BAB I. PENDAHULUAN. mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata

dokumen-dokumen yang mirip
Taman Nasional Kutai

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RENCANA STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia:

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki sumberdaya alam

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hubert Forestier dan Truman Simanjuntak (1998, Hlm. 77), Indonesia

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia?

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

PENDAHULUAN Latar Belakang

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan lingkungan (profit-people-planet), kini semakin banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

SKRIPSI HERIYANTO NIM : B

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

KEMITRAAN MENUJU KOLABORASI PENGELOLAAN TN KOMODO

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. KAWASAN HUTAN/Forest Area (X Ha) APL TOTAL HUTAN TETAP PROPINSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

2) faktor-faktor yang terkait dengan peranan Indonesia di dalam kerjasama multilateral CTI-CFF adalah faktor geografis dan ketahanan pangan. Jadi sela

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Luas wilayah Provinsi Banten adalah 9.662,92 Km2, dengan pertumbuhan

Media Background MEWUJUDKAN KABUPATEN MALINAU SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia menjadi potensi besar sebagai paru-paru dunia,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGALAMAN MENDORONG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA OLEH BURUNG INDONESIA

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

IKHTISAR EKSEKUTIF. Ikhtisar Eksekutif

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan

Holiday Resort, Senggigi-Lombok, 22 Mei 2017

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perspektif administrasi publik, kemitraan merupakan isu yang mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata kepemerintahan. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud apabila terjadi hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Paradigma governance menekankan pada tiga dimensi pokok yaitu: (1) dimensi kelembagaan yang menekankan pada peningkatan keterlibatan aktor-aktor non pemerintah (multistakeholder) dalam mengelola masalah publik; (2) dimensi penggunaan kekuasaan yang menekankan pada adanya distribusi penggunaan kekuasaan kepada multistakeholder; dan (3) dimensi proses yang menekankan pada keterlibatan semua unsur dalam merespon persoalan publik (Dwiyanto, 2010). Oleh karena itu, persoalan publik bukan lagi menjadi monopoli pemerintah namun telah menjadi masalah dan tanggungjawab pemerintah, swasta dan masyarakat. Peran swasta dan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia semakin mendapat perhatian. Hal ini ditandai dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pengelolaan taman nasional. Pada masa awal pembentukan taman nasional, tahun 1980-an, pengelolaan taman nasional menggunakan paradigma fortrees conservation. Paradigma yang diadopsi dari pengelolaan Taman Nasional Yellowstone Amerika Serikat ini menekankan pada pendekatan pengamanan (security approach) dengan bertumpu pada pemerintah sebagai institusi tunggal dalam pengelolaan. Kepentingan konservasi diletakkan di atas segala kepentingan termasuk kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan taman nasional. Memasuki tahun 1990-an, pengelolaan taman nasional bergeser pada 1

paradigma new conservation yaitu paradigma yang memadukan antara kepentingan konservasi dan pembangunan masyarakat lokal, terutama masyarakat yang berada di sekitar taman nasional. Pendekatan ini merupakan koreksi atas kegagalan pendekatan pengamanan yang tidak memperhitungkan dimensi sosial dan ekonomi masyarakat lokal atau masyarakat adat yang bergantung pada sumberdaya hutan. Menurut Pudyatmoko (2005) faktor yang mendorong terjadinya perubahan paradigma pengelolaan dari fortress conservation ke new conservation adalah timbulnya kesadaran bahwa keberhasilan konservasi jangka panjang hanya dapat dijamin bila ada peran aktif masyarakat lokal. Budaya dan pengetahuan masyarakat dapat dijadikan dasar pengelolaan yang komprehensif. Pada aspek kebijakan, pemerintah mulai memberikan perhatian yang serius terhadap bidang konservasi sumberdaya alam antara lain dengan terbitnya Undang-Undang No 5. Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Pada tataran empiris pendekatan new conservation mulai diterapkan di beberapa taman nasional di Indonesia antara lain di Taman Nasional Kerinci Seblat melalui proyek Integrated Conservation and Development Program (ICDP), Taman Nasional Siberut dan Taman wisata Alam Ruteng melalui proyek Integrated Protected Areas System (IPAS). Dalam implementasinya, proyek-proyek ICDP melibatkan lembaga konservasi internasional seperti World Wild Fund (WWF), Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC) dengan pendanaan dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia dan USAID (Barber, dkk., 1997). Dari paradigma new conservation inilah muncul gagasan tentang kemitraan dalam pengelolaan taman nasional. Pengelolaan taman nasional dewasa ini menunjukkan tantangan yang semakin 2

kompleks. Hal ini ditandai oleh semakin meningkatnya intensitas konflik dalam taman nasional yang terutama sejak dimulai pada masa transisi pemerintahan orde baru ke orde reformasi (Wulan, dkk, 2004). Pada saat bersamaan, pemerintah selaku pengelola dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya manusia, sarana prasarana, dan pendanaan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Untuk mengatasi keterbatasan dalam pengelolaan taman nasional salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah melalui kemitraan yaitu melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Peraturan tersebut telah membuka ruang bagi berbagai pihak untuk berperan serta dalam pengelolaan kawasan konservasi. Melalui kemitraan, kelembagaan pengelolaan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, sehingga tujuan pengelolaan dapat lebih mudah dicapai. Sebaliknya, kemitraan juga dibutuhkan untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang kondisinya rusak dengan kinerja pengelolaan yang jauh dari memadai. Pendekatan kemitraan diharapkan akan dapat mengurangi potensi negatif yang terjadi pada pengelolaan suatu kawasan konservasi (Putro, dkk, 2010). Namun demikian, implementasi kemitraan dalam pengelolaan taman nasional bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan. Kemitraan dengan melibatkan banyak pihak dan kepentingan merupakan persoalan yang rumit. Kemitraan pada satu sisi memberikan banyak manfaat tetapi disisi yang lain implementasinya banyak dijumpai permasalahan. Kemitraan dapat mendatangkan manfaat seperti perbaikan infrastruktur, perbaikan manajemen, pengakuan masyarakat lokal dan peran serta masyarakat, tetapi banyak persoalan yang muncul seperti hambatan birokrasi, pembagian peran dan prosedur yang tidak jelas (M.Rocha, L., & K.Jacobson, S. 3

(1998). Rumitnya proses dalam menjalin kemitraan menyebabkan hanya sedikit taman nasional yang berupaya mengembangkan pola kemitraan. Menurut Putro, dkk (2012) dari 50 taman nasional yang ada di Indonesia, baru sekitar 11 taman nasional (22%) yang mengambangkan pola kemitraan atau kolaborasi. Oleh karena terbatasnya pola kemitraan yang dikembangkan dalam pengelolaan taman nasional maka model kemitraan pengelolaan Taman Nasional Kutai menarik untuk dikaji. Taman Nasional Kutai adalah salah satu kawasan konservasi yang memiliki persoalan yang kompleks. Secara garis besar ada tiga isu krusial yang saat ini dihadapi dalam pengelolaan Taman nasional Kutai dewasa ini yaitu adanya: (1) adanya konflik ruang dan sumber daya alam; (2) kelembagaan dan tata kelola kawasan, dan (3) integrasi konservasi dalam pembangunan ekonomi (BTNK, 2010). Posisi geografis dan dinamika geopolitik disekitar Taman Nasional Kutai turut menjadi faktor kompleksnya persoalan pengelolaan tersebut. Secara geografis Taman Nasional Kutai berada pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yaitu: berada diantara kota yang tengah giat membangun (Bontang dan Sangata) dan dikelilingi oleh perusahaan ekstraksi sumberdaya alam, seperti: pertambangan minyak dan gas (beserta industri turunannya), pertambangan batubara, dan perusahaan kehutanan seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman industri (HTI). Sebagai akibat dari kebijakan pembangunan dan perkembangan wilayah, Taman Nasional Kutai telah mengalami pengurangan luas yang drastis. Sejak ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam pada tahun 1932 oleh Pemerintah kolonial seluas 2 juta hektar, kawasan konservasi ini hanya tersisa 198.629 hektar atau kurang dari 10% dari luasan awal. Kondisi ini menempatkan Taman Nasional Kutai sebagai pulau pelestarian yang rentan terhadap kerusakan. Berdasarkan RAPPAM Assesment Report 2005, sebagaimana dikutip Supriatna (2008) menempatkan Taman 4

Nasional Kutai sebagai kawasan dengan tingkat ancaman dan tekanan paling tinggi diantara 40 taman nasional lain di Indonesia. Taman Nasional Kutai dibutuhkan untuk mendukung pembangunan ekonomi melalui fungsi-fungsi ekologisnya, tetapi juga rawan terhadap eksploitasi sumberdaya hutan seiring dengan meningkatnya kebutuhan sumberdaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada situasi yang demikian, pengelolaan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Balai Taman Nasional Kutai selaku institusi yang diberi mandat pengelolaan. Keterlibatan para pihak yang berkepentingan dengan Taman Nasional Kutai menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan. Gagasan yang dikembangkan dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan Taman Nasional Kutai adalah dengan menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan disekitar Taman Nasional Kutai yang tergabung dalam Mitra Taman Nasional Kutai. Mitra Taman Nasional Kutai merupakan wadah dan forum dari perusahaanperusahaan yang memiliki kepedulian terhadap pengelolaan Taman Nasional Kutai. Pada awal pembentukannya, Mitra Taman Nasional Kutai ini beranggotakan enam perusahaan, namun dalam perjalanannya keanggotaan telah berkembang menjadi sembilan perusahaan. Keanggotaan Mitra Taman Nasional Kutai saat ini adalah PT Pertamina, PT Badak NGL(PT BNGL), PT Surya Hutani Jaya (PT SHJ), dan PT Kaltim Prima Coal (PT KPC), PT Indominco Mandiri (PT IM), PT Pupuk Kaltim (PT PKT), PT. Kaltim Parna Industri (PT. KPI), PT. Kaltim Methanol Industri (PT KMI) dan PT. Pama Persada Nusantara (PT. PAMA). Akan tetapi, secara keseluruhan kemitraan antara Balai Taman Nasional Kutai dengan Mitra Taman Nasional Kutai tampaknya belum mampu meningkatkan kinerja dari pengelolaan Taman Nasional Kutai. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya laju kerusakan hutan di Taman Nasional Kutai. Menurut data dari Balai Taman Nasional 5

Kutai, dalam kurun waktu 10 tahun luas kerusakan Taman Nasional Kutai mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Tabel 1). Pada tahun 2009 kerusakan hutan di Taman Nasional Kutai telah mencapai 20% dari total kawasan dengan laju kerusakan mencapai 1.125,1 hektar/tahun. Meningkatnya laju kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh maraknya aktvitas penebangan liar dan perambahan. Tabel 1. Luas kerusakan hutan di Taman Nasional Kutai (1999-2009) Tahun Luas kerusakan kumulatif (Ha) Pertambahan luas kerusakan (Ha) 1999*) 24.412-2004*) 34.961 10.549 2009**) 35.663 702 Keterangan : *) Analisis Citra Landsat, **) Survey luas perambahan (2009), Sumber: Balai TN Kutai, 2011 Dari paparan diatas, kasus kemitraan pengelolaan di Taman Nasional Kutai menarik untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Model Kemitraan dalam Pengelolaan Taman Nasional Kutai Propinsi Kalimantan Timur. 1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan Taman Nasional Kutai belum dapat dilakukan secara optimal. Meskipun paradigma pengelolaan telah bergeser dari pola pendekatan pengaman kepada pola pendekatan kolaboratif yang menekankan pada partisipasi para pihak melalui kemitraan, tetapi kemitraan yang ada belum mampu mengatasi kerusakan hutan yang semakin meningkat. Kebijakan pemerintah untuk melakukan kolaborasi pengelolaan taman nasional melalui kemitraan tampaknya belum menemukan bentuk yang ideal dalam mengoptimalkan peran dan fungsi kawasan konservasi. Berdasarkan pada kondisi tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana model kemitraan antara Balai Taman Nasional Kutai, 6

Perusahaan disekitar Taman Nasional Kutai yang tergabung dalam Mitra Taman Nasional Kutai, dan masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai, di Propinsi Kalimantan Timur? Untuk mengetahui model kemitraan tersebut penelitian ini memfokuskan kajian dengan mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1) Bagaimana latar belakang terbentuknya kemitraan pengelolaan Taman Nasional Kutai? 2) Apa bentuk kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai? 3) Sejauhmana kontribusi kemitraan terhadap pengelolaan Taman Nasional Kutai? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengetahui latar belakang kemitraan pengelolaan Taman Nasional Kutai. 2) Mengetahui bentuk kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai. 3) Mengetahui kontribusi kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1) Memberikan sumbangan ilmu bagi kajian kemitraan khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan taman nasional. 2) Memberikan sumbang saran terhadap pengelolaan taman nasional khususnya mengenai aspek kemitraan dan manajemen kolaboratif. 1.5 Keaslian Penelitian Dalam sebuah penelitian ilmiah, pada intinya mencakup 3 aspek utama yaitu: fokus penelitian, lokus penelitian dan metode penelitian yang digunakan. Oleh karena itu keaslian penelitian diarahkan berdasarkan ketiga aspek tersebut. Fokus penelitian adalah model kemitraan antara Balai Taman Nasional Kutai, Mitra Taman Nasional Kutai dan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional. Sedangkan lokasi penelitian 7

adalah Taman Nasional Kutai yang berada di Propinsi Kalimantan Timur yang meliputi Kota Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur. Berdasarkan pada lokus dan fokus penelitian ini, sejauh yang penulis ketahui, terdapat beberapa penelitian yang ada antara lain: 1) Muthu Saily (2012) tentang Kemitraan Pemerintah Daerah dan Swasta Dalam Penyediaan Pelayanan Jasa Transportasi Laut (Ferry Penyeberangan) Di Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa kerjasama yang dilakukan ini memberikan manfaat yang positif bagi Pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tetapi kerjasama ini belum sepenuhnya dapat dikatakan sebagai suatu kemitraan (kerjasama kolaboratif). Ini dapat dilihat dari ciri kemitraan yang belum semuanya sesuai dengan kerjasama yang dilakukan. Sehingga dapat mempengaruhi keberlangsungan dari kerjasama itu sendiri. 2) M.Rocha, L., & K.Jacobson, S. (1998) berjudul Partnership for conservation: Protected areas and non governmental organization in Brazil. Penelitian ini mengidentifikasi manfaat dan masalah kemitraan di 3 Taman Nasional di Brazil. Penelitian ini menemukan 26 manfaat kemitraan dan 33 masalah dalam kemitraan pengelolaan kawasan konservasi (protected area). Kemitraan dapat mendatangkan manfaat seperti perbaikan infrastruktur, perbaikan manajemen, pengakuan masyarakat lokal dan peran serta masyarakat. Sedangkan dalam implementasinya kemitraan banyak persoalan yang muncul seperti hambatan birokrasi, pembagian peran dan prosedur yang tidak jelas. 3) Islamudin Rusmin Reka (2012) berjudul Analisis Pengelolaan Taman Nasional Kutai (TNK) Di Kabupaten Kutai Timur Tahun 2011.Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan metode survey. Penelitian ini 8

menemukan bahwa pengelolaan Taman Nasional Kutai sudah sesuai dengan rencana pengelolaan taman nasional yang diuraikan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2006). Penelitian ini menyarankan untuk perlunya meningkatkan pengelolaan Taman Nasional Kutai melalui peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang profesional dan tangguh, membangun sarana dan prasarana yang didukung oleh teknologi kehutanan terbaik agar pengelolaan Taman Nasional Kutai semakin optimal dan meningkatkan peran serta seluruh pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan Taman Nasional Kutai. 4) Teguh Sumbodo (2004), berjudul Analisis Regulasi dan Implementasi kebijakan Taman Nasional Kutai (Studi Kasus di Desa Teluk Pandan dan Desa Sangkima Kabupaten Kutai Timur). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Taman Nasional Kutai adalah kawasan konservasi yang harus dipertahankan dan perlunya penegakan hukum. Untuk mengoptimalkan pengelolaan perlunya pendekatan yang bersifat bottom up melalui keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan. 9