STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN LAHAN GAMBUT

dokumen-dokumen yang mirip
REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim. Surakarta, 8 Desember 2011

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Proses AMDAL Sebagai Alternatif Penerapan Ekonomi Hijau Pada Tingkatan Proyek

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

Setitik Harapan dari Ajamu

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB 1. PENDAHULUAN. peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KEMBALI KE PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI RIAU (Upaya Mengembalikan Kemandirian Masyarakat Pedesaan)

BAB IV DUKUNGAN POLITIK DAN KEBIJAKAN

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

REVITALISASI PERTANIAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

Hesti Lestari Tata Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, KLHK

INTEGRASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK KE DALAM PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

Transkripsi:

31 STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN LAHAN GAMBUT Sumaryanto, Mamat H.S., dan Irawan Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16111 Abstrak. Berbagai pendapat bahwa konversi lahan gambut menjadi kawasan budidaya berkontribusi nyata pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Walaupun lahan gambut yang dibudidayakan untuk pertanian, kenyataan di lapangan menunjukkan lahan gambut terlantar dan sudah tidak ditumbuhi tanaman tegakkan kayu (kehutanan). Kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa secara turun-temurun sebagian dari kawasan gambut telah difungsikan oleh komunitas setempat sebagai kawasan budidaya pertanian dan sejak dua dekade terakhir terjadi percepatan laju konversi lahan gambut terutama untuk perluasan perkebunan sawit. Terkait dengan hal diatas, Indonesia menjadi sorotan dunia karena dipersepsikan sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Kondisi demikian itu menghadapkan pemerintah dan masyarakat pada situasi yang dilematis. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi berimplikasi meningkatnya emisi gas rumah kaca; sebaliknya, jika secara mutlak konversi lahan gambut dilarang maka kepentingan ekonomi terpinggirkan. Sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang pendekatannya berbasis pengintegrasian aspek sosial budaya, ekonomi, dan teknologi tepat guna yang sarat muatan aspek lingkungan adalah salah satu strategi yang d ipandang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Katakunci: kawasan gambut, sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. PENDAHULUAN Sejak pemanasan global dan perubahan iklim mengemuka sebagai salah satu ancaman paling potensial terhadap masa depan ketahanan pangan, perhatian terhadap eksistensi lahan gambut juga menguat. Alasannya, setiap jengkal konversi lahan gambut menjadi kawasan hunian ataupun kawasan budidaya menyebabkan emisi gas rumah kaca yang meningkat jika dibandingkan dengan konversi lahan non gambut. Terkait dengan hal itu perkembangan sawit di Indonesia (dan Malaysia) dinilai sebagai penyebab utama kerusakan hutan gambut (UNEP and UNESCO 2007) penghancur seringkali menjadi bulan-bulanan di dunia internasional karena terstigmatisasi sebagai salah satu penghancur kelestarian gambut. Persepsi tersebut tidaklah tanpa dasar, namun jelas kurang tepat dan tidak adil jika yang dilihat hanya dampak konversi lahan gambut terhadap emisi gas rumah kaca. Alasannya: (1) kondisi obyektif menunjukkan bahwa tingginya laju konversi lahan gambut untuk perluasan perkebunan sawit adalah implikasi dari tingginya laju pertumbuhan permintaan CPO di pasar global yang tentu saja merupakan faktor eksternal 379

Sumaryanto et. al. bagi Indonesia, (2) lahan gambut yang dibudidayakan untuk pertanian, kenyataan di lapangan menunjukkan lahan gambut terlantar dan sudah tidak ditumbuhi tanaman tegakkan kayu (kehutanan), (3) secara normatif Indonesia berhak untuk mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan devisa, (4) pengembangan sawit di lahan gambut memiliki kelayakan teknis-finansial yang tinggi. Dengan kata lain latar belakang pendayagunaan lahan gambut menjadi kawasan pertanian perlu dilihat dengan seksama; dan adanya teknologi pertanian yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca serta berkontribusi dalam sekuestrasi karbon haruslah diperhitungkan. Dengan luas lahan gambut sekitar 14,9 juta hektar, Indonesia adalah negara yang berperan penting dalam percaturan dunia di bidang mitigasi perubahan iklim. Indonesia akan diposisikan sebagai kontributor utama dalam penyerapan karbon jika lahan gambutnya dapat dipertahankan sesuai kondisi alaminya. Di sisi lain, Indonesia potensial sebagai kelompok lima besar penyumbang emisi gas rumah kaca jika pengelolaan lahan gambut mengabaikan prinsip-prinsip berkelanjutan. Pengelolaan kawasan lahan gambut membutuhkan strategi yang secara komprehensif dapat mempertemukan kepentingan sosial ekonomi dan kepentingan pelestarian sumberdaya alam secara seimbang dan adil. Strategi tersebut tidak dapat dilakukan dengan pendekatan top down semata karena sistem pengelolaan yang produktif dan berkelanjutan mensyaratkan terakomodasikannya sumber-sumber keragaman yang seringkali bersifat spesifik lokal yang dimensinya tidak hanya mencakup dimensi teknis dan finansial tetapi juga dimensi sosial budaya komunitas setempat. Sebaliknya, pendekatan bottom up saja juga tidak akan mampu menjawab tantangan jaman karena dinamika lingkungan strategis mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi wilayah. Interaksi antara komunitas setempat dengan dunia luar yang semakin intensif cenderung mendegradasi sendi-sendi kelembagaan lokal yang konvergen dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Proses degradasi kelembagaan tersebut seringkali sulit dihindari karena dalam konteks finansial ekonomi cenderung inferior karena seiring dengan menipisnya sekat-sekat isolasi maka perubahan sosial semakin mengarah pada sistem ekonomi pasar yang dalam tahap awal perkembangannya cenderung mengedepankan kepentingan jangka pendek. RUANG LINGKUP Ruang lingkup tulisan ini difokuskan pada kawasan lahan gambut yang telah berubah fungsi menjadi kawasan budidaya dan lahan gambut terlantar yang peraturan dan undangundang potensial dijadikan kawasan budidaya. Data dan informasi diperoleh dari studi pustaka dan hasil survey sosial ekonomi dalam Proyek Penelitian Kerjasama Badan Litbang Pertanian ICCTF tahun 2010/2011. 380

Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut Sebagai suatu tinjauan, makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai arti penting dari sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Diharapkan tulisan ini dapat berkontribusi dalam perumusan strategi peningkatan perekonomian masyarakat yang bermukim di kawasan lahan gambut dan sekitarnya yang berbasis pada sistem pengelolaan berkelanjutan. PROFIL PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT Total luas lahan gambut dunia pada saat ini adalah sekitar 400 juta hektar (sekitar 3% dari luas daratan bumi). Dari luas itu, sekitar 350 juta hektar di antaranya berada di kawasan utara hemisphere (Amerika Utara, Rusia, dan Eropa). Gambut tropis terutama ada di Asia Timur, Asia Tenggara, Kepulauan Karibia dan A merika Tengah, A merika Selatan, dan kawasan selatan Afrika. Diperkirakan luasnya sekitar tinggal 30 45 juta hektar atau sekitar 10 12 persen dari total luas lahan gambut dunia (Strack, 2008). Saat ini sekitar 14 20 persen dari total lahan gambut dunia telah dieksploitasi, dan sebagian besar adalah untuk pertanian. Ini terjadi di negara-negara maju maupun negara berkembang. Perbedaannya, periode eksploitasi lahan gambut yang dilakukan negara-negara maju terjadi ketika perubahan iklim belum mengemuka; sedangkan di negara-negara berkembang terjadi ketika isu tentang perubahan iklim dan pentingnya mitigasi sangat mengemuka. Laju pertumbuhan cepat perluasan lahan pertanian di negara-negara berkembang terjadi dalam setengah abad terakhir. Khususnya untuk perluasan lahan pertanian yang merambah pula ke kawasan gambut, terjadi dalam tiga dekade terakhir dan dalam sepuluh tahun terakhir ini lajunya masih tinggi. Kondisi ini sangat dilematis bagi negara-negara berkembang. Di satu sisi, dalam rangka pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan maka negara-negara berkembang membutuhkan perluasan lahan pertanian. Dalam konteks seperti itu sulit untuk sama sekali tidak menyentuh lahan gambut. Di sisi lain, tuntutan global maupun atas kepentingan nasional jangka panjang; negara -negara berkembang (termasuk Indonesia) wajib ikut serta dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Dari total luas lahan gambut yang terletak di kawasan Asia Tenggara yang luas totalnya diperkirakan sekitar 26.216 juta hektar, sekitar 20,2 juta hektar diantaranya terletak di Indonesia. Dari 20,2 juta hektar tersebut yang telah berubah dari kondisi alamiahnya (hutan) diperkirakan sekitar 7,6 juta hektar atau sekitar 38 persen (IFCA, 2007), yaitu menjadi kawasan budidaya (terutama perkebunan sawit) dan semak belukar. Berbeda dengan lahan yang berubah menjadi kawasan budidaya, status penguasaan lahan gambut yang berubah menjadi semak belukar tersebut tidak jelas. Sebagian diantaranya berupa persil-persil lahan yang dikuasai komunitas setempat, sebagian lainnya merupakan lahan terlantar. 381

Sumaryanto et. al. Proporsi terbesar dari lahan gambut yang telah berubah fungsi tersebut berada di Sumatera (3,5 juta hektar) dan Kalimantan (1,7 juta hektar), dan sisanya di Papua. Di Sumatera dari 7,23 juta hektar yang telah dipetakan (93 persen dari perkiraan luas lahan gambut di wilayah tersebut) sekitar 1,03 juta hektar diantaranya terkonversi menjadi lahan perkebunan sawit. Di Kalimantan, dari 5,77 juta hektar yang telah dipetakan (sekitar 71 persen dari total luas lahan gambut di wilayah tersebut), sekitar 258,3 ribu hektar dikonversi menjadi perkebunan sawit (Miettinen. 2012). Selain dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit, bentuk-bentuk konversi lainnya yang cukup luas adalah menjadi lahan tanaman industri (akasia), kebun karet, nanas, dan tanaman pangan/hortikultura. Berbeda dengan sawit yang sebagian besar pengusahaannya dilakukan oleh perusahaan, sebagian besar usahatani tanaman pangan dan kebun karet berupa usaha pertanian rakyat. Dominasi sawit dalam konversi lahan gambut menjadi kawasan budidaya tersebut disebabkan keuntungan finansial yang diperoleh dari usahatani sawit superior jika dibandingkan komoditas pertanian lainnya. Bahkan sebagian dari lahan pertanian pangan (termasuk sawah) di sejumlah lokasi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau dikonversi pula menjadi kebun-kebun sawit. Dalam lingkup makro, perkembangan industri sawit berkontribusi sangat besar pada perekonomian nasional. Ini terbukti dari penciptaan nilai tambah, penciptaan kesempatan kerja, dan penerimaan devisa. Sebagai ilustrasi, dalam lima tahun terakhir, sub sektor perkebunan merupakan satu-satunya sub sektor pertanian yang memiliki neraca perdagangan positif (Tabel Lampiran 1). Bagi wilayah yang bersangkutan, pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut serta berkontribusi dalam pengurangan angka kemiskinan. Oleh karena itu dalam batas -batas tertentu agribisnis kelapa sawit dapat dipandang s ebagai primer mover pertumbuhan sektor pertanian khususnya, dan perekonomian wilayah pada umumnya. Agribisnis kelapa sawit (dan karet) memiliki daya dorong pertumbuhan output, nilai tambah, dan pendapatan yang sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, pada dalam p eriode 1995-2005 efek pengganda (multiplier effect) total untuk komoditas sawit dalam pembentukan output, nilai tambah, dan pendapatan telah meningkat masing -masing 13, 7, dan 19 persen; sedangkan untuk komoditas karet dengan urutan yang sama meningkat 0.4, 8, dan 1 persen (Tabel Lampiran 2). 382

Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut URGENSI SISTEM PENGELOLAAN BERBASIS KEBERLANJUTAN Melihat peranannya dalam perekonomian kawasan dan nasional yang sangat strategis maka sejumlah ekses negatif yang muncul seiring dengan perkembangan agribisnis kedu a komoditas tersebut perlu ditangani secara bijaksana. Pertama, ekses negatif yang terkait dengan emisi gas rumah kaca yang diakibatkan oleh konversi lahan gambut menjadi lahan perkebunan sawit. Kedua, ekses negatif yang terkait dengan konflik-konflik penguasaan lahan antara perkebunan besar dengan komunitas setempat. Ketiga, ekses negatif yang terkait dengan menurunnya kapasitas produksi pangan akibat konversi lahan pangan menjadi lahan sawit dan atau karet. Nilai ekonomi pelestarian sumberdaya lahan gambut sangat tinggi dan dalam jangka panjang bukan tidak mungkin lebih tinggi dari nilai ekonomi eksploitasinya. Namun jawaban atas persoalan jangka panjang tidak mungkin dapat dicapai jika persoalan jangka pendek dan menengah juga tidak diatasi. Terkait dengan itu maka Indonesia terus berupaya mencari berbagai terobosan dan dalam rangka penyempurnaan model pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Sebagai bagian dari strategi pengelolaan lahan berkelanjutan tersebut adalah pemberlakuan moratorium gambut. Dalam tataran praktis, esensi dari sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dapat dipandang sebagai rekonsiliasi atas sasaran jangka pendek (sarat muatan ekonomi) dengan sasaran jangka menengah panjang (sarat muatan lingkungan). Konkritnya adalah mengupay akan agar pendayagunaan lahan gambut harus berbasis pada prinsip-prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan dimana emisi GRK diminimalkan dan sebisa mungkin ikut berkontribusi dalam sekuestrasi karbon, namun pada saat yang sama kepentingan finansial, ekon omi, kesempatan kerja, dan pengentasan kemiskinan juga tercapai sasarannya. Adalah fakta bahwa salah satu masalah mendasar yang dihadapi dalam pembangunan pertanian nasional yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah aspek pertanahan. Di beberapa wilayah, terutama di luar Pulau Jawa masih banyak sekali dijumpai dualisme kelembagaan penguasaan tanah. Sangat banyak dijumpai kasus-kasus incompatibility antara hukum pertanahana nasional (formal) dengan hukum adat yang dianut masyarakat setempat. Batas yurisdiksi, aturan representasi, dan masalah kepemilikan dalam organisasi sosial di bidang penguasaan tanah yang dianut komunitas lokal di wilayah yang bersangkutan tidak mudah diintegrasikan dalam aturan formal yang mengacu pada Undang-Undang Pertanahan Nasional. Kondisi tersebut merupakan salah satu sumber timbulnya konflik-konflik sosial dalam pendayagunaan sumberdaya lahan. Dalam sejumlah kasus, solusi atas konflik-konflik tersebut belum dapat diformulasikan dalam suatu mekanisme hukum yang berlaku umum karena paradigma yang dianut dalam masyarakat adat sangat beragam dan kadang-kadang diametral dengan sudut pandang yang dianut dalam hukum formal. 383

Sumaryanto et. al. Dalam sistem pengelolaan gambut berkelanjutan, konflik yang telah terjadi maupun sumber-sumber konflik tersebut harus diposisikan sebagai bagian integral dari strategi kebijakan. Justifikasinya adalah sebagai berikut. Pertama, sistem pengelolaan berkelanjutan berpijak pada paradigma peningkatan produktivitas berbasis prinsip kelestarian. Dalam konteks demikian itu, konflik penguasaan tanah kontraproduktif untuk introduksi teknologi dan kelembagaan sistem pengelolaan berkelanjutan. Kedua, konflik penguasaan tanah menyebabkan keuntungan ekonomi dari pengembangan agribisnis (misalnya sawit) menjadi lebih rendah bahkan mungkin merugi. Akibatnya, akumulasi manfaat yang semestinya dapat dimanfaatkan untuk mendukung aksi-aksi mitigasi menipis bahkan mungkin menjadi nol. Ketiga, ekses konflik yang tidak tertangani dengan baik adalah munculnya penjarahan atas aset-aset produktif termasuk sumberdaya alam (lahan gambut) yang belum dimanfaatkan. Pencegahan atau setidaknya minimalisasi konversi lahan-lahan pangan menjadi lahan perkebunan sawit (dan karet) sangat dirasakan urgensinya. Tidak semua rumah tangga di kawasan yang bersangkutan merupakan petani perkebunan, sementara itu semua orang tentu butuh pangan. Secara teoritis, meningkatnya ketergantungan pangan dari daerah lain tidak menjadi masalah sepanjang daya beli masyarakat di wilayah tersebut tinggi. Namun dalam tataran praktis tidaklah sesederhana itu persoalannya. Adalah fakta bahwa seiring dengan konversi lahan sawah di sejumlah sentra produksi beras maka peningkatan kapasitas produksi pangan menjadi sangat lambat. A kibatnya, kemampuan daerah-daerah yang secara tradisional merupakan sumber pasokan pangan juga menurun. Pada gilirannya, kondisi demikian itu menyebabkan tingkat ketahanan pangan nasional menurun dan tentu saja menyentuh pula wilayah-wilayah perkebunan yang dimaksud di atas. STRATEGI PENGEMBANGAN PENGELOLAAN GAMBUT BERKELANJUTAN Strategi umum pengembangan sistem pengelolaan gambut berkelanjutan adalah mensinergiskan upaya-upaya minimalisasi konversi lahan gambut alami dan peningkatan produktivitas usahatani pada lahan-lahan gambut yang telah tergarap berbasis teknologi ramah lingkungan dan pengurangan emisi karbon. 384 Pembangunan pemanfaatan lahan gambut ke depan perlu diarahkan untuk mencapai keberlanjutan (sustainability) dan sekaligus meminimalkan dampak negatif lingkungan, termasuk di antaranya penurunan emisi GRK. Penurunan produksi pangan dan meningkatnya bencana alam akibat pergeseran pola dan intensitas musim adalah dampak perubahan iklim yang mulai kita rasakan. Pengurangan emisi GRK dapat ditempuh melalui berbagai pendekatan, termasuk di antaranya melalui pengu rangan deforestrasi dan Degradasi Hutan (Reduction Emission from Deforestration and Forest

Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut Degradation, REDD+) dan dari berbagai sektor, menjadi sebuah pilihan ekonomi yang positif dalam transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon karena berpotensi mengurangi emisi karbon dan meningkatkan pendapatan nasional Indonesia di masa depan. Dalam pengurangan emisi GRK terutama karbon dioksida, Indonesia melakukannya tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain serta kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian yang dilakukan dengan prinsip pro-growth, pro job, pro-poor, and pro-environment kesempatan ini mempunyai urgensi untuk penurunan tingkat kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah mentargetkan perkembangan ekonomi sebesar 7% per tahun. Selain sebagai sumber emisi dan sebagai sektor yang rentan terhadap perubahan iklim, sektor pertanian juga (khususnya lahan gambut) dapat berperan dalam memitigasi perubahan iklim. Jumlah emisi dari sektor pertanian dapat dikurangi melalui berbagai usaha mitigasi. Proses pertumbuhan tanaman, terutama tanaman tahunan (tanaman pohon - pohonan) menyerap CO 2 dari atmosfir melalui proses fotosintesis dan menjadikannya sebagai bagian dari jaringan tanaman penyimpan senyawa karbon organik. Melalui rehabilitasi lahan padang alang-alang dan semak belukar dengan penanaman tanaman tahunan seperti tanaman karet, kelapa sawit dan kakao, sektor pertanian dapat merupakan penambat karbon (karbon sink). KESIMPULAN Dalam menurunkan emisi GRK terutama karbon dioksida, diharapkan Indonesia melakukannya tanpa mengorbankan pembangunan di sektor lain serta kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian yang dilakukan dengan prinsip pro-growth, pro job, pro-poor, and pro-environment kesempatan ini mempunyai urgensi untuk penurunan tingkat kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi. Sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dengan pendekatan mengintegrasikan aspek sosial budaya, ekonomi, dan teknologi tepat guna yang sarat muatan aspek lingkungan adalah salah satu strategi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalah emisi GRK. Selain sebagai sumber emisi dan sebagai sektor yang rentan terhadap perubahan iklim, sektor pertanian juga (khususnya lahan gambut) dapat berperan dalam memitigasi perubahan iklim, terutama dengan mengusahakan tanaman tahunan. 385

Sumaryanto et. al. DAFTAR PUSTAKA IFCA. 2007. Peatland Use in Indonesia. Dalam Anggraeni, L (2011). Analisis Ekonomi Mitigasi Penurunan Emisi di Lahan Gambut. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Miettinen, J., A. Hooijer, D. Tollenaar, S. Page, C. Malins, R. Vernimmen, C. Shi, and S. C. Liew. 2012. Historical Analysis and Projection of Oil Palm Plantation Expansion on Peatland in Southeast Asia. White Paper Number 17. The International Council on Clean Transportation. www.theicct.org Strack, M. 2008. Peatlands and Climate Change. International Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyväskylä, Finland. 227 p. UNEP and UNESCO 2007. The last stand of the orangutan, 2007. State of emergency: illegal logging, fire and palm oil in Indonesia s National Parks. 386

Strategi pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan lahan gambut Tabel Lampiran 1. Perkembangan neraca perdagangan pertanian 2006 2010 Tabel Lampiran 2. Nilai pengganda total sektor sawit dan karet dalam struktur ekonomi Indonesia, 1995 dan 2005 387

Sumaryanto et. al. 388