BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka 1. Bank Pada dasarnya Bank adalah lembaga keuangan yang melayani kebutuhan masyarakat, baik untuk menyimapan uang, meminjam uang dan jasa pelayanan lalu lintas pembayaran baik dalam negeri maupun luar negeri. Bank merupakan lembaga keuangan yang terpenting yang mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksnakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap maata uang, bertindak sebagai tempat penyimpan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan, dan lain-lain (A. Abdurrahman, 1993). Menurut pasal 1 huruf 1 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan definisi dari bank itu sendiri yang dinyatakan dalam pasal 1 huruf 2 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 8
9 Pada Pasal 1 (butir 3) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Ada dua cara yang dapat ditempuh oleh bank dalam menjalankan usahanya, yaitu a. Secara konvensional. Bank menggunakan cara-cara yang biasa dipraktekkan dalam dunia perbankan pada umumnya, yaitu menggunakan instrumen bunga (interest). Bank akan memberikan jasa bunga tertentu kepada penabung, deposan, atau giran, di sisi lain bank akan mengenakan jasa atau biaya bunga juga kepada debitur, tentunya dengan tingkat yang lebih tinggi. b. Prinsip Syariah Pada butir 13 Pasal 1 UU Nomor 10 Tahun 1998 ini, dijelaskan bahwa Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
10 pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina). Dengan adanya prinsip syariah ini, tentunya memberikan keleluasaan bagi dunia perbankan nasional dalam memobilisasi dana masyarakat. Sedang bagi masyarakat yang ingin menyimpan dana di bank, maka prinsip syariah ini merupakan alternatif pilihan lain. 2. Negara Rumpun Melayu dan Timur Tengah Di dalam penelitian ini peneliti mengelompokkan kumpulan negara menjadi dua rumpun yaitu rumpun negara Melayu yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, kemudian rumpun negara Timur Tengah yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Saudi Arabia, United Arab Emirates, Qatar, Yordania, Iraq, Iran, dan Lebanon. Negara dikelompokkan berdasarkan letak geografis, suku, bahasa, dan agama. Negara-negara yang dipilih adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama islam. Dilihat dari letak geografisnya rumpun negara Melayu yang terdiri dari negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam sama-sama terletak di Asia Tenggara. Di setiap negara tersebut juga terdapat suku melayu. Negara-negara tersebut juga menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa daerah dari masing-masing negara. Mayoritas penduduk dari negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam adalah beragama islam. Penduduk beragam islam di Indonesia sebesar
11 87,18% yaitu 222.711.510 jiwa, Malaysia sebesar 61,3% yaitu 18.927.478 jiwa, dan Brunei Darussalam sebesar 75,1% yaitu 295.422 jiwa. Sedangkan rumpun Timur Tengah yang terdiri dari negara Bahrain, Kuwait, Saudi Arabia, United Arab Emirates, Qatar, Yordania, Iraq, Iran, dan Lebanon sama-sama terletak di Asia Barat. Di setiap negara terdapa suku arab. Negara-negara tersebut juga menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa arab. Mayoritas penduduk dari negara Bahrain, Kuwait, Saudi Arabia, United Arab Emirates, Qatar, Yordania, Iraq, Iran, dan Lebanon adalah beragama islam. Penduduk beragam islam di negara Bahrain sebesar 81,2% yaitu 1.463.449 jiwa, Kuwait sebesar 74,1% yaitu 3.100.090 jiwa, Saudi Arabia sebesar 93% yaitu 29.314.918 jiwa, United Arab Emirates sebesar 76,9% yaitu 7.041.733 jiwa, Qatar sebesar 67,75 yaitu 1.549.603 jiwa, Yordania sebesar 97,2% yaitu 7.382.340 jiwa, Iraq sebesar 99% yaitu 35.644.506 jiwa, Iran sebesar 99,5% yaitu 78.660.521 jiwa, dan Lebanon sebesar 59% yaitu 2.459.120 jiwa. 3. Risiko Kredit Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan (penyediaan dana), treasury dan investasi, dan pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam banking book maupun trading book. (Veithzal, 2006). Risiko ini dapat timbul karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk.
12 Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya. Penilaian risiko kredit merupakan hal yang penting bagi bank dan lembaga keuangan lainnya, karena kredit yang tidak tertagih khususnya akan menekan modal bank bersangkutan. Risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar utangnya (Hardanto, 2006). Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut : a. Debitur tidak dapat melunasi utangnya b. Obligasi yang dibeli bank, tidak membayar kupon dan/atau pokok utangnya c. Terjadinya non-performance (gagal bayar) dari semua kewajiban antara bank dengan pihak lain. Misalnya, kegagalan untuk membayar kontrak derivatif 4. Z-Score Čihák dan Hesse (2010) meneliti stabilitas keuangan menggunakan Z-Score di bank syariah dan konvensional di 20 negara selama periode 1994-2004, mengelompokkan bank kecil atau besar. Menurut hasil mereka, bank-bank Islam kecil cenderung lebih stabil secara finansial dari bank komersial kecil, bank-bank komersial besar yang lebih baik dalam mengelola risiko kredit dari bank syariah besar, dan mengejutkan, bank-bank syariah kecil secara finansial lebih kuat dari bank syariah besar. (Čihák dan Hesse, 2010) berpendapat bahwa ini karena sistem
13 pemantauan risiko kredit di bank syariah menjadi lebih kompleks ketika dioperasikan pada skala yang lebih besar. Selanjutnya (Beck, Kunt, dan Merrouche, 2013) membandingkan orientasi bisnis, efisiensi dan stabilitas bank konvensional dan syariah, dengan rata-rata Z-Score yang menunjukkan bahwa bank syariah memiliki risiko kredit secara signifikan lebih rendah. Menurut (Čihák dan Hesse, 2010) Z-Score adalah ukuran yang objektif karena Z-Score berfokus pada risiko kebangkrutan, yaitu pada risiko dimana bank (baik komersial, Islam, atau lainnya) kehabisan modal dan cadangan. Z-Score berlaku sama untuk bank yang menggunakan risiko tinggi atau strategi high return dan menggunakan risiko yang rendah. Dalam pengertian ini, Z-Score memberikan ukuran yang objektif. Membandingkan dengan teknik berbasis pasar untuk mengukur risiko default, perhitungan Z-Score lebih mudah karena memerlukan sedikit informasi akuntansi. Selain itu, teknik ini lebih unggul dari langkah-langkah akuntansi lain seperti NPL. Z-Score merupakan pengukuran risiko kredit yang berbasis akuntasi. Z-Score dapat dirangkum sebagai z=( k + μ) / σ. Dimana k adalah modal dan cadangan sebagai persen dari aset,μ adalah rata-rata pengembalian sebagai persen dari aset, dan σ adalah standar deviasi pengembalian aset sebagai proxy untuk volatilitas return. Z-Score mengukur jumlah deviasi standar sebuah realisasi pengembalian yang harus jatuh untuk menguras ekuitas, di bawah asumsi normalitas pengembalian bank. Sebuah Z-Score lebih tinggi maka bank tersebut
14 jauh dari kebangkrutan. 5. Non Performing Loan (NPL) Non Performing Finance (NPF) merupakan rasio pembiayaan yang bermasalah di suatu bank. Apabila pembiayaan bermasalah meningkat maka resiko terjadinya penurunan profitabilitas semakin besar. Apabila profitabilitas menurun, maka kemampuan bank dalam melakukan ekspansi pembiayaan berkurang dan laju pembiayaan menjadi turun. Resiko pembiayaan yang diterima bank merupakan salah satu risiko usaha bank, yang diakibatkan dari tidak dilunasinya kembali pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan oleh pihak bank (Muhammad, 2005). NPL merupakan rasio yang menunjukkan bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. NPL disebut juga sebagai kredit yang bermasalah. (Mahmoeddin, 2002) mendefinisikan NPL menjadi dua lingkup yang berbeda, yaitu : a. Pengertian secara umum, yaitu bahwa NPL adalah kredit yang tidak lancar atau kredit dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang diperjanjikan. b. Pengertian secara khusus, yaitu bahwa suatu kredit dianggap NPL apabila debitur tidak memasukkan laporan yang dijanjikannya,
15 misalnya laopran keuangan bulanan, laporan keuangan tahunan, laoporan produksi dan persediaan bulanan, dan sebagainya. Bank Indonesia membagi NPL di Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet. Menurut (Thomas dkk., 2003), kolektibilitas kredit adalah keadaan pembayaran pokok atau angsuran pokok dan bunga kredit oleh debitur serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali kredit yang disalurkan. Menurut (Misra dan Dhal, 2010) bank-bank besar lebih cenderung memiliki tingkat kredit macet lebih tinggi karena kendala neraca, bank-bank kecil bisa menunjukkan lebih manajerial efisiensi dari bank-bank besar dalam hal penyaringan pinjaman dan pemantauan pasca pinjaman, yang menyebabkan tingkat kegagalan lebih rendah. Pernyataan ini ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh (Kurnia, 2013) menemukan hasil bahwa ukuran berpengaruh positif terhadap NPL. (Kurnia, 2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara ukuran dengan NPL. Kemudian (Beck, Kunt, dan Merrouche, 2013) menggunakan NPL sebagai proxy untuk kualitas aset, dan menemukan bahwa NPL bank syariah memiliki nilai konsisten lebih rendah, dan menunjukkan risiko kredit yang lebih rendah di bank syariah. NPL digunakan sebagai pengukuran memiliki pengaruh terhadap risiko kredit. B. PERUMUSAN HIPOTESIS Selain menggunakan informasi pasar, risiko kredit juga dapat dihitung menggunakan informasi akuntansi. Z-Score adalah salah satu pengukuran
16 risiko kredit dengan menggunakan dasar akuntansi. Menurut (Čihák dan Hesse, 2010) Z-Score adalah ukuran yang obyektif karena Z-Score berfokus pada risiko kebangkrutan, yaitu pada risiko dimana bank (baik komersial, Islam, atau lainnya) kehabisan modal dan cadangan. Peneliti (Kabir, Worthington, dan Gupta 2015) menggunakan Z-Score untuk membandingkan risiko kredit di bank konvensional dan bank syariah, hasilnya adalah bank konvensional memiliki risiko kredit lebih rendah dari pada syariah. Maka dari itu peneliti merumuskan hipotesis yaitu H1a: Terdapat perbedaan risiko kredit di bank syariah dan bank konvensional di negara rumpun melayu menggunakan pengukuran Z-Score. Bank syariah memiliki risiko kredit lebih besar dari pada bank konvensional. H1b: Terdapat perbedaan risiko kredit di bank syariah dan bank konvensional di negara timur tengah menggunakan pengukuran Z-Score. Bank syariah memiliki risiko kredit lebih besar dari pada bank konvensional. NPL adalah kredit bermasalah yang merupakan salah satu untuk menilai kualitas kinerja bank. NPL merupakan pengukuran risiko kredit berdasarkan dasar akuntansi. (Beck, Kunt, dan Merrouche, 2013) menggunakan NPL sebagai proxy untuk kualitas aset, dan menemukan bahwa NPL bank syariah memiliki nilai konsisten lebih rendah, dan menunjukkan risiko kredit yang lebih rendah di bank syariah. Tetapi peneliti lain (Kabir, Worthington, dan Gupta 2015) menggunakan NPL untuk pengukuran risiko kredit dan hasilnya adalah bank syariah yang memiliki risiko kredit lebih besar dari pada bank
17 syariah. Maka dari itu peneliti merumuskan hipotesis yaitu H2a: Terdapat perbedaan risiko kredit di bank syariah dan bank konvensional di negara rumpun melayu menggunakan pengukuran NPL. Bank syariah memiliki risiko kredit lebih besar dari pada bank konvensional. H2b: Terdapat perbedaan risiko kredit di bank syariah dan bank konvensional di negara timur tengah menggunakan pengukuran NPL. Bank syariah memiliki risiko kredit lebih besar dari pada bank konvensional. C. KERANGKA PEMIKIRAN Berdasar pada uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu perbandingan risiko kredit yang terdapat di bank konvensional dan bank syariah menggunakan pengukuran Z-score dan NPL serta untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan dari variabel kontrol yaitu Total Asset, Asset Growth, dan Cost to Income. Kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut : BANK KONVENSIONAL Z-Score NPL BANK SYARIAH Z-Score NPF Gambar II.1 Kerangka Pemikiran
18 Variabel 1. Z-Score 2. NPL Variabel kontrol Variabel-variabel spesifik yang terdapat di bank 1. Total Asset 2. Asset Growth 3. Cost to Income