1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dibentuk dengan suatu tujuan mulia yaitu mendorong dan menciptakan kesejahteraan umum dalam payung Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Negara Indonesia adalah negara hukum, ini tercantum jelas pada Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 setelah amandemen ketiga pada tahun 2001. Kalimat pada Pasal tersebut menyatakan dengan jelas mengenai supremasi hukum di Indonesia. Asal mula dari Pasal ini terdapat pada Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machsstaat). Istilah ini pulalah kemudian muncul istilah supremasi hukum 1. Melihat keadaan hukum yang dikatakan cukup memprihatinkan di negeri ini justru banyak yang mulai mempertanyakan kemampuan hukum di Indonesia, bahkan ada yang mempertanyakan status negara hukum bangsa ini yang dianggap mulai pudar. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut hak, melainkan hanya yang diberikan oleh hukum kepada 1 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Cetakan Pertama, Kencana, Jakarta, hlm. 11.
2 seseorang. 2 Suatu aturan hukum dapat dilaksanakan tergantung pada kesadaran manusia dan kinerja para penegak hukum. Faktor kesadaran manusia ini merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap penegakan hukum, termasuk dalam hal ini untuk penegakan hukum terhadap Notaris. 3 Pelayanan terhadap masyarakat oleh notaris sesuai dengan tugas jabatannya, telah dengan tegas menunjukkan bahwa Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya 4. Dewasa ini masyarakat menaruh perhatian yang lebih kepada kebijakan dan tingkah laku pejabat publik terlebih dalam masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) Untuk lebih menjamin pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN maka dibentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana keduanya adalah pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Lahirnya undang-undang ini diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan kesejahteraan rakyat, dengan sebuah penanggulangan terhadap sifat jahat yang terkandung dalam korupsi. Tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi pula perbuatanperbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula 2 Satjipto Raharjo, 2000 Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 53. 3 Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika Profesi Notaris (Dalam Penegakan Hukum Pidana), Bigraf Publishing, Yogyakarta, hlm. 69. 4 H.F.A. Vollmar, 1948, Pengantar Studi Hukum Perdata, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 14.
3 mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut. Dalam tulisan ini, penulis ingin meneliti tentang Hak Ingkar Notaris terkait tindak pidana korupsi, dengan salah satu contoh kasus Djoko Susilo (DS) 5 yang melakukan pembelian tanah, properti, serta kendaraan bermotor dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya. 6 Bahkan, untuk menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut, DS mengatasnamakan dan mengalihkan kepemilikan kepada pihak-pihak lain. Salah satu aset yang dialihkan kepemilikannya terhadap pihak lain tersebut berupa SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Berdasarkan ketentuan Pertamina, kepemilikan SPBU harus atas nama perusahaan, bukan perorangan. Dalam hal ini Notaris EM yang diminta Djoko Susilo membuat akta pendirian perusahaan, kemudian Notaris EM menjalankan kewenangannya membuat akta pendirian Perseroan Terbatas (PT), dan sebelum dibuat Akta Jual Beli (AJB) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, terlebih dahulu membuatkan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB), berdasarkan keinginan para pihak (penghadap) dan akta-akta yang dianggap perlu guna mengamankan hartanya yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Konsekuensi hukum pembuatan akta di atas, salah satunya adalah dapat dipanggilnya notaris oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, setidaknya 5 Djoko Segera Disidang, KPK Terus Telusuri Asetnya, dikutip dari http://nasional.kompas.com/read/2013/04/01/1509309/djoko.segera.disidang..kpk.terus.telusu ri.asetnya diakses pada tanggal 20 Januari 2014 pada pukul 21.10 WIB. 6 Peran Notaris Dalam Kasus Djoko Susilo, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51e370a2338ed/peran-notaris-dalam-kasus-djokosusilo. Diakses pada 30 Januari 2014 pada pukul 20.30 WIB.
4 sebagai saksi dari kasus tersebut. Terkait dengan profesi Notaris, hal ini tentunya berkaitan dengan hak ingkar yang melekat pada profesi Notaris berdasarkan Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi : Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji :... bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Kemudian dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f yang berbunyi: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban ; merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain ; Berdasarkan perkembangan terbaru, pada Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 28 (dua puluh delapan), bulan Mei, tahun 2013 (dua ribu tiga belas), melalui putusannya Nomor : 49/PPU-X/2012, yang amarnya berbunyi sebagai berikut : Mengadili, Menyatakan : 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya : 1.1. Menyatakan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5 1.2. Menyatakan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahhkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Terhadap putusan di atas sangat terbuka kemungkinan terjadinya penolakan. Hal tersebut dapat dikarenakan Notaris merasa kurang mendapatkan perlindungan hukum dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Hal ini patut dimaklumi, mengingat tugas Notaris adalah untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan alat bukti tertulis, khususnya yang berupa akta otentik. Pada dasarnya, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang kewajiban ingkar dan hak ingkar Notaris tercantum dalam : Pertama, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) : Pasal 54 berbunyi : Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 85 berbunyi : Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam... Pasal 16 ayat (1) huruf f..., Pasal 54..., dapat dikenai sanksi berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pemberhentian sementara; d. pemberhentian dengan hormat; atau e. pemberhentian dengan tidak hormat.
6 Kedua, KUHPidana Pasal 322 (1) berbunyi : Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau mata perncariannya, baik yang sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Ayat (2), Apabila kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. Ketiga, K.U.H. Acara Pidana : Pasal 170 ayat (1) berbunyi : Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. Ayat (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Keempat, K.U.H. Perdata dan H.I.R. Pasal 1909 dan Pasal 146 dan ada Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986, diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 pada Pasal 89 yang berbunyi : (1) Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah : a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak; b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatannya itu. (2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim. Kemudian apabila dibandingkan dengan ketentuan yang menolak panggilan sebagai saksi, dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam : 1.dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, sebagaimana bunyi Pasal tersebut, bentuk kesalahan adalah kesengajaan, sehingga bagi saksi hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka hanya dikenakan Pasal 522
7 KUHP. Sehingga seseorang hanya dapat dihukum karena tidak mau menjadi saksi apabila telah ada panggilan bagi dirinya untuk menjadi saksi dalam suatu perkara pidana maupun perdata. Selama tidak ada panggilan tersebut, maka tidak ada keharusan untuk bersaksi. Meskipun harus diingat pula ketentuan pada UU Nomor 31 Tahun 1999 pada Pasal 21 berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh jutarupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dari ketentuan-ketentuan yang terurai di atas, dapat terlihat bahwa konsekuensi profesi notaris adalah kewajiban untuk merahasiakan isi akta dan segala informasi akta yang diperoleh oleh notaris, termasuk pembicaraanpembicaraan para pihak / kliennya pada waktu pembicaraan diadakan sebagai persiapan untuk membuat akta 7. Pengawasan oleh Majelis Pengawas Notaris dianggap memang tidaklah mudah mengingat hal ini terpulang kepada Notaris sendiri dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab dalam tugas dan jabatannya mengikuti atau berdasarkan aturan hukum yang berlaku. 8 Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian dari Majelis Pengawas Daerah dapat dikatakan kurang profesional dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, sehingga Lembaga Majelis Pengawas dijadikan dan berfungsi sebagai pembela Notaris, oleh karena itu yang semestinya harus dibenahi adalah 7 A. Kohar, 1983, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 29. 8 Habib Adjie, 2011, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, PT Refika Aditama, Bandung, hlm 3.
8 orang-orang yang duduk dan menjabat pada Majelis Pengawas Daerah, dan bukannya terhadap kewenangan yang diamanatkan oleh Undang-Undang kepada Majelis tersebut. Terkait putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, penulis merasa perlu menyebutkan sebagai berikut: Pasal 66 berbunyi : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. (3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. (4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan. Pasal 66A (1) Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris. (2) Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur: a. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; b. pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan c. ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri. Apabila diperhatikan, maka materi muatan Pasal 66 (baru) tersebut merupakan materi muatan Pasal 66 (lama) ditambah materi muatan Pasal 12 dan Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum Dan H.A.M. Nomor : M.03.HT.03.10
9 TAHUN 2007. Sedangkan Lembaga yang memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim adalah lembaga yang baru akan dibentuk, yaitu Majelis Kehormatan Notaris, yang komposisi keanggotaannya berbeda dengan keanggotaan Majelis Pengawas Daerah. Setiap anggota Majelis Kehormatan Notaris pada dasarnya dituntut tidak hanya menguasai peraturan perundang-undangan tentang jabatan Notaris, melainkan juga harus menguasai berbagai macam ketentuan hukum acara maupun hukum materiil yang terkait dengan permintaan persetujuan yang dihadapi, sehingga putusannya diharapkan rasional, berkualitas, objektif, dan benar. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah yang berkaitan dengan judul ANALISIS YURIDIS HAK INGKAR NOTARIS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.
10 B.Rumusan Masalah Untuk menghindari agar penulisan ini tidak keluar dari pokok masalah, maka permasalahannya akan dibatasi sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan hak ingkar terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004? 2. Bagaimana penerapan hak ingkar Notaris pada proses penegakan hukum tindak pidana korupsi berdasarkan putusan Nomor : 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST? C.Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengkaji hak ingkar terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004. 2. Untuk mengkaji penerapan hak ingkar notaris pada proses penegakan hukum tindak pidana korupsi berdasarkan putusan Nomor : 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. D.Manfaat Penulisan Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan ini, antara lain sebagai berikut : 1. Secara Praktis. a. Penulisan ini dapat menjadi pemahaman yang lebih luas bagi praktisi hukum, masyarakat serta akademisi tentang pengaturan hak ingkar
11 terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 b. Penulisan ini dapat pula dimasukan sebagai pengetahuan untuk mengetahui penerapan hak ingkar notaris pada proses penegakan hukum tindak pidana korupsi berdasarkan putusan Nomor : 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. 2. Secara Teoritis a. Diharapkan dapat dijadikan dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya tentang pengaturan hak ingkar terhadap Undang - undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 b. Dan dapat pula mengetahui tentang penenerapan hak ingkar notaris pada proses penegakan hukum tindak pidana korupsi berdasarkan putusan Nomor : 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. E.Keaslian Penulisan Penulisan mengenai Analisis Yuridis Terhadap Hak Ingkar Notaris Dalam Tindak Pidana Korupsi sepanjang pengetahuan penulis melalui bacaan pustaka, belum pernah ada sebelumnya. Penelusuran terhadap hasil-hasil penulisan dan karya-karya ilmiah telah dilakukan, dan telah ditemukan berbagai hasil penulisan yang membahas permasalahan serupa tetapi tidak ditemukan hasil penulisan lain yang secara spesifik membahas penyalahgunaan hak ingkar notaris dalam tindak pidana korupsi tersebut.
12 Dari sekian banyak hasil penulisan, penulis menemukan beberapa hasil penulisan yang dianggap memiliki substansi yang memiliki kemiripan, yakni sebagai berikut: 1. Tesis Penyalahgunaan Hak Ingkar Notaris Dalam Penyidikan Perkara Pidana oleh Arie Syahrur 9 dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana bentuk penyalahgunaan hak ingkar Notaris yang terjadi dalam penyidikan perkara pidana? b. Tindakan apa saja yang dilakukan penyidik terhadap adanya penyalahgunaan hak ingkar tersebut diatas? Hasil penulisan tersebut antara lain adalah Pertama, Tidak datangnya Notaris bisa mengganggu proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dengan keharusan izin Majelis Pengawas Daerah. Kedua, Penyidik Kepolisian dalam hal ini masih dinilai belum maksimal dan kurangnya koordinasi dengan Majelis Pengawas Daerah mengenai adanya mekanisme pemanggilan seorang Notaris. 2. Tesis Hak Ingkar Notaris Dalam Hukum Pembuktian Pidana oleh Wahyu Kencana Wiguna 10, dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Apakah yang dimaksud dengan hakekat hak ingkar Notaris? b. Bagaimana pelaksanaan hak ingkar Notaris dalam pembuktian pidana di sidang pengadilan? c. Bagaimana pengaturan hak ingkar Notaris di masa yang akan datang? 9 Arie Syahrur, 2012, Penyalahgunaan Hak Ingkar Notaris Dalam Penyidikan Perkara Pidana, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 10 Wahyu Kencana Wiguna, 2010, Hak Ingkar Notaris Dalam Hukum Pembuktian Pidana, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
13 Hasil penulisan tersebut antara lain adalah Pertama, Hak Ingkar Notaris pada hakekatnya adalah untuk menjaga kerahasiaan kliennya sesuai dengan sumpah dan jabatan Notaris. Kedua, Izin pemanggilan dan pemeriksaan Notaris dari Majelis Pengawas Daerah hanya berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris. Ketiga, Hak Istimewa Notaris ini dapat dinegasikan demi keadilan yang lebih besar sehingga pengaturan hak ingkar dimasa mendatang perlu ditinjau kembali. Perbedaan penulisan ini dengan penulisan-penulisan tersebut diatas adalah bahwa penulisan ini lebih khusus mengenai pelaksanaan digunakan atau tidaknya hak ingkar notaris secara spesifik dalam tindak pidana korupsi yang tidak dilakukan pada penulisan sebelumnya.