Bab IV Analisis dan Pembahasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Analisis dan Pembahasan"

Transkripsi

1 42 Bab IV Analisis dan Pembahasan IV.1 Hasil Pra Pengolahan Citra Ikonos Kegiatan yang dilakukan adalah pengecekan koreksi radiometrik, pemotongan citra (cropping) dan penajaman citra. Hasil pengecekan koreksi radiometrik menunjukkan bahwa nilai minimum citra 0 dan maksimumnya 255 seperti ditunjukkan histogram dari Gambar IV.1 berikut ini ; Gambar IV. 1. Histogram band citra Pemotongan citra dilakukan untuk memperoleh citra sesuai dengan daerah penelitian yang dijadikan kajian. Hasil pemotongan citra (cropping) seperti pada gambar IV.2 berikut ini : Gambar IV.2. Citra hasil pemotongan (cropping)

2 43 IV.2 Hasil Klasifikasi Citra Ikonos Hasil klasifikasi citra Ikonos seperti tampak pada gambar dibawah ini ; Gambar IV.3 Hasil klasifikasi areal perkebunan kelapa sawit IV.3 Analisis Data Hasil Klasifikasi Analisis yang dilakukan adalah data luasan tiap kelas hasil klasifikasi dibandingkan dengan data luasan peta WP dan interpretasi visual menurut tutupan lahan maupun penggunaan lahan. IV.3.1 Analisis Luas Areal Kebun Hasil Klasifikasi Perbandingan akumulasi luas areal kebun hasil klasifikasi dengan peta WP seperti pada Tabel IV.1 ;

3 44 Tabel IV.1 Perbandingan akumulasi luas areal kebun menurut Peta WP dan hasil klasifikasi Areal Kebun Penjumlahan luas blok sampel Peta WP Hasil Klasifikasi RMSe (m²) Citra (m²) (m²) ,97 Selisih beda luas blok sampel sebesar m² dengan RMSe 412,97 m², memenuhi ketentuan batas toleransi beda luas 10%. Toleransi yang diperbolehkan menurut ketentuan adalah 10% X = m², dimana diasumsikan laporan WP merupakan data SISMIOP dan hasil penjumlahan menurut citra adalah peta digital. Toleransi tersebut sebenarnya sangat besar apabila diterapkan pada objek pajak sektor perkebunan yang rata-rata memiliki areal kebun sangat luas. IV.3.2 Analisis Beda Luas Kelas Klasifikasi Berdasarkan Tutupan Lahan (Land Cover) Hasil klasifikasi berdasarkan tutupan lahan (land cover) menghasilkan luas masing-masing kelas klasifikasi seperti pada tabel IV.2 berikut ini. Tabel IV.2 Luas kelas klasifikasi berdasarkan tutupan lahan Nomor Kelas Menurut Tutupan Lahan (Land Cover) Luas (m²) Areal Kebun Klasifikasi A Areal Kebun Klasifikasi B Areal Kebun Klasifikasi C Areal Kebun Klasifikasi D Areal Kebun Klasifikasi E Areal Kebun Klasifikasi F Areal Kebun Klasifikasi G Awan Batas Blok Luas Areal Kebun Bangunan Luas Objek

4 45 Apabila dibandingkan dengan luasan menurut peta WP maka hasilnya seperti pada tabel berikut : Tabel IV.3 Perbandingan luas kelas hasil klasifikasi dengan luas menurut peta WP berdasarkan tutupan lahan No. Luas berdasarkan Luas (m²) Selisih Tutupan Lahan (Land Cover ) Peta WP Hasil klasifikasi (m²) % 1. Areal Kebun Klasifikasi A 4,144,402 3,437, , Areal Kebun Klasifikasi B 10,116,053 14,284,433 4,168, Areal Kebun Klasifikasi C 13,680,346 12,203,092 1,477, Areal Kebun Klasifikasi D 29,443,115 22,206,046 7,237, Areal Kebun Klasifikasi E 356,800 1,600,464 1,243, Areal Kebun Klasifikasi F 1,165,215 1,707, , Areal Kebun Klasifikasi G 626,882 2,843,844 2,216, Luas Areal Kebun 59,532,813 58,282,355 1,250, Bangunan 23,157 62,651 39, Terdapat perbedaan luas yang sangat besar antara peta WP dengan hasil klasifikasi, dengan demikian selisih luas antar kelas yang diperoleh melebihi batas toleransi 10%. IV.3.3 Analisis Beda Luas Kelas Klasifikasi Berdasarkan Penggunaan Lahan (Land Use) Berdasarkan penggunaan lahan apabila dibandingkan antara hasil klasifikasi dengan peta WP maka menunjukkan hasil akumulasi sebagaimana disajikan pada Tabel IV.4 : Tabel IV.4 Perbandingan penggunaan lahan (land use) yang sesuai/tidak sesuai antara peta WP dengan hasil klasifikasi No Penggunaan Lahan Notasi Jumlah % (Land Use ) Klas A Klas B Klas C Klas D Klas E Klas F Klas G

5 46 Selanjutnya apabila hasil klasifikasi dibandingkan dengan interpreatasi visual menurut penggunaan lahannya maka hasilnya seperti pada tabel berikut ; Tabel IV.5 Perbandingan penggunaan lahan (land use) yang sesuai/tidak sesuai antara interpretasi visual dengan hasil klasifikasi No Penggunaan Lahan Notasi Jumlah % (Land Use ) Klas A Klas B Klas C Klas D Klas E Klas F Klas G Tabel IV.4 dan IV.5 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi citra lebih mendekati kesesuaian dengan peta WP untuk kelas tanaman kelapa sawit (kelas A, B, D, E, dan F) dibandingkan dengan interpretasi visual walaupun dengan selisih tidak besar. Namun demikian luasan hasil klasifikasi masing-masing kelas tidak memenuhi batas toleransi seperti yang disyaratkan KEP-533/PJ/2000 yaitu sebesar 10%. IV.4 Analisis Uji Ketelitian Klasifikasi Analisis dilakukan dengan menggunakan rumus II.1 dan II.2. Hasil uji ketelitian klasifikasi sebagaimana pada Tabel IV.6 berikut :

6 47 Tabel IV.6 Uji ketelitian klasifikasi Hasil Hasil Interpretasi Digital Jumlah Omisi MA Uji A B C D E F G % A 907, , , ,800 24, , ,546 4,145,529 3,238, B 44,503 7,419,746 2,460, ,805-18,684-10,119,849 2,700, C 4,733 8,560,731 3,101,981 1,989, ,634 13,669,844 10,567, D - 3,134, ,747 25,833, ,442,927 3,609, E - 15, , ,847 15, F , ,592-1,165, , G , , ,737 - Jumlah 956,301 19,724,510 7,837,994 28,577, ,223 1,355, ,180 59,526,986 21,091,047 Komisi 49,236 12,304,764 4,736,013 2,744,370 24, , ,180 21,091,047 Ketelitian seluruh klasifikasi (KH) adalah = X 100% = 64,57% Ketelitian terbaik pada interpretasi kelas tanaman sawit usia 4 tahun keatas (kelas D), dan kelas E. Sementara ketelitian terendah pada kelas G (tidak terklasifikasikan (0%) dan kelas C (16,85%). Hasil tersebut berarti klasfikasi digital akan lebih akurat apabila digunakan pada tanaman sawit yang telah berumur 4 tahun. Sementara akan buruk jika digunakan untuk tanaman sawit dibawah umur tersebut. Kesesuaian hasil interpretasi digital dengan peta Wajib Pajak tiap-tiap kelas dapat diuraikan sebagai berikut :

7 48 Interpretasi digital terhadap Kelas A Kelas K A menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas A Kelas C Kelas E Kelas B Kelas D Kelas F Kelas G Gambar IV.4 Overlay Kelas A menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital Hasil interpretasi digital terhadap kelas A (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.4 menghasilkan ketelitian 15,71%. Irisan antar kelas A di peta WP dengan kelas A menurut interpretasi digital terdapat pada 11 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 20%, Kelas C : 27,14%, Kelas D : 10%, Kelas E : 4,29%, Kelas F : 12,86%, dan Kelas G : 10%. Dengan demikian citra Ikonos kurang baik dalam mengidentifikasi areal kelas A.

8 49 Interpretasi digital terhadap Kelas B Kelas B menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Gambar IV. Hasil overlay peta WP dengan hasil interpretasi digital kelas B Kelas A Kelas C Kelas F Kelas B Kelas D Gambar IV.5 Overlay Kelas B menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital Hasil interpretasi digital terhadap kelas B (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.5 menunjukkan ketelitian 65,05%. Irisan antar kelas B di peta WP dengan kelas B menurut interpretasi digital terdapat pada 121 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas A : 1,08%, Kelas C : 30,65%, Kelas D : 2,15%, dan Kelas F : 1,08%. Bila ditinjau dari luasannya maka luas menurut hasil interpretasi digital lebih luas daripada luas di peta WP. Hal ini dimungkinkan karena besarnya komisi yang masuk ke Kelas B.

9 50 Interpretasi digital terhadap Kelas C Kelas C menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas A Kelas B Kelas C Kelas D Kelas G Gambar IV.6 Overlay Kelas C menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital Hasil interpretasi digital terhadap kelas C (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.6 menunjukkan ketelitian 20,30%. Irisan antar kelas C di peta WP dengan kelas C menurut interpretasi digital terdapat pada 40 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas A : 0,51%, Kelas B : 67,00%, Kelas D : 11,17%, dan Kelas G : 1,02%.

10 51 Interpretasi digital terhadap Kelas D Kelas D menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas B Kelas C Kelas D Gambar IV.7 Overlay Kelas D menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital Hasil interpretasi digital terhadap kelas D (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.7 menunjukkan ketelitian 80,45%. Irisan antar kelas D di peta WP dengan kelas D menurut interpretasi digital terdapat pada 288 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 17,32%, dan Kelas C : 2,23%. Hasil ini menunjukkan bahwa citra Ikonos cukup baik dalam mengidentifikasi areal kelas D.

11 52 Interpretasi digital terhadap Kelas E Kelas E menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas B Kelas E Gambar IV.8 Overlay Kelas E menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital Hasil interpretasi digital terhadap kelas E (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.8 menunjukkan ketelitian 80,00%. Irisan antar kelas E di peta WP dengan kelas E menurut interpretasi digital terdapat pada 4 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 20,00%. Ditinjau dari luasnya, maka terdapat komisi yang cukup besar pada kelas E.

12 53 Interpretasi digital terhadap Kelas F Kelas F menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas C Kelas F Gambar IV.9 Overlay Kelas F menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital Hasil interpretasi digital terhadap kelas F (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.9 menunjukkan ketelitian 85,71%. Irisan antar kelas F di peta WP dengan kelas F menurut interpretasi digital terdapat pada 6 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas C : 14,29%.

13 54 Interpretasi digital terhadap Kelas G Kelas G menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas C Gambar IV.10 Overlay Kelas G menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital Hasil interpretasi digital terhadap kelas G (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.10 menunjukkan ketelitian 0%. Hal ini dimungkinkan karena kelas G menurut peta wajib pajak berupa lahan rerumputan yang mirip dengan kelas F. Diklasifikasikan menjadi kelas C dimungkinkan karena nilai spektralnya yang lebih mendekati kelas C.

14 55 IV.5 Analisis Hasil Uji Statistik Hasil analisis uji statistik seperti pada tabel IV.7 (perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran J dan K) berikut ini: Tabel IV.7 Hasil uji t-test Kelas Jumlah Hasil Region t hitung t tabel Keputusan A ± H₀ gagal ditolak B ± H₀ gagal ditolak C ± H₀ gagal ditolak D ± H₀ gagal ditolak Dari hasil uji statistik menunjukkan H₀ gagal ditolak untuk semua kelas tanaman kelapa sawit, maka disimpulkan tidak ada perbedaan luas yang signifikan antara luas menurut peta WP dengan luas hasil perkalian jumlah pohon dengan rata-rata hitung luas/pohon. Untuk selisih luas sesuai batas toleransi 10%, pada semua kelas ada yang melebihi batas toleransi selisih luas per-regionnya, namun untuk akumulasi luas masih dalam batas toleransi. Hal tersebut dimungkinkan karena ; Untuk kelas A karena pohon kelapa sawit yang berumur 1 tahun masih mempunyai dimensi yang lebih kecil dari resolusi spasial citra sehingga agak sukar menginterpretasikan dan membedakannya dengan keadaan alam sekelilingnya. Lahan kosong yang cukup luas diantara tanaman sawit dimungkinkan karena tanaman yang mati atau kondisi alam. Dengan demikian penghitungan luas dengan menggunakan rata-rata hitung luas/pohon dapat digunakan. IV.6 Analisis Pemanfaatan NJOP Sebagai Nilai Pasar atau Nilai Wajar Aktiva Tetap IV.6.1 Introduksi Masalah Keputusan Menteri Keuangan 486/KMK.03/2002, tanggal tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan dalam pasal 4 berbunyi ;

15 56 (1) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang diakui /memperoleh ijin pemerintah. (2) Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai tersebut ternyata tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan. Namun pada kenyataannya tidak terdapat peraturan yang mengatur masalah pasal 4 ayat (2) diatas, sehingga tidak ada standar nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu aktiva tetap telah dinilai sesuai nilai pasar atau nilai wajarnya. IV.6.2 Ketentuan Hukum dan Teori Agar terselenggaranya penegakkan hukum (law enforcement) menghendaki 4 syarat yaitu : (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987) l. Adanya peraturan. 2. Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu. 3. Adanya fasilitas untuk rnendukung pelaksanaan peraturan tersebut 4. Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu Memperhatikan hal tersebut maka dalam penilaian kembali aktiva tetap syarat pertama tidak terpenuhi dimana tidak ada peraturan yang jelas menyangkut standar nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap yang bisa digunakan. Salah satu dari prinsip pemungutan pajak menurut Adam Smith (Adam Smith s Canons) adalah Certainty atau kepastian. Harus ada kepastian hukum mengenai subjek, objek, dan besarnya pajak. Sehubungan hal tersebut maka tidak ada ketentuan selanjutnya yang mengatur pelaksanaan dari pasal 4 ayat (2). Tidak ada kejelasan nilai pasar atau nilai wajar bagaimana yang memenuhi kriteria tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga harus ditetapkan kembali oleh Dirjen Pajak dan nilai pasar atau nilai wajar apa yang akan ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Hal ini berhubungan dengan

16 57 kepastian besarnya PPh final atas penilaian kembali aktiva tetap. Apakah nilai pasar atau nilai wajar yang telah ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai telah mencerminkan keadaan sebenarnya sehingga pajak terutang akan sama dengan apa yang telah dihitung/diperhitungkan oleh WP, atau DJP akan menetapkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap yang baru karena merasa nilai pasar tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Pelimpahan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak (sesuai Pasal 4 ayat (2) ) dan Direktur Jenderal Pajak ke Kepala Kantor Wilayah (Keputusan Dirjen Pajak Nomor 519/PJ./2002 tanggal ) merupakan pelimpahan wewenang penetapan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap apabila ada permohonan dengan nilai yang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. IV.6.3 Fakta / Observasi NJOP sebagaimana yang telah diuraikan pada bab II merupakan harga ratarata dari suatu objek pajak atau aktiva tetap yang ditetapkan oleh DJP melalui teknik penilaian dengan menggunakan pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan kapitalisasi pendapatan yang sama sebagaimana diatur dalam Standar Penilaian Indonesia (SPI). Sesuai dengan SE-09/PJ.6/2003 tanggal 6 Maret 2003 tentang Penerapan NJOP sama dengan Nilai Pasar disebutkan bahwa Penerapan Assesment Ratio (ASR) terhadap NJOP pada tingkat minimal 80% dari harga pasar. Dengan demikian maka NJOP yang ditetapkan minimal akan mencerminkan 80% dari harga pasar sebenarnya aktiva tetap. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Gabungan Perusahaan Perkebunan Karet Indonesia (Gappindo), dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta DJP mengubah perhitungan PBB perkebunan. Tujuannya adalah agar penetapan NJOP areal perkebunan tidak naik setiap tahun karena usia tanaman dan produktivitas tanaman perkebunan semakin menurun. Sebaiknya dalam menetapkan PBB sektor perkebunan mempertimbangkan umur tanaman, tingkat produktivitas, volume produksi,

17 58 dan luas areal. Untuk itu mereka meminta pada pemerintah mengubah pola perhitungan NJOP yang dirasa kurang adil dan tidak tepat karena walaupun umur tanaman kelapa sawit sudah 25 tahun PBB yang harus dibayarkan tetap tinggi (E.L Gaol website 8 Oktober 2007). NJOP juga secara defacto telah digunakan oleh banyak instansi sebagai dasar keluarannya, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ; Tabel IV.8. Pemanfaatan NJOP oleh instansi pemerintah Instansi Kepentingan Dasar Hukum Direktorat Jenderal Pajak Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Badan Pertanahan Nasional Direktorat Jenderal Anggaran Pengelola Kekayaan Pemerintah Daerah Dasar pengenaan PBB ; Dasar pengenaan BPHTB Dasar pengenaan PPh Final atas penghasilan dari pengalihan hak ; Dasar pengenaan PPN Membangun Sendiri; Lelang aset Negara Pungutan layanan pertanahan Pengelolaan barang/ kekayaan milik Negara Penyusunan neraca daerah Psl 6 UU No. 12/1985 jo UU No. 12/1994 UU No. 21/1997 jo UU No. 20/2000 UU No. 17/2000, PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1999 UU No. 18/2000, PP No. 143/2000 Keppres No.21/1991 PP No. 46/2002 UU No. 17/2003, UU No.1/2004 UUNo.33/2004, KepMendagri No. 29/2002, KepMendagri No.12/2003 Lembaga Keuangan Perbankan Penentuan ganti rugi Agunan Pinjaman Lembaga Keuangan Penentuan nilai jual Bukan Perbankan premi asuransi Sumber : Direktorat PBB an BPHTB, 2006 Perpres No. 36/2005 Peraturan Bank Indonesia No.6/19/PBI/2004

18 59 IV.6.4 Penarikan Kesimpulan Berdasar ketentuan dan teori serta fakta yang ada maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : NJOP merupakan produk internal DJP yang secara formal diberikan wewenang untuk menetapkan kembali nilai pasar apabila tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga DJP dapat memilih untuk menggunakan NJOP dalam menentukan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap dalam proses penelitian penilaian kembali aktiva tetap yang dilaksanakan DJP sendiri. Walaupun ada keberatan menyangkut NJOP sektor perkebunan dalam proses penghitungan menyangkut kriteria penilaian, namun NJOP merupakan satu-satunya standar nilai yang ada di Indonesia dan digunakan oleh berbagai instansi pemerintahan dalam menghitung nilai pasar aktiva tetapnya. Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil adalah NJOP seharusnya dapat digunakan dalam proses penelitian permohonan penilaian kembali aktiva tetap dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai tersebut ternyata tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. IV.7 Penghitungan Nilai Pasar atau Nilai Wajar Aktiva Tetap Contoh Penghitungan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap perkebunan dengan menggunakan data luasan areal kelas A s.d D hasil penghitungan pohon secara semi otomatis dan data lainnya hasil interpretasi visual menghasilkan jumlah NJOP Bumi sebesar Rp dan NJOP Bangunan sebesar Rp Nilai pasar tersebut merupakan nilai pasar tahun 2006 dengan NJOP & SIT berdasarkan keputusan Kakanwil DJP Jawa Barat Bagian II tahun Hasil perhitungan selengkapnya disajikan pada lampiran L.

Bab I Pendahuluan. Tabel I.1 Contoh penerimaan PPh final penilaian kembali aktiva tetap disatu kanwil DJP tahun Nilai Aktiva Tetap.

Bab I Pendahuluan. Tabel I.1 Contoh penerimaan PPh final penilaian kembali aktiva tetap disatu kanwil DJP tahun Nilai Aktiva Tetap. 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Salah satu penerimaan pajak yang belum dimaksimalkan adalah Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 10% atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian. III.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ;

Bab III Pelaksanaan Penelitian. III.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ; 28 Bab III Pelaksanaan Penelitian III.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ; III.1.1 Bahan penelitian 1. Citra Ikonos tipe Geo pansharpened wilayah perkebunan

Lebih terperinci

PER - 50/PJ/2008 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN

PER - 50/PJ/2008 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN PER - 50/PJ/2008 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN Contributed by Administrator Tuesday, 30 December 2008 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 50/PJ/2008

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ/2017

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ/2017 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 27/PJ/2017 TENTANG PROSEDUR PENILAIAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM RANGKA MENGANALISIS

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 47/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 47/PJ/2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 47/PJ/2010 TENTANG TATA CARA PERSIAPAN PENGALIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN SEBAGAI PAJAK DAERAH DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Adapun pemenuhan kewajiban perpajakan PT..., dapat kami laporkan sebagai berikut : 1. PEMBAYARAN PAJAK TAHUN BERJALAN BULAN... S/D BULAN...

Adapun pemenuhan kewajiban perpajakan PT..., dapat kami laporkan sebagai berikut : 1. PEMBAYARAN PAJAK TAHUN BERJALAN BULAN... S/D BULAN... NOMOR : LAMPIRAN : PERIHAL : Pemberitahuan pelaksanaan revaluasi aktiva tetap Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak...... di.... Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-29/PJ.42/1998 Tanggal

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ALAT BANTU PENELITIAN PERMOHONAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERKEBUNAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN NJOP TESIS

PENGEMBANGAN ALAT BANTU PENELITIAN PERMOHONAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERKEBUNAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN NJOP TESIS PENGEMBANGAN ALAT BANTU PENELITIAN PERMOHONAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERKEBUNAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN NJOP TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari

Lebih terperinci

Pasal 26 UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009. Pasal 36 ayat (1) huruf a, UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009.

Pasal 26 UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009. Pasal 36 ayat (1) huruf a, UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009. LAMPIRAN I NOMOR WEWENANG YANG DILIMPAHKAN LINGKUNGAN KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JAKARTA KHUSUS DAN KANTOR WILAYAH DIREKTORAT WAJIB PAJAK BESAR WEWENANG JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA 1.

Lebih terperinci

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016 Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK... NOMOR : KEP-...

KEPUTUSAN KEPALA KANTOR PELAYANAN PAJAK... NOMOR : KEP-... DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEPUTUSAN... NOMOR : KEP-... PENGESAHAN NERACA PENYESUAIAN DALAM RANGKA PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

PER - 36/PJ/2011 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERHUTANAN

PER - 36/PJ/2011 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERHUTANAN PER - 36/PJ/2011 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERHUTANAN Contributed by Administrator Friday, 18 November 2011 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 36/PJ/2011

Lebih terperinci

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF SPESIALISASI ACCOUNT REPRESENTATIVE TINGKAT DASAR BAHAN AJAR Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar Oleh: T i m Widyaiswara Pusdiklat Pajak KEMENTERIAN KEUANGAN

Lebih terperinci

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 34/PJ/2017

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 34/PJ/2017 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 34/PJ/2017 TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM

Lebih terperinci

SE - 03/PJ.01/2010 USULAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011 UNTUK KEGIATA

SE - 03/PJ.01/2010 USULAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011 UNTUK KEGIATA SE - 03/PJ.01/2010 USULAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011 UNTUK KEGIATA Contributed by Administrator Thursday, 12 August 2010 Pusat Peraturan Pajak Online 12 Agustus 2010 SURAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan membangun negara untuk lebih berkembang dan maju, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan membangun negara untuk lebih berkembang dan maju, termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara melakukan proses pembangunan yang terus berkesinambungan dengan tujuan membangun negara untuk lebih berkembang dan maju, termasuk Indonesia. Pembangunan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-61/PJ/2015 TENTANG OPTIMALISASI PENILAIAN (APPRAISAL) UNTUK PENGGALIAN POTENSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berlandaskan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berlandaskan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 mempunyai tujuan untuk menyelenggarakan tata kehidupan negara

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENYELESAIAN KEBERATAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN. akan masuk ke kas negara, komponen utama penerimaan dalam APBN.

BAB III PELAKSANAAN PENYELESAIAN KEBERATAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN. akan masuk ke kas negara, komponen utama penerimaan dalam APBN. BAB III PELAKSANAAN PENYELESAIAN KEBERATAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN A. Pengertian Pajak Pusat Pajak pusat atau Pajak Negara adalah semua jenis pajak yang lembaga pemungutnya adalah pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk Indonesia, menjadikan penerimaan dari sektor perpajakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. termasuk Indonesia, menjadikan penerimaan dari sektor perpajakan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, negara yang memiliki administrasi pemerintahan modern termasuk Indonesia, menjadikan penerimaan dari sektor perpajakan sebagai tulang punggung

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Aspek Akuntansi PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA) dan PT Indosiar Karya Media (IDKM) menerapkan PSAK 38 (revisi 2012): Kombinasi Bisnis Entitas Sepengendali sebagai

Lebih terperinci

LAPORAN PERKEMBANGAN PELAKSANAAN DAN PENGGUNAAN ALOKASI ANGGARAN KEGIATAN EKSTENSIFIKASI, PENDATAAN DAN PENILAIAN KANTOR WILAYAH DJP...

LAPORAN PERKEMBANGAN PELAKSANAAN DAN PENGGUNAAN ALOKASI ANGGARAN KEGIATAN EKSTENSIFIKASI, PENDATAAN DAN PENILAIAN KANTOR WILAYAH DJP... LAMPIRAN I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-04/PJ/2013 Tanggal : 11 Februari 2013 NO. KPP JENIS KEGIATAN LAPORAN PERKEMBANGAN PELAKSANAAN DAN PENGGUNAAN ALOKASI ANGGARAN KEGIATAN EKSTENSIFIKASI,

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 7 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terkait dengan pemberian pengurangan beban PBB telah dilakukan sebelumnya, di antaranya: Mulyono (2008) dan Santoso (2007). Mereka

Lebih terperinci

SE - 81/PJ/2008 PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-50/PJ/2008 TENTANG

SE - 81/PJ/2008 PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-50/PJ/2008 TENTANG SE - 81/PJ/2008 PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-50/PJ/2008 TENTANG Contributed by Administrator Tuesday, 30 December 2008 Pusat Peraturan Pajak Online  SURAT EDARAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak INSENTIF PPh PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 PJ.091/PPh/S/004/2015-02 DASAR HUKUM

Lebih terperinci

1 of 11 7/26/17, 12:19 AM

1 of 11 7/26/17, 12:19 AM 1 of 11 7/26/17, 12:19 AM KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-24/PJ/2016 TENTANG TATA CARA PENILAIAN UNTUK PENENTUAN NILAI JUAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumber penerimaan terbesar dari APBN negara Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumber penerimaan terbesar dari APBN negara Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu sumber penerimaan terbesar dari APBN negara Indonesia adalah penerimaan dari sektor perpajakan. Hal ini membuat pajak mempunyai peranan yang sangat besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang berada di wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta jiwa 1. Sedangkan usia produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan tahun 2012 terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak (triliun rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan tahun 2012 terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak (triliun rupiah) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahun Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar dari dalam negeri. Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2013, menunjukkan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN DASAR-DASAR PERPAJAKAN 1 PENGERTIAN PAJAK (2) Prof. Dr. P.J.A. Adriani: Pajak adalah iuran kepada negara (yg dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA PT REK DI TAHUN PAJAK 2011

EVALUASI PELAKSANAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA PT REK DI TAHUN PAJAK 2011 Jurnal Ilmiah Buletin Ekonomi ISSN: 1410-3842 Volume 17 No.2 September 2013 EVALUASI PELAKSANAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA PT REK DI TAHUN PAJAK 2011 Meta Evelin Samosir Rachmat Kurniawan Ganda Hutapea

Lebih terperinci

Nomor :... (3) : Permohonan untuk Penetapan Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan

Nomor :... (3) : Permohonan untuk Penetapan Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan LAMPIRAN 1 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 55/PJ/2009 TANGGAL : 2 Oktober 2009 Kepada Yth Kepala Kantor Wilayah DJP... (1)... (2) Nomor :... (3) Hal : Permohonan untuk Penetapan Kelompok

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 50 TAHUN 2013 TENTANG PENDAFTARAN, PENDATAAN DAN PENILAIAN OBJEK DAN SUBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DALAM RANGKA PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

Surat Edaran Nomor : SE-61/PJ/ Mei 2010 Hal : Kode Nota Penghitungan Dan Kode Ketetapan Per Jenis Pajak Direktur Jenderal Pajak,

Surat Edaran Nomor : SE-61/PJ/ Mei 2010 Hal : Kode Nota Penghitungan Dan Kode Ketetapan Per Jenis Pajak Direktur Jenderal Pajak, Surat Edaran Nomor : SE-61/PJ/2010 05 Mei 2010 Hal : Kode Nota Penghitungan Dan Kode Ketetapan Per Jenis Pajak Direktur Jenderal Pajak, Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Lebih terperinci

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN LAMPIRAN I PERATURAN NOMOR : PER165/PJ/2005 TENTANG : PERUBAHAN KETUJUH ATAS KEPUTUSAN NOMOR KEP297/PJ/2002 TENTANG PELIMPAHAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEPADA PARA PEJABAT DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-14/PJ/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-14/PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-14/PJ/2013 TENTANG PEMELIHARAAN BASIS DATA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DALAM RANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung kepada Kantor Wilayah. KPP Sumedang merupakan salah satu Kantor

BAB I PENDAHULUAN. langsung kepada Kantor Wilayah. KPP Sumedang merupakan salah satu Kantor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah unsur pelaksanaan Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah Kantor Wilayah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah.

Lebih terperinci

LAMPIRAN I NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASARHUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN (1) (2) (3) (4) (5)

LAMPIRAN I NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASARHUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN (1) (2) (3) (4) (5) LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP- 11 /PJ/2013 TENTANG PERUBAHAN KESEBELAS ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-297/PJ/2002 TENTANG PELlMPAHAN WEWENANG DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kemakmuran rakyatnya secara adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kemakmuran rakyatnya secara adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.4 Latar Belakang Pemilihan Judul Salah satu tujuan pembangunan negara Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara adil dan merata di seluruh wilayah

Lebih terperinci

Administrasi Pajak pada Bisnis Properti / Real Estate

Administrasi Pajak pada Bisnis Properti / Real Estate Administrasi Pajak pada Bisnis Properti / Real Estate Disadur dari Buku Panduan Pajak 2010-2011 yang diterbitkan oleh Koperasi Pegawai Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak Properti/real estate adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH definisi pajak yaitu iuran rakyat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH definisi pajak yaitu iuran rakyat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH definisi pajak yaitu iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Badan Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara perlakuan akuntansi

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG.

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG. PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG. 1 ALUR KUP WP SPT SKP Inkraacht 3 bulan (dikrim) Daftar Inkraacht Pemeriksaan Keberatan Inkraacht 5 tahun 3 bulan(dite rima)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi dana pembangunan Negara, Pemerintah. masyarakat Indonesia, karena berdasarkan tax ratio Indonesia dengan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk memenuhi dana pembangunan Negara, Pemerintah. masyarakat Indonesia, karena berdasarkan tax ratio Indonesia dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Untuk memenuhi dana pembangunan Negara, Pemerintah memanfaatkan dua sumber pokok penerimaan pajak, yaitu sumber dana dari dalam negeri misalnya penerimaan

Lebih terperinci

1

1 0 1 2 3 4 SOAL TEORI KUP Menurut Pasal 1 UU KUP, Penelitian adalah serangkaian kegiatan menilai kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya, termasuk penilaian kebenaran penulisan dan perhitungannya.

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42761/PP/M.XVI/15/2013. : Pajak Penghasilan Badan. Tahun Pajak : 2007

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42761/PP/M.XVI/15/2013. : Pajak Penghasilan Badan. Tahun Pajak : 2007 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42761/PP/M.XVI/15/2013 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak : 2007 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah, pos Penghasilan Luar Usaha

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I. A. Sejarah Singkat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera

BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I. A. Sejarah Singkat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I A. Sejarah Singkat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I Organisasi Direktorat Jenderal Pajak pada mulanya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Pencairan Tunggakan Pajak, Penagihan Pajak. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Kata Kunci : Pencairan Tunggakan Pajak, Penagihan Pajak. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Pajak merupakan iuran warga negara kepada negara yang akan digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan tanpa adanya kontraprestasi langsung sehubungan tugas negara melaksanakan pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terus-menerus

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terus-menerus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terus-menerus dalam pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Kondisi pembangunan yang semakin berkembang memberikan dampak yang sangat besar bagi negara kita, khususnya dibidang ekonomi. Pembangunan ekonomi bertujuan

Lebih terperinci

Yth. Kepala Kantor Wilayah DJP... Dengan ini kami selaku pengurus/kuasa *) dari: Nama Wajib Pajak :... NPWP :... Alamat :...

Yth. Kepala Kantor Wilayah DJP... Dengan ini kami selaku pengurus/kuasa *) dari: Nama Wajib Pajak :... NPWP :... Alamat :... LAMPIRAN I Nomor :.. Lampiran :.. Perihal : Permohonan Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan yang Diajukan pada Tahun... oleh Wajib Pajak yang Telah Melakukan Penilaian Kembali Aktiva

Lebih terperinci

PENETAPAN DAN KETETAPAN

PENETAPAN DAN KETETAPAN PENETAPAN DAN KETETAPAN Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-05/PJ/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-05/PJ/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-05/PJ/2012 TENTANG PETUNJUK PENGGUNAAN ALOKASI ANGGARAN KEGIATAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB III DASAR PENGENAAN PPh PASAL 23 DAN DASAR PENGENAAN PPN ATAS EPC PROJECT. Jasa konstruksi merupakan salah satu jasa yang cukup berkembang di

BAB III DASAR PENGENAAN PPh PASAL 23 DAN DASAR PENGENAAN PPN ATAS EPC PROJECT. Jasa konstruksi merupakan salah satu jasa yang cukup berkembang di BAB III DASAR PENGENAAN PPh PASAL 23 DAN DASAR PENGENAAN PPN ATAS EPC PROJECT A. Pengertian dan Ruang Lingkup Jasa Konstruksi A. 1 Pengertian Jasa Konstruksi Jasa konstruksi merupakan salah satu jasa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negara dalam membiayai keperluan pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. warga negara dalam membiayai keperluan pembangunan nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerja Praktek Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan negara kita terhadap hutang luar negeri.sektor pajak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 76 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, PT APP sebagai pemberi kerja wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan utama Negara yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan utama Negara yang digunakan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber penerimaan utama Negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam Anggaran Penerimaan

Lebih terperinci

ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL Nama/NPM Pembimbing : Kanip/24213760 : Widada, SE., MM.

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1.Landasan Teori Membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan

Lebih terperinci

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II

Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak PMK-169/PMK.010/2015 PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (Debt-to-Equity

Lebih terperinci

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat, LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 40/PJ./2009 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU...,...20... 1) Nomor :...

Lebih terperinci

Administrasi Pajak Bisnis Asuransi

Administrasi Pajak Bisnis Asuransi Administrasi Pajak Bisnis Asuransi Disadur dari Buku Panduan Pajak 2010-2011 yang diterbitkan oleh Koperasi Pegawai Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak Asuransi atau pertanggungan adalah Perjanjian antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1.Landasan Teori 2.1.1. Definisi Pajak Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak 1 Dasar Pengenaan Pajak TELAH melakukan penilaian kembali pada saat permohohonan BELUM melakukan penilaian kembali pada saat permohohonan TELAH melakukan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Fiskal. Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha diwajibkan untuk menyusun

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Fiskal. Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha diwajibkan untuk menyusun BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Fiskal Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha diwajibkan untuk menyusun laporan keuangan setiap akhir periode, dan laporan keuangan

Lebih terperinci

Satuan Acara Perkuliahan

Satuan Acara Perkuliahan Satuan Acara Perkuliahan Kode / Nama Mata Kuliah: 1250630/Peran II Revisi ke: Satuan Kredit Semester: 3 SKS Tanggal revisi: Jumlah Jam kuliah dalam seminggu: 2,5 jam Tanggal mulai berlaku: 4 November 2013

Lebih terperinci

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat, LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-40/PJ./2009 TENTANG : TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU...,...20... 1) Nomor

Lebih terperinci

EVALUASI REALISASI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN KLATEN TAHUN

EVALUASI REALISASI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN KLATEN TAHUN EVALUASI REALISASI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007-2011 Naskah Publikasi Disusun oleh : ARI WIDIYANTO B 200 080 227 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 5/PJ/2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 5/PJ/2011 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 5/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENELITIAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG BAGI WAJIB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup. cukup dalam membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup

BAB I PENDAHULUAN. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup. cukup dalam membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tugas Akhir Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup masyarakat.dengan demikian, negara diharapkan memiliki penghasilan yang cukup dalam membiayai kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia maupun negara lainnya dalam menjalankan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia maupun negara lainnya dalam menjalankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia maupun negara lainnya dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunannya tentu memerlukan anggaran yang sangat besar. Penerimaan anggaran

Lebih terperinci

Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak. 3) Di.. 4)

Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak. 3) Di.. 4) LAMPIRAN I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-40/PJ./2009 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu,.....20 1) Nomor : (2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu Self Assesment System.

BAB I PENDAHULUAN. pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu Self Assesment System. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kepatuhan merupakan hal yang sangat penting dalam sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu Self Assesment System. Kepatuhan material merupakan

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan

Bab 1. Pendahuluan. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan 1 Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam Anggaran Penerimaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain sebagainnya. Dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain sebagainnya. Dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Perpajakan Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela dalam memelihara kepentingan negara, seperti menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak saja, tetapi sudah menjadi masalah penting dalam hidup bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak saja, tetapi sudah menjadi masalah penting dalam hidup bernegara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masalah perpajakan tidak semata-mata masalah Direktorat Jenderal Pajak saja, tetapi sudah menjadi masalah penting dalam hidup bernegara. Keberhasilan pemungutan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Sistem pemungutan pajak Self Assesment yang kini dianut di Indonesia menimbulkan kecenderungan Wajib Pajak untuk menghitung besarnya pajak tidak sesuai dengan yang seharusnya. Oleh karena adanya

Lebih terperinci

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. 1 Pengertian Pajak (1) Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan

Lebih terperinci

TATA CARA PELAKSANAAN PERSIAPAN PENGALIHAN BPHTB SEBAGAI PAJAK DAERAH PADA KP DJP

TATA CARA PELAKSANAAN PERSIAPAN PENGALIHAN BPHTB SEBAGAI PAJAK DAERAH PADA KP DJP LAMPIRAN I TATA CARA PELAKSANAAN PERSIAPAN PENGALIHAN BPHTB SEBAGAI PAJAK DAERAH PADA KP DJP KOMPILASI PERATURAN PELAKSANAAN BPHTB, SOP BPHTB, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA DI LINGKUNGAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

S-1034/PJ.322/2004 PERMOHONAN PENJELASAN PENGENAAN PPN DAN PPh ATAS KERJA SAMA OPERASIONAL BIDANG PE

S-1034/PJ.322/2004 PERMOHONAN PENJELASAN PENGENAAN PPN DAN PPh ATAS KERJA SAMA OPERASIONAL BIDANG PE S-1034/PJ.322/2004 PERMOHONAN PENJELASAN PENGENAAN PPN DAN PPh ATAS KERJA SAMA OPERASIONAL BIDANG PE Contributed by Administrator Friday, 05 November 2004 Pusat Peraturan Pajak Online PERMOHONAN PENJELASAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pajak Penghasilan 2.1.1. Pajak Penghasilan Badan Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 186/PMK.07/2010 NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG TAHAPAN PERSIAPAN PENGALIHAN BEA PEROLEHAN

Lebih terperinci

Daftar Pertanyaaan Wawancara dan Jawaban: Pajak dan intensifikasi pajak Orang Pribadi khususnya pada KPP Jakarta Tanah

Daftar Pertanyaaan Wawancara dan Jawaban: Pajak dan intensifikasi pajak Orang Pribadi khususnya pada KPP Jakarta Tanah L 1 Daftar Pertanyaaan Wawancara dan Jawaban: 1. Apakah tujuan yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak Orang Pribadi khususnya pada KPP Jakarta Tanah

Lebih terperinci

PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA

PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA KELOMPOK 6 PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK 1. Persediaan Barang Dagangan Untuk menilai persediaan

Lebih terperinci

FORMULA PENGHITUNGAN INDIKATOR KINERJA PELAYANAN. Realisasi pelayanan NPWP tepat waktu X 100% Jumlah penerbitan NPWP. Realisasi pelayanan pengukuhan

FORMULA PENGHITUNGAN INDIKATOR KINERJA PELAYANAN. Realisasi pelayanan NPWP tepat waktu X 100% Jumlah penerbitan NPWP. Realisasi pelayanan pengukuhan LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : SE-97/PJ/2010 TENTANG : PETUNJUK PENGUKURAN, PELAPORAN, DAN MONITORING KINERJA LAYANAN UNGGULAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK FORMULA PENGHITUNGAN INDIKATOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam membenahi semua sektor, terutama sektor perekonomian. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam membenahi semua sektor, terutama sektor perekonomian. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan perekonomian global terutama di Indonesia ikut memacu pemerintah dalam membenahi semua sektor, terutama sektor perekonomian. Dalam membenahi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN NOMOR SE.3.4 /PJ/2017 TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM A. Umum Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Perencanaan pajak dilakukan sebagai usaha perusahaan didalam memenuhi peraturan yang berlaku atas Pajak Pertambahan Nilai. Setelah penulis melakukan evaluasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) Kita telah memasuki masa milenium dan akan memasuki perdagangan bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo, (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran. ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

BAB I PENDAHULUAN. dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran. ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian atau

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPARATIF PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS BANGUNAN MEMBANGUN SENDIRI DENGAN MEMBANGUN MELALUI JASA KONTRAKTOR ABSTRACT

ANALISIS KOMPARATIF PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS BANGUNAN MEMBANGUN SENDIRI DENGAN MEMBANGUN MELALUI JASA KONTRAKTOR ABSTRACT ANALISIS KOMPARATIF PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS BANGUNAN MEMBANGUN SENDIRI DENGAN MEMBANGUN MELALUI JASA KONTRAKTOR Oleh : Syafi i ABSTRACT Penelitian ini berjudul analisis komparatif pengenaan

Lebih terperinci

SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK

SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK Berdasarkan litelatur perpajakan dan KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN yang saya baca, kemungkinan pengembalian pajak lebih banyak diberikan kepada wajib pajak secara perorangan

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Sejarah Singkat KPP Pratama Jakarta Duren Sawit Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ) Pratama Jakarta Duren Sawit yang dibentuk sebagai bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan atau mengadakan perubahan perubahan kearah keadaan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan atau mengadakan perubahan perubahan kearah keadaan yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengembangan atau mengadakan perubahan perubahan kearah keadaan yang lebih baik. Pembangunan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembangunan di segala bidang. Penerimaan negara dari sektor pajak

Lebih terperinci

PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI NOMOR : 213/PMK.07/2010 NOMOR : 58 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI NOMOR : 213/PMK.07/2010 NOMOR : 58 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 213/PMK.07/2010 NOMOR : 58 TAHUN 2010 TENTANG TAHAPAN PERSIAPAN PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN SEBAGAI PAJAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Wajib Pajak merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Wajib Pajak merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini pajak sudah menjadi faktor strategis dalam menjalankan proses pembangunan di Indonesia, karena sebagian besar sumber penerimaan dalam Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BADAN KANTOR PELAYANAN PAJAK ORANG PRIBADI. Syarat Objektif Syarat Subjektif. Wilayah tempat kedudukan. Wilayah tempat tinggal

BADAN KANTOR PELAYANAN PAJAK ORANG PRIBADI. Syarat Objektif Syarat Subjektif. Wilayah tempat kedudukan. Wilayah tempat tinggal BADAN ORANG PRIBADI Syarat Objektif Syarat Subjektif Wilayah tempat kedudukan KANTOR PELAYANAN PAJAK Wilayah tempat tinggal Fungsi NPWP - Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan - Sebagai identitas

Lebih terperinci