Bab II Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

13. Purwadhi Sri Hardiyanti ( 1994 ), Penelitian lingkungan geografis dalam inventarisasi penggunaan lahan dengan teknik penginderaan jauh di

Interpretasi Citra dan Foto Udara

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

- 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

Gambar 1. Satelit Landsat

Bab IV Hasil dan Pembahasan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

Citra Satelit IKONOS

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra

Bab II Tinjauan Pustaka

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab IV Analisis dan Pembahasan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA

- 1 - KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

Bab I Pendahuluan. Tabel I.1 Contoh penerimaan PPh final penilaian kembali aktiva tetap disatu kanwil DJP tahun Nilai Aktiva Tetap.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ISTILAH DI NEGARA LAIN

TATA RUANG KABUPATEN BANDUNG PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009


METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 53 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH DI KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian terdahulu Wiantoko,M, 2005, melakukan penelitian perubahan obyek bangunan PBB untuk pemeliharan data obyek PBB, dengan membandingkan peta bangunan dengan citra quickbird terkoreksi. Pendeteksian dilakukan secara manual/visual. Penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa identifikasi perubahan obyek bangunan dengan memanfaatkan citra quickbird hanya baik dilakukan untuk daerah perkotaan teratur dan jenis perubahan bangunan besar dan bangunan belum tergambar. Ida Rafni, 2005. Melakukan penelitian tentang Optimalisasi Pemanfaatan tanah bekas HGU perkebunan dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, pemanfaatan tanah dalam mewujudkan penertiban dan pendayagunaan tanah sebagai diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 belum dapat dilaksanakan karena kurang akuratnya data tentang tanah terlantar dan kurangnya biaya dalam proses penetapan tanah terlantar. Hariyanto, I, 2005, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa klasifikasi untuk penentuan peruntukkan areal bagi kepentingan PBB pada dasarnya merupakan klasifikasi tutupan lahan. Klasifikasi yang disusun perlu dilengkapi dengan monogram atau sampel obyek tertentu di permukaan bumi yang dapat dikenali diatas citra beserta dengan definisi dan deskripsinya. Beberapa sampel obyek dimungkinkan mempunyai definisi maupun deskripasi yang sama akan tetapi memberikan kenampakan yang berbeda. Sehingga perlu untuk memberikan sampel obyek yang lebih banyak. Soebagio, 2006, melakukan penelitian antara lain tentang pemanfaatan keunggulan citra Quickbird sebagai citra resolusi tinggi yang mampu menggambarkan wilayah yang sebenarnya dengan jelas sampai ketelitian 0,6 m (Digital Globe 2002). Citra

9 Quickbird dijadikan acuan dalam melakukan transformasi dan koreksi peta SIG PBB. Koreksi peta SIG PBB terhadap citra mendapatkan simpangan baku perbedaan luas bidang sebesar 88 m2. Jumlah bidang yang memenuhi toleransi selisih luas KEP-533 sebesar 98,22%. Jadi citra QuickBird dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah bidang pada data SIG PBB di wilayah penelitian yang memenuhi toleransi selisih luas (KEP-533) dari sebelumnya yang hanya 12,89% menjadi 98,22%. II.2. Pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah Pengembangan dan pembangunan biasanya didasarkan atas potensi suatu wilayah yang meliputi potensi fisik, ekonomi, kependudukan, kesesuaian, kemampuan, penggunaan lahan, serta perkembangan wilayah. Ditinjau dari aspek pertanahan, data yang diperlukan untuk analisa potensi wilayah adalah rencana tata ruang wilayah ( RUTRW), penggunaan tanah, penguasaan tanah (HGU, HGB induk, HPL) serta perijinan yang telah diterbitkan. Informasi tersebut menyebutkan luas tanah yang tersedia untuk pembangunan, luas tanah yang telah diberikan ijin yang telah dicadangkan, luas tanah yang sudah dibebaskan, serta luas tanah yang telah dikuasai dan telah dilekati hak. Informasi tersebut berguna dalam menyusun neraca penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah wilayah bersangkutan. Lebih jauh, hak atas tanah sekala besar yang telah diberikan (HGU, HPL, dan HGB induk) akan dianalisa untuk mengetahui penggunaan dan pemanfaatan bidang per bidang. Analisa meliputi keadaan, sifat, dan tujuan penggunaan dan pemanfaatan yang diwajibkan saat pemberian hak. Hasil analisa bidang per bidang akan menjadi dasar pemberian rekomendasi mikro penggunaan dan pemanfaatan bidang-bidang tanah dimasa datang apabila dinilai penggunaan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan hak dan kewajiban yang disyaratkan.

10 Skema alur pikir kegiatan pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah hak atas tanah dalam satuan wilayah administrasi(bpn, 2004) adalah sebagai berikut : Gambar II.1. Skema alur pikir kegiatan pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah Bangunan adalah sesuatu yang didirikan ; sesuatu yang dibangun (rumah, gedung, menara).(hoetomo,2005). Hak Guna Bangunan ( HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. ( pasal 35 UU nomor 5 tahun 1960). II.3. Tanah terlantar Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. ( Republik Indonesia, 1998).

11 Identifikasi tanah terlantar adalah kegiatan pemantauan, pendataan dan evaluasi terhadap tanah-tanah yang dikuasai dengan hak atas tanah, tanah hak pengelolaan dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum memperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka penertiban dan pendayagunaannya. (BPN, 2002). Ruang lingkup tanah terlantar meliputi tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP), tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria tanah terlantar ( Republik Indonesia, 1998), adalah sebagai berikut : a. Tanah HM, HGU, HGB, dan HP, dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. b. Tanah HM, HGB, dan HP yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya, tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, tidak dipergunakan sesuai peruntukkannya menurut RTRW yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik diatas tanah tersebut. c. Tanah HGU dan atau sebagian tanah HGU yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, tanah tesebut tidak diusahakan sesuai dengan kriteria penguasaan tanah pertanian yang baik sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. d. Tanah HGB, HP dan atau sebagian Tanah HGB, HP yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang.

12 e. Tanah HPL atau sebagian HPL, yang kewenangan hak menguasai dari negara tidak dilaksanakan oleh pemegang HPL sesuai tujuan pemberian pelimpahan kewenangan tersebut. f. Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Tata cara penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ( Republik Indonesia, 1998), adalah sebagai berikut: a. Identifikasi tanah terlantar dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. a. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membentuk Satuan Tugas Identifikasi. b. Kewajiban pemegang hak atas tanah memberikan keterangan yang diminta oleh Satuan Tugas. c. Identifikasi meliputi : 1. nama dan alamat orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah mempunyai dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan. 2. letak, luas, status hak dan keadaan fisik tanah yang bersangkutan. 3. keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar. d. Dalam melakukan identifikasi diperhatikan jangka waktu yang wajar, dan ditetapkan oleh menteri e. Menteri membentuk Panitia Penilai, Ketua Kepala Kantor Pertanahan dan anggota dari Instansi terkait. f. Tanah terlantar yang dikuasai oleh pemegang hak perorangan yang tidak mampu dari segi ekonomi, diusulkan dilakukan pembinaan, sedangkan bagi perorangan yang mampu dari segi ekonomi diberi peringatan. g. Kakanwil BPN Propinsi memberikan peringatan pertama jangka waktu 12 bulan, peringatan kedua 12 bulan, peringatan ketiga 12 bulan.

13 h. Apabila pemegang hak tidak mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam peringatan ketiga maka Kakanwil BPN Propinsi melaporkan kepada Menteri disertai usul untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar. i. Menteri memberi kesempatan pada pemegang hak untuk dalam waktu 3 bulan mengalihkan hak atas tanahnya melalui pelelangan umum. Tata Cara Identfikasi (BPN, 2002), adalah sebagai berikut : a. Identifikasi tanah terlantar dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. b. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membentuk Satuan Tugas Identifikasi. c. Kegiatan identifikasi meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengolahan dan pelaporan d. Kegiatan perencanaan Identifikasi meliputi : 1. pengumpulan data dan peta di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan Dinas Instansi terkait serta dari pemegang hak, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. 2. penentuan lokasi prioritas untuk diidentifikasi 3. penyusunan rencana kerja identifikasi 4. penyiapan bahan dan materi serta tenaga, termasuk administrasi untuk pelaksanaan identifikasi. 5. pemberitahuan kepada pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah untuk pelaksanaan identifikasi. e. Kegiatan pelaksanaan identifikasi meliputi kegiatan pengumpulan data dan pengecekan lapang mengenai : 1. nama dan alamat orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah mempunyai dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan. 2. letak, luas, status hak dan keadaan fisik tanah yang bersangkutan termasuk ada tidaknya garapan atau okupasi liar oleh masyarakat, ada tidaknya indikasi kerusakan tanah dan penelantaran tanah.

14 3. data atau keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat dinyatakan seagai tanah terlantar antara lain data penggunaan tanah, ketaatan melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan pemberian hak atau ketetapan yang menjadi dasar penguasaan tanah, pemasangan patok-patok tanda batas dan khusus terhadap Hak Pengelolaan tidak/belum dilaksanakannya kewenangan yang diberikannya. 4. jumlah bidang dan luas tanah-tanah yang sudah dimiliki, selain yang sedang diidentifikasi. 5. permasalahan serta upaya penyelesaiannya. f. Kegiatan pengolahan data identifikasi dilaksanakan dengan berpedoman pada kriteria dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ; 1. penggunaan tanah saat ini 2. kesesuaian dengan tata ruang wilayah 3. kesesuaian dengan site plan dalam proposal 4. peruntukan tanah dalam pemberian haknya, atau dasar penguasaan tanah. 5. persyaratan dalam surat keputusan pemberian hak, atau ketetapan yang menjadi dasar penguasaan tanah. 6. hal-hal lain sesuai dengan kondisi daerah. g. Kegiatan pelaporan 1. pelaporan hasil identifikasi berisikan fakta dan penjelasan mengenai kondisi pemanfaatan tanah yang dilaksanakan oleh pemegang hak baik berupa peta maupun narasi 2. pelaporan disampaikan kepada panitia penilai Kabupaten/Kota melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota h. Jangka waktu minimal untuk dilakukan identifikasi ditetapkan sebagai berikut 1. Hak Milik, 5 ( lima ) tahun. 2. Hak Guna Usaha, 5 ( lima ) tahun. 3. Hak Guna Bangunan, 3 ( tiga ) tahun. 4. Hak Pakai, 3 ( tiga ) tahun. 5. Hak Pengelolaan, 5 ( lima ) tahun.

15 6. Penguasaan tanah oleh perusahaan dalam rangka ijin lokasi / SIPPT, 1 (satu ) tahun sejak diterbitkannya Surat Keputusan Perpanjangan yang terakhir. 7. Pencadangan tanah / SP3L dan rekomendasi Bupati/Walikota, sejak berlakunya keputusan ini. 1 s/d 5 sejak diterbitkannya sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Langkah-langkah Identifikasi Tanah Terlantar sesuai pedoman teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan tanah terlantar sebagai berikut : 1. Perencanaan Identifikasi a. Tetapkan prioritas bidang-bidang tanah yang akan di Identifikasi, dengan kriteria : 1) Petunjuk Menteri / KBPN : HGU, HPL, HGB skala besar dan ijin lokasi / SIPPT. 2) Laporan masyarakat / LSM 3) Informasi dari Dinas / instansi terkait 4) Jangka waktu berdasarkan pasal 8 Keputusan KBPN nomor 24 Th 2002. b. Susun rencana kerja identifikasi tahunan c. Susun rencana pembiayaan d. Kumpulkan data dan peta bidang tanah yang telah tersedia anggarannya untuk pelaksanaan identifikasi. 1) SK Pemberian hak atas tanah atau dasar penguasaan tanah 2) Ijin lokasi / SIPPT, Pencadangan Tanah / SP3L, Rekomendasi Bupati / Walikota, jika belum memperoleh SK hak atas tanah. 3) Surat Ukur atau Gambar Situasi Bidang Tanah 4) Peta Penggunaan Tanah Kabupaten / Kota atau Kecamatan 5) Peta RTRW Kab / Kota atau Kecamatan

16 6) Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi baik dari BPN maupun dari instansi lain yang berkaitan dengan penggunaan, pemanfaatan dan penguasaan tanah. e. Ploting bidang tanah yang akan diidentifiksi kedalam peta kabupaten/kota yang skalanya sama dengan RTRW, sesuai tahun anggaran dan jenis hak atas tanahnya. f. Buat peta dasar bidang-bidang tanah yang akan diidentifikasi (gunakan peta kadastral). g. Susun rencana kerja untuk identifikasi 1) Buat rencana kerja identifikasi 2) siapkan bahan, materi, tenaga dan administrasi 3) buat daftar kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang hak, sebagaimana tercantum dalam SK hak atas tanah atau sesuai kondisi daerah. 4) Siapkan daftar isian yang digunakan dalam pelaksanaan identifikasi. 5) siapkan tenaga pelaksana 6) siapkan surat tugas 7) siapkan dan kirimkan surat pemberitahuan kepada pemegang hak. 2. Pelaksanaan Identifikasi a. Hubungi pemegang hak atas tanah yang akan diidentifikasi b. Cek surat pemberitahuan yang telah dikirimkan c. Buat jadwal waktu bersama pemegang hak untuk identifikasi dilapang d. Isi formulir isian identifikasi, melalui wawancara dengan pemegang hak e. Peninjauan lokasi untuk mendapatkan gambaran sepenuhnya mengenai 1) penggunaan tanah saat ini diatas bidang tanah yang diidentifikasi dan buatkan petanya 2) penguasaan tanah saat ini diatas bidang tanah tersebut. 3) pemenuhan kewajiban oleh pemegang hak atas tanah sebagaimana tercantum dalam SK hak atas tanah atau karakteristik daerah, antara lain

17 patok tanda batas,pembayaran pajak, pemeliharaan tanah, konservasi tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana penggunaan tanah f. Cek penggunaan tanah yang bersangkutan kesesuainnya dengan peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan g. Cek penggunaan tanah detil bidang tanah yang bersangkutan dengan peta rencana detil peruntukkan tanah/site plan. h. Ploting bagian bidang tanah yang telah dimanfaatkan dan yang belum dimanfaatkan, terasuk kesesuainnya dengan rencana detail peruntukkan tanah. 3. Pengolahan Hasil Identifikasi a. Gambarkan semua hasil identifikasi dalam peta dasar yang telah disiapkan b. Tumpang tindihkan peta penggunaan tanah dan penguasaan tanah dengan peta RTRW, site plan c. Batasi dan tandai areal yang sesuai dan tidak sesuai dan hitung luasnya d. Buat tabulasi hasil pengolahan yang pada intinya memberi gambaran tentang : 1) berapa luas tanah yang telah dikuasai sesuai dengan yang termuat dalam SK hak atas tanah 2) berapa luas tanah yang sudah digunakan dan berapa yang belum digunakan 3) dari luas tanah yang sudah digunakan berapa luas yang sesuai atau tidak sesuai dengan site plan dan RTRW. 4) sampai sejauh mana upaya-upaya pemegang hak atas tanah dalam pemeliharaan tanah dan konservasi tanah 5) bagaimana kemampuan pemegang hak dari segi ekonomi 4. Pelaporan Hasil Identifikasi a. Hasil pengolaan identifikasi dinarasikan dalam bentuk pelaporan hasil identifikasi dilengkapi dengan peta dan tabel-tabel olahan b. Sampaikan laporan hasil identifikasi kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.

18 II.4. Penggunaan tanah 1. Jenis Penggunaan Tanah Sesuai Norma Standar Pedoman dan Mekanisme (NSPM) Survey dan Pemetaan Tematik Pertanahan jo Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1 tahun 1997 tentang pemetaan penggunaan tanah perdesaan, penggunaan tanah perkotaan, kemampuan tanah dan penggunaan simbol / warna untuk penyajian dalam peta., secara garis besar penggunaan tanah di bagi menjadi 2 (dua) yaitu penggunaan tanah perdesaan dan penggunaan tanah perkotaan. Penggunaan tanah perkotaan meliputi (BPN, 2008): a. Tanah permukiman adalah tanah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian. 1) Perumahan tidak teratur adalah areal tanah yang digunakan untuk kelompok bangunan tempat tinggal penduduk dengan pola tidak teratur. 2) Perumahan teratur adalah areal tanah yang digunakan untuk kelompok bangunan tempat tinggal penduduk dengan pola teratur. 3) Emplasemen adalah areal tanah yang digunakan untuk bangunan dan fasilitasnya, yang dimanfaatkan untuk mendukung fungsi komunitas tersebut. b. Tanah perusahaan, adalah tanah yang digunakan oleh suatu badan hukum dan atau badan usaha milik pemerintah maupun swasta untuk kegiatan ekonomi yang bersifat komersial bagi pelayanan perekonomian dan atau tempat transaksi barang dan jasa. c. Tanah Industri adalah tanah yang digunakan oleh suatu kegiatan ekonomi berupa proses pengolahan bahan baku menjadi barang setengah jadi dan atau setengah jadi menjadi barang jadi. d. Tanah Pergudangan adalah areal tanah yang digunakan bagi penyimpanan barang. e. Tanah jasa, adalah tanah yang digunakan untuk suatu kegiatan pelayanan sosial dan umum bagi masyarakat kota yang dilaksanakan oleh badan dan atau organisasi kemasyarakatan, pemerintah maupun swasta.

19 f. Tanah terbuka adalah tanah yang berada didalam wilayah perkotaan yang belum atau tidak digunakan untuk pembangunan perkotaan. g. Taman adalah tanah yang tidak dibangun dan berfungsi sebagai ruang terbuka dan atau ditumbuhi tamanan. h. Perairan, adalah areal tanah yang digenangi air secara permanen baik buatan maupun alami. Tanah terbuka/tidak ada bangunan diklasifikasikan menjadi : a. Tanah Kosong b. Pertanian Tanah Basah c. Pertanian Tanah Kering d. Peternakan e. Perikanan f. Hutan 2. Analisa data penggunaan tanah Pertanian tanah kering, usaha pertanian tanah kering terdapat didaerah-daerah yang penduduknya tidak padat. Tidak mendapat air pengairan. Pertanian tanah kering bisa berujud perkebunan, tegalan, kebun campuran dan ladang berpindah. Tegalan, jenis pertanian tanah kering ini lazimnya terdapat didaerah yang penduduknya padat. Tanaman yang diusahakan adalah tanaman musiman. Pada musim kemarau tanah ini biasanya bersih tanpa tanaman, hanya dipinggir tanah tegalan, sebagai batas pemilikan, dipadati bermacam-macam tanaman tahunan yang merupakan pagar. Tegalan lebih banyak terdapat di daerah yang iklimnya agak kering. Didaerah agak basah, seperti jawa barat, lebih banyak terdapat kebun campuran. Kebun Campuran, sebidang tanah yang terletak diluar pekarangan dan ditumbuhi oleh macam-macam tanaman secara tercampur. Sulit untuk menilai yang mana yang lebih penting. Dibandingkan dengan tegalan, pengolahan tanah kebun campuran kurang intensif.

20 II.5. Citra Satelit Quickbird dan Interpretasi citra a. Citra Satelit Quickbird Satelit Quickbird diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001, merupakan satelit komersial yang dapat menghasilkan citra dengan sapuan daerah yang luas, dan resolusi yang tinggi. Satelit quickbird mampu mengumpulkan data permukaan bumi dengan luas sapuan 16,5 km x 16,5 km, dengan resolusi spasial hingga 60 cm untuk mode pankromatik dan 2,4 m untuk mode multispektral. Adapun karakteristik citra satelit quickbird dapat dilihat pada tabel II.1. Tabel II.1. Karakteristik Satelit Quickbird Tempat Peluncuran Wahana Pembawa Orbit Vandenberg Air Force Base, California Boeing Delta II Ketinggian 450 km; waktu orbit 93.5 menit; Lewat garis khatulistiwa 10;30 AM ( descending ). 97.2 degree, Sun-Synchronous 7.1 km/detik 1-3.5 hari 16.5 km di nadir Single scene 16.5 X 16.5 km Sudut inklinasi Kecepatan Resolusi temporal Lebar nominal swath Luas Sapuan Resolusi pankromatik Basic: 0.61 m di nadir; 0.72 m di off nadir 25º Standard & Orthorectified Resampled ke 0.7 m ke GSD Resolusi multispektral Basic: 2.44 m di nadir; 2.88 m di off nadir 25º Standard & Orthorectified Resampled ke 2.8 m ke GSD Band Dynamic Range Sumber : DigitalGlobe. Pankromatik: 450 900 nm Biru : 450 520 nm Hijau : 520 600 nm Merah : 630 690 nm Near Infra Red : 760 900 nm. 11 Bits per pixel. b. Interpretasi Citra Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1994). Aspek interpretasi penginderaan

21 jauh dapat meliputi analisis piktorial dan analisis data numerik. Interpretasi visual data citra piktorial menggunakan kemampuan pikir manusia yang paling baik untuk melakukan evaluasi kualitatif pada daerah kajian. Interpretasi citra identik dengan analisis citra yang meliputi kegiatan deteksi dan identifikasi, pengukuran dan pemecahan masalah. (Estes et al., 1983, dalam Sutanto, 1994). Analisis citra secara manual mendasarkan atas unsur-unsur interpretasi. Tiga cara analisis citra secara manual sebagai berikut : a. Pengujian hipotesis, analis menyusun hipotesis, menduga obyek yang tergambar pada citra. b. Garis penalaran, pengembangan penalaran yang mengarah ke suatu kesimpulan. Satu garis penalaran pada dasarnya terdiri dari serangkaian pernyataan yang menggunakan jika... maka.... c. Konvergensi Bukti, dalam menyimpulkan jenis obyek atau kondisi suatu daerah yang tergambar pada citra, digunakan lebih dari satu unsur yang masing-masing mengarah ke satu kesimpulan, tidak ada yang bertentangan. Karakteristik dasar sebagai pertimbangan dalam interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur dan situs. (Lillesand dan Kiefer, 1979). Estes et al., 1983, dalam Sutanto, 1994, membagi unsur interpretasi menjadi 9 butir yaitu : rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi dengan susunan hierarkhi seperti dapat dilihat pada gambar II.2. Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra. Rona dapat diukur dengan dua cara yaitu dengan cara relatif dengan menggunakan mata biasa dan dengan cara kuantitatif dengan menggunakan alat. Dengan menggunakan mata biasa rona dibedakan atas lima tingkat yaitu putih, kelabu-putih, kelabu, kelabu-hitam dan hitam.

22 Gambar II.2. Susunan Hirarkhi unsur interpretasi Citra (Estes et al,1983) Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Ukuran ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra. Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di derah gelap. Situs, letak suatu obyek terhadap obyek lain disekitarnya. Asosiasi, dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Proses interpretasi dapat dipermudah dengan menggunakan kunci interpretasi. Kunci interpretasi citra dimaksudkan sebagai pedoman dalam melaksanakan interpretasi citra. Kunci interpretasi citra umumnya berupa potongan citra yang telah diinterpretasi serta diyakinkan kebenarannya dan diberi keterangan antara lain jenis obyek, dan unsur interpretasinya. Penajaman citra bertujuan untuk meningkatkan hasil interpretasi citra secara visual dengan mempertajam kontras. Salah satu cara dengan memperjelas tepi obyek dalam citra. Karena penajaman citra lebih berpengaruh pada tepi (edge) obyek, maka sering disebut juga dengan penajaman tepi ( edge enhancement). (Munir, 2004).

23 Penajaman digunakan sebelum interpretasi visual, selain untuk kepentingan analisis citra, juga untuk analisis kualitatif. Penajaman secara sederhana dapat diartikan mentransformasikan data kebentuk yang lebih ekspresif. Proses penajaman dapat dilakukan dengan modifikasi histogram, penajaman kontras linear (linear contrast enhancement), penajaman kontras linier siturasi, penajaman kontras otomik, penajaman logaritma dan eksponensial. (Purwadhi,2001).