V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil Temuan Analisis Simulasi Input-Output Sumbawa Barat dan Keunggulan Komparatif Wilayah

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2016 MENCAPAI 5,19 PERSEN

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2015 MENCAPAI 4,86 PERSEN

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

BAB I PENDAHULUAN. pengalihan pembiayaan. Ditinjau dari aspek kemandirian daerah, pelaksanaan otonomi

indikator keberhasilan kegiatan ekonomi daerah tersebut. Provinsi Bali merupakan

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

8.1. Keuangan Daerah APBD

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah untuk pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi memiliki

BAB I PENDAHULUAN. pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan sila Pancasila

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

9.1. Analisis LQ Sektor Jembrana Terhadap Sektor Propinsi Bali

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB I PENDAHULUAN. diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Arsyad (1999), inti permasalahan yang biasanya terjadi dalam

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

ISU STRATEGIS PROVINSI DALAM PENYUSUNAN RKP 2012

III. METODOLOGI PENELITIAN. tujuan penelitian. Wilayah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2014

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 1. Keadaan Geografi Kabupaten Badung. satu kota di Bali yang mempunyai wilayah seluas 418,52 km 2 atau 41.

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

Tinjauan Ekonomi. Keuangan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGANGGURAN NUSA TENGGARA TIMUR AGUSTUS 2010

HASIL DAN PEMBAHASAN Pewilayahan Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Banten

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2015

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

HALAMAN PENGESAHAN...

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

Pemerintah Kabupaten Bantul. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir TA 2007 Kabupaten Bantul

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan dan hasilnya. Di awal pelita, yaitu pelita I, titik berat

D A F T A R I S I Halaman

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 65 TAHUN 2006 TENTANG TAMBAHAN BANTUAN PAJAK HOTEL DAN PAJAK RESTORAN

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

BAB III METODE PENELITIAN. data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi Produk Domestik

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

Judul : Analisis Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Bali Nama : Luh Nyoman Fajar Nur Ayu NIM : Abstrak

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

Produk Domestik Regional Bruto

3. Kondisi Ekonomi Makro Daerah

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 30 TAHUN 2005 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Sebelum Transformasi Sektor pertambangan memiliki peran yang sangat signifikan bagi pembentukan nilai output Kabupaten Sumbawa Barat dengan nilai terbesar yakni Rp.11,218 triliun dari 34 sektor dalam Tabel input-output berdasarkan transaksi total atas dasar harga produsen tahun 2007 (Lampiran 2). Disebabkan karena seluruh output pertambangan yang berupa konsentrat diekspor untuk diolah kembali pada pabrik pengolahan diluar negeri maka nilai eksport pertambangan juga menempati peringkat terbesar dari seluruh sektor dimana nilainya sama dengan nilai output diatas. Sebagaimana telah disajikan pada Bab Pendahuluan, sektor pertambangan sangat dominan terhadap pembentukan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Sumbawa Barat sejak tambang tembaga dan emas mulai beroperasi tahun 2000. Dominasi sektor pertambangan terhadap PDRB 2000-2006 diperlihatkan pada Tabel 23 dibawah ini. Tabel 23. Struktur Perekonomian dan Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab. Sumbawa Barat ADHK 2000-2006 Ratarata No Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Pertanian 3,23 2,24 2,73 2,85 1,81 1,71 1.75 2.36 2. Pertambangan 92,30 94,17 93,28 92,71 95,24 95,26 95.03 94.00 dan Penggalian 3. Industri 0,24 0,18 0,20 0,23 0,15 0,14 0.14 0.18 Penggolahan 4. Listrik, Gas & Air 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0.02 0.02 Bersih 5. Bangunan 0,88 0,66 0,78 0,86 0,58 0,58 0.63 0.71 6. Perdagangan, 1,54 1,20 1,40 1,58 1,02 1,05 1.11 1.27 Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & 0,87 0,64 0,81 0,87 0,58 0,65 0.69 0.73 Komunikasi 8. Keu. Persewaan 0,21 0,15 0,18 0,20 0,14 0,14 0.15 0.17 &Jasa Preusan 9. Jasa-Jasa 0,70 0,53 0,60 0,67 0,46 0,45 0.48 0.56 10. PDRB Total (juta rp) 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber : data diolah, 2009

No 5.2. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Setelah Transformasi dari Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan 5.2.1. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat dengan dan Tanpa Pertambangan Setelah dilakukan simulasi dengan mengkonstruksi tabel input-ouput Sumbawa Barat tahun 2007 dengan menjadikan tabel interregional input output NTB 2005 sebagai proyeksi untuk perkembangan struktur perekonomian Sumbawa Barat mirip perkembangan perekonomian NTB dengan struktur sektor ekonomi yang sama jumlah dan detilnya maka diperoleh Tabel input output baru yang terdiri dari 20 sektor sebagai hasil simulasi. Lampiran 4 dan 5 adalah tabel input-output Sumbawa Barat dan NTB yang terdiri dari 20 sektor tahun 2009 sebagai hasil simulasi. Apabila tambang Newmont diasumsikan habis tahun 2009 maka sektor strategis yang dapat dikembangkan di Sumbawa Barat dari lima sektor dengan nilai terbesar secara berurutan yakni pertanian (33,60 %), perdagangan, hotel dan restoran (20,97 %), bangunan (17,16 %), jasa-jasa (14,17 %) serta pengangkutan dan komunikasi (10,05%). Tabel 24 menunjukkan perbandingan PDRB dengan dan tanpa tambang. Tabel 24. Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB Kab. Sumbawa Barat ADHK 2000-2006 dan Simulasi Struktur Ekonomi (PDRB) 2009 dengan dan Tanpa Tambang Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Input- Output Simulasi 2009 dengan Tambang (%) Input- Output Simulasi 2009 tanpa Tambang (%) 1. Pertanian 3,23 2,24 2,73 2,85 1,81 1,71 1.75 1.68 33.60 2. Pertambangan dan 92,30 94,17 93,28 92,71 95,24 95,26 95.03 95.01 Penggalian 3. Industri 0,24 0,18 0,20 0,23 0,15 0,14 0.14 0.13 2.68 Penggolahan 4. Listrik, Gas & Air 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0.02 0.04 0.80 Bersih 5. Bangunan 0,88 0,66 0,78 0,86 0,58 0,58 0.63 0.86 17.16 6. Perdagangan, 1,54 1,20 1,40 1,58 1,02 1,05 1.11 1.05 20.97 Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & 0,87 0,64 0,81 0,87 0,58 0,65 0.69 0.50 10.05 Komunikasi 8. Keu. Persewaan 0,21 0,15 0,18 0,20 0,14 0,14 0.15 0.03 0.58 &Jasa Preusan 9. Jasa-Jasa 0,70 0,53 0,60 0,67 0,46 0,45 0.48 0.71 14.17 10. PDRB Total (juta rp) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber : PDRB dan Input-Output diolah, 2009 84

5.2.2. Keterkaitan Antar Sektor yang dapat dikembangkan untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor Non Pertambangan Lainnya A. Keterkaitan Langsung Kebelakang Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong permintaan (demand driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut rangking nilai indeks keterkaitan langsung kebelakang yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung kebelakang ditunjukkan pada Tabel 25 dibawah ini. Tabel 25. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kebelakang Ranking No Sektor Sektor Indeks Keterkaitan Langsung Kebelakang 1 8 Industri Makanan dan Minuman 0.29 2 14 Hotel dan Restoran 0.22 3 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.14 4 4 Peternakan 0.08 5 6 Perikanan 0.06 6 3 Perkebunan 0.04 7 1 Pertanian Padi 0.04 8 12 Bangunan 0.04 9 2 Pertanian Pangan Lainnya 0.03 10 13 Perdagangan 0.01 11 18 Lembaga Keuangan 0.01 12 17 Komunikasi 0.01 13 15 Angkutan Darat 0.01 14 20 Jasa-jasa Lainnya 0.01 15 7 Pertambangan dan Penggalian 0.01 16 10 Industri Pengolahan Lainnya 0.00 17 9 Industri Tekstil 0.00 18 5 Kehutanan 0.00 19 16 Angkutan Lainnya 0.00 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 0.00 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 85

B. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kebelakang Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong permintaan (demand driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang (multiplier output) yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi serta pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, jasajasa lainnya serta angkutan darat. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang ditunjukkan pada Tabel 26 dibawah ini. Tabel 26. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kebelakang Rangking No Sektor Sektor Indeks Keterkaitan Tidak langsung Kebelakang 1 8 Industri Makanan dan Minuman 0.08 2 14 Hotel dan Restoran 0.07 3 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.06 4 4 Peternakan 0.05 5 6 Perikanan 0.05 6 3 Perkebunan 0.05 7 1 Pertanian Padi 0.05 8 12 Bangunan 0.05 9 2 Pertanian Pangan Lainnya 0.05 10 13 Perdagangan 0.05 11 18 Lembaga Keuangan 0.05 12 17 Komunikasi 0.05 13 20 Jasa-jasa Lainnya 0.05 14 15 Angkutan Darat 0.05 15 7 Pertambangan dan Penggalian 0.05 16 10 Industri Pengolahan Lainnya 0.04 17 9 Industri Tekstil 0.04 18 5 Kehutanan 0.04 19 16 Angkutan Lainnya 0.04 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 0.04 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 86

C. Keterkaitan Langsung Kedepan Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal yang dapat mendorong penawaran (supply driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung kedepan yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti pertanian padi, perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya dan perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung kedepan ditunjukan pada Tabel 27. Tabel 27. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Langsung Kedepan Rangking No Sektor Sektor Indeks Keterkaitan Langsung kedepan 1 1 Pertanian Padi 0.25 2 6 Perikanan 0.21 3 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.13 4 4 Peternakan 0.13 5 13 Perdagangan 0.08 6 2 Pertanian Pangan Lainnya 0.06 7 3 Perkebunan 0.05 8 15 Angkutan Darat 0.03 9 8 Industri Makanan dan Minuman 0.02 10 17 Komunikasi 0.01 11 10 Industri Pengolahan Lainnya 0.01 12 20 Jasa-jasa Lainnya 0.01 13 7 Pertambangan dan Penggalian 0.01 14 12 Bangunan 0.01 15 5 Kehutanan 0.01 16 18 Lembaga Keuangan 0.01 17 14 Hotel dan Restoran 0.00 18 9 Industri Tekstil 0.00 19 16 Angkutan Lainnya 0.00 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 0.00 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 87

D. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kedepan Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi yang dapat mendorong penawaran (supply driven) dalam jangka pendek, menengah dan panjang menurut nilai indeks keterkaitan langsung kedepan yang besar justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti pertanian padi, perikanan, peternakan, pertanian pangan lainnya serta perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah listrik, gas dan air bersih, perdagangan, angkutan darat, industri makanan dan minuman, komunikasi, industri pengolahan lainnya serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking indeks keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28. Ringkasan Rangking Indeks Keterkaitan Tidak Langsung Kedepan Rangking No Sektor Sektor Indeks Keterkaitan Tidak Langsung kedepan 1 1 Pertanian Padi 0.07 2 6 Perikanan 0.07 3 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.06 4 4 Peternakan 0.06 5 13 Perdagangan 0.05 6 2 Pertanian Pangan Lainnya 0.05 7 3 Perkebunan 0.05 8 15 Angkutan Darat 0.05 9 8 Industri Makanan dan Minuman 0.05 10 17 Komunikasi 0.05 11 10 Industri Pengolahan Lainnya 0.05 12 20 Jasa-jasa Lainnya 0.05 13 7 Pertambangan dan Penggalian 0.05 14 12 Bangunan 0.05 15 5 Kehutanan 0.04 16 18 Lembaga Keuangan 0.04 17 14 Hotel dan Restoran 0.04 18 9 Industri Tekstil 0.04 19 16 Angkutan Lainnya 0.04 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 0.04 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 88

Ringkasan indeks keterkaitan langsung kebelakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung kebelakang, keterkaitan langsung kedepan, keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan ditunjukkan pada lampiran 6. 5.2.3. Dampak Pengganda (multiplier effect) Sektor yang dapat dikembangkan untuk Sumberdaya Lokal Terbarukan dan Sektor non Pertambangan lainnya A. Dampak Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan indeks pengganda pendapatan rumah tangga justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi serta pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi, angkutan darat serta jasa-jasa lainnya. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda pendapatan rumah tangga ditunjukkan pada Tabel 29 dibawah ini. Tabel 29. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Rumah Tangga (MUPRt) Ranking No Sektor Sektor Pengganda Pendapatan RT (MUPRt) 1 8 Industri Makanan dan Minuman 11.23 2 14 Hotel dan Restoran 1.93 3 9 Industri Tekstil 1.63 4 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.35 5 4 Peternakan 1.23 6 10 Industri Pengolahan Lainnya 1.19 7 6 Perikanan 1.13 8 3 Perkebunan 1.12 9 1 Pertanian Padi 1.08 10 2 Pertanian Pangan Lainnya 1.07 11 20 Jasa-jasa Lainnya 1.06 12 16 Angkutan Lainnya 1.04 13 12 Bangunan 1.04 14 13 Perdagangan 1.04 15 17 Komunikasi 1.03 16 18 Lembaga Keuangan 1.02 17 15 Angkutan Darat 1.02 18 7 Pertambangan dan Penggalian 1.02 19 5 Kehutanan 1.01 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 1.00 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 89

B. Dampak Pengganda Surplus Usaha Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk menarik minat investor menanamkan modalnya berdasarkan indeks pengganda surplus usaha justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, lembaga keuangan, perdagangan, jasa-jasa lainnya, komunikasi serta angkutan darat. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda surplus usaha ditunjukkan pada Tabel 30 dibawah ini. Tabel 30. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Surplus Usaha (MUSuS) Rangking No Sektor Sektor Pengganda Surplus Usaha (MuSuS) 1 8 Industri Makanan dan Minuman 6.20 2 9 Industri Tekstil 2.44 3 14 Hotel dan Restoran 1.92 4 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.46 5 10 Industri Pengolahan Lainnya 1.23 6 4 Peternakan 1.22 7 6 Perikanan 1.15 8 12 Bangunan 1.11 9 3 Perkebunan 1.11 10 1 Pertanian Padi 1.10 11 2 Pertanian Pangan Lainnya 1.07 12 16 Angkutan Lainnya 1.04 13 18 Lembaga Keuangan 1.03 14 13 Perdagangan 1.02 15 20 Jasa-jasa Lainnya 1.02 16 17 Komunikasi 1.02 17 15 Angkutan Darat 1.02 18 7 Pertambangan dan Penggalian 1.01 19 5 Kehutanan 1.01 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 1.00 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 90

C. Dampak Pengganda Pendapatan Pajak Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian fiskal pemerintah Sumbawa Barat berdasarkan indeks pengganda pendapatan pajak justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti perikanan, peternakan, kehutanan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya dan perkebunan. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri tekstil, industri makanan dan minuman, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, jasa-jasa lainnya, bangunan, hotel dan restoran, angkutan lainnya, komunikasi, angkutan darat serta lembaga keuangan. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda pendapatan pajak ditunjukkan pada Tabel 31. Tabel 31. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Pendapatan Pajak (MUPPj) Rangking No Sektor Sektor Multiplier Pendapatan Pajak (MuPPj) 1 9 Industri Tekstil 7.46 2 8 Industri Makanan dan Minuman 6.75 3 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 2.39 4 6 Perikanan 1.91 5 10 Industri Pengolahan Lainnya 1.47 6 20 Jasa-jasa Lainnya 1.40 7 4 Peternakan 1.40 8 5 Kehutanan 1.32 9 1 Pertanian Padi 1.16 10 2 Pertanian Pangan Lainnya 1.16 11 3 Perkebunan 1.13 12 12 Bangunan 1.13 13 14 Hotel dan Restoran 1.08 14 16 Angkutan Lainnya 1.07 15 17 Komunikasi 1.04 16 15 Angkutan Darat 1.02 17 18 Lembaga Keuangan 1.01 18 7 Pertambangan dan Penggalian 1.01 19 13 Perdagangan 1.01 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 1.00 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 91

D. Dampak Pengganda Nilai Tambah Total Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk memacu pertumbuhan perekonomian berdasarkan indeks pengganda nilai tambah total justru bukan pertambangan (pertambangan sebagai batas ranking indeks) melainkan sektor terbarukan seperti peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi, pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, industri tekstil, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih, industri pengolahan lainnya, bangunan, angkutan lainnya, jasa-jasa lainnya, perdagangan, lembaga keuangan, komunikasi serta angkutan darat. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda nilai tambah total ditunjukkan pada Tabel 32. Tabel 32. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Nilai Tambah Total (MUNTT) Rangking No Sektor Sektor Pengganda Nilai Tambah Total (MuNTT) 1 8 Industri Makanan dan Minuman 7.46 2 9 Industri Tekstil 2.10 3 14 Hotel dan Restoran 1.88 4 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.41 5 4 Peternakan 1.22 6 10 Industri Pengolahan Lainnya 1.22 7 6 Perikanan 1.14 8 3 Perkebunan 1.11 9 1 Pertanian Padi 1.09 10 12 Bangunan 1.08 11 2 Pertanian Pangan Lainnya 1.07 12 16 Angkutan Lainnya 1.04 13 20 Jasa-jasa Lainnya 1.03 14 13 Perdagangan 1.03 15 18 Lembaga Keuangan 1.02 16 17 Komunikasi 1.02 17 15 Angkutan Darat 1.02 18 7 Pertambangan dan Penggalian 1.01 19 5 Kehutanan 1.01 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 1.00 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 92

D. Dampak Pengganda Tenaga Kerja Arah transformasi struktur pengembangan sektor ekonomi lokal dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat berdasarkan indeks pengganda tenaga kerja untuk sektor terbarukan adalah peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian padi dan pertanian pangan lainnya. Sedangkan sektor non tambang lainnya yang dapat dikembangkan adalah industri makanan dan minuman, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan lainnya, hotel dan restoran, perdagangan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, jasa-jasa lainnya, angkutan darat, komunikasi, lembaga keuangan dan industri tekstil. Sektor pertambangan memiliki indeks pengganda tenaga kerja pada rangking nomor dua karena selama masa operasi pertambangan banyak menciptakan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Sumbawa Barat maupun tenaga kerja dari luar Sumbawa Barat dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 4237 orang hingga tahun 2007. Ringkasan rangking sektor berdasarkan pengganda nilai tambah total ditunjukkan pada Tabel 33. Tabel 33. Ringkasan Rangking Sektor Berdasarkan Pengganda Tenaga Kerja (MUTk) Ranking No Sektor 1 8 Industri Makanan dan Minuman 12.160 2 7 Pertambangan dan Penggalian 2.003 3 10 Industri Pengolahan Lainnya 1.629 4 14 Hotel dan Restoran 1.491 5 13 Perdagangan 1.487 6 11 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.294 7 12 Bangunan 1.263 8 4 Peternakan 1.222 9 20 Jasa-jasa Lainnya 1.199 10 15 Angkutan Darat 1.177 11 6 Perikanan 1.135 12 17 Komunikasi 1.125 13 3 Perkebunan 1.108 14 1 Pertanian Padi 1.081 15 2 Pertanian Pangan Lainnya 1.059 16 18 Lembaga Keuangan 1.056 17 9 Industri Tekstil 1.010 18 16 Angkutan Lainnya 1.000 19 5 Kehutanan 1.000 20 19 Pemerintahan Umum dan Pertahanan 1.000 Sumber : Input-Output NTB dan KSB diolah, 2009 Multiplier TK Ringkasan hasil analisis pengganda pendapatan rumah tangga, surplus usaha, pendapatan pajak, nilai tambah total dan tenaga kerja ditunjukkan pada lampiran 7. 93

5.2.4. Keunggulan Komparatif Wilayah Sektor-sektor yang merupakan unggulan komparatif wilayah Kabupaten Sumbawa Barat berdasarkan produksi komoditi pertanian dalam arti luas menurut analisis location quotient (LQ) dengan nilai lebih besar dari satu menjustifikasi hasil temuan Input-Output sebagai prasyarat terjadinya transformasi struktur perekonomian dari pertambangan ke sektor yang dapat diperbaharui (renewable resources). Sektorsektor unggulan yang dapat dikembangkan didaerah tersebut dengan nilai LQ terbesar adalah produksi penangkapan ikan di danau (38,888), produksi budidaya ikan tambak (13,523), produksi penangkapan ikan di waduk/dam (4,986), peternakan (3,085), kedelai (3,187), jagung (1,605) dan padi (1,873) (Gambar 26) Gambar 26. Grafik Location Quotient Produksi Pertanian di Sumbawa Barat Sumber : Posed BPS 2003, diolah Pengembangan sektor pertanian dalam arti luas yang mempunyai keunggulan komparatif berdasarkan produksi diatas pengembangannya juga didukung oleh ketersediaan lahan yang luas di Kabupaten Sumbawa Barat. Menurut analisis location quation (LQ) dengan nilai lebih besar dari satu satuan masih terdapat lahan kritis dan luas tanamannya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Nilai LQ berdasarkan luas lahan di Kabupaten Sumbawa Barat secara berurutan adalah luas tanaman lainnya (3,972), luas lahan kritis (1,691), luas tanaman kedelai (1,525) dan luas tanaman padi (1,115) (Gambar 27) Pemusatan Penggunaan Luas Lahan di Kabupaten Sumbawa Barat menurut Location Quotient (LQ) Luas Lahan Kritis 1.691 Luas Tanam Lainnya 3.972 Luas Tanam Kedelai 1.525 Luas Tanam padi 1.115 0 1 2 3 4 5 Gambar 27. Grafik Location Quotient Luas Lahan Pertanian di Sumbawa Barat Sumber : Posed BPS 2003, diolah 94

5.3. Peran Penganggaran untuk Memperbaiki Kinerja Pembangunan 5.3.1. Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah Analisis variabel penciri faktor untuk konfigurasi spasial kinerja pembangunan daerah menggunakan principal component analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34. Tabel 34 menunjukkan hasil PCA untuk pola asosiasi variabel indikator penciri faktor kinerja pembangunan. Tabel 34. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Pembangunan Simbol Bidang Factor Factor Factor 1 2 3 X1 Pangsa Keluarga Miskin -0.655-0.314-0.142 X2 Laju PDRB 0.096-0.072 0.943 X3 Produktifitas Penduduk 0.167 0.869-0.283 X4 Produktifitas Wilayah 0.759 0.186 0.274 X5 Pangsa PAD 0.958-0.009-0.057 X7 PAD Perkapita 0.895 0.012-0.124 X8 PAD Luas Wilayah 0.954 0.039 0.131 X9 Tingkat Pengangguran 0.029 0.888 0.129 Expl.Var 3.672 1.683 1.117 Prp.Totl 0.459 0.210 0.140 Sumber : data diolah, 2009 Cat : Marked loadings are >.700000 LnIdx_Kpem1 = Indeks Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan LnIdx_Kpem2 = Indeks Ketimpangan Partisipasi Ekonomi LnIdx_Kpem3 = Indeks Laju Pertumbuhan Ekonomi Dari Tabel 34 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 34 menerangkan bahwa faktor 1 untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) terdapat suatu pola bahwa jika pangsa keluarga miskin menurun maka akan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kinerja pembangunan untuk produktifitas penduduk, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah. Terdapat pula suatu fenomena bahwa penurunan pangsa keluarga miskin juga disertai dengan peningkatan yang kecil dan tidak signifikan terhadap laju PDRB, produktifitas penduduk dan tingkat pengangguran. Untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 1 95

(Tabel 34) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. 2. Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa jika produktifitas penduduk meningkat maka tingkat pengangguran juga meningkat. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas ekonomi pertambangan yang sifatnya terisolir (enclave) menghasilkan nilai output yang luar biasa besar sehingga seolah-olah meningkatkan produktifitas penduduk (X3). Padahal sebenarnya sebagian besar masyarakat tidak terserap dalam aktifitas pertambangan. Untuk indeks ketimpangan partisipasi ekonomi (Kpem2) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 2 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. 3. Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola bahwa indeks laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) ternyata berdiri sendiri tidak punya kaitan dengan 8 variabel kinerja pembangunan yang lain. Bahkan berkorelasi negatif atau justru menyebabkan penurunan variabel pangsa keluarga miskin, produktifitas penduduk, pangsa PAD dan PAD Perkapita. Ini dapat terjadi karena adanya eksploitasi sumberdaya mineral yang bersifat massif bersifat terisolir secara ekonomi (enclave), kecilnya penggunaan sumberdaya lokal sehingga menyebabkan kebocoran regional bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam. Untuk indeks laju pertumbuhan ekonomi (Kpem3) Kabupaten Sumbawa Barat bersama Kab. Ngada NTT untuk faktor 3 (Tabel 35) diatas dengan karakteristik sedang diantara 34 Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT yang dianalisis. Gambar 28 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 29 menunjukkan kinerja pembangunan Kab/Kota di propinsi Bali, NTB dan NTT 96

Gambar 28. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 35. Kinerja Pembangunan Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Daerah Penciri Karakteristik Idx_Kpem1 Tinggi Tipologi I Kabupaten Badung, Kota Denpasar Idx_Kpem2 Sedang Idx_Kpem3 Sedang Idx_Kpem1 Sedang Tipologi II Kabupaten Sumbawa Barat, Ngada Idx_Kpem2 Sedang Idx_Kpem3 Sedang Kabupaten Bangli, Buleleng, Gianyar, Idx_Kpem1 Sedang Jembrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Bima, Dompu, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Idx_Kpem2 Tinggi Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Tipologi III Kupang, Lembata, Manggarai, Sikka, Idx_Kpem3 Rendah Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Rote Ndao, Manggarai Barat, Kota Mataram, Bima, dan Kupang Sumber : data diolah, 2009 Penciri Idx_Kpem1 Idx_Kpem2 Idx_Kpem3 Karakteristik Kinerja pembangunan dimensi produktifitas wilayah, kapasitas fiskal dan kesejahteraan masyarakat Kinerja pembangunan dimensi ketimpangan partisipasi ekonomi Kinerja pembangunan laju pertumbuhan ekonomi 97

5.3.2. Konfigurasi Spasial Pola Penganggaran Untuk konfigurasi spasial kinerja penganggaran dilakukan dengan menganalisis variabel penciri faktor masing-masing indikator seperti yang akan dibahas secara detil dibawah ini. A. Pola Penganggaran Perbidang. Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor kinerja penganggaran perbidang ditunjukkan pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Perbidang Simbol Bidang Factor (F1) Factor (F2) Factor (F3) 1 2 3 X80 Pendidikan dan Kebudayaan 0.913-0.139 0.104 X83 Permukiman 0.110 0.894 0.200 X88 Olahraga -0.239 0.890-0.107 X93 Pertambangan dan Energi -0.870-0.031 0.254 X97 Penanaman Modal -0.089 0.067 0.971 Expl.Var 1.668 1.616 1.068 Proporsi Total 0.334 0.323 0.214 Sumber : data diolah, 2009 Cat : - Marked loadings are >.700000 - Antar faktor tidak berkorelasi / ortogonalisasi - Indeks diversitas tidak masuk karena dianggap homogen LnIdx_KpS1 LnIdx_KpS2 LnIdx_KpS3 Dari Tabel 1 menjelaskan bahwa : 1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 36 menerangkan bahwa faktor 1 untuk realisasi anggaran pembangunan per bidang di 34 kab/kota tiga Propinsi yang dianalisis yakni Bali, NTB dan NTT terdapat suatu pola pengalokasian penganggaran bahwa bidang pendidikan dan kebudayaan berasosiasi dengan bidang pertambangan dan energi. Maknanya bahwa ketika APBD di fokuskan pada bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran untuk bidang pertambangan dan energi akan berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya. Alokasi anggaran bidang pertambangan secara umum di semua daerah yang dianalisis kecil karena investasi dibidang ini sifatnya padat modal, beresiko tinggi dan berada di daerah terpencil. Rasio keberhasilan eksplorasi umumnya dibawah 5%. 98

Dari hasil PCA juga diketahui bahwa pola penganggaran untuk bidang pertanian tidak muncul dalam analisis ini karena hampir homogen di setiap wilayah. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS1) untuk faktor 1 (Tabel 36) dengan karakteristik tinggi (Tabel 31). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pendidikan dan kebudayaan maka anggaran bidang pertambangan dan energi berkurang atau menurun, demikian pula sebaliknya, hal ini terjadi karena kedua bidang ini berasosiasi. 2. Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Namun peningkatan secara bersama pada kedua bidang tersebut menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan dan bidang olahraga dan bidang penanaman modal. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran perbidang (KpS2) untuk faktor 2 (Tabel 36) dengan karakteristik rendah (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang pemukiman maka anggaran bidang olahraga juga meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. Disebabkan anggaran kedua bidang tersebut meningkat secara bersamaan menyebabkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang olahraga serta bidang penanaman modal karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. 3. Faktor 3 menerankan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang penanaman modal menyebabkan bidang ini berdiri sendiri, tidak berasosiasi dengan bidang-bidang lainnya bahkan berasosiasi negatif yang tinggi dengan bidang olah raga. Fokusing anggaran pada bidang penanaman modal juga mengakibatkan penurunan pada bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi. Dengan kata lain bidang penanaman modal melemahkan bidang lainnya. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja anggaran perbidang (KpS3) untuk faktor 3 (Tabel 36) dengan karakteristik sedang (Tabel 37). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang penanaman modal maka berasosiasi negatif dengan bidang lainnya artinya ketika anggaran bidang penanaman modal ditingkatkan maka 99

terjadi penurunan anggaran untuk bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang permukiman serta bidang pertambangan dan energi karena bidang tersebut berasosiasi. Gambar 29 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perbidang di propinsi Bali, NTB dan NTT dan kinerja penganggaran bidang persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 28). Gambar 29. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perbidang di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 37. Kinerja Penganggaran Bidang Persektor di Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Daerah Penciri Karakteristik Kabupaten Sumbawa Barat, Alor, Lembata, Idx_KpS1 Tinggi Tipologi I Timor Tengah Utara, Rote Ndao dan Manggarai Idx_KpS2 Sedang Barat Idx_KpS3 Sedang Idx_KpS1 Sedang Tipologi II Kabupaten Sumba Timur Idx_KpS2 Tinggi Idx_KpS3 Sedang Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Idx_KpS1 Sedang Jemrana, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Idx_KpS2 Sedang Denpasar, Bima, Dompu, Lombok barat, Tipologi III Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Mataram, Bima, Belu, Ende, Flores Timur, Idx_KpS3 Sedang Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan, dan Kota Kupang. Sumber : data diolah, 2009 100

Keterangan Penciri Idx_KpS1 = Idx_KpS1 = Karakteristik Bidang pendidikan & kebudayaan (+), Pertambangan & energi (-) Bidang pendidikan & kebudayaan (+), Pertambangan & energi (-) Idx_KpS2 = Bidang Permukiman (+), olahraga (+) Idx_KpS3 = Bidang Penanaman Modal (+) B. Pola Penganggaran terhadap Luas Wilayah Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor kinerja penganggaran terhadap luas wilayah ditunjukkan pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran terhadap Luas Wilayah Factor Factor Factor Factor Simbol Bidang 1 2 3 4 X22 Administrasi Pemerintahan 0.946 X23 Kesehatan 0.989 X24 Pendidikan dan Kebudayaan 0.975 X25 Sosial 0.897 X27 Permukiman 0.920 X28 Pekerjaan Umum 0.897 X29 Perhubungan 0.946 X30 Lingkungan Hidup 0.958 X31 Kependudukan 0.959 X33 Pertanian 0.986 X34 Kepariwisataan 0.849 X38 Kehutanan dan Perkebunan 0.763 Perindustrian dan X39 Perdagangan 0.978 X40 Perkoperasian 0.916 X41 Penanaman Modal -0.969 X42 Ketenagakerjaan 0.966 Rataan Perluas Lahan Total X56 Anggaran Belanja Daerah 0.978 Expl.Var 11.708 1.723 1.508 1.124 Proporsi Total 0.689 0.101 0.089 0.066 Sumber : data diolah 2009 Cat : Marked loadings are >.700000 LnIdx_KpW1 LnIdx_KpW2 LnIdx_KpW3 LnIdx_KpW4n Dari Tabel 38 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 38 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran terhadap luas wilayah, bidang-bidang yang berada di faktor 1 muncul secara bersamaan dari 34 kab/kota 101

yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Munculnya bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian dan rataan per luas lahan total APBD merupakan bidang-bidang yang menjadi fenomena perkotaan. Ini diakibatkan oleh akumulasi penduduk didaerah perkotaan dengan kompleksitas permasalahannya sehingga bidang tersebut berasosiasi dan muncul bersamaan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW1) untuk faktor 1 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila pemda Kab. Sumbawa Barat memfokuskan meningkatkan anggaran bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, serta bidang perkoperasian maka akan terjadi penurunan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. 2. Faktor 2 menerangkan bahwa terdapat suatu pola penganggaran di daerah yang dianalisis bahwa ketika penganggaran di fokuskan pada bidang permukiman atau ketika anggaran bidang permukiman meningkat maka anggaran bidang kehutanan dan perkebunan juga meningkat. Maknanya bahwa jika aktifitas permukiman meningkat maka ada kecenderungan untuk mengkonservasi kehutanan dan perkebunan kearah yang lebih baik dengan tujuan agar pasokan kebutuhan air tercukupi, pengendalian banjir dan kelestarian sumberdaya lahan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW2) untuk faktor 2 (Tabel 38) dengan karakteristik tinggi (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan peningkatkan anggaran bidang permukiman maka ada kecenderungan penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan akan meningkat karena kedua bidang ini berasosiasi. 3. Faktor 3 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran di fokuskan pada bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan berasosiasi negatif dengan bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan 102

hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian. Fokusing penganggaran pada bidang ketenagakerjaan justru menyebabkan penurunan pada bidang-bidang lainnya seperti bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, kepariwisataan, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, penanaman modal dan rataan per luas lahan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW3) untuk faktor 3 (Tabel 38) mempunyai karakteristik sedang (Tabel 39). Maknanya apabila Pemda. Kab. Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran bidang ketenagakerjaan maka bidang ini ternyata berdiri sendiri bahkan akan terjadi penurunan penganggaran bidang kesehatan, permukiman, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian dan perkoperasian karena bidang-bidang tersebut berasosiasi negatif. 4. Faktor 4 menerangkan bahwa terdapat suatu pola jika penganggaran bidang penanaman modal mengalami penurunan maka bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan secara tajam. Dengan kata lain bidang penanaman modal dan bidang yang disebutkan diatas ada kecenderungan saling melemahkan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang terhadap luas wilayah (KpW4) untuk faktor 4 (Tabel 38) dengan karakteristik rendah (Tabel 39). Maknanya apabila penganggaran tidak difokuskan pada bidang penanaman modal oleh Pemda. Kab. Sumbawa Barat menyebabkan penganggaran bidang tersebut mengalami penurunan juga menyebabkan penurunan penganggaran secara tajam untuk bidang administrasi pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan, permukiman, pekerjaan umum, pertanian, perindustrian dan perdagangan dan bidang ketenagakerjaan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. Gambar 30 dibawah ini menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja anggaran perluas wilayah di propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 39 kinerja penganggaran perluas wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT. 103

Gambar 30. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Tabel 39. Kinerja Penganggaran Perluas Wilayah di Propinsi Bali, NTB dan NTT. Tipologi Daerah Penciri Karakteristik Idx_Kpw1 Sedang Tipologi I Kabupaten Lombok Barat, Lombok Idx_Kpw2 Sedang Tengah, Kota Kupang, dan Rote Idx_Kpw3 Sedang Ndao Idx_Kpw4n Tinggi Idx_Kpw1 Sedang Tipologi II Kota Denpasar, Mataram dan Bima Idx_Kpw2 Sedang Idx_Kpw3 Sedang Idx_Kpw4n Sedang Kabupaten Badung, Bangli, Idx_Kpw1 Tinggi Buleleng, Gianyar, Jembrana, Idx_Kpw2 Tinggi Karangasem, Klungkung, Tabanan, Idx_Kpw3 Sedang Bima, Dompu, Lombok Timur, Tipologi III Sumbawa, Sumbawa Barat, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Lembata, Manggarai, Ngada, Sikka, Idx_Kpw4n Rendah Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Manggarai Barat. Sumber : data diolah, 2009 104

Penciri Karakteristik Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan pendidikan & kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Idx_Kpw1 = Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan, Perkoperasian, dan Rataan perluas Lahan Total Anggaran Belanja Daerah (+) Bidang Permukiman, Kehutanan dan perkebunan. Idx_Kpw2 = pendidikan & kebudayaan (+) Idx_Kpw3 = Bidang Ketenagakerjaan (+), Idx_Kpw4 = Bidang Penanaman Modal (+) C. Pola Penganggaran Bidang Perkapita Hasil principal component analisis (PCA) untuk variabel indikator penciri faktor kinerja penganggaran bidang perkapita ditunjukkan pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil PCA Pola Asosiasi Variabel Indikator Penciri Faktor Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita Factor Factor Factor Factor Simbol Bidang 1 2 3 4 X1 Administrasi Pemerintahan 0.744 X2 Kesehatan 0.707 X7 Pekerjaan Umum 0.911 X9 Lingkungan Hidup 0.975 X12 Pertanian 0.877 X13 Kepariwisataan* 0.845 X15 Perikanan 0.879 X16 Pertambangan dan energi 0.779 X18 Perindustrian dan Perdagangan 0.858 X19 Perkoperasian 0.951 X20 Penanaman Modal 0.871 X21 Ketenagakerjaan 0.806 Expl.Var 6.133 1.830 1.859 1.211 Prp.Totl 0.472 0.141 0.143 0.093 LnIdx_Kp1 LnIdx_Kp2 LnIdx_Kp3 LnIdx_Kp4 Sumber : data diolah 2009 Marked loadings are >.700000 Dari Tabel 40 diatas dapat dijelaskan bahwa : 1. Hasil Prinsipal Component Analisis (PCA) yang ditunjukkan pada Tabel 40 menerangkan bahwa faktor 1 untuk kinerja penganggaran bidang perkapita, terdapat suatu pola bahwa bidang-bidang yang berada di faktor 1 pada 34 kab/kota yang dianalisis dan juga menurun secara bersamaan di daerah-daerah yang lain. Fokusing penganggaran mengalami peningkatan dan muncul secara bersamaan untuk bidang 105

bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan dan ketenagakerjaan muncul secara bersamaan yang merupakan bidang yang menjadi fenomena daerah urban (perkotaan). Sebaliknya penganggaran mengalami penurunan untuk bidang lingkungan hidup dan perkoperasian. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp1) untuk faktor 1 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pekerjaan umum, kepariwisataan, perikanan, pertambangan dan energi, perindustrian dan perdagangan serta ketenagakerjaan maka penganggaran bidang kehutanan dan perkebunan serta bidang penanaman modal akan mengalami penurunan hal ini disebabkan karena bidang-bidang tersebut berasosiasi. 2. Faktor 2 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang perkoperasian maka bidang tersebut berdiri sendiri disertai dengan peningkatan penganggaran. Namun disisi lain anggaran untuk bidang bidang pekerjaan umum, kepariwisataan, pertambangan dan energi, penanaman modal dan bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan. 3. Faktor 3 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada bidang pertanian dan penanaman modal maka anggaran untuk kedua bidang tersebut akan meningkat secara bersamaan karena berasosiasi. Sebaliknya penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan, perikanan mengalami penurunan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp3) untuk faktor 3 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran pada bidang pertanian dan bidang penanaman modal maka penganggaran bidang pekerjaan umum, lingkungan hidup, kepariwisataan dan perikanan mengalami penurunan disebabkan bidang-bidang tersebut berasosiasi. 4. Faktor 4 terdapat suatu pola bahwa jika penganggaran di fokuskan pada peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri. Namun disisi lain anggaran untuk bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum, 106

pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan mengalami penurunan. Untuk konteks Kabupaten Sumbawa Barat terdapat suatu pola realisasi kinerja penganggaran bidang perkapita (Kp4) untuk faktor 4 (Tabel 40) dengan karakteristik sedang (Tabel 41). Maknanya apabila Pemda. Kabupaten Sumbawa Barat memfokuskan peningkatan penganggaran bidang lingkungan hidup maka bidang tersebut berdiri sendiri, namun disertai penurunan penganggaran pada bidang administrasi pemerintahan, pekerjaan umum, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, penanaman modal serta bidang ketenagakerjaan ini disebabkan karena bidang tersebut berasosiasi. Gambar 31. Peta Konfigurasi Spasial Kinerja Penganggaran Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT Sumber : data diolah, 2009 Gambar 31 diatas menunjukkan peta konfigurasi spasial kinerja penganggaran perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT dan Tabel 41 menunjukkan kinerja penganggaran perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT. 107

Tabel 41. Kinerja Penganggaran Bidang Perkapita di Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Daerah Penciri Karakteristik Kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Idx_Kp1 Sedang Tipologi I Gianyar, Karangasem, Klungkung, Tabanan, Idx_Kp3 Sedang Kota Denpasar, dan Kota Mataram Idx_Kp4 Tinggi Tipologi II Idx_Kp1 Sedang Kabupaten Sumbawa Barat, Lembata, Idx_Kp3 Sedang Timor Tengah Utara, dan Rote Ndao Idx_Kp4 Sedang Kabupaten Jemrana, Bima, Dompu, Lombok Idx_Kp1 Tinggi Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Alor, Belu, Ende, Flores Timur, Idx_Kp3 Tinggi Tipologi III Kupang, Manggarai, Ngada, Sikka, Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan Kota Bima, dan Kota Kupang Idx_Kp4 Sedang Sumber : data dioalah, 2009 Penciri Karakteristik Bidang Administrasi pemerintahan, Kesehatan, Pekerjaan Idx_Kp1 = Umum, Kepariwisataan, Perikanan, Pertambangan dan Energi, Perindustrian dan Perdagangan, Ketenagakerjaan dan Rataan Perkapita Total Anggaran Belanja Daerah (+) Idx_Kp3 = Bidang Pertanian, Penanaman modal (+), Idx_Kp4 = Bidang Lingkungan Hidup (+) 5.3.3. Hubungan Fungsional antara Konfigurasi Spasial Pola Pengalokasian Anggaran Belanja Daerah dengan Konfigurasi Spasial Kinerja Pembangunan Daerah A. Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat Hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan untuk indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan dilakukan dengan menganalisis aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah (Tabel 42) menggunakan analisis spatial durbin model. 108

Tabel 42. Model Spasial Kinerja Pembangunan Dimensi Produktifitas Ekonomi, Kapasitas Fiskal dan Kesejahteraan Masyarakat (Kpem1) Kelompok Simbol Keterangan Parameter Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, LnIdx_Kpw1 Perhubungan, Lingkungan Hidup, Nyata Kependudukan, Pertanian, tidak Kepariwisataan, Perindustrian Dan elastis Perdagangan, Perkoperasian (+) Instrumen daerah sendiri LnIdx_Kpw3 LnIdx_Kpw4N LnIdx_KpS3 LnIdx_KpS2 LnIdx_Kp3 Bidang Ketenagakerjaan/wilayah (+) Bidang Kehutanan dan Perkebunan/wilayah (-) Bidang Penanaman Modal (+) Bidang Permukiman dan Olahraga/penduduk (+) Bidang Pertanian, Penanaman Modal/kapita (+) LnIdx_Kp4 Bidang Lingkungan/penduduk (+) Sumber : hasil olah Spatial Durbin Model, 2009 Arah Pengaruh terhadap Kpem1 Meningkat (+) Nyata tidak elastis Meningkat (+) Nyata tidak elastis Menurun (-) Nyata tidak elastis Meningkat (+) Nyata tidak elastis Meningkat (+) Nyata tidak elastis Meningkat (+) Nyata tidak elastis Menurun (-) Keterangan : Di duga dengan regresi berganda Nyata P-Level kurang dari 0,01 R=.96729249 R²=.93565476 Adjusted R²=.90767857 Elastis : Parameter (koefisien variabel) > 1,0 Kpem 1 = 0.167472 + 0.948104 LnIdx_Kpw1 + 0.394375 LnIdx_Kpw3-0.547514 LnIdx_Kpw4N + 0.275889 LnIdx_KpS3 + 0.304150 LnIdx_Kp3-0.295638 LnIdx_Kp4-0.152587 LnIdx_Kpem3 + 0.115022 LnIdx_Kp1-0.108080 LnIdx_Kp2 + 0.110524 LnIdx_KpS2 Hasil analisis pola penganggaran di setiap 34 Kab/Kota tiga propinsi yakni Bali, NTB dan NTT menunjukkan bahwa kinerja pembangunan untuk aspek pangsa keluarga miskin, produktifitas wilayah, pangsa PAD, PAD perkapita dan PAD luas wilayah, secara nyata dipengaruhi oleh pola penganggaran di daerah sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pola penganggaran daerah lain. Secara rinci hubungan antara pola penganggaran dengan kinerja pembangunan diatas adalah sebagai berikut : 109

1. Untuk bidang administrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, pertanian, kepariwisataan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota tersebut pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah (Gambar 32) dan kinerja penganggaran bidang perwilayah (KpW1) propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 43). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan kinerja pembangunan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW1) dengan karakteristik rendah (Tabel 43) Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana-IPB 2009 Gambar 32. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bdang Perwilayah (KpW1) Sumber : data diolah, 2009 110

Tabel 43. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW1) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Daerah Penciri Karakteristik Tipologi I Kab. Klungkung, Kota Denpasar, Kota Bidang Administrasi Pemerintahan, Tinggi Mataram Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian Tipologi II Kab. Badung Bidang Administrasi Pemerintahan, Sedang Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian Tipologi III Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Tabanan, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Manggarai Barat Sumber : data dioalah, 2009 Bidang Administrasi Pemerintahan, Kesehatan, Pendidikan Dan Kebudayaan, Sosial, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kependudukan, Pertanian, Kepariwisataan, Perindustrian dan Perdagangan serta Perkoperasian Rendah 2. Untuk bidang ketenagakerjaan terhadap total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dibagi dengan luas wilayah masing-masing Kab/Kota pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis menurunkan pangsa keluarga miskin dan juga pengaruhnya positif namun kecil atau tidak strategis dalam meningkatkan produktifitas wilayah, pangsa pendapatan asli daerah (PAD), PAD dibagi dengan jumlah penduduk dan PAD dibagi dengan luas wilayah ditunjukkan dengan Gambar 33 dan kinerja penganggaran bidang perwilayah (KpW3) Kab/Kota propinsi Bali, NTB dan NTT (Tabel 44). Untuk konteks Kab. Sumbawa Barat hubungan fungsional pola penganggaran dengan indeks produktifitas ekonomi, kapasitas fiskal dan kesejahteraan (Kpem1) untuk penganggaran bidang perwilayah (KpW3) dengan karakteristik sedang (Tabel 38) 111

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pascasarjana IPB 2009 Gambar 33. Peta Konfigurasi Spasial Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3) Sumber : data diolah, 2009 Tabel 44. Kinerja Penganggaran Bidang Perwilayah (KpW3) Kab/Kota Propinsi Bali, NTB dan NTT Tipologi Daerah Penciri Karakteristik Tipologi I Kab. Badung Bidang Tinggi Ketenagakerjaan Tipologi II Kab. Bangli, Kab. Buleleng, Kab. Gianyar Kab. Jembrana, Kab. Karangasem, Kab. Klungkung, Kab. Tabanan, Kab. Bima Kab. Dompu, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab. Sumbawa, Kota Bima, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Alor, Kab. Belu, Bidang Ketenagakerjaan Sedang Kab. Ende, Kab. Flores Timur, Kab. Kupang, Kab. Lembata, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab. Sikka, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Timur, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Timor Tengah Utara, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao Kab. Manggarai Barat Tipologi III Kota Denpasar, Kota Mataram Bidang Ketenagakerjaan Rendah Sumber : data diolah, 2009 112