansi terkait, penelitian ini kiranya bisa memberikan salah satu evaluasi pengembangan teknologi embung di daerah semi kering, dan diharapkan mendapatkan rekomendasi prioritas perbaikan/penanganan bangunan embung serta membuat/mereview panduan/modul operasional dan pemeliharaan embung sebagai acuan masyarakat pengguna embung.
12 1.5 Batasan Masalah Dalam hal ini peneliti akan melakukan pembatasan, dimana embungembung yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Embung yang tahun pembuatan/pengerjaan sebelum tahun 2009, karena embung yang ada setelah tahun ini, pada saat penelitian ini dilakukan masih dalam tahap uji coba. 2. Embung-embung yang dalam kondisi masih dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah layanan.