BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sintetis dalam dosis atau kadar tertentu dapat dipergunakan untuk preventif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA OCH2CHCH2 OCH3. 3-(o-Metoksifenoksi)-1,2-propanadiol [ ] : Larut dalam air, dalam etanol, dalam kloroform dan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam dosis tertentu dapat digunakan untuk preventif (profilaksis), rehabilitasi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asetaminofen. Kandungan : tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 %

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyembuhkan atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau lebih dengan atau zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berikut gejalanya. Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas, sifat kohetivitas, kecepatan

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan pengisi (Ditjen POM, 1995). Tablet dapat dibuat dengan berbagai ukuran,

kurang dari 135 mg. Juga tidak boleh ada satu tablet pun yang bobotnya lebih dari180 mg dan kurang dari 120 mg.

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Farmakologi Dimenhidrinat (mabuk perjalanan) mabuk perjalanan dan muntah karena kehamilan. Berdasarkan mekanisme

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak berbentuk rata. Karbonat dan zat lain yang cocok.

2.1.1 Keseragaman Ukuran Kekerasan Tablet Keregasan Tablet ( friability Keragaman Bobot Waktu Hancur

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. adalah obat yang menentang kerja histamin pada H-1 reseptor histamin sehingga

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan (Depkes RI,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.. HCl. Tablet piridoksin mengandung piridoksin hidroklorida, C 8 H 11 NO 3.HCl tidak

Bentuk-bentuk Sediaan Obat. Indah Solihah,S.Farm,M.Sc.,Apt

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FORMULASI SEDIAAN TABLET PARASETAMOL DENGAN PATI BUAH SUKUN (Artocarpus communis) SEBAGAI PENGISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam buku British pharmacopoeia (The Departemen of Health, 2006) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tablet Khusus. (dibuat dalam rangka memenuhi Tugas mata Kuliah TFSP)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki beberapa keuntungan antara lain: 1) ketepatan dosis, 2) mudah cara

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga

bahan tambahan yang memiliki sifat alir dan kompresibilitas yang baik sehingga dapat dicetak langsung. Pada pembuatan tablet diperlukan bahan

Beberapa hal yang menentukan mutu tablet adalah kekerasan tablet dan waktu hancur tablet. Tablet yang diinginkan adalah tablet yang tidak rapuh dan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA I

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ilmu pengetahuan dan tuntutan dalam pemenuhan kesehatan. Maka diperlukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

TABLET/OT 2015 Sediaan tablet adalah Sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau serkuler, kedua permukaanya rata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS)

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia),

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembuatan Amilum Biji Nangka. natrium metabisulfit agar tidak terjadi browning non enzymatic.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

PENGARUH VARIASI KONSENTRASI ASAM SITRAT-ASAM MALAT TERHADAP SIFAT FISIK TABLET EFFERVESCENT YANG MENGANDUNG Fe, Zn, DAN VITAMIN C SKRIPSI

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan

efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan antiinflamasi lainnya. Dosis ibuprofen sebagai anti-inflamasi mg sehari.

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. VII/71 mendefinisikan bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia, pemanfaatan tanaman obat sebagai obat tradisional

FORMULASI TABLET PARACETAMOL SECARA KEMPA LANGSUNG DENGAN MENGGUNAKAN VARIASI KONSENTRASI AMILUM UBI JALAR (Ipomea batatas Lamk.) SEBAGAI PENGHANCUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja (tahan karat) (Agoes, 2008; Ditjen POM, 1995). Tablet adalah sediaan padat kompak yang dibuat secara kompa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan yang berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, dan zat pembasah (Ditjen POM, 1979). Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan farmasetika yang sesuai (Ansel, 1989). Kriteria sediaan tablet adalah stabil secara fisika dan kimia, secara ekonomi dapat menghasilkan sediaan yang dapat menjamin agar setiap sediaan mengandung obat dalam jumlah yang benar dalam penerimaan kepada pasien (ukuran, bentuk, rasa, warna), dan untuk mendorong pasien menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaian obat (Agoes, 2008).

2.1.1 Jenis-Jenis Tablet Menurut Ansel (1989), ada 13 jenis tablet, yaitu: 1. Tablet Kompresi Yaitu tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya kedalam bahan obatnya diberi tambahan sejumlah bahan pembantu. Bahan tambahan pembantu pada tablet kompresi antara lain: (a) Pengencer atau pengisi, yang ditambahkan jika perlu kedalam formulasi supaya membentuk ukuran tablet yang diinginkan. (b) Pengikat atau perekat, yang membantu pelekatan partikel dalam formulasi. (c) Penghancur, membantu menghancurkan tablet setelah pemberian sampai menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. (d) Antirekat pelincir atau zat pelincir, yaitu zat yang meningkatkan aliran bahan memasuki cetakan tablet. (e) Bahan tambahan lain, seperti zat warna dan zat pemberi rasa. 2. Tablet Kompresi Ganda Yaitu tablet kompresi berlapis, dalam pembuatannya memerlukan lebih dari satu kali tekanan. Hasilnya menjadi tablet dengan beberapa lapisan atau tablet didalam tablet. 3. Tablet Salut Gula Tablet kompresi ini mungkin diberi lapisan gula berwarna dan mungkin juga tidak, lapisan ini larut dalam air dan cepat terurai begitu ditelan. Gunanya

melindungi obat dari udara dan kelembaban atau untuk menghindari gangguan dalam pemakaiannya akibat rasa dan bau dari bahan obat. Kerugian dari lapisan gula ini adalah pengolahannya membutuhkan waktu dan keahlian serta menambah berat serta ukuran tablet. 4. Tablet Diwarnai Coklat Yaitu lapisan coklat merupakan hal yang penting dalam sejarah karena diwaktu itu hanya coklat yang dipakai untuk menyalut dan mewarnai tablet. 5. Tablet Salut Selaput Tablet kompresi ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet. Kelebihannya ialah lebih tahan lama, bahan yang digunakan lebih sedikit, dan waktu yang lebih sedikit untuk penggunaannya. 6. Tablet Salut Enterik Tablet salut enterik adalah tablet yang disalut dengan lapisan yang tidak melarut dan tidak hancur di lambung tetapi di usus. Gunanya menghindari terjadinya iritasi pada lambung. 7. Tablet Sublingual Atau Bukal Yaitu tablet yang disisipkan di pipi dan di bawah lidah biasanya berbentuk datar, agar di absorbsi melalui mukosa secara oral. Cara ini berguna untuk penyerapan obat yang dirusak oleh cairan lambung atau sedikit sekali diabsorbsi oleh saluran pencernaan.

8. Tablet Kunyah Tablet dikunyah lembut segera hancur ketika dikunyah atau dibiarkan melarut dalam mulut, menghasilkan dasar seperti krim dari mannitol yang berasa dan berwarna khusus. 9. Tablet Effervescent Yaitu tablet berbuih dibuat dengan cara kompresi granul yang mengandung garam effervescent atau bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air. 10. Tablet Triturat Tablet ini bentuknya kecil dan biasanya silinder, dibuat dengan cetakan atau dibuat dengan kompresi dan biasanya mengandung sejumlah kecil obat keras. Tablet triturat harus mudah larut seluruhnya dalam air. 11. Tablet Hipodermik Yaitu tablet yang dimasukkan di bawah kulit untuk digunakan oleh dokter dalam membuat larutan parenteral secara mendadak. 12. Tablet Pembagi Yaitu tablet untuk membuat resep lebih tepat, guna untuk pencampuran, dan tidak pernah diberikan kepada pasien sebagai tablet itu sendiri. Tablet ini relatif mengandung sejumlah besar bahan obat keras. 13. Tablet Dengan Penglepasan Terkendali Yaitu tablet dan kapsul yang penglepasan obatnya secara terkendali.

2.1.2 Komponen Tablet Komponen-komponen dalam formulasi tablet kempa terdiri atas zat aktif, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan penghancur, dan bahan pelicin. Selain itu, tablet dapat juga mengandung bahan pewarna yang diizinkan, bahan pengaroma, dan bahan pemanis. 1. Bahan pengisi ditambahkan jika zat aktifnya sedikit atau sulit dikempa. Berfungsi untuk memperbesar volume massa agar mudah dicetak. Contohnya: laktosa, selulosa mikrokristal, dan pati. 2. Bahan pengikat memberikan daya adhesi pada massa serbuk sewaktu digranulasikan serta menambah daya kohesi pada bahan pengisi. Misalnya: gelatin, sukrosa, metil selulosa, dan gelatin. 3. Bahan penghancur membantu tablet agar hancur setelah ditelan. Contohnya: pati, pati dan selulosa yang dimodifikasi secara kimia, asam alginat, dan selulosa mikrokristal. 4. Bahan pelicin berfungsi mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet dan juga berguna untuk mencegah massa tablet melekat pada cetakan. Misalnya: asam stearat, dan minyak nabati terhidrogenasi. 5. Bahan pewarna ditambahkan untuk meningkatkan nilai estetika atau untuk memberikan identitas produk. 6. Bahan pengaroma berfungsi untuk menutupi rasa dan bau zat khasiat yang tidak enak, biasanya digunakan untuk tablet yang penggunaannya lama di mulut. Misalnya: macam-macam minyak atsiri (Syamsuni, 2006; Syamsuni, 2007).

2.2 Antihistamin Histamin (suatu autacoid atau hormon lokal) adalah suatu amin nabati yang ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich (1878) dan merupakan produk normal dari pertukaran zat histisin melalui dekarboksilasi enzimatis. Asam amino ini masuk kedalam tubuh terutama dalam daging (protein) yang kemudian diubah secara enzimatis menjadi histamin (Tan, 2007). Antihistamin digunakan dalam pengobatan penyakit alergi tertentu. Kerjanya, menekan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh histamin, suatu zat kimia yang dilepas selama proses reaksi antibodi dari respon alergi (Ansel, 1989). Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan membran. Saat ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin H 1, H 2, H 3, reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan protein (Setiabudy, 2008). Obat antihistamin yang hingga kini dikenal dapat dibedakan menjadi dua. Yang satu dirancang untuk antagonistik terhadap histamin yang berinteraksi dengan reseptor H 1, yang biasanya digunakan untuk mengurangi reaksi alergi karena disebabkan oleh terlepasnya histamin dalam tubuh. Sedangkan yang lain adalah antagonis terhadap histamina yang berinteraksi dengan reseptor H 2 (Sardjoko, 1993).

Obat ini menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-h 2 di lambung. Efeknya adalah menurunkan tekanan darah. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung atau usus, gunanya sebagai zat pelindung tambahan pada terapi. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah: simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roksatidi yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin (Tan, 2007). 2.3 Ranitidin HCl Gambar 1. Struktur Ranitidin Hidroklorida Menurut Ditjen POM (1995), ranitidin hidroklorida memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul Nama Umum Pemerian : C 13 H 22 N 4 O 3 S.HCl : Ranitidin : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis tidak berbau, peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu lebih kurang 140ºC, dan disertai peruraian. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam etanol, dan sukar larut dalam kloroform. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, dan tidak tembus cahaya. Indikasi : Sebagai antagonis reseptor-h 2

Ranitidin HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H 2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang bersifat patologis. Efek samping dari ranitidin antara lain adalah nyeri kepala, pusing, mual, dan diare. Setelah pemberian oral, ranitidin diserap 39-87%. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup panjang, pemberian dosis 150 mg, efektif menekan sekresi asam lambung selama 8-12 jam. Dosis: 150 mg 2 dd atau 300 mg sebelum tidur (Siswandono, 1995). Ranitidin menghambat reseptor H 2 secara selektif. Perangsangan reseptor H 2 akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada pemberian ranitidin sekresi asam lambung akan dihambat (Setiabudy, 2008; Tan, 2007). Daya menghambat senyawa ini terhadap sekresi asam lebih kuat. Tidak merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain sehingga tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan. Resorpsinya pesat dan baik (Tan, 2007). Semua antagonis reseptor H 2 mengatasi tukak lambung dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambat reseptor histamin H 2. Terapi antagonis reseptor H 2 dapat membantu proses penyembuhan tukak lambung. Efek samping antagonis reseptor H 2 adalah diare, gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, pusing, dan rasa letih (Depkes RI, 2009).

Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin diekskresi terutama melalui ginjal. Karena ekskresi antagonis reseptor H 2 terutama melalui ginjal maka pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi (Setiabudy, 2008). 2.4 Disolusi Disolusi adalah persyaratan utama untuk dapat melewati dinding usus pada tahap pertama. Pengujian disolusi digunakan untuk membuktikan kesesuaian spesifikasi, dan dapat merupakan persyaratan dalam registrasi obat (Agoes, 2008). Laju disolusi merupakan tahap yang menentukan laju, akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas, dan lama respons. Cara pengujian disolusi tablet dinyatakan dalam masing-masing monografi obat. Pengujian merupakan alat yang objektif dalam menetapkan sifat disolusi suatu obat yang berada dalam sediaan padat. Tablet harus memenuhi persyaratan seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989). Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah (Ditjen POM, 1995). Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet, tablet salut, granulat, dan kapsul), meskipun demikian pernyataannya dalam pandangan terhadap ketersediaan terbatas. Suatu kehancuran total menawarkan persyaratan

yang lebih baik untuk pelepasan, meskipun bahan pembantu dapat membungkus bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar dari produk hancur sangat terhambat. Oleh karena itu, kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali menggambarkan langkah penentu kecepatan (Voigt, 1994). 2.4.1 Alat Uji Disolusi Menurut Ditjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi, yaitu: a. Alat 1 (metode basket) Alat terdiri atas wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam tangas air sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37 C ± 0,5 selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 nm hingga 106 mm, dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan putaran yang dikehendaki dan

mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4%. b. Alat 2 (metode dayung) Sama seperti alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Dayung memenuhi spesifikasi pada jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dengan bagian dalam dasar wadah, dan mempertahankan suhu dalam wadah 37 C ± 0,5 selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. 2.4.2 Faktor Pengujian Disolusi Menurut Agoes (2008), faktor yang mempengaruhi pengujian disolusi suatu obat dari sediaan dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok: 1. Faktor terkait pada sifat fisiko kimia obat. 2. Faktor terkait pada formulasi obat. 3. Faktor terkait dengan bentuk sediaan. 4. Faktor terkait pada alat uji disolusi. 5. Faktor terkait pada parameter pengujian disolusi.

2.4.3 Kegunaan Uji Disolusi 1. Uji disolusi digunakan untuk memenuhi persyaratan resmi sediaan yang tertera dalam Farmakope Indonesia. 2. Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik manufaktur obat yang baik. 3. Data disolusi berguna dalam tahap awal pengembangan zat formulasi. 4. Memberikan sarana untuk mengevaluasi parameter penting seperti ketersediaan hayati yang memadai, dan memberikan informasi yang penting untuk formulator dalam pengembangan bentuk sediaan yang mempunyai daya terapi yang lebih optimal. 5. Berhubungan dengan ketersediaan hayati suatu produk sehingga uji disolusi dapat memastikan ketersediaan hayati produk antar bets yang memenuhi kriteria disolusi (Siregar, 2010). 2.4.4 Media Disolusi Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, media disolusi yang digunakan adalah media yang tertera pada masing-masing monografi. Bila media disolusi berupa larutan dapar. ph larutan harus diatur sehingga berada dalam batas 0,05 satuan ph yang tertera pada masing-masing monografi. Pada umumnya, media disolusi adalah air atau dapar yang sesuai, dan jumlah media disolusi sebanyak 900 ml dalam tiap wadah disolusi (Ditjen POM, 1995; Siregar, 2010).

2.4.5 Kecepatan Pengadukan Untuk tiap uji disolusi dalam Farmakope Indonesia edisi IV, kecepatan pengadukan ditetapkan dengan satuan rpm. Jika ditetapkan, kecepatan 100 rpm untuk Alat 1 (metode basket), dan 50 rpm untuk Alat 2 (metode dayung). Kecepatan pengadukan harus seragam selama pengujian. Kadang kadang motor pemutar pengaduk dapat secara berkala lambat atau cepat. Oleh karena itu, harus dicek pada awal dan akhir tiap pengujian (Siregar, 2010). Menentukan kecepatan disolusi obat pada rentang ph larutan sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui berapa persentase zat aktif dalam obat yang dapat terlarut dan terabsorbsi masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi pada tubuh (Kurniawan, 2009). 2.4.6 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Lanjutkan pengujian sampai tiga tahap, kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S 1 atau S 2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q (Ditjen POM, 1995). Pada tahap 1 (S 1 ), 6 tablet diuji dengan kriteria tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S 2 ). Pada tahap ini 6 tablet

tambahan diuji lagi, dengan kriteria rata-rata dari 12 unit tablet (S 1 + S 2 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q 15%. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S 3 ). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi, dengan kriteria ratarata dari 24 unit tablet (S 1 + S 2 + S 3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q 25% (Ditjen POM, 1995). ini. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah Tabel 1. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi Tahap Jumlah yang diuji Kriteria Penerimaan S 1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5% S 2 6 Rata-rata dari 12 unit (S 1 + S 2 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q 15% S 3 12 Rata-rata dari 24 unit (S 1 + S 2 + S 3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q 25% Keterangan: S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi.

2.4.7 Alat Penetapan Laju Disolusi 1. Alat pendisolusi zat aktif, adalah alat untuk melepaskan dan melarutkan zat aktif dalam media. Alat ini disebut alat uji disolusi. 2. Alat untuk menganalisis konsentrasi zat aktif dalam sampel media disolusi yang diambil sampelnya pada beberapa titik waktu yang telah ditetapkan atau pada satu titik waktu seperti uji disolusi pada umumnya di Farmakope Indonesia edisi IV. Metode ini disebut metode disolusi satu titik, dimana alat analisis yang digunakan adalah spektrofotometer, spektrofluorometer atau kromatografi cair kinerja tinggi (Siregar, 2010). 2.5 Spektrofotometri UV Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang diabsorbsi. Spektrofotometer yaitu suatu alat yang digunakan untuk menentukan suatu senyawa baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan cara mengukur absorbansi dari suatu cuplikan sebagai fungsi dari konsentrasi (Khopkar, 2008). Spektrofotometri UV adalah pengukuran panjang gelombang, intensitas sinar ultraviolet, dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm (Dachriyanus, 2004).

Prosedur dasar dalam analisa kuantitatif secara spektroskopi adalah membandingkan absorbsi energi radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu oleh suatu larutan contoh terhadap suatu larutan standar. Pada daerah spektrum ultraviolet banyak senyawa yang mampu menyerap radiasi, sehingga perlakuan pendahuluan yang diperlukan melibatkan pemisahan dari zat pengganggu (Sudarmadji, 1989). Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat, dan sangat cocok untuk digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai gugus kromofor. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993). Spektrum UV merupakan korelasi antara absorbansi dengan panjang gelombang. Penyerapan sinar UV pada umumnya dihasilkan oleh eksitasi elektron-elekron ikatan, akibatnya panjang gelombang yang mengabsorbsi dapat dihubungkan dengan ikatan yang mungkin ada dalam suatu molekul (Rohman, 2007). Spektrofotometri UV dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Pada aspek kualitatif, data spektrofotometri UV secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat. Sedangkan pada aspek kuantitatif, radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap (Rohman, 2007).