Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-sulawesi

dokumen-dokumen yang mirip
1.2 Menegakkan Kerajaan Allah dalam Modernisasi Indonesia: O. Notohamidjojo...33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang: Sebuah Refleksi Awal

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Gereja di dalam Dunia Dewasa Ini

I. PENDAHULUAN. pemerintahannya juga mengalami banyak kemajuan. Salah satunya mengenai. demokrasi yang menjadi idaman dari masyarakat Indonesia.

DALAM PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA

Untuk mengenal arti pembaruan karismatik, baiklah kita tanyakan apa tujuan yang ingin dicapainya.

Kedua, pengaruh sosial. Selain budaya, pengaruh sosial yang

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

6. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Dasar (SD)

BAB V PENUTUP. Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya,

7. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

BUPATI SEMARANG SAMBUTAN BUPATI SEMARANG PADA ACARA PERAYAAN NATAL BERSAMA PAGUYUBAN WARGA KRISTIANI DINAS INSTANSI (PWKDI) KABUPATEN SEMARANG

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PROFESIONALISME DOSEN DARI SUDUT PANDANG KRISTIANI. Maria Lidya Wenas Sekolah Tinggi Teologi Simpson

BAB I PENDAHULUAN. membentuk dan mendewasakan serta menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang

PANCASILA SEBAGAI AKTUALISASI KEHIDUPAN

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Karya sastra tidak mungkin tercipta jika para penulis tidak mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME. Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

Yusri. ialah STANDAR KOMPETENSI:

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat sila pertama dalam Dasar Negara Indonesia: Pancasila

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan keuntungan atau laba. Untuk mencapai tujuan itu, perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

6. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

HUBUNGAN ANTARA ETNIS DAYAK DENGAN MADURA PASCA KONFLIK PADA TAHUN 2001, DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH (DITINJAU DARI KAJIAN SOSIAL KEAGAMAAN)

Perbandingan ideologi pancasila dengan Ideologi lain

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

(Dibacakan sebagai pengganti homili pada Misa Minggu Biasa VIII, 1 /2 Maret 2014)

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang

sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Bersama Nasional, 27 Desember 2010 Senin, 27 Desember 2010

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. perkembangan moral diharapkan mampu berjalan dengan baik, serasi dan sesuai

BAB V PENUTUP. tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

6. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki pengetahuan, nilai, sikap, dan kemampuan terhadap empat

Moral Akhir Hidup Manusia

KARYA TULIS ILMIAH PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN PELAKSANAAN NILAI PANCASILA PADA ERA REFORMASI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sumpah Dokter SAYA BERSUMPAH BAHWA :

PANCASILA AKTUALISASI PANCASILA DALAM PENGEMBANGAN IPTEK DAN KEHIDUPAN AKADEMIK. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM

BAB I PENDAHULUAN UKDW

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus

PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBAGANGAN ILMU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Pelayanan kepada anak dan remaja di gereja adalah suatu bidang

Pendidikan Pancasila. Implementasi Sila Ke 2 dan 3 Pancasila. Dr. Saepudin S.Ag. M.Si. Modul ke: Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR (ISBD)

MATERI KULIAH ETIKA BISNIS. Pokok Bahasan: Pancasila sebagai Landasan Etika Bisnis

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB VII PENGHARGAAN TERHADAP HIDUP MANUSIA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

BAB IV PENUTUP. melalui tiga hal, yaitu satu identitas beragama Islam, dau identitas. bentuk, yaitu slametan dan nyadran.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA KELOMPOK 4 ANANDA MUCHAMMAD D N AULIA ARIENDA HENY FITRIANI

I. PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

GIVE THANKS AND SUCCESS

Tanggung Jawab (Responsibility) Etika Profesi dan Rekayasa #2 Dian Retno Sawitri

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN

BAB I PENDAHULUAN. semakin berkembang pula. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan judul Pendidikan Islam Berwawasan kebangsaan menurut perspektif KH.

Transkripsi:

Pemujaan kepada Tuhan Yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiawian yang layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia ( Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr) I Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-sulawesi Selatan dalam sharing ini. Saya kira tujuan utama sharing ini ialah kita ingin saling memperkaya satu dengan yang lain dari perspektif yang berbeda-beda untuk mewujudkan masyarakat Sulawesi Selatan menja di masyarakat komunikatif dan dialogis yang menghargai perbedaan aspirasi dan kepentingan di antara kita sebagai sesama warga masyarakat di Sulawesi Selatan. Saya kira itulah yang dimaksudkan oleh topik panel yang diberi judul: Reaktualisasi Nilai-nilai Agama dan Budaya dalam Proses Transformasi Masyarakat: Membincang Masalah Aktual Keberagamaan dan Akar Konflik (lihat jadwal kegiatan, Rabu, 25 Agustus 2004). Dalam sharing ini saya akan memberi fokus pada aspek agama, sekalipun tidak dapat dipisahkannya dari aspek budaya. Panelis lain lebih pantas membagikan perspektifnya tentang aspek budaya. Kalau saya menafsirkan topik panel ini, maka saya melihat ada asumsi tertentu di belakang topik ini. Asumsi itu ialah bahwa berbagai konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat kita beberapa tahun terakhir ini mempunyai kaitan (kalau bukan mempunyai korelasi-kausal-simetris? ) dengan keberagamaan umat beragama di Indonesia. Diduga tidak sejalannya nilai-nilai agama dengan hidup keagamaan para penganutnya. Di satu pihak saya mengaminkan asumsi itu, namun di pihak lain saya mempunyai pendapat yang berbeda. Karena itu, dalam sharing ini, saya ingin mengajukan pokok-pokok pikiran berikut ini. II Apabila ditelaah secara kritis berbagai konflik sosial bernuansa keagamaan dalam masyarakat manapun( termasuk di Indonesia), baik itu berkaitan dengan konflik antar umat yang berbeda agama dan sesama penganut agama maupun konflik umat beragama dengan golongan 1 / 5

masyarakat sekuler, maka hal itu tidak semata-mata karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama dan praktik keberagamaan umat. Seolah-olah nilai-nilai agama, seperti keadilan, kebenaran, perdamaian dan persaudaraan, adalah nilai-nilai yang tidak dapat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan tertentu. Dan karena itu apabila nilai-nilai itu diterapkan oleh para penganut agama maka dengan sendirinya tidak akan ada masalah sosial dalam kehidupan bersama. Saya kira pandangan seperti ini hanya dapat dibenarkan dalam masyarakat homogen, baik dari segi identitas kultural dan religius maupun aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik. Akan tetapi, dalam masyarakat heterogen seperti di Indonesia, pandangan seperti itu hanya akan mendorong proses homogenisasi penghayatan nilai yang bersifat dipaksakan. Dalam hal ini ada bahaya--- apa yang oleh Pierre Bourdieu---- sebut: kekerasan simbolik atau oleh Don Cupitt disebut: rejim kebenaran!! Memang benar bahwa nilai-nilai agama itu dalam dirinya sendiri adalah pesan-pesan moral dan etis yang bersifat netral. Akan tetapi, setiap nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umatnya tidak lagi bersifat netral. Nilai itu sudah sangat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan penganutnya. Sebab nilai-nilai itu dalam penghayatan hidup keberagamaan umat telah menjadi nilai-nilai yang bersifat interpretatif. Penghayatan nilai keadilan dan kebenaran, misalnya, tidak akan lagi netral ketika nilai itu dihubungkan dengan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik dua golongan yang berbeda dalam masyarakat. Di sini biasanya pintu masuk bagi para demagog politik dan rohani --- yang dengan agak malu-malu--- sebenarnya menerapkan logika pertentangan kelas a la marxisme ideologis (beda dari marxis-ilmiah) untuk mencapai kepentingan mereka. Saya melihat bahwa baik demagog politik maupun demagog rohani mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana dapat merebut jiwa rakyat untuk menjadi anggota kelompoknya demi keuntungan sang demagog itu sendiri. Mereka juga mempunyai watak yang sama, yaitu cara berpikir ideologis dan tidak tahan melihat perbedaan dalam masyarakat. Dan karena itu mereka sebenarnya anti-kemanusiaan dan pembunuh jiwa-jiwa kreatif dan dialogis dalam masyarakat. Saya kira---dalam situasi seperti ini--- sulitlah kita mengikuti anjuran beberapa kalangan agar kita perlu memisahkan antara habitat agama dari habitat politik. Karena bukan saja kekuasaan politik yang dapat mengkorup martabat manusia, melainkan kekuasaan agama pun tidak kalah dasyatnya daya korupnya!! Kita tidak perlu memisahkan agama dan politik sebagai dua habitat yang saling bertolak belakang. Karena baik habitat agama maupun habitat politik sama-sama diperlukan oleh manusia untuk bertumbuh ke arah kehidupannya yang lebih manusiawi untuk mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai dalam praktik hidupnya, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial (bdk. Kej. 1: 26-27). Dalam kaitan ini, kita tidak lagi melihat wilayah kekuasaan agama dan kekuasaan politik secara antisesis dan bermusuhan, tetapi juga bukan membangun koalisi yang murahan yang mengabaikan harkat dan martabat manusia, yang dalam idiom masyarakat Bugis-Makassar disebut 2 / 5

Siri itu!! Saya berpendapat baik kekuasaan agama maupun kekuasaan politik haruslah menjadi kekuasaan yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk ikatan perbudakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai tadi. Dalam pengertian seperti inilah kedua habitat yang berbeda itu----- habitat agama dan habitat politik ----- harus dilihat sebagai karunia Allah bagi manusia untuk memekarkan dirinya menjadi manusia berkeadaban secara sosial ekonomi, budaya dan politik. III Di sini saya lihat bahwa tidak adanya peranan transformatif agama-agama dalam masyarakat seperti sering dikeluhkan oleh banyak kalangan bukan karena tidak berfungsinya nilai-nilai agama, melainkan lebih pada cara bagaimana nilai-nilai agama itu berfungsi dalam masyarakat. Nilai keadilan dan kebenarannya, misalnya, dapat berfungsi secara ideologis yang membuat para penganut nilai itu hidup dalam kesadaran palsu. Pada tataran ini kedua nilai yang dalam dirinya mengandung pesan moral dan etis yang dapat memotivasi seseorang hidup sebagai pribadi yang berkeadaban dan membangun masyarakat yang berkeadaban kehilangan fungsi transformatif. Yang terjadi ialah fungsi-ideologis, yaitu berfungsi sebagai kaca mata hitam yang membuat individu-individu dalam masyarakat melihat realitas sosial secara samar-samar! Dan lebih celaka lagi nilai itu kemudian menjadi gumpalan-gumpalan hidrogen yang membahayakan mata sosial individu-individu dalam masyarakat. Jadi, nilai tadi justru membuat individu-individu dalam masyarakat menjadi buta dan tidak sanggup lagi melihat realitas sosial yang sesungguhnya. Di sini agama tidak lagi memainkan peranannya sebagai kekuatan sosial yang bersifat transformatif. Sebaliknya, agama berberan sebagai penghambat dinamika sosial dan pembunuh kreativitas masyarakat! Peranan agama seperti inilah yang sangat dikritik oleh Yesus. Dalam kritik Yesus yang pedas sebagaimana ditulis oleh penginjil Matius (lihat Matius 23) kita membaca bahwa agama dan hukum-hukum agama haruslah melayani kemanusiaan, dan tidak boleh mengorbankan manusia atas nama agama dan hukum-hukum agama (baca: nilai-nilai agama yang baku dan kaku). IV 3 / 5

Karena itu, ketika kita menghendaki kehidupan keberagaman kita menjadi kehidupan keberagamaan transformatif dalam masyarakat maka kita perlu memiliki keberaniaan untuk terus menerus mempersoalkan model penghayatan hidup keberagamaan kita. Kita tidak boleh puas dengan model penghayatan hidup keberagamaan yang telah ada. Sebab boleh jadi apa yang kita anggap sebagai model penghayatan hidup keberagamaan transformatif itu untuk konteks sosial ekonomi dan politik tertentu, dalam konteks sosial ekonomi dan politik yang lain tidak lagi transformatif. Malahan model penghayatan hidup keberagamaan itu telah menjadi sangat represif. Saya ingin memberi contoh di sini. Saya kira kita semua masih memiliki ingatan yang segar tentang bagaimana peranan agama-agama di Indonesia selama Orde Baru. Seperti kita tahu bahwa harapan untuk mengikutsertakan agama-agama dalam rencana-rencana pembangunan nasional waktu itu ialah agar agama-agama dapat mendorong proses transformasi sosial, baik secara ekonomi maupun politik, agar Indonesia pasca Orde Lama boleh menjadi Negara yang demokratis, adil secara politik dan berkecukupan secara ekonomi. Tetapi apa yang kita lihat ialah agama-agama justru kehilangan fungsi transformatif itu dan menjadi legitimator kepentingan kelompok kecil yang mendominasi kekuasaan ekonomi dan politik! Saya kira, baiklah kita belajar dari sejarah itu, sehingga kita tidak saling mempersalahkan pada kemudiaan hari seperti sekarang ini! Keberagamaan transformatif adalah model penghayatan hidup keberagamaan yang memelihara tradisi kritis atau dalam idiom Biblikal disebut tradisi profetik!! Tradisi kritis atau profetik sangat penting. Sebab, seperti telah disinggung di atas, bahwa nilai-nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umat selalu bersifat interpretatif. Dan nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif itu selalu akan dipengarahi oleh aspirasi dan kepentingan penganut, baik secara sosial ekonomi maupun politik. Karena itu, tanpa tradisi kritis atau profetik, kehidupan keberagamaan akan selalu berada dalam bahaya mempertahankan status quo nilai-nilai keagamaan yang bersifat interpretatif itu dalam bentuk nilai-nilai agama yang baku dan ideologis, sifatnya. Model keberagamaan transformatif adalah model keberagamaan yang jauh dari model keberagamaan retorika-profetik atau verbalisme-profetik. Ia merupakan kesadaran religius atau kesadaran hidup meng-agama yang lahir dari pelayanan liturgis berdimensi ganda, yaitu : mengabdi kepada Allah dan kemanusiaan!! Jadi, keberagamaan transformatif dalam semangat tardisi profetik adalah model keberagamaan yang melayani Allah sepenuh hati dengan jalan mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemanusiaan!! Itu berarti bahwa nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif dalam penghayatan umat beragama selalu harus diuji oleh sejauh mana penghayatan itu mendorong seseorang menjadi pribadi yang berkeadaban ( civilized-person ) dan mendorong berkembangnya masyarakat yang berkeadaban ( civilized-society ). Singkat kata, model keberagamaan transformatif dalam semangat tradisi profetik adalah model keberagamaan yang memuliakan Allah dengan mengabdi kepada kemanusiaan yang konkret, bukan 4 / 5

kemanusiaan yang abstrak secara ideologis. V Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat saya sumbangkan dalam panel ini. Kiranya hal itu akan merangsang kita bersama melakukan otokritik terhadap model penghayatan hidup keberagamaan kita selama ini dan memikir kan model penghayatan keberagamaan yang lebih memampukan kita saling menghargai satu dengan yang lain sehingga kita mampu mewujudkan harkat dan martabat kemanusiaan kita --- yang dalam idiom Kristiani disebut---- menjadi manusia gambar Allah ( ; bdk. Kej. 1: 26-27).Akhirnya, izinkalah saya menutup sumbangan pemikiran ini dengan penghayatan iman Kristiani sebagaimana dirumuskan dalam motto STT INTIM Makassar: In Christo Lux Mundi Crescit!! Semoga!! Sekian dan terima kasih!! Makassar, 25 Agustsus 2004. (Pdt. Dr. Julianus Mojau/Dosen STT INTIM Makassar). Source: www.oaseonline.org 5 / 5