IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

1. BAB I PENDAHULUAN

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Benarkah Tahun 2002 akan Terjadi El-Niño dengan Intensitas Lemah?

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI SEBAGAI INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI PADI DI KABUPATEN SRAGEN

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos-chanos) DI TAMBAK, KECAMATAN SEDATI, SIDOARJO, JATIM 1

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan

VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHA BUDIDAYA UDANG GALAH

I PENDAHULUAN Latar Belakang

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Iidanya gangguan pada luas panen maupun produksi padi di Indonesia maupun di

BAB I PENDAHULUAN. tropis yang dapat tumbuh dimana saja, terkecuali pada tempat tempat yang terlalu tinggi

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

IV. METODE PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan

Arti Penting Kalender Tanam (Katam) Padi

1. PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

1. PENDAHULUAN. sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di negara ini berada hampir di seluruh daerah. Penduduk di Indonesia

UPAYA DEPARTEMEN PERTANIAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DI WILAYAH PESISIR DAN. Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air

I. PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam, tanah yang subur dan didukung

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

I. PENDAHULUAN. Potensi perairan pantai Indonesia yang cukup luas adalah merupakan

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

I. INFORMASI METEOROLOGI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN CABAI MERAH, CABAI RAWIT, BAWANG MERAH, JERUK, DAN PISANG JAWA TENGAH TAHUN 2014

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

I. INFORMASI METEOROLOGI

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

III. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara yang bergerak dibidang pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

Transkripsi:

7 kemudian akan digunakan untuk menduga sebaran keuntungan/kerugian kotor (gross margin) pada tiga kondisi (El Niño, dan ). Indikator ENSO yang digunakan dalam analisis ini adalah fase SOI. Keuntungan/kerugian kotor tiga bulanan yang dihitung dari anomali produksi dikorelasikan dengan fase SOI pada periode yang sama. Kemudian disusun sebaran peluang untuk masing-masing kondisi (El Niño, dan ). Fase SOI tiga bulanan ditentukan dari nilai rata-rata SOI tiga bulanan periode tertentu dengan nilai rata-rata SOI tiga bulanan periode sebelumnya. Dengan menggunakan Gambar 3, fase SOI pada periode tiga bulanan dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan nilai fase SOI tiga bulan sebelumnya. Sebagai contoh apabila SOI tiga bulan tertentu bernilai -1, dan pada tiga bulan sebelumnya bernilai 1, maka titik pertemuan berada pada fase SOI rapidly falling atau menurun cepat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kegiatan Usaha Tambak Udang Kecamatan Cantigi yang merupakan salah satu sentra produksi udang terletak di pesisir Laut Jawa, dengan luas wilayah 5.96 Ha dan 2.192 Ha diantaranya adalah tambak dan jumlah penduduk 23.453 jiwa. Mayoritas penduduk di kecamatan tersebut bermatapencaharian sebagai petani tambak dan nelayan. Benih yang digunakan petani di wilayah tersebut adalah benur yang telah diadaptasi atau biasa disebut oslah. Beberapa pengusaha benih mengambil benur dari berbagai daerah seperti Tasikmalaya, Pati, dan beberapa daerah lain untuk kemudian diadaptasi selama beberapa hari untuk menyesuaikan dengan kondisi di wilayah Indramayu baru kemudian dijual sebagai benih oslah. Sebagian besar petani memilih teknik tradisional untuk budidaya tambaknya karena modal yang diperlukan untuk teknik lain seperti intensif dan semi intensif sangatlah tinggi. Kepadatan rata-rata penanaman pada teknik budidaya tradisional adalah 2 3 ekor/m². Udang biasanya dipanen dalam usia 3 4 bulan, ukuran rata-rata 3 ekor/kg (33 gram per ekor) dengan harga jual per kilogramnya mencapai RP. 55.,-. Variasi harga jual udang sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika karena udang merupakan salah satu komoditas ekspor. Variasi harga udang dalam sepuluh tahun terakhir sekitar 1%, kecuali pada tahun 1998 saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terpuruk. Harga jual udang melonjak hingga Rp. 125.,-/kg pada tahun tersebut. Hasil analisis menunjukkan usaha tambak udang memiliki Benefit Cost ratio (B/C) 1,2, Perhitungan tersebut menggunakan harga jual Rp. 55.,- per kilogram. Biaya tetap meliputi sewa tanah, pembuatan kolam dan instalasi saluran air, sebesar Rp.7.4.,-, penyusutan biaya tetap diasumsikan sebesar Rp.74.,-, serta biaya operasional yang meliputi pemakaian benur, pakan, tenaga kerja, obat-obatan dan pupuk sebesar Rp.1.255.,- produksi udang sebanyak 175 kg. Nilai B/C tersebut menunjukkan bahwa usaha tambak udang masih menguntungkan, tetapi resiko mengalami kerugiannya cukup tinggi jika dilihat dari kemungkinan perolehan keuntungan yang hanya 2,45% dari biaya produksi. Resiko kerugian bisa lebih tinggi lagi mengingat usaha udang sangat rentan terhadap penyakit dan perubahan kualitas air. Apabila harga jual udang hanya Rp.49.5,- per kilogram maka titik impas (Break Event Point) usaha budidaya tambak udang akan tercapai bila produksi per hektar paling tidak mencapai 189,8 Kg (rasio hidup 35% apabila penebaran benih 2 ekor/m²). Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 5 4.2. Kalender Aktifitas Petani Udang Berdasarkan hasil survey, dalam setahun petani biasanya melakukan hingga tiga kali penanaman benih udang yaitu pada bulan Maret, Juli dan November (Tabel 2). Produksi cenderung tinggi pada musim pertama yaitu tebar bulan Februari dan panen bulan Juni serta musim ketiga yaitu tebar bulan Oktober dan panen bulan Februari, sedangkan pada musim kedua yaitu tebar bulan Juni produksi cenderung menurun karena pada bulan-bulan tersebut bertepatan dengan musim kemarau. Curah hujan yang sedikit dan evaporasi yang tinggi di musim kemarau menyebabkan tingginya salinitas tambak. Di samping itu tidak ada cadangan air tawar yang dapat digunakan untuk mengurangi tingginya salinitas.

8 Tabel 2 Kalender aktifitas petani udang di kabupaten Indramayu Sumber: Hasil Survey Kesibukan petani udang tinggi di bulan Februari, Juni dan Oktober. Pada bulan tersebut pemanenan berlangsung dan sekaligus mulai melakukan persiapan untuk musim tanam berikutnya. Hingga tiga bulan selanjutnya kegiatan petani hanya mengelola pakan, pemantauan terhadap hama penyakit serta pemantauan kualitas udang. Pada bulan lain petani melakukan usaha sampingan. Diantaranya banyak yang melaut, berdagang dan lain-lain. Hasil survey menunjukkan sebagian besar petani mengeluhkan kesulitan membudidayakan udang di musim kemarau. Akan tetapi setiap tahunnya petani selalu memaksakan diri untuk tanam udang sebanyak tiga kali karena merasa tidak punya pilihan lain. Selain itu respon terhadap informasi iklim cukup baik. Selama ini iklim dirasakan besar pengaruhnya, akan tetapi mereka tidak mengetahui akses untuk memperoleh informasi tersebut dan bagaimana mengaplikasikan informasi iklim pada usaha mereka. Ini menunjukkan masih rendahnya tingkat adopsi petani terhadap informasi iklim. 4.3. Kegiatan Usaha Tani Garam Daerah yang dikenal sebagai sentra produksi garam di wilayah Indramayu adalah kecamatan Kandanghaur, Losarang dan Krangkeng. Luas penggaraman di tiga kecamatan tersebut menurut data Departemen Perindustrian dan Perdagangan tahun 24 berturut-turut adalah 488 Ha, 923 Ha dan 165 Ha. Dipilih kecamatan Losarang sebagai lokasi survey karena memiliki wilayah penggaraman paling luas dari ketiga sentra produksi garam di Indramayu tersebut. Luas wilayah Losarang adalah 123.9 Ha dengan penduduk sebanyak 55.915 jiwa (BAPEDA, 24). Usaha tani garam di Losarang cenderung hanya merupakan usaha sampingan selama musim kemarau, sementara usaha utamanya adalah pertanian tanaman pangan (padi). Karena lokasinya yang sering tidak terjangkau air irigasi, maka di musim kemarau mereka menyewa lahan untuk digarap menjadi ladang garam. Sehingga usaha tani garam ini hanya berlangsung sekitar 4 5 bulan dalam setahun. Garam yang dihasilkan setiap hari disetorkan kepada tengkulak untuk kemudian tengkulak tersebut yang akan menjualnya ke pabrik-pabrik atau menimbun di gudang untuk persediaan musim hujan. Tidak seperti garam Madura yang banyak digunakan untuk konsumsi, garam yang dihasilkan dari Indramayu sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri seperti tekstil, baja, sepatu, termasuk industri strategis seperti kilang minyak. Usaha garam merupakan usaha yang memiliki resiko kerugian relatif kecil karena tidak banyak faktor yang mengganggu produksi garam. Selain itu variasi harga jual setiap tahunnya juga kecil. Biaya operasional yang dikeluarkan juga hanya ongkos angkut saja. Hasil analisis menunjukkan B/C ratio untuk bertani garam mencapai 1.65. Perhitungan tersebut menggunakan harga jual garam sesuai bulan berjalan yang kisarannya antara Rp. 9,- dan Rp. 3,- per kg. Biaya

9 tetap yang meliputi sewa lahan dan pembelian alat-alat menggaram ialah sebesar Rp.7.452.,-, dengan penyusutan modal investasi Rp. 745.2,-, sedangkan biaya tidak tetap atau operasional sekitar Rp.3..,-. Ini menunjukkan bahwa usaha tani garam menguntungkan, dengan kemungkinan perolehan keuntungan adalah 65% dari biaya total yang dikeluarkan untuk produksi. Angka tersebut cukup tinggi dan mengindikasikan bahwa resiko kerugian usaha tani garam kecil. Rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6. Harga garam biasanya terus menurun sepanjang musim menggaram. Penurunan harga jual petani ke tengkulak setiap harinya sekitar Rp. 2.1,-/Kg dalam satu musim menggaram (kurang lebih 4 bulan). Berdasarkan hasil survey, untuk tahun 26, harga di awal musim adalah Rp. 3,-/kg dan berangsur turun seiring dengan bertambah banyaknya produksi hingga mencapai Rp. 9,- /kg di akhir musim). Apabila harga jual rata-rata selama penambangan garam hanya Rp.9,- per kg maka titik impas (Break Event Point) usaha tani garam akan tercapai apabila produksi per hektar minimal 124 ton/ha per musim. 4.4. Kalender Aktifitas Petani Garam Aktifitas menggaram hanya dilakukan selama 4-5 bulan saja dalam setahun (Tabel 3). Sejak masuk musim kemarau hingga masuk musim hujan. Kegiatannya meliputi penandatanganan kontrak dengan pemilik modal atau pemilik lahan, persiapan ladang garam dan drainase air asin untuk pendulangan garam. Karena hampir seluruh petani menjadikan aktifitas menggaram hanya sebagai usaha sampingan, maka biasanya lahan penggaraman yang mereka garap adalah lahan sewaan. Besarnya biaya sewa bervariasi sesuai kesepakatan. Pada lahan milik pemerintah biasanya lahan sewa sudah memiliki harga sewa tertentu, sedangkan lahan milik pemodal biasanya disewakan dengan sistem bagi hasil. Besarnya nilai sewa untuk sistem bagi hasil adalah 1/3 dari produksi garam yang dihasilkan. Pada musim hujan petani biasanya kembali ke aktifitas utamanya. Sebagian besar mereka adalah petani tanaman pangan (padi) sehingga ketika musim hujan tiba mereka mulai mempersiapkan sawahnya dan meninggalkan garam. Sementara itu ladang garam yang mereka tinggalkan umumnya pada musim hujan dijadikan tambak baik untuk bandeng maupun udang oleh pemilik lahan. Terkecuali untuk lahan milik pemerintah yang tetap dibiarkan kosong selama musim hujan. Sebagian petani lain yang bukan petani tanaman pangan seperti pedagang, kuli angkut, dan lain-lain juga kembali pada aktifitas utamanya. Beberapa petani yang mempunyai modal untuk membangun gudang akan menyimpan sebagian produksi garamnya untuk dijual di musim hujan supaya bisa mendapat harga tinggi. Tabel 3 Kalender aktifitas petani garam di Indramayu Sumber: Hasil survey

1 Hasil survey menunjukkan sebagian petani berpendapat aktifitas bertani garam sesungguhnya menjanjikan hasil yang lebih pasti daripada bertani tanaman pangan karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi produksi pertanian tanaman pangan. Respon petani terhadap informasi iklim cukup baik. Petani mengakui usaha tani garam hampir sepenuhnya tergantung pada kondisi iklim. Bila musim kemarau cukup panjang dalam satu tahun produksi garam bisa sangat tinggi terlebih lagi bila curah hujan di musim kemarau tidak banyak dan evaporasi tinggi. 4.5. Keragaman Iklim dan Produksi Tambak Udang serta Tani Garam Produksi udang kabupaten Indramayu mengikuti pola peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 5). Ini bisa disebabkan oleh perluasan areal tambak, perkembangan teknologi yang diaplikasikan dalam budidaya udang atau bertambahnya tingkat pengetahuan petani. Produksi Udang (ton) 4 35 3 25 2 15 1 5 y = 46.147x + 699.72 R 2 =.437 5 1 15 2 25 3 35 4 Triwulan ke-i Gambar 5 Produksi udang kabupaten Indramayu tahun 1997 26 Awal tahun 199-an teknik budidaya intensif yang bermodal besar dan berteknologi tinggi sempat diterapkan. Pada awalnya produksi memang sangat tinggi tapi 1-2 tahun berikutnya malah merosot tajam karena tingkat pengetahuan petani yang tidak sama serta masalah permodalan. Selain itu muncul permasalahan endapan pakan dan obat-obatan kimia yang banyak digunakan pada teknik budidaya intensif di lahan tambak mereka. Hal ini juga banyak memicu kecaman dari pihak pemerhati lingkungan, usaha tambak udang dianggap membawa resiko ekologis, merusak keanekaragaman hayati dan sebagainya. Hingga kemudian teknik tersebut ditinggalkan dan petani kembali ke teknik tradisional. Selain teknologi, iklim merupakan faktor lain yang cukup mempengaruhi produksi udang. Tambak udang merupakan jenis usaha perikanan yang sangat peka terhadap perubahan kualitas air, terutama perubahan salinitas. Perubahan salinitas tambak udang sangat dipengaruhi oleh kontinuitas, pola dan durasi curah hujan serta evaporasi di kawasan tambak. Pada saat survey (Agustus 26) usia udang masih muda sekitar 1-2 bulan dan dari pengukuran di enam lokasi berbeda diketahui salinitasnya rata-rata sudah mencapai 4-5 ppt, sangat jauh dari kondisi ideal yang dibutuhkan udang muda yaitu pada kisaran 15-25 ppt (Suyanto dan Mujiman, 24). Diakui petani, kondisi ini sering terjadi hampir disetiap musim kemarau. Air tambak menjadi hipersalin karena sedikit atau bahkan tidak adanya curah hujan serta tingginya evaporasi, sementara itu lokasi tambak di Indramayu kesulitan memperoleh pasokan air tawar. Setelah dilakukan analisis, data anomali produksi tiga bulanan diketahui menunjukkan trend hubungan dengan curah hujan-evaporasi tiga bulan sebelumnya. Gambar 6 menunjukkan apabila evaporasi lebih tinggi dari curah hujan (CH-E negatif) maka anomali produksi semakin negatif atau produksi udang cenderung lebih rendah dari rata-rata. Demikian pula sebaliknya, jika selisih curah hujan dan evaporasi positif maka anomali produksi udang positif atau produksi udang lebih tinggi dari rata-rata. Persamaan regresi yang mewakili hubungan anomali produksi dengan CH dan evaporasi adalah: y =.5759x + 19.1955 dimana y : Anomali produksi pada triwulan ke-i (ton) x : Nilai CH dikurangi evaporasi pada triwulan ke i-1 (mm) Anomali Produksi Udang (ton) 2 15 1 5-8 -6-4 -2 2 4 6 8 1 12-5 -1-15 Lag-1 CH-Evaporasi (mm) Gambar 6 Hubungan anomali produksi udang dengan CH-Evaporasi tiga bulan sebelumnya

11 Selisih curah hujan dan evaporasi wilayah Indramayu pada bulan Oktober-November- Desember berkorelasi positif dengan nilai rata-rata SOI Juli-Agustus-September atau rata-rata SOI tiga bulan sebelumnya (Gambar 7). Dari analisis tersebut dapat dis usun peluang memperoleh selisih curah hujan dan evaporasi pada tiga kondisi (El Niño, dan ). Sebaran peluang memperoleh selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan pertama atau periode Januari-Februari-Maret dalam tiga kondisi (El Niño, dan ) dapat dilihat pada gambar 8. Peluang selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan pertama dalam kondisi El Niño selalu lebih rendah dari peluang dalam kondisi La Nina dan, selain itu nilainya juga selalu positif atau dengan kata lain curah hujan selalu lebih tinggi dari evaporasi. CH-Evap OND (mm) 4 2-2 -4-2 -1 1 2 SOI JAS Gambar 7 Korelasi nilai rata-rata indeks osilasi Selatan dengan selisih curah hujan dan evaporasi Peluang Terlampaui(%) 1 8 6 4 2 2 4 6 8 1 12 CH - Evaporasi (mm) Gambar 8 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan pertama (Januari-Februari- Maret) pada tiga kondisi (El Niño, dan ) 1 8 6 4 2-3 -2-1 1 CH - Evaporasi (mm) Gambar 9 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan kedua (April-Mei-Juni) pada tiga kondisi (El Niño, dan ) Peluang memperoleh selisih curah hujan dengan evaporasi lebih dari 2 mm pada triwulan pertama atau periode Januari- Februari-Maret dalam kondisi El Niño hanya 4%, sedangkan dalam kondisi peluangnya hingga 8% (Gambar 8). Berbeda dengan triwulan pertama, peluang (CH-E) triwulan kedua atau periode April-Mei-Juni dalam kondisi El Niño justru lebih tinggi dari pada kondisi. Seperti pada gambar 9, peluang mendapatkan (CH-E) kurang dari -2 mm dalam kondisi El Niño 9% sedangkan pada kondisi hanya 8%. Sementara itu selisih curah hujan dan evaporasi pada triwulan ketiga atau periode Juli-Agustus-September selalu bernilai negatif atau dengan kata lain evaporasi cenderung lebih tinggi dari curah hujan pada bulan-bulan tersebut. Sebaran peluang pada tiga kondisi terlihat paling rendah pada kondisi El Niño, lebih tinggi pada kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi, seperti ditunjukkan pada gambar 1. Peluang Terlampaui(%) 1 8 6 4 2-6 -5-4 -3-2 CH - Evaporasi (mm) Gambar 1 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan ketiga (Juli-Agustus- September) pada tiga kondisi (El Niño, La Nina dan )

12 Peluang Terlampaui(%) 1 8 6 4 2-4 -2 2 4 CH - Evaporasi (mm) Gambar 11 Sebaran peluang selisih curah hujan dan evaporasi triwulan keempat (Oktober- November-Desember) pada tiga kondisi (El Niño, dan ) Peluang memperoleh selisih curah hujan pada triwulan keempat atau periode Oktober- November-Desember paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi pada kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi bila curah hujan lebih kecil dari evaporasi, sedangkan jika curah hujan lebih besar dari evaporasi peluang paling rendah adalah pada kondisi normal. Sebarannya dapat dilihat pada Gambar 11. Menurut Biro Meteorologi Australia, kemampuan prediksi dengan menggunakan indikator ENSO untuk periode Februari hingga April kurang akurat. Hal ini disebabkan karena adanya predictability barrier seperti yang dijelaskan oleh Battisti (1995). Hal ini sejalan dengan Gambar 8-11 dimana pengaruh ENSO dominan hanya pada periode musim kemarau (bulan Juli- September). Menurut Boer (23), fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga me mpengaruhi masuknya awal musim kemarau atau akhir musim hujan dan panjang musim kemarau tergantung pada waktu pembentukan, lama dan intensitasnya. Pada umumnya pada saat terjadi El-Niño, awal musim hujan di wilayah bertipe iklim monsoon mengalami keterlamb atan antara satu sampai dua bulan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina, akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur sekitar satu bulan (Gambar 12 dan 13). Hubungan SOI terhadap awal masuk dan panjang musim kemarau memungkinkan kita menyusun peluang awal masuk musim kemarau (Gambar 14). Peluang masuk musim kemarau mulai dasarian ke-1 pada kondisi El Niño paling kecil yaitu hanya sekitar 4%, pada kondisi normal sekitar 5% dan peluang paling besar adalah pada kondisi yaitu 6%. Untuk panjang musim kemarau, peluang memperoleh panjang musim kemarau lebih dari 2 dasarian paling tinggi adalah saat El Niño yaitu kemungkinannya hingga 8% sedangkan pada saat normal peluangnya hanya 7% dan peluang terkecil adalah saat terjadi yaitu hanya 4%. Hubungan SOI terhadap awal masuk dan panjang musim kemarau memungkinkan kita menyusun peluang awal masuk musim kemarau (Gambar 14). Peluang masuk musim kemarau mulai dasarian ke-12 pada kondisi El Niño paling kecil yaitu hanya sekitar 2%, pada kondisi normal sekitar 25% dan peluang paling besar adalah pada kondisi yaitu 5%. Untuk panjang musim kemarau, peluang memperoleh panjang musim kemarau lebih dari 2 dasarian paling tinggi adalah saat El Niño yaitu kemungkinannya hingga 8% sedangkan pada saat normal peluangnya hanya 7% dan peluang terkecil adalah saat terjadi yaitu hanya 4%. Awal MK (dasarian ke) 2 16 12 8 y = -.271x + 1.63 R 2 =.178 4-3 -2-1 1 2 3 Gambar 12 Panjang MK (dasarian) 3 25 2 15 1 SOI April Pengaruh ENSO terhadap awal masuk musim kemarau y =.193x + 22.391 R 2 =.6-3 -2-1 1 2 3 SOI April Gambar 13 Pengaruh ENSO terhadap panjang musim kemarau

13 1 8 6 4 2 4 6 8 1 12 14 16 18 Awal MK (dasarian ke) Gambar 14 Peluang masuk musim kemarau pada tiga kondisi (El-Niño, dan ) Gambar 15 menunjukkan bahwa pada kondisi El Niño peluang untuk mendapatkan panjang musim kemarau lebih dari normal meningkat. Berdasarkan data seri produksi, total produksi garam di Indramayu cenderung meningkat dengan semakin panjang musim kemarau. Total produksi garam dipengaruhi oleh panjang musim kemarau secara eksponensial (Gambar 16). 1 8 6 4 2 1 15 2 25 3 Panjang Musim Kemarau (dasarian) EL Nino Gambar 15 Peluang memperoleh panjang musim kemarau pada tiga kondisi (El Niño, dan ) Total Produksi Garam (ton) 12 1 8 6 4 2 y = 1.6835e.5433x R 2 =.7639 18 19 2 Panjang Musim Kemarau (dasarian) Gambar 16 Total Produksi garam berkorelasi dengan panjang musim kemarau secara eksponensial 4.6. Potensi Pemanfaatan Informasi Prakiraan Iklim Kejadian kekeringan yang berasosiasi dengan ENSO telah menimbulkan kerugian yang sangat besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat global. Kerugian paling besar dialami sektor kehutanan berikutnya sektor pertanian dan sisanya dari sektor lainnya seperti perikanan, perhubungan dan lain-lain (Boer, 23). Apabila kejadian iklim ekstrim ini dapat diprediksi lebih awal, maka kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian ini akan dapat ditekan. Budidaya tambak dan usaha tani garam telah diketahui berkorelasi dengan keragaman iklim seperti dalam penjelasan pada bagian sebelumnya, apabila kejadian iklim ekstrim sudah dapat diprediksi dengan baik maka petani dapat melakukan antisipasi dengan untuk menghindari kerugian yang ditimbulkan. Lebih spesifik lagi, dari hasil analisis sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang untuk tiap triwulan menunjukkan hasil berbeda. Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan pertama paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi dalam kondisi normal dan paling tinggi dalam kondisi La Nina. Peluang usaha tambak udang mengalami impas pada kondisi El Niño adalah 3%, kondisi normal 5% dan kondisi La Nina 6% (Gambar 17). Hasil analisa data seri menunjukkan kerugian yang mungkin diderita usaha tambak udang pada triwulan pertama sejumlah Rp. 5 miliar (peluang terjadi kerugian sejumlah tersebut dalam kondisi El Niño 5%, dan normal diatas 8%). 1 8 6 4 2-1 -5 5 1 15 Keuntungan/Kerugian (juta) Gambar 17 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan pertama (Januari-Februari-Maret) Pada triwulan kedua dan ketiga, karena pengaruh ENSO tidak jelas pada bulan Januari hingga April maka sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang justru menjadi paling tinggi pada kondisi El Niño (Gambar 18 dan 19). Menurut hasil analisis data seri, kemungkinan usaha tambak udang mengalami kerugian pada triwulan kedua adalah nol persen dan keuntungan maksimum yang dapat diperoleh bisa lebih dari Rp. 3 miliar. Sedangkan untuk triwulan ketiga,

14 kerugian maksimum yang mungkin dialami mencapai lebih dari Rp. 4 miliar, keuntungan maksimum yang mungkin dicapai juga Rp. 4 miliar. 1 8 6 4 2 1 2 3 4 Keuntungan/Kerugian (juta) Gambar 18 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-2 (April-Mei-Juni) 1 8 6 4 2-6 -4-2 2 4 6 Keuntungan/Kerugian(juta) Gambar 19 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-3 (Juli-Agustus-Septemberr) Peluang Terlampaui(%) 1 8 6 4 2-15 -13-11 -9-7 -5 Keuntungan/Kerugian (juta) Gambar 2 Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-4 (Oktober-November-Desember) Sebaran peluang perolehan gross margin usaha tambak udang pada triwulan ke-4 (Gambar 2) menunjukkan paling rendah dalam kondisi El Niño, lebih tinggi dalam kondisi normal dan paling tinggi pada kondisi. Nilai gross margin pada triwulan ke - 4 selalu negatif sehingga usaha tambak udang selalu merugi pada periode ini. Hal ini karena evaporasi periode tiga bulanan sebelumnya (Juli-Agustus-September) selalu lebih tinggi dari curah hujan (Gambar 1), sehingga mempengaruhi kualitas air tambak dan mengakibatkan produksi di bawah rata-rata. Sebagai contoh, peluang kerugian bisa kurang dari Rp. 13 miliar dalam kondisi El Niño hanya 4%, dalam kondisi normal 6% dan kondisi hingga 8%. Hasil analisis data seri menunjukkan usaha tambak udang pada triwulan keempat selalu merugi (gross margin negatif). Kerugian maksimum yang mungkin dialami usaha tambak udang pada triwulan keempat mencapai Rp. 15 miliar (peluang terjadinya pada kondisi El Niño hingga 9%). Bagi petani tambak udang, prediksi awal masuk musim kemarau dan panjang musim kemarau menentukan pengambilan keputusan untuk waktu tebar benih. Jika diketahui musim kemarau akan panjang maka petani dapat mengganti komoditas yang ditanam dengan jenis lain yang lebih tahan terhadap kondisi salinitas tinggi, atau petani dapat tetap menanam udang tetapi dikombinasikan dengan komoditas lain yang lebih tahan dengan kondisi salinitas tinggi sehingga kerugian dapat diminimalisir tetapi juga mempunyai kemungkinan mendapat keuntungan jika ternyata harga udang melonjak naik, atau bahkan membatalkan rencana tanam, jadi dalam setahun hanya melakukan dua kali tanam saja. Petani garam yang umumnya usaha utamanya adalah petani tanaman pangan (padi), jika dapat diprediksi musim kemarau akan panjang maka mereka akan segera memutuskan untuk tidak tanam gadu (tanam musim kedua) tapi langsung mempersiapkan lahan untuk menggaram pada awal masuk musim kemarau. Dengan demikian kerugian akibat tanam gadu yang gagal dapat dihindari sekaligus keuntungan bertambah dengan memulai penggaraman pada waktu yang tepat serta mendapatkan produksi dan harga (pendapatan) optimum sepanjang musim kemarau. V. KESIMPULAN Hasil survey menunjukkan kegiatan tambak udang di Indramayu berlangsung sepanjang tahun hingga tiga kali tebar benih. Sebagian besar petani mengaku kesulitan membudidayakan tambaknya di musim kemarau. Sementara itu kegiatan usaha tani garam hanya berlangsung selama musim kemarau sebagai usaha sampingan. Respon petani tambak udang dan garam di Indramayu cukup baik akan tetapi tingkat adopsi terhadap informasi iklim masih rendah.