Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari Lahan Sawah

dokumen-dokumen yang mirip
Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (Grk) Dari Lahan Sawah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN RAWA LEBAK

Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian

Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

Iklim Perubahan iklim

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture. Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau

I. PENDAHULUAN. Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Padi IP 400. Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. isu utama dalam perubahan lingkungan global. Untuk mengurangi pengaruh emisi

TINJAUAN PUSTAKA. secara hayati. Mikroba penambat nitrogen hidup bebas pada tanah sawah

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

MENGURANGI EMISI GAS RUMAH KACA

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. tersebut (Ladha et al., 1997). Indonesia merupakan negara agraris, dengan sektor

PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS): INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN

BAB III METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari 3 golongan ecogeographic yaitu Indica, Japonica, dan Javanica.

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KELAYAKAN USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI PENDEKATAN PTT

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Jakarta

I. PENDAHULUAN. (metana), dan N 2

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari:

BAB VII PERKIRAAN EMISI. Pemerintah Kabupaten Donggala A. GAS RUMAH KACA B. KEGIATAN MANUSIA DAN JENIS GRK. Badan Lingkungan Hidup Daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

Pengelolaan Tanaman Terpadu. Samijan, Ekaningtyas Kushartanti, Tri Reni Prastuti, Syamsul Bahri

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG. M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia

UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN TAKALAR

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

Implementasi Budidaya Tanaman Padi. Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu. Oleh : ASEP FIRMANSYAH

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Sawah

PEMANASAN GLOBAL PENYEBAB PEMANASAN GLOBAL

TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi

PENERAPAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO JAGUNG HIBRIDA UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DI LAHAN INCEPTISOLS GUNUNGKIDUL

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Karbondioksida (CO2)

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

POTENSI EMISI METANA KE ATMOSFER AKIBAT BANJIR

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diklasifikasikan ke dalam Famili adalah Graminae, Genus adalah Oryza Linn, dan

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

PENGARUH PUPUK NPK 20:10:10 DAN ASAM HUMAT TERHADAP TANAMAN JAGUNG DI LAHAN SAWAH ALUVIAL, GOWA

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

Model Pertanian Ramah Lingkungan pada Sawah dan Lahan Sawah Tadah Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PRINSIP UTAMA PENERAPAN PTT

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

PENANAMAN TANAMAN JAGUNG/ System JARWO

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT DI PROVINSI BENGKULU ABSTRAK

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG UNTUK PRODUKSI BIOMAS PADA LAHAN MARJINAL. M. Akil Balitsereal Maros ABSTRAK

PETUNJUK LAPANGAN ( PETLAP ) PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS PADI. Oleh :

III. BAHAN DAN METODE. Selatan yang diketahui memiliki jenis tanah Ultisol dan Laboratorium Ilmu Tanah

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU JAGUNG LAHAN KERING DI KABUPATEN BULUKUMBA

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Badan Litbang Pertanian telah melepas lebih dari 200 varietas padi sejak

I. PENDAHULUAN. perkebunan tebu terbesar di Lampung adalah PT. Gunung Madu Plantation

Pedoman Umum. PTT Jagung

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman pangan bijibijian

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari Lahan Sawah 3 Gas Rumah Kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, kloroflurokarbon (CFCs), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90% radiasi yang terjebak memberikan kehangatan bagi makhluk hidup di bumi. Dengan demikian sebenarnya efek rumah kaca tidaklah buruk, karena tanpa efek tersebut rata-rata suhu permukaan di bumi -18 o C. Seiring dengan kemajuan zaman yang diawali dengan adanya revolusi industri terjadi peningkatan GRK di atmosfer. Peningkatan ini berasal dari berbagai sumber, seperti CO 2 dari industri, pembangkit listrik, pembakaran bahan bakar fosil dan transportasi, sedangkan CH 4 berasal dari lahan pertanian dan limbah yang tidak diproses. Gas-gas tersebut menahan lebih banyak radiasi dari yang dibutuhkan oleh bumi dan hasilnya suhu di permukaan bumi pun naik. Sumbangan emisi GRK tertinggi dihasilkan oleh gas CO 2, hampir 55% emisi GRK berasal dari gas tersebut. Gas CH 4 hanya berkontribusi sekitar 15%, namun gas ini 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca daripada gas CO 2. Hal ini berdampak pada kerusakan lapisan ozon dan kenaikan suhu di bumi. Sedangkan gas N 2 O memberikan kontribusi terkecil dari kedua gas sebelumnya, yaitu sekitar 6%. Meskipun kecil kontribusinya namun potensi terhadap efek rumah kaca paling tinggi, yaitu 296 kali dari CO 2. Sektor pertanian (termasuk peternakan) selain sebagai sumber kehidupan bagi sebagian besar penduduk Indonesia ternyata juga menghasilkan lebih dari setengah emisi CH 4 Indonesia. Luas areal persawahan di Indonesia sekitar 7.79 juta ha (2001) dan merupakan potensi besar untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, namun jika tidak dikelola dengan baik dapat meningkatkan konsentrasi GRK di atmosfer. Keterkaitan pertanian dengan pemanasan global tidak terlepas dari cara budidaya petani dalam mengelola lahan pertanian. Beberapa upaya budidaya dilakukan untuk memperbaiki sistem pertanian yang mampu menekan emisi GRK namun tetap memprioritaskan tercapainya produktivitas yang tinggi. Adakah upaya yang dapat menekan emisi GRK sehingga dampak-dampak tersebut dapat ditekan? Upaya untuk menekan laju peningkatan pemanasan global akibat emisi GRK dari lahan pertanian telah banyak dilakukan melalui beberapa teknik budidaya seperti penggunaan varietas, pemupukan, pengaturan air, pengolahan tanah, penggunaan herbisida dan nitrifikasi inhibitor. 1. Penggunaan Varietas Emisi GRK yang dikeluarkan oleh tanaman padi terutama adalah CH 4. Sekitar 90% gas CH4 dilepaskan melalui pembuluh aerenkima tanaman. Namun kemampuan dalam melepaskan gas CH 4 berbeda-beda tergantung karakterisik varietas padi seperti sifat, umur dan aktifitas akar. Padi yang mempunyai jumlah anakan lebih banyak akan meningkatkan jumlah aerenkima sehingga emisi gas CH 4 yang dikeluarkan juga semakin besar. Sedangkan

4 AgroinovasI varietas berumur dalam menghasilkan emisi gas CH 4 yang lebih besar daripada varietas yang berumur genjah. Hal ini berhubungan dengan siklus hidup tanaman padi tersebut. Semakin lama periode tumbuh tanaman akan semakin banyak pula eksudat dan biomas akar yang terbentuk sehingga emisi gas CH 4 menjadi tinggi. Eksudat merupakan senyawa organik yang mengandung gula, asam amino dan asam organik sebagai penyusun bahan mudah tersedia bagi bakteri penghasil gas CH 4. Semakin banyak dan merata perakaran tanaman maka akan semakin besar pula distribusi eksudat ke dalam tanah. Pembentukan gas CH 4 tidak terlepas dari kemampuan akar sebagai pengoksidasi dalam tanah. Varietas-varietas yang memiliki kapasitas pengoksidasi akar yang baik mempunyai potensi sebagai varietas yang dapat menekan emisi CH 4. Melalui kapasitas pengoksidasi akar tersebut, pertukaran gas akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi gas O 2, sedangkan konsentrasi CH 4 akan teroksidasi secara biologi oleh bakteri metanotropik. Beberapa varietas yang telah diteliti menghasilkan emisi GRK yang rendah adalah IR 64, Dodokan, Tukad Balian, Batanghari, Ciherang dan Inpari 1. Jenis padi yang mampu menghasilkan emisi gas CH 4 rendah adalah jenis padi tipe baru. Jenis padi sawah, padi pasang surut, dan padi tahan rendaman menghasilkan emisi gas CH 4 kategori sedang, sedangkan jenis padi hibrida menghasilkan emisi gas CH 4 tinggi. 2. Pemupukan Pemberian pupuk N (urea dan ZA) pada lahan sawah merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan produksi tanaman padi. Namun pemberian pupuk ini berpotensi menyumbangkan GRK. Penggunaan ZA 90 kg N/ha yang disebar sebanyak 3 kali (pada 7, 21 dan 42 hari setelah tanam) menghasilkan emisi yang rendah. Sedangkan penambahan ZA sebesar 115 kg N/ha juga menghasilkan emisi CH4 yang rendah. Penggunaan urea juga berpeluang menekan emisi metan. Hal ini disebabkan karena amonium (NH4+) yang diserap oleh tanaman akan diseimbangkan dengan pelepasan H+ di sekitar perakaran sehingga menurunkan tingkat keasaman di sekitar perakaran tanaman yang selanjutnya akan menghambat perkembangan bakteri metanogen. Teknik lain yang diketahui dapat mengurangi emisi CH4 adalah mengkombinasikan penggunaan pupuk organik dengan pupuk N, mengaplikasikan pupuk N dengan cara membenamkan (cara tersebut juga dapat mengurangi hilangnya N karena volatilisasi). Penggunaan pupuk anorganik agar lebih efisien dan efektif didasarkan pada kebutuhan tanaman. Hal ini dapat dilihat dari warna daun padi dengan menggunakan bagan warna daun (BWD). Sedangkan pupuk organik diberikan pada saat pengolahan tanah setara 2 t/ha. Adapun penggunaan BWD adalah sebagai berikut: a. Pengukuran hijau daun padi dengan BWD dimulai pada saat tanaman berumur 25-28 hst dan dilanjutkan setiap 7-10 hari sekali sampai fase primordia tanaman. b. Pilih secara acak 10 rumpun tanaman yang sehat, letakkan bagian tengah daun di atas BWD dan bandingkan dengan warna BWD. Jika lebih dari 5 dari 10 daun yang diamati menunjukkan warna di bawah skala 4 BWD, pupuk yang digunakan sebanyak 75-100 kg urea/ha pada musim hasil tinggi dan 50-75 kg/ha pada musim hasil rendah. Pada saat pengukuran sebaiknya pengukur tidak menghadap sinar matahari karena akan berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Edisi 6-12 Maret 2011 No.3400 Tahun XLI

Mitigasi emisi CH 4 juga dapat ditekan dengan menggunakan pupuk silikat. Total emisi CH4 menurun sekitar 16-20% dengan penggunaan pupuk silikat sebanyak 4 Mg ha-1 dan hasil padi meningkat 13-18%. Pupuk silikat secara signifikan mendorong pertumbuhan tanaman khususnya biomassa akar, volume dan porositas akar yang dapat meningkatkan konsentrasi oksigen di rhizosfer. Meningkatnya konsentrasi oksigen tersebut akan meningkatkan pula oksidasi CH 4 sehingga dapat mengurangi emisi CH4 ke atmosfer. Rejim Air Pengaturan air selain berpengaruh terhadap hasil padi juga berpengaruh pada besarnya emisi gas CH4. Pada kondisi tergenang emisi gas CH 4 lebih tinggi daripada kondisi kering. Upaya menekan besarnya emisi gas CH 4 dari sistem pengairan perlu dilakukan karena selain dapat menurunkan emisi gas CH 4 juga dapat menghemat penggunaan air yang berlebihan. Penggunaan pengairan secara terputus-putus (intermittent) merupakan manajemen pengairan yang paling efisien untuk mampu mengurangi emisi gas CH 4 dari lahan sawah. Sistem pengairan yang dikombinasikan dengan olah tanah (intermittent + tabela + tanpa olah tanah (TOT)) menghasilkan emisi terendah dibandingkan dengan perlakuan olah tanah dengan berbagai kondisi pengairan (tergenang, intermittent dan macak-macak) baik dengan kombinasi tabela maupun tapin. Penggunaan pengairan intermittent dapat menekan emisi GRK sebesar 41-45% dibandingkan dengan pengairan terusmenerus. Selain itu dengan menggunakan pengairan intermittent berpeluang sebagai pengabsorpsi karbon karena net karbon yang dihasilkan bernilai negatif. 5 Berdasarkan skema di atas, lahan yang menganut sistem intermittent dikeringkan saat tanaman berumur 15-20 hst dan 30-35 hst. Pada saat menjelang panen lahan juga dikeringkan. Adapun tinggi air untuk penggenangan sekitar 5 cm. Pada sistem PTT (Pengelolaan Tanaman padi Terpadu) yang menggunakan pengairan sistem intermittent (berselang) juga menunjukkan bahwa emisi gas CH4 yang dihasilkan rendah (78.3 kg/ha/musim) dengan hasil panen mencapai 6.76 t/ Edisi 6-2 Maret 2011 No.3400 Tahun XLI

6 AgroinovasI ha. Pada perlakuan PTT intermittent varietas yang digunakan adalah Ciherang dengan umur bibit 15 hss, 1 rumpun per lubang ditanam dengan sistem legowo 2:1. Pada sistem legowo ini tanaman ditanam secara berselang-seling 2 baris dan satu baris kosong. Adapun jarak legowo yang digunakan adalah 40 x 20 x 10 cm. Ketinggian air diatur dengan membuat batas ketinggian air pada pematang agar pada curah hujan tinggi air tetap terjaga pada ketinggian 15 cm. Pada lahan intermittent sebaiknya dibuat sistem buka-tutup pada galengan sehingga mempermudah dalam pengaturan air. Herbisida dan Pengelolaan Lahan Penggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas CH 4. Selain herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan (HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4, penggunaannya harus sesuai dengan anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada sistem olah tanah sempurna (OTS) dikombinasikan dengan pengairan tergenang menghasilkan emisi CH4 yang cukup tinggi. Pada sistem ini tanah diolah dengan menggunakan bajak atau cangkul pada kedalaman lapisan olah (+20 cm). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada OTS fisik tanah telah terdegradasi. Sedangkan pada sistem tanpa olah tanah (TOT), menghasilkan emisi CH 4 yang relatif lebih kecil. Pada kondisi ini fisik tanah tidak terlalu diganggu kecuali untuk alur atau lubang tanam untuk penempatan benih sehingga degradasi lahan lebih terkendali. Sistem TOT ternyata efektif digunakan untuk mereduksi emisi CH 4 yang berarti turut mereduksi besarnya potensi pemanasan global. Dengan menggunakan sistem TOT 12% lebih efektif dari sistem OTS. Upaya untuk mereduksi emisi GRK terutama gas N 2 O adalah dengan segera menanam tanaman setelah pengolahan tanah (menghindari tanah dalam keadaan bera) dan menanam tanaman penutup selama periode bera untuk mengurangi konsentrasi nitrat dan amonia dalam tanah, serta memberikan kapur pada lahan masam. Besarnya emisi CO 2 yang terjadi pada lahan pertanian tidak terlepas dari teknik pengelolaan tanah. Pada lahan yang dibiarkan bera gas CO 2 secara umum diemisikan ke atmosfer. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pertanaman dan proses fotosíntesis tidak terjadi sehingga tidak ada media yang berfungsi sebagai penyerap CO 2. Gulma (famili graminae) yang terdapat pada pertanaman juga memberikan kontribusi terhadap emisi CH 4, sehingga upaya untuk menekan emisi perlu dilakukan. Sebelum tanam, gulma dikendalikan dengan herbisida yang ramah lingkungan, yaitu mudah terdegradasi, tidak menimbulkan polusi dan tidak merusak lingkungan. Sisa-sisa tanaman pada musim sebelumnya dimanfaatkan untuk menutupi tanah yang berfungsi untuk menekan pertumbuhan gulma dan mengawetkan tanah dan air. Penggunaan Zat Penghambat Nitrifikasi (Nitrification inhibitor) Pengelolaan penggunaan pupuk N yang baik berperan penting untuk meminimalisir residu nitrat tanah yang dapat membantu menurunkan peningkatan emisi N 2 O. Penggunaan urea+hydroquinone (HQ)+DCD dapat menurunkan emisi N 2 O dan CH 4 masing-masing sebesar 30 % dan 50 % jika dibandingkan dengan control. Beberapa bahan penghambat nitrifikasi dari industri kimia antara lain dicycendiamine

(DCD), nitrapyrin, encapsulated calcium carbide (ECC), N-2,5-dichlorophenil succinamic acid (DCS). Bahan-bahan tersebut secara nyata telah dapat mereduksi emisi N 2 O dan meningkatkan produksi tanaman padi. Selain itu S-benzylisothiouronium butanoate (SBTbutanoate) dan S-benzylisothiouronium furoate (SBT-furoate) yang digunakan pada pertanaman gandum mampu mereduksi potensi pemanasan global sebesar 8.9 19.5%. Bahan penghambat nitrifikasi inhibitor lainnya adalah 3,4-dimethylpyrazole phosphate (DMPP), 2-chloro-6 (trichloromethyl) pyridine, sulfathiazole, 2-amino-4-chloro-6- methyl pyrimidine, 2 mercaptobenzothiazole, thiourea, 5-ethoxy-3-trichloromethyl- 1,2,4-thiadiazole (terrazole), dan karbofuran (2,3-dihidro-2,2-dimetil-7-benzofuranil metilkarbamat). Selain dari industri kimia, beberapa bahan tanaman dapat berfungsi sebagai zat penghambat nitrifikasi, di antaranya tanaman babandotan (Ageratum conyzoides), kunyit (Curcuma domestica Val.), daun randu (Ceiba pentandra Gaertn.), bakau (Rhizophora conjugata Linn., mimba (Azadirachta indica), dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L). Penggunaan biji mimba (20 kg/ha) dapat menurunkan fluks N2O sebesar 48.9% di lahan sawah tadah hujan. Biji mimba mengandung senyawa polifenol (0,13% tannin). Polifenol dalam tanah dapat menghambat aktivitas bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi. Rina Kartikawati, Helena Lina Susilawati, Miranti Ariani, Prihasto Setyanto Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati 7