II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

dokumen-dokumen yang mirip
FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pengelolaan lahan gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tanah Pengertian Gambut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Pengertian Tanah Gambut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

TINJAUAN PUSTAKA. dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (Noor, 2001).

II. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut berasal dari pelapukan vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Proses

TINJAUAN PUSTAKA. penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk

BAB IV METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

BAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan

TINJAUAN PUSTAKA. Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Konservasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDUGAAN CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA TANAH GAMBUT DI HUTAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TELAH DIDRAINASE SITI FATIMAH BATUBARA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

II. TINJAUAN PUSTAKA

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung

III. BAHAN DAN METODE

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hasanah (2007) padi merupakan tanaman yang termasuk genus

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

I. PENDAHULUAN. Tanah Ultisol mencakup 25% dari total daratan Indonesia. Penampang tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode Pendugaan Cadangan Karbon

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

I. PENDAHULUAN. - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

I. PENDAHULUAN. Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Lahan Gambut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

PEMBENTUKAN TANAH PARANITA ASNUR

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

Modul ini mencakup bahasan tentang sifat fisik tanah yaitu: 1.tekstur, 2. bulk density, 3. porositas, 4. struktur 5. agregat 6. warna tanah 7.

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Menurut Andriesse (1992) dalam Noor (2001), gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peatymuck, mucky). Menurut Hardjowigeno (1986) gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik. Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) gambut dikelaskan dalam Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut : 1. Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung 20% karbon organik, atau 2. Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai karbon organik

4 sebesar : a. 18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau lebih, atau b. 12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau c. 12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya mengandung < 60% liat. 2.1.2 Gambut di Indonesia Di Indonesia gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh penggenangan yang cukup lama (Sabiham, 2006). Barchia (2006), menyebutkan bahwa tanah gambut terjadi di bawah kondisi yang jenuh air seperti daerah depresi, danau dan pantai yang banyak menghasilkan bahan organik yang melimpah oleh vegetasi yang telah beradapatasi dengan kondisi setempat seperti rumput-rumputan, mangrove atau hutan rawa. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian (Agus dan Subiksa, 2008). 2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahanbahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan

5 aslinya dengan ukuran beragam dengan diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm. Gambut hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang (Noor, 2001). Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 2/3 volume, hemik 1/3-2/3 volume dan saprik kurang dari 1/3 volume. Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut. Kerapatan lindak adalah salah satu pengukuran yang penting untuk menafsirkan data analisis tanah, terutama yang menunjukkan kesuburan (Andriesse, 2003). Kerapatan lindak atau bulk density (BD) tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut memiliki BD yang beragam antara 0,01 g/cm 3-0,20 g/cm 3. Makin rendah kematangan gambut, maka makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik < hemik < saprik. Kerapatan lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu tanah gambut (Noor, 2001). Kadar air tanah gambut merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi oleh porositas total dan tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun demikian, kapasitas air maksimum untuk gambut fibrik 850-3000 %, gambut hemik 450-850 %, dan gambut saprik < 450 % (Andriesse, 2003). Di lapangan kadar air yang bervariasi ini tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar (Sabiham, 2006). Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik (irreversible drying). Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan, memegang, dan melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar.

6 Gambut yang terbakar mempunyai kemampuan memegang air tinggal sebesar 50% (Rieley et al., 1996 dalam Noor, 2001). Menurut Noor (2001) kering tak balik besar terjadi pada gambut tropik, khususnya gambut rawa. Sebagian pakar berpendapat bahwa penurunan kemampuan gambut yang mengalami kekeringan dalam menyerap air merupakan akibat terbentuknya selimut (coating) penahan air. Coulter (1975) dalam Andriesse (2003) menyatakan bahwa sifat hidrofobik gambut dari gambut kering adalah karena adanya lapisan seperti resin yang terbentuk pada waktu pengeringan. Sifat lain dari tanah gambut yang penting yaitu sifat kimianya. Sifat dan ciri kimia tanah gambut yang utama antara lain kemasaman tanah, kapasitas tukar kation, C-organik dan kadar abu. Kemasaman (ph) tanah-tanah organik berkaitan dengan kehadiran senyawa-senyawa organik, alumunium dan hidrogen yang dapat dipertukarkan, serta besi sulfida dan senyawa-senyawa sulfur lain yang dapat dioksidasi. Gambut-gambut tropika yang bersifat ombrogen dan oligotrofik, yang mencangkup sebagian tropika daratan rendah biasanya bersifat masam atau sangat masam dengan kisaran ph sebesar 3-4,5 (Andriesse, 2003). Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai ph antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai ph antara 3,1-3,9. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut memegang peranan penting dalam pengelolaan tanah dan menjadi penciri kesuburan tanah. Nilai KTK gambut berkisar dari < 50 sampai lebih dari 100 cmol (+) kg -1 bila dinyatakan atas dasar bobot tetapi lebih rendah jika dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 1997). Nilai KTK tanah gambut sangat bergantung pada ph. Andriesse (2003) menyatakan KTK tanah gambut pada ph 7, tanah organik yang mengalami sedikit perombakan mempunyai KTK 100 cmol (+) kg -1, tetapi yang mempunyai tingkat perombakan tinggi tergolong gambut saprik mempunyai KTK sekitar 200 cmol (+) kg -1. Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan

7 fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60%. Kisaran besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan kemungkinan juga metode pengukurannya (Andriesse, 2003). Kadar abu pada gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Radjagukguk (1997) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar abu gambut Indonesia berkisar 2,4%-16,9%. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu sangat dalam (>3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (1-3m) berkisar 11%-12% dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001). 2.2 Emisi Gas Rumah Kaca Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat ini terus menjadi perhatian serius dari masyarakat global karena pengaruhnya terhadap lingkungan. Pembakaran energi fosil karbon dan konversi hutan hujan tropis menjadi sorotan utama penyebab pelepasan gas rumah kaca seperti CO 2, CH 4 dan N 2 O. Gas-gas tersebut merupakan gas rumah kaca yang utama dari lahan gambut. Emisi CO 2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH 4 (walaupun dikalikan dengan global warming potensialnya setinggi 21 kali CO 2 ). Dalam mempresentasikan emisi dari lahan gambut, data emisi CO 2 sudah cukup bisa digunakan jika pengukuran gas lainnya sulit dilakukan (Hooijer et al., 2006). Barchia (2006) menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton atau 75 % dari total emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui di mana tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepas selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2,6 milyar ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak bijaksana, laju pelepasan CO 2 dan CH 4 dapat meningkat. Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang paling besar kontribusinya terhadap pemanasan global. Konsentrasi alaminya hanya 0,03 % persen di

8 atmosfer, namun dapat dimanfaatkan tanaman untuk proses fotosintesis. Bila tanaman dan hewan mati, kandungan karbon akan terlepas dalam bentuk karbon dioksida, demikian pula dengan kegiatan membakar kayu dan bahan bakar fosil. Tanah secara alami juga mengandung karbon sampai 50% dari berat keringnya bisa berupa bahan organik yang membusuk sebagian. Bahan organik jika terdekomposisi dapat menghasilkan karbon dioksida. Gas CO 2 memiliki waktu urai hingga 50-200 tahun dan memiliki daya tangkap sinar matahari seperti efek rumah kaca. Dari jaman pra industri (tahun 1750-1800), konsentrasi CO 2 telah bertambah dari 280 ppmv (part per million volume) menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Saat ini laju penambahan CO 2 di atmosfer rata-rata berjumlah 1,8 ppmv. Kehadiran gas CO 2 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan suhu permukaan bumi dan IPCC menyarankan agar emisi gas CO 2 sekurang-kurangnya 60% dari emisi gas yang dikeluarkan saat ini (Bapppenas, 2004). 2.3 Emisi Karbon Dioksida dari Lahan Gambut Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem. Secara alami gambut berfungsi sebagai penambat karbon, sehingga berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau 13-35 % dari total karbon terestris. Sekitar 86% (445 Gt) dari karbon lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m 3, kandungan karbon 50% dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia sebesar 46 Gt (Murdiyarso et al., 2004). Oleh karena itu, pertukaran CO 2 dari lahan gambut ke atmosfer sangat mempengaruhi siklus karbon dan terhadap pemanasan global. Fluks CO 2 dari tanah merupakan komponen utama dari siklus karbon global (Raich and Schlesinger, 1992; Houghton, 1995 dalam Melling et al., 2005). Produksi CO 2 oleh tanah adalah suatu proses yang dapat dipertukarkan yang disebut sebagai fluks CO 2 tanah atau respirasi tanah. Fluks CO 2 tanah bervariasi menurut ekosistem, waktu, kualitas dan kuantitas C-organik, faktor lingkungan

9 terutama suhu dan kelembaban. Analisis kadar air, kadar abu, kandungan bahan organik berkaitan dengan besarnya fluks CO 2 dari lahan gambut, karena intensitas proses-proses biologi seperti absorpsi oksigen dan emisi CO 2 dalam tanah sama halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer (Handayani, 2009). Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu : 1. Pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO 2. 2. Drainase lahan gambut yang menyebabkan aerasi bahan gambut di samping oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO 2 (Hooijer et al., 2006). Kunci utama dari pengembangan pertanian di lahan gambut adalah pengendalian atau pengelolaan air (Sarwani et al., 1994; Sumangat dan Rusdi 1979). Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asamasam organik. Tindakan utama yang perlu dilakukan yaitu mempertahankan tinggi muka air. Akan tetapi sebaliknya yang terjadi kebanyakan lahan gambut adalah terjadinya over drainage (pengurasan air). Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam (Agus dan Subiksa, 2008). Drainase pada perkebunan kelapa sawit berfungsi untuk pertumbuhan akar tanaman dan sebagai akses jalan. Tingginya muka air akibat proses drainase berpengaruh terhadap keadaan oksidasi dan reduksi pada lahan gambut dan berakibat pada laju dekomposisi serta emisi gas CO 2. Drainase pada lahan gambut menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Selain adanya proses dekomposisi bahan gambut, respirasi akar tanaman juga mempengaruhi produksi CO 2 dari dalam tanah. Sejumlah penelitian tentang tingkat emisi CO 2

10 hubungannya dengan kedalaman drainase yang dibutuhkan dalam pengelolaan untuk budidaya telah dilakukan, dari sejumlah penelitian yang menggunakan metode penangkapan gas dengan sungkup tertutup (closed chamber) Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Dari review sejumlah literatur dikemukakan bahwa untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi akan meningkat setinggi 0,91 ton CO 2 ha -1 tahun -1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1 cm.