BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. oleh individu yang bersangkutan (Chaplin, 2011). Konsep diri sebagai gambaran

dokumen-dokumen yang mirip
Terapi Melukis untuk Meningkatkan Konsep Diri Remaja Panti Asuhan Nur Hidayah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utamanya dapat dipisahkan satu sama lain. Keluarga. dengan baik maka akan terjadi suatu ketimpangan antar anggota keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang bahagia. Kebahagiaan menjadi harapan dan cita-cita terbesar bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. pemberian rangsangan pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2011). Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan individu tidak pernah lepas dari peran

BAB I PENDAHULUAN. Bermain adalah pekerjaan anak-anak semua usia dan. merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan, tanpa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB 1 PENDAHULUAN. membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak. Masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. referensial (Jabrohim 2001:10-11), dalam kaitannya dengan sastra pada

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Individu yang menyindiri tanpa ada yang memperhatikannya akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. pemutusan hubungan kerja atau kehilangan pekerjaan, menurunnya daya beli

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN. tantangan dan tekanan dalam kehidupan dipengaruhi oleh persepsi, konsep

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera utara

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai umur dan lapisan masyarakat. Kebahagiaan bukan hanya berkisar pada

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat atau dikenal dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja sebagai tahap perkembangan manusia setelah masa anak-anak memiliki berbagai macam perubahan. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada perubahan fisik, yakni pertumbuhan organ repoduksi, tinggi badan, dan berat badan (Santrock, 2003), tetapi juga pada perubahan yang tidak dapat diamati seara langsung, yakni konsep diri (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Konsep diri yaitu evaluasi/penilaian/penaksiran individu mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan (Chaplin, 2011). Konsep diri sebagai gambaran individu mengenai dirinya yang merupakan hasil evaluasi terhadap kemampuan diri. Remaja mengalami banyak perubahan, termasuk sikap atau tingkah laku, hal ini akan membuat sikap orang lain terhadap remaja tersebut juga akan berubah menyesuaikan dengan perubahan yang tertampil dalam dirinya. Oleh sebab itu, konsep diri pada remaja cenderung tidak konsisten. Dari masa inilah, remaja mengalami suatu perkembangan konsep diri hingga pada akhirnya memiliki konsep diri yang konsisten (Santrock, 2003). Konsep diri diartikan sebagai produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi berbagai pengalaman psikologis yang berisi hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari significant others (Mead, 1972 dalam Shobur, 2003). commit 1 to user

2 Konsep diri remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah lingkungan keluarga terdekat, yakni orang tua. Orang tua adalah sosok yang penting dalam perkembangan identitas remaja. Seorang ayah dan ibu memiliki perannya masing-masing, seorang ayah akan bertanggung jawab memberi pelajaran moral, menjadi model peran berdasar jenis kelamin, pencari nafkah, dan bertanggung jawab terhadap disiplin. Perkembangan sosial remaja pun dapat sangat diuntungkan oleh adanya ayah yang penyayang, dapat diandalkan, dan mendorong tumbuhnya kepercayaan dan keyakinan (Stoll, et.al dalam Santrock, 2003). Di samping itu, remaja mampu memiliki kepribadian dan penyesuaian sosial yang lebih baik apabila memiliki ayah yang terlibat dalam pengasuhan dibandingkan dengan ayah yang tidak peduli serta menolak (Fish & Biller dalam Santrock, 2003). Faktor konsep diri dari lingkungan keluarga tersebut pun ternyata tidak dialami oleh setiap remaja. Beberapa remaja harus menerima takdir untuk kehilangan satu atau dua dari orang tua mereka. Perhatian dan kasih sayang yang nyata menjadi hal yang tidak didapatkan oleh beberapa remaja karena keberadaan orang tua mereka yang kini sudah tiada lagi. Hal ini menyebabkan remaja berada dalam kondisi yang tidak beruntung, yakni tidak dapat diasuh langsung oleh orang tua mereka. Beberapa anak dan remaja di Indonesia yang sudah tidak memiliki orang tua ditampung dan dirawat di panti asuhan sebagai alternatif tempat pengasuhan bagi anak-anak dan remaja (Widodo, 2012). Lingkungan panti asuhan diharapkan dapat membantu individu mendefinisikan diri remaja, seperti yang diungkapkan oleh Myers (2012) bahwa

3 orang lain di sekitar membantu individu mendefinisikan standar dalam mendefinisikan diri. Manusia sebagai makhluk sosial, tentu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Pengalaman mengenai kegagalan serta keberhasilannya, penilaian lingkungan terhadap dirinya, serta sikap orang dewasa di sekitarnya merupakan sumber konsep diri yang diperhitungkan (Tim pustaka familia, 2006). Panti asuhan sebagai lingkungan sosial bagi remaja pun berdampak pada konsep diri pula, seperti pada penelitian, namun konsep diri pada dasarnya terbentuk atas dasar pengalaman di lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan rumah, yang diterima melalui anggota rumah, yaitu orang tua, nenek, paman, dan saudara kandung, kemudian konsep diri akan diperoleh dari pengalaman dengan lingkaran pertemanannya (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Di Indonesia hampir 90% anak asuh di panti asuhan masih memiliki salah satu orang tua, lebih dari 56% masih memiliki orang tua lengkap, mereka ditempatkan di panti oleh keluarganya akibat keterbatasan ekonomi (Widodo, 2012). Panti asuhan menampung anak yang tidak memiliki ayah (yatim), tidak memiliki ibu (piatu), atau tidak memiliki ayah dan ibu (yatim piatu). Tidak hanya eksistensi orang tua yang menjadi pengaruh utama dalam konsep diri remaja di panti asuhan. Hasil wawancara di salah satu panti asuhan di Surakarta pada Februari 2016 menunjukkan bahwa ketidakberadaan orang tua di samping mereka tentu membuat sebagian besar remaja panti asuhan meratapi kehidupannya, sesekali anak asuh menangis menyendiri untuk sekadar melepas rindu dengan lingkungan keluarganya. Faktor lain seperti

4 sosial ekonomi pun menjadi bagian penilaian bagi diri mereka. Di Surakarta beberapa anak asuh yang berada di panti asuhan yatim piatu pun diasuh karena keberadaan ekonomi yang masih kurang memadai. Hal ini tentu menjadi pengaruh tambahan bagi konsep diri remaja di panti asuhan tersebut. Konsep diri terkait pula dengan penilaian orang lain mengenai diri individu (Myers, 2012) dan interaksi sosial (Hartiyani, 2011). Dalam wawancara dengan pengasuh dan anak asuh di salah satu panti di Surakarta pada Mei 2016, terdapat beberapa remaja yang hiperkritis terhadap orang lain, yakni dengan mengucapkan kata-kata yang pedas dan cukup ditakuti oleh remaja lainnya karena senioritas anak asuh tersebut. Sikap hiperkritis tersebut merupakan salah karakteristik konsep diri yang rendah menurut Brooks (dalam Rakhmat, 2007). Beberapa anak asuh juga mengeluhkan bahwa di samping sikap hiperkritis tersebut, beberapa remaja di panti asuhan diberikan penilaian buruk oleh teman-temannya karena sikapnya yang tidak ingin mengintrospeksi diri dan tidak menjalin interaksi sosial yang baik dengan menyendiri. Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik ialah salah satu karakteristik konsep diri yang tinggi (Hamachek, dalam Rakhmat 2007). Dalam wawancara dengan pangasuh dan anak asuh pada Mei 2016, penilaian yang tidak baik pun muncul ketikka terdapat pula beberapa remaja yang bertindak sewenang-wenang yang menganggap bahwa dirinya tidak diperhatikan, kemudian pergi beberapa hari tanpa berpamitan kepada pengasuh wisma panti asuhan dengan mengajak

5 teman-teman satu wisma. Beberapa remaja di panti asuhan kurang memiliki penyesuaian diri yang baik, yakni membutuhkan penyesuaian diri yang lebih lama dibandingkan dengan remaja lain di panti asuhan tersebut (wawancara dengan pengasuh dan anak asuh pada Mei 2016). Hal ini sejalan dengan penelitian Ganai (2016) yang menyebutkan bahwa penyesuaian diri dan konsep diri remaja di panti asuhan lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak tinggal di panti asuhan. Konsep diri berpengaruh pula pada kepercayaan diri individu (Hartiyani, 2011). Dalam wawancara dengan pengasuh dan anak asuh pada Mei 2016, beberapa remaja di panti asuhan kurang memiliki kepercayaan diri yang baik dengan cenderung menariik diri dari lingkungan sosial dan cenderung melemparkan amanah yang diterima dengan keluhan. Menurut Burns (1993), rendahnya konsep diri ini dapat berpengaruh pada penghargaan diri yang negatif, penerimaan diri yang negatif, evaluasi diri yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri. Rendahnya konsep diri dapat berpengaruh pada rendahnya kebermaknaan hidup remaja (Mazaya & Supradewi, 2011). Apabila konsep diri remaja panti asuhan dapat ditingkatkan, mereka dapat memiliki motivasi berprestasi dan prestasi belajar yang tinggi (Suparman, 2000). Di samping itu, konsep diri yang tinggi pada remaja panti asuhan juga memiliki hubungan yang positif dengan kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan (Nainggolan, 2002). Konsep diri yang tinggi dapat pula berpengaruh pada coping

6 stress remaja (Sitepu, 2010) dalam masanya menghadapi perubahan-perubahan pada dirinya menghadapi storm and stress. Remaja yang berada dalam kondisi konsep diri belum stabil (Santrock, 2003) dan memiliki konsep diri yang lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tinggal bersama orang tuanya (Ganai, 2016) menjadi tantangan yang nyata. Lowenfeld (dalam Malchiodi, 2003) mengutarakan bahwa individu yang menghadapi kondisi yang penuh dengan rintangan akan memengaruhi konsep diri, hal ini pun sejalan dengan berkembangnya proses seni (art) pada dirinya. Konsep diri (self concept) sebagai penilaian individu terhadap dirinya dirasa oleh peneliti mampu ditingkatkan melalui proses kreatif dalam art therapy yang dilakukan oleh individu. Melalui ekspresi kreatif dalam art therapy, individu akan mengekspresikan dirinya kemudian menemukan sense of self. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Samogyi (2003) bahwa sense of self dilakukan dengan proses kreatif yang efektif dan nyaman untuk mengekspresikan dirinya. Seni memiliki makna yang lebih jelas dibandingkan dengan verbal, yaitu mampu mengutarakan perasaan dan emosi. Dunia seni akan bebas mengeksplor dirinya melalui proses imajeri yang tertuang, lambat laun, individu akan mengidentifikasi perasaan melalui proses artistik. Sense of self yang telah ditemukan dalam proses seni pun akan berpengaruh pada konsep diri individu, menurut Anderson (dalam Brendtro & Ness, 2011), seni memiliki nilai intrinsik yang mendorong anak untuk berkreasi yang mampu membangun konsep diri positif.

7 Art therapy digunakan untuk mengetahui masa lalu yang mengelilingi kehidupan individu dan sebagai alat yang baik utuk mengetahui kisah yang ingin diceritakannya (Riley, 1999). Hal ini berkesinambungan dengan art therapy yang pernah dilakukan oleh seorang klien dengan latar belakang konsep diri dan percaya diri yang rendah pada masa anak-anaknya, namun terpendam hingga masa dewasa (Malchiodi, 2003). Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2014) yang mengutarakan bahwa terapi seni berpengaruh terhadap peningkatan konsep diri anak. Dalam wawancara pada Mei 2016 dengan salah satu anak asuh di Panti Asuhan di Surakarta yang mampu mengekspresikan dirinya dalam seni, subjek merasa memiliki kebahagiaan yang memengaruhi dirinya saat berhasil menuangkan ide imajerinya ke dalam suatu medium seni. Blanche (1999) mengutarakan bahwa melukis sebagai bagian dari art therapy menggunakan cat berbahan dasar air (akrilik, cat air, dan cat poster) melibatkan pencampuran dua warna ataupun lebih secara bersamaan yang akan menjadi campuran warna lain. Penggunaan dan pencampuran warna cat dalam permukaan atau media lukis akan membuat efek yang menyenangkan saat orang yang melukis membasahi kertas/kanvas pertama kali. Eksplorasi dan ekspresi diri melalui proses artistik pun dapat dilakukan melalui melukis. Individu akan menemukan kemampuan dan kesadaran dari dalam dirinya melalui program art therapy (Mayeski, 2012). Ketika individu melukis, pembentukan konsep diri dapat dicapai melalui keberhasilannya dalam melakukan kegiatan melukis dengan pembentukan identitas

8 dan labelling aku mampu. Persepsi positif pada diri individu akan berpengaruh terhadap konsep dirinya. Art therapy sudah banyak dilakukan di negara-negara maju, namun terapi ini juga dapat dilakukan di Indonesia mengingat esensi dari art therapy ialah media ekspresi diri. Art Therapy diutarakan oleh Evelin Witruk dalam health.kompas.com sebagai terapi yang efektif untuk dikembangkan di Indonesia. Art therapy juga dianggap berdampak besar karena mampu memberikan pelayanan psikologi bagi mereka yang tengah mengalami masalah dan tekanan hidup. Beberapa penelitian mengenai art therapy pun berhasil dilakukan. Penelitian terkait konsep diri pernah dilakukan oleh Hidayah (2014) yang menemukan bahwa terapi seni memiliki pengaruh terhadap konsep diri. Selain itu, Mukhlis (2011) melakukan penelitian mengenai terapi membatik untuk menurunkan tingkat depresi. Art therapy juga dinilai efektif pada klien dengan gangguan kepribadian (Haeyen; Hooren; Hutschemarkers, 2015). Terapi seni melalui melukis juga dilakukan pada pasien skizofrenia dan ketergantungan narkoba (Anoviyanti, 2008) yang memandang efek katarsis sebagai bagian penting dari art therapy. Art therapy juga memiliki peran pada regulasi emosi korban kekerasan dalam rumah tangga (Nurani, 2015).

9 Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui pengaruh terapi melukis yang menjadi salah satu teknik dalam art therapy sebagai media ekspresi diri untuk meningkatkan konsep diri pada remaja di panti asuhan. Berdasarkan fenomena dan studi literatur, peneliti berasumsi bahwa terapi melukis mampu meningkatkankan konsep diri remaja panti asuhan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat peneliti tarik sebuah rumusan masalah yaitu, Apakah terapi melukis mampu meningkatkan konsep diri remaja panti asuhan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Hasil akhir yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh terapi melukis terhadap peningkatan konsep diri remaja panti asuhan.

10 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai terapi melukis dan konsep diri dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, dan psikologi klinis. b. Manfaat Praktis 1) Bagi remaja panti asuhan, menggunakan terapi melukis untuk meningkatkan konsep diri. 2) Bagi Art Therapist, dapat memberikan informasi dan wawasan mengenai terapi melukis, sekaligus sebagai bahan pertimbangan untuk menggunakan terapi melukis dalam peningkatan konsep diri. 3) Bagi praktisi dan pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab pada anak panti asuhan, dapat digunakan untuk membuat kelas seni lukis sebagai bentuk terapi untuk membantu meningkatkan konsep diri remaja panti asuhan. 4) Bagi peneliti selanjutya, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk melakukan penelitian selanjutnya, khususnya mengenai pengaruh terapi melukis terhadap konsep diri.