IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel

Lampiran 1. Karakteristik Metode GC-AOAC dan Liquid Chromatography AOAC (Wood et al., 2004)

TITRASI PENETRALAN (asidi-alkalimetri) DAN APLIKASI TITRASI PENETRALAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo yaitu SMPN 1 Gorontalo, SMPN 2 Gorontalo, SMPN 3 Gorontalo,

LAPORAN PRAKTIKUM STANDARISASI LARUTAN NaOH

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

Judul Percobaan II. Tujuan Percobaan III. Tanggal Percobaan IV. Selesai Percobaan Dasar Teori:

PENENTUAN KADAR KARBONAT DAN HIDROGEN KARBONAT MELALUI TITRASI ASAM BASA

PERCOBAAN I PENENTUAN KADAR KARBONAT DAN HIDROGEN KARBONAT MELALUI TITRASI ASAM BASA

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

Air dan air limbah Bagian 19: Cara uji klorida (Cl - ) dengan metode argentometri (mohr)

Air dan air limbah Bagian 21: Cara uji kadar fenol secara Spektrofotometri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ASIDI-ALKALIMETRI PENETAPAN KADAR ASAM SALISILAT

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

PERCOBAAN I PEMBUATAN DAN PENENTUAN KONSENTRASI LARUTAN

VOLUMETRI / TITRIMETRI

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan rasio distribusi yang kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada

PENENTUAN KADAR ASAM ASETAT DALAM ASAM CUKA DENGAN ALKALIMETRI

Metodologi Penelitian

PENETAPAN NATRIUM BENZOAT Laporan Praktikum Kimia Pangan

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

KIMIA DASAR PRINSIP TITRASI TITRASI (VOLUMETRI)

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Laporan Praktikum TITRASI KOMPLEKSOMETRI Standarisasi EDTA dengan CaCO3

Desikator Neraca analitik 4 desimal

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak dan lemak secara gravimetri

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK DASAR PENENTUAN KADAR NIKEL SECARA GRAVIMETRI. Pembimbing : Dra. Ari Marlina M,Si. Oleh.

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

ESTERIFIKASI MINYAK LEMAK [EST]

Air dan air limbah Bagian 10: Cara uji minyak nabati dan minyak mineral secara gravimetri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis.

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

II. HARI DAN TANGGAL PERCOBAAN

BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 3: Oksida-oksida sulfur (SO X ) Seksi 2: Cara uji dengan metoda netralisasi titrimetri

TITRASI DENGAN INDIKATOR GABUNGAN DAN DUA INDIKATOR

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN

PEMBUANTAN NIKEL DMG KIMIA ANORGANIK II KAMIS, 10 APRIL 2014

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA PEMISAHAN PERCOBAAN 1 EKSTRAKSI PELARUT

Air dan air limbah - Bagian 22: Cara uji nilai permanganat secara titrimetri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

Metodologi Penelitian

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

Metode titrimetri dikenal juga sebagai metode volumetri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai

GRAVIMETRI PENENTUAN KADAR FOSFAT DALAM DETERJEN RINSO)

BAB III METODE PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA DASAR I

Percobaan 6 DISTRIBUSI ZAT TERLARUT ANTARA DUA JENIS PELARUT YANG BERCAMPUR. Lab. Kimia Fisika Jurusan Kimia Universitas Negeri Semarang

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bab III Bahan dan Metode

EKSTRAKSI CAIR-CAIR. Bahan yang digunkan NaOH Asam Asetat Indikator PP Air Etil Asetat

4028 Sintesis 1-bromododekana dari 1-dodekanol

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metodologi Penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK 2 PENENTUAN KADAR KLORIDA. Senin, 21 April Disusun Oleh: MA WAH SHOFWAH KELOMPOK 1

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

Air dan air limbah Bagian 13: Cara uji kalsium (Ca) dengan metode titrimetri

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

BAB III METODE PENELITIAN

3 Metodologi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik

Emisi gas buang Sumber tidak bergerak Bagian 8: Cara uji kadar hidrogen klorida (HCl) dengan metoda merkuri tiosianat menggunakan spektrofotometer

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FARMASI ANALISIS II TURUNAN ASAM HIDROKSI BENZOAT

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Desain dan Sintesis Amina Sekunder

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patalogi, Entomologi dan

METODOLOGI PENELITIAN

Air dan air limbah Bagian 14: Cara uji oksigen terlarut secara yodometri (modifikasi azida)

BAB I PRAKTIKUM ASIDI AL-KALIMETRI

dimana hasilnya dalam bentuk jumlah atau bilangan kadar.

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

4006 Sintesis etil 2-(3-oksobutil)siklopentanon-2-karboksilat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mengetahui kinerja bentonit alami terhadap kualitas dan kuantitas

KIMIA ANALITIK TITRASI ASAM-BASA

TUGAS KIMIA SMA NEGERI 1 BAJAWA TITRASI ASAM BASA. Nama : Kelas. Disusun oleh:

c. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet

Air dan air limbah Bagian 11: Cara uji derajat keasaman (ph) dengan menggunakan alat ph meter

Titrasi Volumetri. Modul 1 PENDAHULUAN

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

Laporan Praktikum Kimia Analitik II. Koefisien Distribusi Iod

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS KUALITATIF NATRIUM BENZOAT Tujuan analisis kualitatif natrium benzoat adalah untuk mengetahui apakah di dalam suatu sampel terkandung natrium benzoat. Pada analisis ini, sampel yang digunakan adalah sampel saus sambal dan minuman dalam kemasan yang terdapat di pasaran. Kedua jenis sampel yang dipilih tersebut adalah yang mengandung natrium benzoat, seperti yang tercantum pada label kemasan. Masing-masing sampel dilakukan analisis dengan tiga kali ulangan. Metode analisis yang dilakukan mengacu pada AOAC Official Method 910.02B (1999) yaitu dengan uji feriklorida. Persiapan sampel yang dilakukan untuk saus sambal berbeda dengan sampel minuman dalam kemasan. Pada sampel saus sambal, karena karakteristik substrat atau matriks sampel diperlukan perlakuan pendahuluan yang lebih kompleks agar dapat menghilangkan interferen yang mengganggu dan meningkatkan konsentrasi solute. Untuk sampel minuman, perlakuan pendahuluan yang dilakukan tidak terlalu rumit dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan pada makanan (Gomis dan Alonso 1996). Pada saus sambal, dilakukan persiapan sampel untuk sampel padatan atau semi padatan. Pertama-tama sampel diencerkan terlebih dahulu, lalu dibasakan dengan penambahan NaOH 10 %, kemudian didiamkan selama + 2 jam agar reaksi dengan NaOH berjalan dengan sempurna. Setelah itu campuran disaring. Sementara untuk sampel minuman, tidak perlu diencerkan terlebih dahulu. Sampel langsung ditambahkan NaOH 10 % hingga alkalis, kemudian disaring. Untuk sampel minuman ini, tidak perlu diencerkan lagi karena total padatan terlarut (TPT) tidak melebihi 15 %. Filtrat yang diperoleh diasamkan dengan penambahan HCl (1+3), kemudian diekstrak dengan eter (dietil eter). Ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini termasuk ekstraksi pelarut (liquid-liquid extraction). Ekstraksi pelarut didefinisikan sebagai proses pemisahan suatu zat dari sebuah campuran dengan melarutkan zat tersebut dalam sebuah pelarut dimana zat tersebut dapat larut tetapi zat lain yang ada dalam campuran tidak dapat larut (Holden 1999). Prinsip dari ekstraksi yaitu jika sebuah larutan kontak dengan

27 pelarut immiscible, solute akan terdistribusi di antara dua fase cair (liquid) (Jacobs et al. 1974). Pada kesetimbangan, rasio konsentrasi solute dalam dua fase kurang lebih konstan. Rasio ini dinamakan rasio distribusi atau koefisen distribusi. Ketika komponen yang diinginkan berada dalam larutan air (fase kedua), maka komponen itu bisa dipindahkan dengan menggunakan pelarut yang tidak larut air (fase satu). Komponen yang diinginkan tersebut mudah larut dan impurities tidak atau hanya sedikit larut. Ekstraksi sangat berguna untuk memisahkan solute yang diinginkan dari impurities dan by product yang larut air. Pelarut yang baik untuk ekstraksi harus mempunyai kelarutan yang rendah di fase kedua (biasanya air), titik didih rendah, dan memiliki kemampuan untuk melarutkan analit tanpa melarutkan impurities (Jacobs et al. 1974). Pelarut juga harus bersifat inert dan tidak mengalami reaksi dengan reaktan atau produk. Dietil eter adalah pelarut yang umum digunakan untuk ekstraksi karena sifatnya yang inert dan kelarutan air yang rendah dalam eter (1 g/75 g eter). Kelemahan dari pelarut eter ini adalah sangat mudah terbakar sehingga diperlukan penanganan yang hati-hati. Setelah ekstraksi, akan terdapat dua lapisan yang terpisah. Lapisan bawah adalah fase aqueous, sedangkan lapisan atas merupakan fase eter. Hal ini disebabkan berat jenis eter (ρ=0.713 g/ml) lebih rendah daripada berat jenis air (ρ=1 g/ml). Pemisahan kedua fase ini dapat dilihat pada Gambar 3. Ekstrak eter kemudian diuapkan pada penangas air (hotplate) pada suhu yang rendah, sehingga akan tersisa residu. Residu tersebut dilarutkan dalam air dan ditambahkan dengan NH 3 hingga basa. Larutan kemudian diuapkan untuk menghilangkan kelebihan NH 3. Residu yang terbentuk dilarutkan dengan air panas dan disaring untuk menghilangkan kotoran-kotoran sehingga pembentukan ferribenzoat akan jelas terlihat. Filtrat tersebut kemudian ditambahkan dengan FeCl 3. Jika sampel positif mengandung benzoat, maka akan terbentuk endapan ferribenzoat yang berwarna kekuningan atau salmon. Terjadinya endapan ferribenzoat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa sebelum ditambah dengan FeCl 3, larutan masih terlihat jernih. Namun setelah ditambah dengan FeCl 3, terdapat endapan ferribenzoat yang

28 berwarna kekuningan atau warna salmon. Adanya endapan tersebut menandakan bahwa sampel tersebut positif mengandung natrium benzoat. fase eter fase air Gambar 3. Pemisahan Fase Eter dan Fase Air A B Gambar 4. Pembentukan Ferribenzoat, A = Larutan Sebelum Ditambah Pereaksi FeCl 3 0.5 %, B = Larutan Setelah Ditambah Pereaksi FeCl 3 0.5 % Hasil analisis kualitatif natrium benzoat pada sampel saus sambal dan minuman dalam kemasan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis

29 menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut positif mengandung natrium benzoat pada ketiga ulangan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan komposisi yang tertera pada label kemasan yang menyebutkan bahwa kedua sampel tersebut mengandung natrium benzoat. Tabel 5. Hasil Analisis Kualitatif Natrium Benzoat pada Saus Sambal dan Minuman Dalam Kemasan Ulangan Saus Sambal Minuman Dalam Kemasan 1 + + 2 + + 3 + + Keterangan : + : positif mengandung benzoat, ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna salmon B. PRINSIP ANALISIS KUANTITATIF NATRIUM BENZOAT Analisis kuantitatif berkaitan dengan penetapan berapa banyak suatu zat yang terkandung dalam suatu sampel (Day dan Underwood 2002). Zat yang ditetapkan tersebut, yang seringkali dinyatakan sebagai konstituen atau analit, menyusun sebagian kecil atau sebagian besar sampel yang dianalisis. Jika zat yang dianalisa (analit) tersebut menyusun lebih dari 1 % dari sampel, maka analit ini dianggap sebagai konstituen utama. Namun jika jumlahnya berkisar antara 0.01 hingga 1 % dari sampel, maka zat itu dianggap sebagai konstituen minor. Jika zat yang terkandung di dalamnya kurang dari 0.01 % dianggap sebagai konstituen perunut (trace). Prosedur analisis kuantitatif benzoat didahului dengan persiapan sampel yang prosedurnya sedikit berbeda untuk tiap sampel. Tetapi, secara umum sampel dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian dijenuhkan dengan penambahan NaCl powder. Sampel dibuat menjadi basa dengan penambahan NaOH 10 % agar benzoat yang terdapat dalam sampel berubah menjadi bentuk garamnya sehingga semakin larut dalam fase air dan dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi benzoat. Penambahan NaOH juga bertujuan untuk mengendapkan komponen pangan yang lain seperti protein dan lipida sehingga komponen tersebut tidak masuk ke dalam filtrat. Selanjutnya sampel

30 diencerkan dengan larutan NaCl jenuh. Kemudian sampel didiamkan selama + 2 jam, sambil sesekali dikocok. Setelah didiamkan, sampel disaring untuk menghilangkan bagian padatan, namun asam benzoat tertinggal dalam larutan (filtrat) (Aurand et al. 1987). Filtrat hasil penyaringan diasamkan dengan HCl (1+3), setelah itu diekstraksi dengan menggunakan kloroform berkali-berkali dengan volume kloroform berturut-turut adalah 70 ml, 50 ml, 40 ml, dan 30 ml. Ekstraksi yang berulang-ulang dengan volume ekstraktan yang lebih kecil dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi sehingga jumlah analit yang terekstrak akan semakin besar (Jacobs et al. 1974). Kloroform walaupun tidak sebaik pelarut eter, dipilih karena beberapa alasan yaitu melarutkan hanya senyawa traces dan substansi pengganggu lain, nonflammable (tidak mudah terbakar), lebih berat daripada air (ρ = 1.48 g/ml) sehingga akan berada pada lapisan bawah dan karena itu mudah dikeluarkan melalui corong labu pemisah (Aurand et al. 1987). Menurut prosedur AOAC tahun 1999, ekstrak kloroform yang terkumpul kemudian didistilasi pada suhu rendah sampai volume ekstrak seperempat dari volume semula. Namun pada penelitian ini, ekstrak kloroform diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary vacuum evaporator (rotavapor), pada suhu rendah + 40 o C, sampai tertinggal sedikit cairan. Cairan tersebut dipindahkan ke gelas piala. Labu rotavapor harus dibilas beberapa kali dengan kloroform untuk menghindari hilangnya asam benzoat. Cairan bilasan tersebut disatukan dengan cairan hasil rotavapor, kemudian diuapkan pada suhu kamar sampai tertinggal beberapa tetes cairan. Residu tersebut kemudian dikeringkan semalaman dalam desikator yang mengandung H 2 SO 4 pekat. Residu asam benzoat kemudian dilarutkan dengan alkohol (etanol). Menurut Jacobs et al. (1974), alkohol adalah pelarut yang larut air karena bisa bertindak sebagai donor dan akseptor dalam pembentukan ikatan hidrogen. Etanol adalah pelarut yang paling penting karena bisa melarutkan baik senyawa polar ataupun non polar dan asam benzoat sangat larut dalam alkohol (WHO 2000). Larutan tersebut kemudian ditambah air dan indikator

31 phenolphtalein (pp). Tahap selanjutnya adalah titrasi dengan menggunakan NaOH 0.05 N. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri yaitu titrasi asam basa atau titrasi penetralan. Titrimetri adalah suatu jenis volumetri. Dalam titrimetri, analat direaksikan dengan suatu bahan lain yang diketahui atau dapat diketahui jumlah molnya dengan tepat (Harjadi 1990). Analisis dengan metode titrimetrik didasarkan pada reaksi sebagai berikut (Day dan Underwood 2002): αa + t T produk dimana α molekul analit, A, bereaksi dengan t molekul pereaksi, T. Pereaksi T, yang disebut titran, ditambahkan secara kontinu, biasanya dari sebuah buret, dalam wujud larutan yang konsentrasinya diketahui. Larutan ini disebut larutan standar, dan konsentrasinya ditentukan dengan sebuah proses yang dinamakan standardisasi. Penambahan dari titran tetap dilakukan sampai jumlah T secara kimiawi sama dengan yang telah ditambahkan kepada A. Selanjutnya akan dikatakan titik ekivalen dari titrasi telah tercapai. Agar diketahui kapan harus berhenti menambahkan titran, digunakan indikator, yang bereaksi terhadap kehadiran titran yang berlebih dengan melakukan perubahan warna. Perubahan warna ini bisa saja terjadi persis pada titik akhir ekivalen, tetapi bisa juga tidak. Titik dalam titrasi dimana indikator berubah warnanya disebut titik akhir. Diharapkan titik akhir ini sedekat mungkin dengan titik ekivalen. Terdapat beberapa syarat reaksi untuk reaksi titrasi, yaitu reaksi harus berlangsung sempurna, cepat sehingga titrasi dapat diselesaikan dalam beberapa menit dan ada penunjuk akhir titrasi (indikator) (Harjadi 1990). NaOH yang digunakan sebagai titran dalam analisis ini harus distandarisasi terlebih dahulu. Dalam penyimpanannya, NaOH mengalami perubahan antara lain karena ia bersifat higroskopis sehingga menarik uap air dari udara, dan juga mudah bereaksi dengan CO 2 dalam udara. Hal ini menyebabkan konsentrasi NaOH berubah dan sukar untuk diketahui konsentrasinya dengan pasti.

32 Telah dijelaskan di atas bahwa standardisasi adalah proses dimana konsentrasi larutan ditentukan secara akurat. Umumnya larutan distandarisasi dengan titrasi, di mana larutan tersebut bereaksi dengan sejumlah standar primer yang telah ditimbang. Standar primer harus mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) harus tersedia dalam bentuk murni, (2) harus stabil, mudah dikeringkan dan tidak terlalu higroskopis sehingga tidak banyak menyerap air selama penimbangan, (3) memiliki berat ekivalen yang tinggi agar dapat meminimalkan galat pada saat penimbangan (Day dan Underwood 2002). Untuk titrasi asam basa, biasanya disiapkan larutan asam dan basa dari konsentrasi yang kira-kira diinginkan dan kemudian menstandardisasikan salah satunya dengan sebuah standar primer. Larutan yang telah distandardisasi dapat dipergunakan sebagai standar sekunder untuk mendapatkan konsentrasi dari larutan lainnya. Standar primer yang dipergunakan secara luas untuk larutan basa terdiri dari kalium hidrogen ftalat, KHC 8 H 4 O 4 (KHP), asam sulfamat, HSO 3 NH 2, dan kalium hidrogen iodat, KH(IO 3 ) 2. Natrium karbonat, Na 2 CO 3, dan tris (hidroksimetil)aminometana, (CH 2 OH 2 ) 3 CNH 2, dikenal sebagai TRIS atau THAM, secara umum adalah standar primer untuk asam kuat. Dalam percobaan ini, digunakan standar primer KHP untuk menstandardisasi NaOH. Indikator yang digunakan pada saat titrasi adalah indikator pp. Indikator ini memiliki rentang ph 8.0-9.6, dan perubahan warna yang terjadi dengan meningkatnya ph yaitu dari tidak berwarna ke merah. Untuk titrasi asam lemah, fenolftalein berubah warna di sekitar titik ekivalen dan merupakan indikator yang sesuai. Prinsip dari analisis kuantitatif natrium benzoat secara titrimetri dapat dijelaskan sebagai berikut. Natrium benzoat dalam contoh bebas lemak diubah menjadi asam benzoat oleh suatu asam sehingga dapat larut dalam pelarut organik non polar dengan proses ekstraksi. Selanjutnya melalui proses destilasi dan penguapan pelarut dapat diperoleh asam benzoat yang junlahnya dapat diketahui dengan titrasi asam basa. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 5.

33 O ONa O OH + HCl + NaCl O OH O ONa + NaOH + H 2 O Gambar 5. Prinsip Analisis Kuantitatif Natrium Benzoat dengan Titrimetri (Rohman dan Sumantri 2007) C. PENENTUAN PENGGUNAAN PEREAKSI Untuk analisis kuantitatif, pertama-tama dilakukan analisis pada larutan natrium benzoat standar dalam pelarut air dengan konsentrasi +1000 ppm dengan tiga perlakuan yang berbeda. Masing-masing perlakuan dilakukan satu kali ulangan dan duplo. Masing-masing perlakuan digunakan bahan kimia NaCl, kloroform, dan alkohol yang berbeda-beda (pro analysis dan teknis). Pemilihan ketiga bahan kimia ini didasarkan pada pertimbangan harga dan jumlah yang dibutuhkan untuk analisis di mana ketiga bahan tersebut memiliki harga yang lebih tinggi dan jumlah yang digunakan untuk analisis lebih banyak dibandingkan dengan bahan kimia yang lain. Untuk perlakuan 1, digunakan NaCl, kloroform, dan alkohol yang semuanya p.a. Untuk perlakuan 2, digunakan NaCl p.a., kloroform teknis, dan alkohol teknis. Sementara perlakuan 3 digunakan NaCl teknis, kloroform teknis, dan alkohol teknis. Data lengkap yang diperoleh pada tahapan ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Rata-rata konsentrasi benzoat pada perlakuan 1 sebesar 970.61 ppm, pada perlakuan 2 sebesar 944.51 ppm, dan pada perlakuan 3 sebesar 954.55 ppm. Perlakuan 1 memiliki standar deviasi sebesar 26.08 ppm, perlakuan 2 sebesar 15.18 ppm, dan perlakuan 3 sebesar 7.63 ppm. Nilai ratarata dan standar deviasi pada ketiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.

34 [ ] Benzoat Rata-rata (ppm) 1100 1000 900 800 700 600 500 970.61+26.08 a 944.51+15.18 a 954.55+7.63 a Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji ANOVA (p>0.01) Gambar 6. Konsentrasi Rata-rata Natrium Benzoat pada Berbagai Perlakuan Nilai RSD masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7. Nilai RSD pada perlakuan 1 sebesar 2.69 %, perlakuan 2 sebesar 1.61 %, dan perlakuan 3 sebesar 0.80 %. Nilai RSD digunakan untuk menentukan tingkat ketelitian metode. Menurut Nielsen (2003), nilai RSD dibawah 5 % dapat diterima. Sedangkan menurut Huber (2001), nilai RSD tergantung pada konsentrasi analit. Untuk konsentrasi analit 0.10 % (1000 ppm), batas RSD yang dapat diterima adalah 2.70 % dan untuk konsentrasi analit 100 ppm batas RSD adalah 5.30 %. Batas RSD yang dapat diterima dalam penelitian mengacu pada RSD Horwitz dengan batas RSD sebesar 2/3 dari RSD Horwitz. Dari perhitungan menggunakan rumus Horwitz, didapat batas RSD yang dapat diterima pada masing-masing perlakuan adalah 3.80 %. Nilai RSD ketiga perlakuan tersebut lebih kecil daripada nilai RSD Horwitz, oleh karena itu RSD ketiga perlakuan tersebut masih dapat diterima.

35 RSD (%) 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 3.80 3.80 3.80 2.69 1.61 0.80 Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 RSD RSD Horwitz Gambar 7. Nilai RSD pada Berbagai Perlakuan Persen recovery dari ketiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8. Perlakuan 1 memiliki persen recovery tertinggi yaitu sebesar 98.32 %, diikuti oleh perlakuan 3 sebesar 96.15 %, dan perlakuan 2 sebesar 95.14 %. Persen recovery ini digunakan untuk menentukan ketepatan atau akurasi. Akurasi dapat ditentukan melalui berbagai cara (Huber 2001). Yang pertama adalah dengan membandingkan hasil metode dengan hasil dari metode acuan. Kedua, akurasi juga dapat ditentukan dengan menganalisis sampel yang telah diketahui konsentrasinya (misalnya Certified Reference Material / CRM) dan membandingkan hasil pengukuran dengan nilai CRM. Jika CRM tidak tersedia, suatu matriks dapat ditambahkan (spike) dengan konsentrasi yang telah diketahui. Hasil pengukuran dibandingkan dengan konsentrasi yang ditambahkan dan didapat nilai persen recovery (persen perolehan kembali/persen PK). Persen PK adalah angka yang menunjukkan besarnya penambahan standar yang mampu diidentifikasi kembali dengan suatu metode. Nilai PK bergantung pada matriks sampel. Batas penerimaan PK menurut Huber (2001) untuk konsentrasi analit 0.1% (1000 ppm) adalah 95-105%, konsentrasi analit 100 ppm adalah 90-107%. Dari hasil yang diperoleh, nilai persen recovery untuk ketiga perlakuan cukup baik dan dapat diterima.

36 Persen Recovery (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 98.32 95.14 96.15 Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Gambar 8. Persen Recovery pada Berbagai Perlakuan Hasil analisis pada ketiga perlakuan dilakukan uji t dan F (Lampiran 9, 10, dan 11) untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara perlakuan-perlakuan tersebut. Uji signifikansi meliputi uji t-student dan uji F. Nilai-nilai t dan F hitung serta t dan F tabel dapat dilihat pada Tabel 6. Pada perlakuan 1 dan 2, didapat t hitung sebesar 1.223 dan t tabel pada taraf (α) 0.01 sebesar 9.925 dan -9.925. Karena t hitung berada di antara t tabel, maka tidak ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara perlakuan 1 dan perlakuan 2. Berdasarkan uji F, didapat nilai F hitung sebesar 2.952 dan nilai F tabel pada α = 0.01 adalah 4052.185. F hitung lebih kecil dari F tabel, maka standar deviasi perlakuan 1 dan perlakuan 2 tidak berbeda secara signifikan artinya ketelitian perlakuan 1 tidak berbeda nyata dengan ketelitian perlakuan 2. Tabel 6. Uji t dan F pada Berbagai Perlakuan (α = 0.01) Perlakuan t hitung t tabel F hitung F tabel 1 dan 2 1.223 2.952 2 dan 3-0.836 9.925 dan -9.925 3.958 4052.185 1 dan 3 0.836 11.683 Perbandingan rataan perlakuan 2 dan perlakuan 3 menghasilkan nilai t hitung sebesar -0.836. Karena nilai t hitung ini berada di antara nilai t tabel

37 yaitu 9.925 dan -9.925, maka hipotesis nol diterima. Ini berarti bahwa rataan perlakuan 2 dan rataan perlakuan 3 tidak berbeda nyata. Uji F yang dilakukan menghasilkan nilai F hitung sebesar 3.958. Karena nilai F hitung ini lebih kecil dari F tabel maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara standar deviasi perlakuan 2 dan standar deviasi perlakuan 3. Uji t dan F juga dilakukan untuk membandingkan perlakuan 1 dan perlakuan 3. Nilai t hitung yang diperoleh sebesar 0.836 dan nilai ini berada di antara nilai t tabel, maka hipotesis nol diterima yang berarti bahwa rataan perlakuan 1 dan 3 tidak berbeda nyata. Nilai F hitung sebesar 11.683 dan nilai ini lebih kecil dari nilai F tabel, karena itu standar deviasi perlakuan 1 dan perlakuan 3 tidak berbeda nyata (hipotesis nol diterima). Di samping uji t, dilakukan juga uji ANOVA untuk memastikan hasil dari uji t (Lampiran 12). Nilai probabilitas yang didapat sebesar 0.445. Karena nilai probabilitas > 0.01 maka H0 diterima. Ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata di antara ketiga perlakuan tersebut. Pertimbangan yang lain selain analisis statistik dalam pemilihan perlakuan adalah biaya yang dibutuhkan untuk analisis. Rincian biaya untuk masing-masing perlakuan (satu kali ulangan dan duplo) dapat dilihat pada Lampiran 13. Biaya yang dibutuhkan untuk perlakuan 1 sebesar Rp 153,016, perlakuan 2 sebesar Rp 141,752, dan perlakuan 3 sebesar Rp 72,032. Karena perlakuan 3 membutuhkan biaya yang lebih rendah dan hasilnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan 1 dan 2, maka perlakuan 3 dipilih untuk digunakan pada analisis sampel saus sambal. D. ANALISIS SAUS SAMBAL Terdapat dua perlakuan yang dilakukan pada analisis saus sambal ini. Parameter perlakuan terletak pada ekstraksi sampel. Perlakuan pertama, ekstraksi menggunakan labu pemisah (separator) seperti pada prosedur AOAC, sedangkan perlakuan kedua ekstraksi menggunakan plateform shaker (modifikasi AOAC). Pemilihan parameter ini disebabkan ekstraksi menggunakan labu pemisah sangat tergantung pada analis dan faktor kelelahan mengocok merupakan faktor utama yang menjadi penyebab

38 keragaman data yang dihasilkan dari metode ini. Dengan cara ekstraksi menggunakan plateform shaker (kecepatan 40 rpm dan waktu setiap ekstraksi 30 menit), diharapkan data yang dihasilkan akan menjadi lebih teliti. Pada tahapan ini, proses titrasi tidak dilakukan seperti pada tahap penentuan penggunaan pereaksi yang menggunakan cara titrasi seperti biasanya (colorimetric titration). Cara titrasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan titrasi potensiometrik. Pada jenis titrasi ini, digunakan ph-meter untuk melihat titik akhir titrasi. Hal ini disebabkan karena ekstrak yang dihasilkan berwarna oranye, sehingga sangat sulit untuk menentukan titik akhir titrasi jika digunakan colorimetric titration. Oleh karena itu ketika larutan berwarna akan dititrasi menggunakan indikator pp, metode yang sebaiknya digunakan adalah titrasi potensiometrik. Sampel dititrasi sampai ph 8.2 jika digunakan indikator pp (Nielsen 2003). Saus sambal yang digunakan untuk analisis harus berasal dari batch yang sama untuk menghindari terjadinya bias, karena itu dipilih saus sambal yang memiliki kode produksi yang sama. Analisis dilakukan sebanyak 7 kali. Data analisis kuantitatif saus sambal dengan metode labu pemisah dan shaker dapat dilihat pada Lampiran 14 dan 15. A B Gambar 9. Potentiometric Titration (A) dan Colorimetric Titration (B) (Nielsen, 2003)

39 Rata-rata konsentrasi benzoat, standar deviasi dan RSD dari analisis kuantitatif saus sambal dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11. Dari analisis dengan perlakuan ekstraksi menggunakan labu pemisah, didapat rata-rata konsentrasi natrium benzoat pada saus sambal sebesar 796.34 ppm, dengan nilai standar deviasi sebesar 24.84 ppm dan nilai RSD sebesar 3.12 %. Analisis dengan perlakuan ekstraksi menggunakan shaker, didapat rata-rata konsentrasi natrium benzoat sebesar 817.46 ppm dengan nilai standar deviasi sebesar 23.85 ppm dan nilai RSD 2.92 %. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa dengan penggunaan shaker, nilai konsentrasi natrium benzoat yang didapat lebih tinggi dan nilai RSD lebih kecil, yang menandakan ketelitiannya lebih tinggi. Nilai RSD Horwitz pada metode ekstraksi labu pemisah sebesar 3.90 % dan pada metode ekstraksi shaker sebesar 3.89 %. Nilai RSD Horwitz lebih besar daripada nilai RSD yang didapat dari penelitian. Oleh karena itu, nilai RSD metode ekstraksi labu pemisah dan shaker dapat diterima. Saus sambal juga dianalisis di laboratorium jasa analisis yang telah terakreditasi. Metode yang digunakan di laboratorium tersebut adalah metode HPLC. HPLC yang digunakan adalah reversed phase dengan fase gerak berupa buffer fosfat dalam metanol, fase diam berupa kolom C-18. Metode HPLC dan hasil analisis dari laboratorium terakreditasi dapat dilihat pada Lampiran 16 dan 17. Konsentrasi natrium benzoat dari hasil analisis di laboratorium terakreditasi sebesar 849.18 ppm dan 828.82 ppm dengan nilai rata-rata sebesar 839.00 ppm, standar deviasi sebesar 14.40 ppm, dan RSD sebesar 1.72 %. Nilai standar deviasi dan RSD metode laboratorium terakreditasi lebih kecil daripada metode ekstraksi labu pemisah dan metode ekstraksi shaker. Hal ini menunjukkan bahwa metode HPLC lebih teliti.

40 Konsentrasi Benzoat (ppm) 1000 900 800 700 600 500 400 796.34+24.84 a 817.46+23.85a 839.00+14.40 a labu pemisah shaker lab terakreditasi Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji ANOVA (p>0.01) Gambar 10. Konsentrasi Rata-rata Natrium Benzoat pada Saus Sambal dengan Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Laboratorium Terakreditasi RSD (%) 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 3.12 3.90 3.89 3.87 2.92 1.72 labu pemisah shaker lab terakreditasi RSD RSD Horwitz Gambar 11. % RSD Hasil Analisis Natrium Benzoat pada Saus Sambal dengan Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Laboratorium Terakreditasi

41 Hasil analisis dari perlakuan ekstraksi dengan labu pemisah, ekstraksi dengan shaker, dan hasil dari laboratorium terakreditasi dibandingkan dengan uji t dan F (Lampiran 18, 19, dan 20). Nilai-nilai t dan F hitung serta t dan F tabel dapat dilihat pada Tabel 7. Perbandingan metode labu pemisah dan shaker, didapat nilai t hitung sebesar -1.623 dan nilai t tabel sebesar 3.055 dan -3.055. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara metode labu pemisah dan metode shaker. Untuk uji F, didapat nilai F hitung sebesar 1.085. Karena nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F tabel, maka tidak terdapat perbedaan yang nyata antara standar deviasi metode labu pemisah dengan standar deviasi metode shaker. Tabel 7. Uji t dan F untuk Metode Labu Pemisah, Shaker, dan Lab Terakreditasi (α = 0.01) Metode t hitung t tabel F hitung F tabel labu pemisah dan shaker labu pemisah dan lab terakreditasi shaker dan lab terakreditasi -1.623 3.055 dan -3.055-2.252 3.499 dan -3.499-1.181 3.499 dan -3.499 1.085 8.466 2.976 5858.950 2.743 5858.950 Uji t untuk perbandingan metode labu pemisah dan metode laboratorium terakreditasi, didapat nilai t hitung sebesar -2.252. Karena nilai t hitung berada diantara nilai t tabel, maka rata-rata metode labu pemisah dan rata-rata dari laboratorium terakreditasi tidak berbeda nyata. Untuk uji F juga didapatkan hasil bahwa H0 diterima karena nilai F hitung lebih kecil dari nilai F tabel. Perbandingan antara metode shaker dan metode dari laboratorium terakreditasi, didapat nilai t hitung sebesar -1.181. Nilai t hitung berada di antara nilai t tabel, maka rata-rata metode shaker dan rata-rata metode laboratorium terakreditasi tidak berbeda secara signifikan. Nilai F hitung sebesar 2.743 dan nilai ini lebih kecil daripada nilai F tabel, maka standar deviasi metode shaker tidak berbeda nyata dengan standar deviasi metode laboratorium terakreditasi.

42 Hasil dari uji ANOVA (Lampiran 21) menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.086. Karena nilai probabilitas > 0.01 maka H0 diterima. Ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata di antara metode ekstraksi labu pemisah, metode ekstraksi shaker, dan metode laboratorium terakreditasi pada taraf 0.01. E. FAKTOR-FAKTOR KESALAHAN PADA ANALISIS KUANTITATIF Faktor-faktor kesalahan yang dapat terjadi selama analisis kuantitatif metode titrimetri digambarkan melalui diagram Ishikawa (Gambar 12). Faktor-faktor kesalahan digolongkan ke dalam empat faktor utama yaitu reagen, metode, alat, dan analis. Masing-masing faktor tersebut terbagi lagi menjadi beberapa faktor. Pada faktor reagen, yang menjadi penyebab adanya kesalahan pada analisis kuantitatif natrium benzoat antara lain terjadi kontaminasi pada reagen atau pereaksi yang digunakan, umur simpan reagen, dan sifat-sifat kimia reagen. Faktor metode terbagi menjadi beberapa faktor yaitu ekstraksi, penguapan pelarut, pengambilan sampel, pengeringan dalam desikator, dan titrasi. Ekstraksi dapat menyebabkan keragaman data karena pada saat ekstraksi khususnya ekstraksi dengan labu pemisah, campuran sampel dan pelarut ekstraksi dapat saja tercecer atau tumpah. Pada penguapan pelarut menggunakan rotavapor, ekstrak dapat terkontaminasi dengan senyawa lain dan jika tidak hati-hati ekstrak dapat tumpah. Di samping itu, faktor-faktor dari lingkungan juga dapat muncul pada tahap ini seperti air untuk kondensor tidak mengalir. Pengambilan sampel yang kurang homogen juga dapat menjadi penyebab keragaman data analisis. Penjerap dalam desikator untuk mengeringkan residu benzoat harus selalu diperiksa karena jika terlalu lama tidak diganti dengan yang baru dikhawatirkan fungsinya sebagai pengering tidak berfungsi dengan baik. Apalagi untuk sampel saus sambal, diusahakan sampel benar-benar kering sehingga asam asetat diharapkan benar-benar hilang. Pada saat titrasi, hal yang sangat penting adalah penentuan titik akhir titrasi dan proses standarisasi.

43 Faktor alat terbagi menjadi dua yaitu ph-meter dan neraca analitik. Neraca analitik dan ph-meter sebaiknya dikalibrasi terlebih dahulu karena dapat menyebabkan keragaman pada data yang dihasilkan. Faktor analis yaitu keterampilan, sikap /perilaku dan faktor kelelahan juga menjadi faktor yang penting. Keterampilan analis dalam melakukan analisis kuantitatif natrium benzoat sangat diperlukan karena pada analisis ini lebih banyak digunakan tangan dan mata analis, serta sikap/perilaku analis daripada alat. Faktor kelelahan pada saat mengocok dengan labu pemisah menyebabkan tidak konstannya pengocokan sehingga dapat menyebabkan beragamnya data yang dihasilkan. umur simpan Reagen kemurnian /kontaminasi sifat-sifat kimia reagen neraca analitik kalibrasi ph-meter ekstraksi Metode pengambilan sampel penguapan pelarut pengeringan desikator kelelahan sikap/perilaku titrasi pelatihan/ keterampilan kesalahan analisis Alat Analis Gambar 12. Diagram Ishikawa Faktor-faktor Kesalahan Analisis Kuantitatif Natrium Benzoat Metode Titrimetri