III. METODOLOGI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

V. SUMBER DAN AKAR KONFLIK DI PEDESAAN SAPARUA

METODE KAJIAN. Tabel 1. Jadwal Rencana Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Campaka Kecamatan Andir Kota Bandung

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Bank Syariah Mandiri Cabang Malang yang terletak di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti. 1 Pemilihan lokasi atau site selection

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. jumlah pengunjung PT. Kusuma Satria Dinasasri Wisatajaya Devisi Agrowisata,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. pribadi dan sosial para partisipan (Smith, 2009).

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN

31 kegiatan yang menyebabkan kerusakan di hulu DAS dan juga melihat bagaimana pemangku kepentingan tersebut melakukan upaya penyelamatan hulu DAS Cita

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian studi deskriptif yaitu memaparkan

III. METODE PENELITIAN. data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. subjek penelitian secara holistik dan dengan cara. mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat pada suatu

BAB III METODE PENELITIAN. ditempatkan di rumah pemilik usaha. Workshop GS4 menggunakan teras rumah

BAB III METODE PENELITIAN. Mungkid, Kabupaten Magelang. Dipilihnya lokasi ini sebagai tempat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bertipe

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dalam pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan.

BAB III METODE PENELITIAN. (2008:24) penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bermaksud membuat

BAB III METODOLOGI. CSR dengan citra perusahaan. Menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, pengumpulan data, analisis, dan penyajian hasil penelitian. Penulisan

BAB III METODOLOGI DAN METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengertian yang mendalam tentang suatu gejala, fakta atau realita. Fakta, realita,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Kota Batu. Alasan pemilihan lokasi dikarenakan PT. Kusuma Satria Dinasasri

BAB III METODE PENELITIAN

VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK

BAB III METODE PENELITIAN

Bab III ini membahas langkah-langkah yang dilakukan peneliti untuk. data, teknik dan pengumpulan data, serta analisis data.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Pandanan Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. yaitu bulan Oktober sampai bulan Desember 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

BAB 11 METODE PENELITIAN. yang memberikan gambaran terhadap objek yang diteliti secara sistematis.

penelitian ini dengan penelitian yang relevan adalah sama-sama meneliti tentang BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sulawesi Tengah. Dengan judul penelitian Kajian bentuk dan makna simbolik

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Artinya data yang

BAB III METODE PENELITIAN. laporan keuanga di BWI dan untuk mengetahui persepsi nadzir terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Adapun tempat penelitiannya adalah pada Koperasi Pegawai Perum Peruri yang

BAB III METODE PENELITIAN. tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa SPBU di atas adalah SPBU yang

BAB III METODE PENELITIAN. memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek misalnya motivasi,

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Boyolali yang terletak di jantung Kota Boyolali merupakan salah satu pasar

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dipergunakan guna menjawab tujuan penelitian (Soehartono, 1999: 9). Oleh karena itu, pada

III. METODE PENELITIAN. 22) metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

BAB II METODE PENELITIAN. tidak mengadakan perhitungan. Menurut Lexy J. Moleong, 26

BAB III METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN. Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

BAB III METODE PENELITIAN. perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan

BAB III METODE PENELITIAN. Pemuda Hijau Indonesia) regional Yogyakarta ini menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. yaitu Februari sampai dengan Maret Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan

BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Penelitian 3.2 Penentuan Subyek Penelitian dan Sumber Data

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan Penelitian, Metode Penelitian Dan Teknik Pengumpulan Data

BAB III METODE PENELITIAN. bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga

BAB III METODE PENELITIAN

eksistensi tradisi nyadran di Gunung Balak dalam arus globalisasi yang masuk dalam kehidupan masyarakat.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengambilan lokasi di Panti asuhan ini

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Lokasi Penelitian Penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk kajian lapangan ( field research), mengunakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Lexy J.

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara

BAB III METODE PENELITIAN. tenaga kerja wanita (TKW) ini dilaksanakan di desa Citembong,

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. permasalahan yang sangat kompleks dan dinamis sehingga penting untuk

seperti pendapat Masyhuri dan Zainuddin (2008; 19) penelitian kualitatif adalah sebuah proses penelitian yang menyelidiki masalah-masalah sosial dan

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di TK Negeri Pembina Kihajar Dewantoro Kecamatan Kota

BAB III METODE PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

commit to user BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran secara mendalam

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. analisis Kualitatif dikarenakan permasalahan yang belum jelas, kompleks

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan metodologi penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. menggambarkan lebih jauh mengenai proses strategi komunikasi

BAB II METODE PENELITIAN

Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga

Gambar 3.1 Lokasi Pulau Tidung

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. holistic dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa,

BAB III METODE PENELITIAN. keberhasilan suatu penelitian. Penelitian ini mengambil lokasi tersebut karena

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. berupaya menggambarkan suatu fenomena atau kejadian dengan apa adanya

Transkripsi:

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah Konflik menyebabkan keterpurukan dan cenderung mengarahkan masyarakat korban konflik kembali ke negeri asal sebagai bentuk jaminan keamanan diri dan keamanan subsistennya. Kembalinya masyarakat korban konflik ke negeri asal membawa pula informasi kondisi keterpurukan akibat konflik. Informasi tersebut membentuk persepsi tersendiri bagi komunitas di negeri asal. Proses penyebaran informasi kemudian berlanjut ke negeri-negeri sekitar yang komunitasnya seagama sekaligus membentuk jejaring sosial berdasarkan ikatan agama. Penyebaran isu-isu yang tidak terbukti kebenarannya semakin memperkuat jejaring dengan ikatan agama. Elit agama kemudian turut terlibat secara tidak langsung melalui dakwah yang cenderung menjelekan agama lain. Dukungan elit adat seagama menyebabkan adat dan budaya lokal tidak berfungsi meredam terjadinya konflik. Elit adat seharusnya memperkuat ikatan adat dan budaya yang sebelumnya mampu memelihara keberagaman melalui ikatan pela dan gandong. Pecahnya konflik di Ambon Maluku sebagaimana berbagai hasil studi disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, agama dan budaya. Selain itu didorong adanya perbedaan yang telah tertanam dalam diri masyarakat Maluku sejak masa kolonial. Perbedaan ini dibawa ke aspek pemerintahan (birokrasi) dan memperlihatkan tajamnya persaingan antara kedua komunitas. Akumulasi akhir dari persaingan yang demikian menuju pada konflik terbuka, jika tidak ada alternatif pemecahannya. Kenyataan tersebut semakin diperparah oleh keterlibatan berbagai kelompok setelah konflik berlangsung. Beberapa kelompok penting seperti Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang bermetamorfosis sebagai RMS versi baru, dianggap sebagai keterwakilan komunitas Sarani. Sementara dari komunitas Salam, muncul Laskar Jihad (LJ) yang mengorganisir anggotanya dari berbagai daerah. Keterlibatan kelompok Preman Coker dalam berbagai aktivitas konflik, semakin memperkeruh situasi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka kerangka dasar pemikiran tersebut dapat digambarkan berikut ini :

Praktek Beragama yang ekslusif Salam & Sarani - benturan budaya ketidakadilan dan dominasi Tersimpan lama Persaingan antar kelompok elit tradisional dan masa kini PEMICU DAN PEMATANGAN PRA KONDISI KONFLIK UNTUK BERMETAMORFOSIS MENJADI KONFLIK DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH Provokasi, Isu, Ancaman dan Hasutan Aksi Kekerasan Hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan TNI-POLRI Dampak-Dampak Konflik Tidak Adanya Penanganan Konflik yang tepat Keterlibatan kelompok pada masing-masing komunitas KEMBALINYA MASYARAKAT KORBAN KONFLIK DE DAERAH ASAL DIIKUTI DENGAN PENYEBARAN INFORMASI ANTAR SESAMA KERABAT, TETANGGA DAN KOMUNITAS SEAGAMA DAN AKHIRNYA MEMBENTUK JEJARING ANTAR KOMUNITAS YANG MELINTASI BATAS NEGERI Gambar 2. Kerangka Pikir

Hipotesis pengarah menunjukkan pada pedoman yang memberikan arah dalam kerja penelitian, sejak tahap kerja lapangan sampai pada penulisan laporan (Thomas yang dikutip oleh Creswel, 1994 : 70). Merujuk pada pendapat tersebut jelaslah, bahwa rumusan masalah penelitian dapat berubah sesuai dengan perubahan perkembangan studi, sehingga bentuk akhir laporan baru dapat ditemukan pada tahap analisis data dan penulisan laporan. Upaya merumuskan hipotesis pengarah dilakukan peneliti dengan menghubungkan teori-teori yang bersesuaian dengan pengetahuan lapangan yang dimiliki. Upaya ini bermuara pada munculnya sejumlah pertanyaan khusus yang berkaitan dengan jejaring sosial dan konflik di Pulau Saparua, sekaligus menjadi pengarah prosedur kerja penelitian yang akan dilakukan. Intisari hipotesis pengarah dalam penelitian ini sebenarnya tertuju pada mengapa dan bagaimana jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua. Hipotesis-hipotesis pengarah tersebut dirumuskan pada penjelasan berikut ini : 1) Berkaitan dengan faktor lain yang menjadi pendorong terjadinya konflik maka : a. Tidak tertanganinya konflik, menyebabkan korban konflik kembali ke negeri asal sekaligus membawa informasi yang berisi penderitaan yang diterimanya akibat konflik. b. Korban konflik sebagai pengungsi secara tidak langsung menyebarkan informasi melalui komunikasi antar individu dengan tetangga dan kerabat se-negeri, dilanjutkan oleh tetangga dan kerabat ke negeri-negeri lain yang seagama sehingga membentuk persepsi yang sama antar komunitas seagama lintas negeri dan akhirnya menjadi jejaring komunikasi antar negeri yang komunitasnya seagama. 2) Berkaitan dengan keterkaitan jejaring sosial dan konflik antar aras maka : a. Kembalinya korban konflik ke negeri asal menunjukkan kuatnya jejaring sosial yang terbentuk sejak pertama kali ke luar dari negeri asal. b. Aliran bantuan terjadi antar negeri dengan komunitas seagama di pedesaan Saparua maupun di luar Saparua. 3.2. Pendekatan Kualitatif Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini memungkinkan bagi peneliti untuk memilih strategi utama yaitu, studi kasus, sebagaimana diungkapkan Yin (1996). Pemilihan strategi studi kasus lebih didasarkan pada ketidaksamaan kondisi konflik pada berbagai lokasi di Maluku, baik dari segi waktu kemunculannya kembali, ekskalasinya maupun implikasi yang terjadi. Selain itu

kekhasan Pulau Saparua sebenarnya terletak pada aspek kesejarahan, yaitu pergolakan melawan penjajah yang lebih dominan dibandingkan daerah/pulau lainnya di Maluku. Juga titik persinggungan antara agama (kalau konflik Ambon Maluku disetujui sebagai konflik agama semata), awalnya sudah muncul di Saparua sebagai basis kekuatan Belanda di kawasan Maluku Tengah (meliputi pulau Seram, Buru, Banda, Haruku, dan Nusa Laut) yang dipertemukan dengan keberadaan Kerajaan Iha (kemungkinan besar merupakan pusat Kerajaan Islam di Maluku Tengah). Strategi studi kasus ini memungkinkan terjadinya dialog peneliti-responden serta terjadinya interaksi antara dan dalam kalangan peneliti dan responden. Sesuai dengan penjelasan Yin (1996) menyangkut strategi penelitian untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana, maka peneliti tidak mungkin melakukan eksperimen mengingat kriteria strategi studi kasus yaitu, sebagai suatu gejala sosial yang tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Gejala sosial yang diungkapkan dalam penelitian ini yaitu, jejaring sosial dan konflik yang mengarahkan penemuan akar konflik pada masyarakat Pulau Saparua. 3.3. Prosedur Pengumpulan Data 3.3.1. Penentuan Kasus Pada tahap awal untuk mendapatkan informasi, peneliti akan bertanya pada informan kunci (key informan) yaitu Ketua Latupati Pulau Saparua sekaligus sebagai Raja Negeri Tuhaha yang terlibat secara langsung dalam konflik dan manajemen konflik di Pulau Saparua. Selanjutnya melalui teknik bola salju (snowball) sebagai yang dijelaskan Moleong (1989), dengan informan selanjutnya sebagaimana dijelaskan berikut ini : a. Penyerangan di negeri Iha (di Jazirah Hatawano) dengan informan : Sekertaris Latupati Saparua (Raja Negeri Itawaka), mantan Sekertaris Latupati (Raja Negeri Noloth), AL (tokoh pemuda Negeri Ihamahu sekaligus pemimpin kelompok kecil Sarani di Saparua), Sekertaris Negeri Iha, Raja Negeri Administratif Mahu. b. Penyerangan di Negeri Sirisori Sarani dengan informan : Raja negeri Sirisori Sarani, Kepala Soa Sirisori Sarani (TS sekaligus tokoh Pemuda), Kepala Soa negeri Sirisori Salam (sebagai pelaksana tugas Raja yang lebih banyak beraktivitas di Ambon), Raja negeri Ulath, Pelaksana Tugas Raja negeri Ouw (Raja Negeri Ouw sudah meninggal).

c. Penyerangan di Dusun Pia dengan informan : Kepala Soa negeri Kulor (saat konflik Raja Kulor sekarang ini belum terpilih dan berdiam di Makasar sementara mantan Raja sudah meninggal), Kepala Urusan Pemerintahan negeri Kulor, Kepala Dusun Pia, EP (Kepala Keamanan Dusun Pia) d. Konflik negeri Haria dan Porto : Raja negeri Haria, Raja negeri Porto e. Negeri-negeri yang turut membantu saat konflik terjadi walaupun tidak berdekatan dengan negeri yang mengalami secara langsung dampak konflik : Raja negeri Booi, Raja negeri Paperu, Raja negeri Tiow, Kepala Pemuda negeri Saparua, Ketua Klasis Gereja Protestan Maluku di Pulau Saparua, Ketua Majelis Ulama Indonesia di Pulau Saparua, Ketua Majelis Ulama Indonesia Maluku (keturunan/anak negeri Iha), Mantan Ketua DPR Kabupaten Maluku Tengah (Anak negeri Iha di Seram Barat). Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait seperti Kantor Kecamatan Saparua, Dinas Sosial Maluku Tengah, serta LSM asing dan lokal yang turut terlibat sejak konflik sampai penanganannya. Selain itu didukung pula dengan catatan-catatan tertulis tentang konflik yang dimiliki oleh Organisasi Agama di Saparua maupun di Ambon seperti Crisis Centre Keuskupan Amboina, Crisis Centre Sinode GPM Ambon, dan Crisis Centre MUI Maluku. 3.3.2. Studi Riwayat Hidup Individu Pada dasarnya studi riwayat hidup yang digunakan sebenarnya mengarah pada riwayat hidup informan yaitu, aktor yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam konflik serta penanganan implikasinya. Sebagaimana dijelaskan Denzin (1970 : 220), bahwa studi riwayat merupakan studi tentang pengalaman dan pemahaman dari sisi pandang individu sendiri, sebagai metode untuk memahami tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksud di sini yaitu, pemanfaatan jejaring sosial sejak konflik sampai penanganan ikmplikasi konflik. Studi riwayat hidup ini lebih spesifik lagi diarahkan pada riwayat hidup suntingan yang menurut Denzin (1970 : 221-223) merupakan riwayat hidup topikal (yang mengemukakan satu fase atau tahapan dalam kehidupan individu subjek riwayat) yang juga diselingi dengan komentar, penjelasan dan pertanyaan oleh seseorang di luar individu subjek riwayat. Pilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa fenomena sosial yang ingin dimaknai hanyalah sejak konflik muncul sampai pada penanganan implikasinya, yang terjadi pada satu fase/tahapan kehidupan aktor yang terlibat secara

langsung maupun tidak langsung. Studi riwayat hidup ini mencakup kasus aktor dalam konflik yang masing-masing sebagai berikut : a. Informan pada sub bab penentuan kasus bagian a, b, c dan d; b. Informan pada sub bab penentuan kasus bagian e. Teknik pengumpulan data riwayat hidup meliputi wawancara mendalam secara langsung, pengamatan, dan pemanfaatan arsip dokumentasi yang relevan (Laporan Organisasi Keagamaan saat konflik terjadi). Khususnya untuk menelusuri akar konflik serta jejaring sosial yang terbentuk saat itu sebagai bahan perbandingan dilakukan dengan mempelajari arsip pemerintahan kolonial Belanda yang ada di Arsip Nasional. 3.3.3. Metode Pengamatan Berperan Serta Metode ini sebenarnya dikhususkan pada upaya peneliti untuk memahami jejaring sosial yang dimanfaatkan aktor (baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam konflik) sejak konflik sampai pada penanganan implikasi konflik. Hal ini dimungkinkan mengingat dua alasan metodologis yang mendasari pengumpulan data kualitatif dengan metode pengamatan berperan serta (Moleong, 1989 : 138) yaitu, pertama, pengamatan memungkinkan peneliti melihat, merasakan, dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana para aktor melihat, merasakan dan memaknainya; kedua, pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan aktor (intersubyektifitas). Selain itu, ragam tipe pengamatan berperan serta yang dipilih yaitu peran serta dan keterbukaan peneliti secara penuh, mengingat para aktor mengenal peneliti dan mengetahui kegiatan pengamatan yang dilakukan. Hal ini dimaksudkan pula untuk memperkecil jarak sosial antara peneliti dan aktor, sehingga semakin kecil jarak maka diharapkan aktor akan secara terbuka dan jujur pula mengungkapkan keberadaan jejaring sosial sejak konflik sampai pada penanganan implikasi konflik yang dipahaminya. Oleh karena itu, saya sebagai peneliti akan menghadapkan makna menurut kasus antara masing-masing informan. Hal ini juga sekaligus sebagai upaya peneliti untuk menguji keberadaan serta kelayakan makna tersebut, yang menurut saya sebagai suatu upaya baru dalam pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, seakan-akan saya sebagai peneliti melakukan ferivikasi seperti pendekatan kuantitatif (padahal sebenarnya lebih tepat sebagai suatu strategi triangulasi atas makna yang diungkapkan pada kasus aktor.

Pengamatan berperan serta juga dilakukan peneliti melalui diskusi kelompok kecil pada masing-masing negeri yang hancur akibat konflik (negeri Iha, Sirisori Sarani dan Pia), dengan melibatkan tokoh-tokoh adat yang tergabung dalam Saniri Negeri (Badan Permusyarawatan Desa). Selain itu, peneliti juga mendiskusikan kembali hasilhasil temuan lintas negeri yang berbeda agama dan berbatasan langsung, seperti antara Kepala Soa Sirisori Salam dan Kepala Soa Sirisori Sarani; Kepala Soa Kulor dan Kepala Dusun Pia; serta Tuan Tanah negeri Iha dengan Tuan Tanah negeri Ihamahu. Setelah draft Disertasi tersusun, melalui kerjasama Kepala Pemerintahan Kecamatan Saparua dan Latupati peneliti juga melakukan pemaparan Hasil Penelitian awal di tingkat Pulau Saparua yang diikuti oleh seluruh Informan serta Tokoh Agama dan Tokoh Adat masing-masing negeri di Saparua. Hasil pemaparan menjadi penting, karena ada masukan-masukan, kritik dan koreksi atas hasil yang diungkapkan. Sehingga, kolaborasi berbagai strategi penelitian yang digunakan peneliti kemudian bermuara sebagai suatu tulisan ilmiah hasil peneliti yang disebut Disertasi. 3.4. Prosedur Pengolahan Data Miles dan Huberman (1992 : 15 21) menjelaskan ada tiga jalur analisis data kualitatif yaitu : a. Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum semua data-data terkumpul dan meliputi kegiatan meringkas data, mengkode data, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi dan menulis memo. Proses ini berlangsung sampai dengan penyusunan laporan, sehingga merupakan bentuk analisis yang menajamakan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, mengorganisir data sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. b. Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dapat berbentuk teks naratif (berbentuk catatan lapangan yang seringkali terlalu panjang sehingga seringkali tidak mampu diproses sebagai informasi yang bermutu); dan berbentuk matriks, grafik, jaringan dan bagan (merupakan penggabungan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, sekaligus

mempermudah untuk melihat apa yang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar atau terus melangkah melakukan analisis. c. Penarikan kesimpulan mencakup pula verifikasi terhadap kesimpulan yang telah dibuat sebelumnya. Kesimpulan dapat diverifikasi dengan memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat, upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. 3.5. Lokasi Penelitian Pulau Saparua merupakan salah satu pulau yang masuk wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah. Sejak masa kolonial Belanda wilayah ini dikenal dengan kegigihannya dalam berjuang melawan penjajahan. Bahkan di wilayah ini terdapat Benteng Duurstedee sebagai pusat pengaturan aktivitas kolonial Belanda meliputi kawasan Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku dan sebagaian Pulau Seram. Selain itu, lama sebelum kedatangan bangsa kolonial, di Pulau Saparua sudah dikenal adanya Kerajaan Iha sekaligus sebagai pusat agama Salam. Kerajaan Iha merupakan kerajaan yang berkedudukan di puncak gunung Iha yang sekarang ini berkedudukan di jazirah Hatawano meliputi negeri Iha dan Ihamahu (sebagai satu keturunan Kerajaan Iha yang dikenal dengan istilah gandong). Negeri Iha merupakan keturunan yang tetap Salam, sedangkan negeri Ihamahu merupakan keturunan yang menjadi Sarani saat Belanda menjajah Saparua (Rumphius dan de Graff dalam Manusama, 1977). Saat konflik melanda Pulau Saparua, negeri Iha diserang dan dihancurkan Desember 2001 tanpa bisa ditahan oleh gandongnya negeri Ihamahu, sehingga warganya sampai saat ini menyelamatkan diri ke negeri Tulehu dan Liang (Pulau Ambon) dan negeri Sepa (Pulau Seram). Sebelumnya, negeri Sirisori Sarani juga diserang dan dihancurkan oleh gandongnya negeri Sirisori Salam sehingga warga desa Sirisori Sarani berpindah ke negeri lama (tempat kedudukan negeri pertama kali yaitu pada daerah perbukitan di belakang negeri tersebut). Kemudian diikuti pula oleh penyerangan dan penghancuran dusun Pia oleh negeri Kulor, sehingga warga dusun Pia menyelamatkan dirinya ke kota Saparua. Seperti diketahui negeri Kulor, dusun Pia, negeri Sirisori Sarani dan negeri Sirisori Salam merupakan wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Iha, sehingga yang menempati negeri-negeri tersebut merupakan keturunan dari kerajaan Iha yang diberikan mandat untuk menjaga dan mengusahakan tanah

(petuanan milik Kerajaan Iha) yang ada dalam negeri-negeri tersebut. Setelah kerajaan Iha dihancurkan Belanda, maka Belanda membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi sejumlah negeri seperti sekarang ini. Pulau Saparua terdiri dari 16 negeri, dengan tiga negeri mayoritas beragama Salam yaitu Iha, Kulor dan Sirisori Salam serta 13 negeri lainnya mayoritas beragama Sarani. Sebelum pecahnya konflik (1999), Pulau Saparua merupakan salah satu pusat kediaman etnis Buton (Sulawesi Tenggara) yang dominan beragama Salam, namun dapat hidup berdampingan secara damai dengan penduduk lokal bahkan ada yang mengikat kekerabatan melalui perkawinan antar etnis sekaligus antar agama tanpa menjadikannya suatu permasalahan. Selama ini belum ada studi jejaring sosial serta keterkaitannya dengan konflik di Pulau Saparua pada khususnya dan Maluku pada umumnya. Padahal Pulau Saparua juga menjadi sasaran pengungsian oleh kaum kerabat dari pulau sekitarnya, terutama dari Pulau Ambon dan Pulau Seram. Selain itu, penanganan implikasi konflik (seperti pengungsi) oleh Pemerintah dan LSM juga telah dilakukan sejak pecahnya konflik (1999). Dengan demikian pemilihan Pulau Saparua juga merupakan usaha untuk mengungkapkan pemahaman fakta sosial berupa jejaring sosial dan konflik, yang bukan saja ada di Ambon sehingga perlu bergeser ke luar Ambon. Aspek inilah yang menjadi perbedaan mendasar dengan penelitian-penelitian sebelumnya, di samping juga bahwa penelitian ini terfokus pada jejaring sosial dalam konflik di aras mikro (pedesaan) pada tiga negeri (Iha, Sirisori Sarani dan Pia) yang terkena konflik dan implikasinya secara langsung kemudian dicari keterkaitannya ke aras meso.