329 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam periode September 1994 - Oktober 2009 terbukti telah terjadi banjir impor bagi komoditas beras, jagung dan kedele di Indonesia, dengan tingkat tekanan berbeda-beda menurut jenis komoditasnya. Tekanan pada komoditas beras dan jagung lebih tinggi jika dibandingkan kedele. Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi banjir impor adalah Pertama, pada komoditas beras adalah guncangan atau gejolak harga dunia, harga dan volume impor, marjin perdagangan antara harga impor dan harga konsumen, harga konsumen dan marjin perdagangan konsumen dan produsen. Kedua, pada komoditas jagung adalah guncangan atau gejolak harga dunia, tarif impor, harga impor jagung, marjin perdagangan antara harga impor dan harga konsumen, harga konsumen dan marjin perdagangan konsumen dan produsen. Ketiga, pada komoditas kedele adalah guncangan atau gejolak harga impor, tarif impor, volume impor dan harga konsumen. Adanya perbedaan pengaruh dari berbagai variabel dan perbedaan untuk masing-masing komoditas menunjukkan bahwa terjadi proses penyesuaian (adjustment) akibat adanya berbagai penyebab yang mempengaruhi terjadinya banjir impor yang berbeda-beda menurut jenis dan karakteristik pada masing-masing komoditas. Tekanan dan pengaruh harga dunia dan atau harga impor, tarif impor, dan volume impor terhadap harga konsumen dan harga produsen dapat dipakai sebagai
330 indikator dan kriteria terjadinya banjir impor pada komoditas pangan utama yaitu beras, jagung, dan kedele. 2. Dalam periode September 1994 - Oktober 2009 telah terjadi 64 kali lonjakan volume impor beras, 86 kali lonjakan volume impor jagung dan 88 kali lonjakan volume impor kedele yang menyebabkan banjir impor masing-masing komoditas tersebut di Indonesia. Berdasarkan harga nominal, pada komoditas beras terjadi jatuhnya harga lebih dari 100 kali, pada harga jagung lebih dari 95 kali dan pada harga kedele lebih dari 91 kali. Berdasarkan harga riil (2007 = 100) telah terjadi jatuhnya harga beras lebih dari 98 kali, harga jagung lebih 84 kali dan harga kedele lebih dari 96 kali. Jatuhnya harga beras baik secara nominal maupun riil lebih banyak terjadi jika dibandingkan dengan jagung dan kedele. Berdasarkan harga referensi (harga impor rata-rata impor 1986-1988) sesuai perjanjian SSG, menunjukkan telah terjadi 144 kali jatuhnya harga beras, 44 kali jatuhnya harga jagung dan 123 kali jatuh harga kedele yang menyebabkan terjadinya banjir impor dalam periode September 1994 - Oktober 2009. Temuan penelitian ini menunjukkan frekuensi banjir impor lebih banyak dan lebih sering terjadi di Indonesia jika dibandingkan penelitianpenelitian yang dilakukan sebelumnya. 3. Dari segi country eligibility, Indonesia merupakan salah satu negara yang layak untuk mendapatkan fasilitas SSM, dan memberlakukan SSM bagi ketiga komoditas tersebut apabila terjadi banjir impor. Produk-produk turunan dari masing-masing komoditas beras, jagung dan kedele juga layak untuk memperoleh fasilitas SSM. Sementara itu dari segi products
331 eligibility, berdasarkan analisis pass-through effect dari tekanan harga dunia dan harga impor, volume impor maupun pengaruh tarif impor terhadap harga produsen, maka seluruh produk turunan dari komoditas beras, jagung dan kedele layak untuk memperoleh fasilitas SSM, dengan tidak memperdulikan apakah memiliki tingkat bound tarif tinggi atau rendah. 4. Besaran volume trigger adalah pada saat lonjakan volume impor beras maksimum 5 persen (rata-rata mencapai 104.32 persen dari rata-rata trendnya), jagung maksimum 10 persen (rata-rata mencapai 109.06 persen dari rata-rata trendnya), dan kedele 9 persen (rata-rata mencapai 108.58 persen dari rata-rata trendnya). 5. Besaran price trigger didasarkan pada harga nominal adalah ketika harga impor nominal impor jatuh maksimum 13 persen untuk beras (hingga ratarata 87.52 persen dari rata-rata trendnya), maksimum 14 persen untuk jagung (hingga rata-rata 86.05 persen dari rata-rata trendnya), dan maksimum 14 persen untuk kedele ( hingga rata-rata 86.01 persen dari rata-rata trendnya). Besaran price trigger berdasarkan harga riil (2007 = 100) adalah maksimum 10 persen untuk beras (hingga rata-rata 90.01 persen dari rata-rata trendnya), maksimum 11 persen untuk jagung (hingga rata-rata 89.18 persen dari rata-rata trendnya), dan maksimum 10 persen untuk kedele (hingga rata-rata 90.03 persen dari rata-rata trendnya). 6. Berdasarkan penggunaan indikator tekanan terhadap harga produsen, besaran remedial tariff yang diperlukan untuk melindungi harga produsen adalah Pertama untuk penurunan satu persen harga produsen yang
332 diakibatkan oleh jatuhnya harga dunia diperlukan tambahan tarif 11.16 persen untuk beras, 2.93 persen untuk jagung, dan 2.81 persen untuk kedele. Kedua, untuk penurunan satu persen harga produsen yang diakibatkan oleh penurunan atau jatuhnya harga impor diperlukan tambahan tarif 10.68 persen untuk beras, 11.60 persen untuk jagung, dan 2.91 persen untuk kedele. Ketiga, untuk penurunan harga produsen sebesar satu persen yang diakibatkan oleh peningkatan atau lojakan volume impor diperlukan tambahan tarif 14.48 persen untuk beras, 6.01 persen untuk jagung, dan 2.70 persen untuk kedele. Temuan dari penelitian ini mengarahkan bahwa pemberlakuan tarif untuk melindungi harga petani atau produsen harus lebih tinggi dari besaran jatuhnya harga produsen itu sendiri. 7. Rumusan SSM dapat yang dapat diusulkan adalah Pertama dari segi country eligibility Indonesia merupakan salah satu negara yang layak untuk memperoleh fasilitas SSM dan sesuai dengan usulan kelompok G- 33 yang menyepakati bahwa semua negara berkembang layak untuk mendapat SSM (country eligibility) dan semua produk layak untuk mendapat SSM (product eligibility). Kedua, dari segi product eligibility seluruh produk turunan dari komoditas beras, jagung dan kedele layak untuk memperoleh fasiltas SSM, dengan tidak memperdulikan apakah memiliki tingkat bound tariff tinggi atau rendah. Ketiga, besaran volume trigger apabila didasarkan atas pengaruh perubahan harga dunia adalah untuk komoditas beras 5 persen, untuk komoditas jagung 10 persen, dan untuk komoditas kedele 9 persen di atas rata-rata trendnya. Keempat,
333 besaran price trigger atas dasar harga impor nominal adalah 12 persen untuk beras, 14 persen untuk jagung dan 14 persen untuk kedele di bawah rata-rata trendnya. Sedangkan dari segi harga impor riil (2007 = 100), besaran price trigger adalah 10 persen untuk beras, 11 persen untuk jagung, dan 10 persen untuk kedele di bawah rata-rata trendnya. Kelima, berdasarkan volume trigger, SSM diperlakukan apabila terjadi peningkatan impor akibat penurunan dunia dan harga impor maksimum 5 persen untuk komoditas beras, 10 persen untuk jagung, dan 9 persen untuk kedele di atas rata-rata trendnya. Keenam, dalam penerapan SSM Indonesia seharusnya berhak menggunakan salah satu dari dasar penentuan baik harga dunia ataupun harga impor dan juga menggunakan satu pilihan trigger baik volume ataupun price. Dalam hal ini indikator volume trigger lebih efektif, namun demikian indikator price trigger dinilai relatif lebih tepat, karena lebih cepat diketahui dan direspon. Ketujuh, tindakan yang perlu dilakukan apabila terjadi banjir impor dengan memberlakukan tambahan tarif atau remedial tariff adalah : (1) apabila terjadi penurunan harga produsen sebesar satu persen yang diakibatkan oleh penurunan harga dunia, maka tambahan tarif yang diperlukan adalah 11.16 untuk beras, 2.93 persen untuk jagung, dan 2.81 persen untuk kedele, (2) apabila penurunan terjadi harga produsen sebesar satu persen yang diakibatkan oleh penurunan harga impor, besaran tambahan tarif yang diperlukan adalah 10.68 persen untuk beras, 11.60 persen untuk jagung, dan 2.81 persen untuk kedele, dan (3) apabila harga produsen mengalami penurunan satu persen yang diakibatkan lonjakan volume
334 impor, maka besaran tambahan tarif yang diperlukan untuk beras adalah 14.48 persen, untuk jagung 6.01 persen, dan 2.70 persen untuk kedele. Kedelapan, durasi pemberlakuan SSM dengan menggunakan tambahan tarif adalah hingga terjadi titik keseimbangan dimana guncangan harga dunia maupun harga impor tidak lagi berpengaruh adalah empat tahun dan dapat diperlakukan secara umum. Jangka waktu pemberlakuan selama empat tahun akan terdapat tambahan antisipasi waktu akibat perbedaan panjang siklus jatuhnya harga dunia terhadap kondisi spesifik lokasi Indonesia selama satu tahun atau dua belas bulan. 8.2. Implikasi Kebijakan Hasil penelitian ini memiliki implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Tim tarif dan Delegasi Republik Indonesia (DELRI) untuk WTO dapat melakukan usulan perubahan dan penyempurnaan formula SSM pada agenda perundingan berikutnya. 2. Upaya untuk memanfaatkan setiap fasilitas yang diberikan kepada negara berkembang seperti SSM, SP dan mekanisme perlakuan khusus lainnya perlu terus dilakukan. 3. Penggalangan kerjasama dengan negara-negara berkembang lainnya untuk menyeimbangkan kekuatan di meja perundingan antara negara maju dan berkembang perlu terus ditingkatkan agar negara-negara maju tidak semena-semena seperti yang terjadi pada hasil perundingan sebelumnya. 4. Peningkatan perlindungan dan dukungan pengembangan komoditas dalam negeri sangat diperlukan, karena dalam kenyataannya subsidi dan proteksi negara maju meningkat setelah penerapan AoA WTO. Sementara,
335 Indonesia dan negara berkembang lainnya ditekan melakukan hal yang sebaliknya. 5. Pemerintah perlu untuk memberikan perlakuan yang sama pada setiap perundingan perdagangan baik yang bersifat multilateral atau WTO, ASEAN, APEC dan lainnya, maupun yang bersifat bilateral, agar kasus China ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang menjadi bumerang bagi Indonesia tidak terluang lagi. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka perjuangan untuk memperoleh SSM nantinya akan sia-sia. 6. Mengingat perundingan dalam forum WTO membutuhkan waktu sangat panjang, sementara perlindungan bagi produksi dan produsen tidak dapat ditunda, maka kebijakan pengaturan impor melalui penunjukkan pelabuhan impor tertentu yang merupakan daerah defisit pangan, pengaturan waktu impor agar tidak bersamaan dengan waktu panen dan melokalisir dampak negatif banjir impor dengan pembatasan-pembatasan tertentu lainnya yang tidak melanggar aturan WTO perlu dilakukan. Penerapan kebijakan seperti Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras dengan penyempurnaan-penyempurnaan tertentu perlu dilakukan. 7. Pemerintah perlu didesak agar tidak menempuh kebijakan defisit APBN dan menutup defisit tersebut dengan pinjaman luar negeri, investasi, hibah maupun bantuan asing lainnya. Negara-negara maju dan negara mitra dagang Indonesia menggunakan senjata pinjaman, investasi, IMF, World Bank, perusahaan multinasional maupun lembaga donor lainnya sebagai senjata itu untuk memenangkan perundingan. Indonesia yang senantiasa
336 melakukan kebijakan defisit APBN dengan ditutup dari pinjaman luar negeri dan investasi asing sama saja menyerahkan perundingan dan urusan negara kepada pihak asing. 8. Menempatkan SSM sebagai bagian penting untuk dijadikan perhatian bagi seluruh masyarakat Indonesia dan mengupayakan agar mendapatkan dukungan seluruh pihak terkait sangat penting. Namun demikian upaya peningkatan produksi dalam negeri hingga mampu mencapai tingkat swasembada bahkan ekspor juga penting. Dukungan pemerintah yang semakin kecil terhadap sektor pertanian dan pangan umumnya dan terhadap beras, jagung dan kedele khususnya perlu ditingkatkan. Perlu perubahan orientasi kebijakan dari importir pangan menjadi eksportir pangan dan Indonesia berpotensi besar untuk melakukan itu. 9. Pemerintah perlu mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan-kebijakan terkait dengan pengembangan komoditas beras, jagung dan kedele, terutama dari segi harga, subsidi, kelembagaan dan infrastruktur. Kemudian, meningkatkan kualitas, kapasitas dan kuantitas infrastruktur pertanian dan pedesaan, untuk menekan dampak negatif banjir impor. Kebijakan-kebijakan yang semakin memperbesar ketergantungan Indonesia atau yang sifatnya mendorong peningkatan impor harus terus dikurangi, jika tidak dapat dihapuskan. 10. Pemerintah dalam hal ini instansi teknis terkait perlu melakukan koordinasi penyusunan data base yang bersifat bulanan secara lebih komprehensif. Setiap penerapan kebijakan yang berkaitan dengan penerapan perjanjian WTO membutuhkan pembuktian dan data harus bisa
337 diakses secara terbuka. Oleh karena itu, data base yang bersifat bulanan sangat penting untuk diadakan. Banjir impor dan penerapan SSM membutuhkan antisipasi secara cepat dan tepat, dan demikian juga hal-hal lain yang terkait dengan pengaruh tekanan eksternal terhadap situasi kondisi kehidupan petani dan masyarakat pertanian dan pedesaan pada umumnya. 8.3. Saran Penelitian Lanjutan 1. Bagi komoditas beras, jagung dan kedele penelitian lanjutan yang disarankan adalah Pertama penelitian menentukan besaran volume trigger, price trigger, tarif impor yang optimal dan kisaran remedial tarifnya. Kedua, penelitian untuk produk-produk turunannya baik yang langsung ataupun tidak langsung berdasarkan negara asal impor masingmasing komoditas. Ketiga, bagi komoditas di luar beras, jagung dan kedele perlu dilakukan penelitian dengan mencontoh penelitian ini. Keempat, baik bagi penelitian lanjutan untuk komoditas beras, jagung dan kedele maupun komoditas penting pertanian lainnya, metoda analisis time series seperti SVAR dapat digunakan untuk membuktikan terjadinya banjir impor dan merumuskan formulasi kebijakan. Oleh karena itu, dalam penelitian selanjutnya metoda SVAR atau sejenisnya, disarankan untuk digunakan. 2. Penelitian mengenai kebijakan pengaturan impor melalui penunjukkan pelabuhan, pengaturan waktu dan besaran volume impor yang tepat. Formulasi kebijakan seperti itu perlu dilakukan mengingat proses perundingan SSM pada forum WTO akan membutuhkan waktu yang
338 panjang. Kebijakan seperti itu perlu diterapkan sebagai second strategy untuk mengurangi dampak negatif liberalisasi perdagangan khususnya banjir impor. Penelitian dan formulasi kebijakan perlu dilakukan bagi seluruh komoditas yang memiliki resiko banjir impor, termasuk beras, jagung dan kedele yang diteliti saat ini. 3. Penelitian mengenai skenario dan harmonisasi hubungan dan keterkaitan antara SSM, SP, dan fasilitas perdagangan lainnya dengan skenario peningkatan dukungan dan perlindungan produksi, produsen, dan konsumen dalam negeri. 4. Penelitian mengenai skenario dan harmonisasi hubungan dan keterkaitan antara SSM dengan skenario lainnya dalam AoA WTO dan skenario hubungan antara perundingan multilateral atau forum WTO dengan forum-forum perundingan lainnya seperti ASEAN, EEC atau UE, AFTA, APEC, dan perundingan secara bilateral. 5. Penelitian mengenai upaya pemanfaatan SSM dan keterkaitannya peningkatan kapasitas kebijakan terkait dan relevan dengan pengembangan komoditas beras, jagung dan kedele secara khusus dan seluruh komoditas pertanian, pangan dan industri pangan olahan yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap impor, terutama dari segi harga, subsidi, kelembagaan dan infrastruktur baik fisik maupun non fisik.