BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2007

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

1. Tinjauan Umum

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JANUARI 2002

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2006

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

Perekonomian Suatu Negara

Analisis Perkembangan Industri

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

Kondisi Perekonomian Indonesia

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB I KONDISI EKONOMI MAKRO TAHUN 2004

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN III/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

4. Outlook Perekonomian

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR...

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

BAB II PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat

NOTA KEUANGAN DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB I PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN II (SEMESTER I) TAHUN 2014

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga,

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2008 pendapatan per kapita Indonesia sudah meliwati US$ 2.000,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

Tabel 1 Neraca Pembayaran Indonesia: Ringkasan

VII. SIMPULAN DAN SARAN

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

Analisis Perkembangan Industri

TABEL 1 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA RINGKASAN (Juta USD) 2014*

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

Prospek Ekonomi Global dan Domestik 2017: Peluang dan Tantangan

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

TABEL 1 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA RINGKASAN (Juta USD)

TABEL 1 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA RINGKASAN (Juta USD) 2014*

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

UMKM & Prospek Ekonomi 2006

Transkripsi:

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2007 Prospek ekonomi tahun 2007 lebih baik dari tahun 2006. Stabilitas ekonomi diperkirakan tetap terjaga dengan nilai tukar rupiah yang stabil, serta laju inflasi dan suku bunga yang terkendali. Sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen dapat dicapai dengan memperkuat kebijakan ekonomi yang mampu mendorong secara kuat investasi dan daya beli masyarakat yang didukung oleh efektivitas kebijakan fiskal yang semakin baik terutama belanja negara, penyaluran kredit perbankan yang meningkat, serta daya saing ekspor nasional yang terjaga. Dorongan perlu diberikan kepada daerah untuk memperbaiki iklim investasi di daerah, memanfaatkan belanja daerah, serta menangani pengangguran dan kemiskinan terutama untuk daerah-daerah yang merupakan kantong pengangguran dan kemiskinan. Resiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dimungkinkan apabila peningkatan investasi dan penguatan daya beli masyarakat berjalan lambat. Dalam keadaan ini, perekonomian pada tahun 2007 diperkirakan hanya tumbuh 5,7 5,9 persen. Resiko ketidakstabilan nilai tukar dan harga tetap ada dengan potensi gejolak baik dalam bentuk pergerakan modal jangka pendek maupun resiko lainnya yang dapat timbul dari melebarnya kesenjangan global. Dalam kaitan itu stabilitas ekonomi tetap perlu dijaga dengan memperkuat ketahanan sektor keuangan terhadap berbagai kemungkinan gejolak yang akan timbul. A. EKONOMI DUNIA Gambaran menyeluruh dari ekonomi dunia tahun 2007 diberikan oleh IMF, World Economic Outlook, September 2006. Secara ringkas, ekonomi dunia tahun 2007 diperkirakan tetap tumbuh tinggi dengan resiko meningkatnya kembali harga minyak mentah dunia, yang pada gilirannya akan memberi tekanan pada inflasi dan menuntut kebijakan moneter yang ketat. Resiko juga dapat timbul dari kemungkinan melambatnya perekonomian AS lebih dalam dari yang diperkirakan sehingga berpengaruh pada perekonomian negara-negara maju lainnya. Melebarnya kesenjangan global memerlukan penanganan bersama untuk mengelola resiko dan memantapkan pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam tahun 2007 perekonomian dunia diperkirakan tumbuh 4,9 persen. Tingkat pertumbuhan ini sedikit lebih rendah dari tahun 2006 (5,3 persen). Dengan tingkat pertumbuhan ini, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan yang tinggi selama empat tahun berturut-turut sejak dasawarsa 70'an (World Economic Outlook, IMF, September 2006). Secara lebih rinci pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2007 adalah sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi negara emerging market dan negara berkembang diperkirakan tetap tinggi yaitu sekitar 7,3 persen dengan perekonomian China, India, dan Rusia sebagai penggeraknya. Perekonomian China dan India pada tahun 2007 diperkirakan tumbuh 10,0 persen dan 8,3 persen. Perekonomian AS diperkirakan tumbuh lebih rendah yaitu menjadi 2,6 persen dengan sektor perumahan dan konsumsi masyarakat yang melambat; sedangkan investasi swasta diperkirakan masih terjaga. II 1

Ekonomi Jepang dan Masyarakat Ekonomi Eropah diperkirakan tumbuh sebesar 2,0 persen dan 2,1 persen. Perlambatan ekonomi di Eropah antara lain disebabkan oleh kenaikan pajak dalam rangka konsolidasi fiskal. Gambaran ekonomi dunia sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel II.1. Tabel II.1. GAMBARAN EKONOMI DUNIA (persen perubahan) 2004 2005 PERTUMBUHAN EKONOMI Dunia 5,3 4,8 Negara Maju 3,3 2,5 AS 3,9 3,2 MEE 2,0 1,4 Jepang 2,3 2,7 Negara Berkembang 7,7 7,3 Afrika 5,7 5,6 Eropah Timur 6,6 5,5 CIS 8,4 6,2 Asia 8,8 9,0 China 10,1 10,4 India 8,0 8,5 Timur Tengah 5,3 5,3 Amerika Latin 5,7 4,4 VOLUME PERDAGANGAN 10,6 7,4 Impor Negara Maju 9,1 6,1 Negara Berkembang 16,4 11,7 Ekspor Negara Maju 8,8 5,6 Negara Berkembang 14,7 11,3 HARGA Non-fuel 18,5 10,3 Laju Inflasi (%) Negara Maju 2,0 2,3 Negara Berkembang 5,6 5,4 Sumber: Draft WEO, IMF, April 2007 2006 5,3 3,1 3,4 2,6 2,1 7,7 5,4 5,6 6,9 9,3 10,5 9,0 5,8 5,0 9,2 7,4 14,7 8,2 10,6 28,5 2,4 5,3 2007 4,9 2,6 2,6 2,1 2,0 7,3 6,2 5,1 6,4 8,8 10,0 8,3 5,0 4,4 6,6 4,7 12,0 5,4 8,5-0,5 1,8 5,2 Volume perdagangan dunia pada tahun 2007 diperkirakan meningkat dengan kemungkinan harga komoditi nonmigas menurun. Pertumbuhan ekonomi dunia yang sedikit melambat, tetap mendorong permintaan terhadap komoditi-komoditi ekspor. Volume perdagangan dunia diperkirakan tumbuh 6,6 persen. Sementara itu, harga komoditi ekspor nonmigas diperkirakan menurun sekitar 0,5 persen. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh penyesuaian harga komoditi nonmigas yang meningkat tinggi selama empat tahun terakhir. Perkiraan harga komoditi non-migas oleh IMF dapat dilihat pada Boks II.1. Harga minyak dunia tetap sulit diperkirakan. Pada awal-awal tahun 2007, harga minyak mentah dunia turun di bawah USD 60/barel dengan berkurangnya permintaan minyak oleh AS. Dalam keseluruhan tahun 2007, harga minyak tetap sulit untuk diperkirakan secara pasti. Berbagai faktor memberikan indikasi bahwa harga minyak dunia pada tahun 2007 diperkirakan tetap tinggi tetapi tidak lebih dari keseluruhan tahun 2006. Beberapa faktor yang menahan peningkatan harga minyak mentah sebagai berikut. Pertama, pasokan minyak mentah tahun 2007 diperkirakan cukup untuk memenuhi kenaikan permintaan minyak mentah. Proyeksi terakhir yang dilakukan oleh International Energy Agency (Desember 2006) memperkirakan tambahan pasokan minyak mentah dari kelompok non-opec sebesar 1,7 juta barel/hari antara lain dari bekas negara Uni Soviet (0,4 juta barel/hari), Afrika (0,5 juta barel/hari), AS (0,2 juta barel/hari), dan Amerika Latin (0,3 juta barel/hari). Sementara itu total permintaan minyak mentah dunia diperkirakan meningkat 1,4 juta barel/hari. Di atas kertas, II 2

apabila pada tahun 2007, OPEC menggunakan basis produksi tahun 2005, secara fundamental harga minyak mentah dunia tidak meningkat. Kedua, faktor non-ekonomi yang meningkatkan harga minyak mentah dunia tahun 2006 diperkirakan berkurang dengan penyelesaian konflik militer Israel Lebanon dan upaya berlanjut mengenai penyelesaian program nuklir Iran. Boks II.1. PERKEMBANGAN HARGA KOMODITI NONMIGAS Komoditi non-migas meliputi komoditi pertambangan dan pertanian. Pada tahun 2006, harga komoditi pertambangan meningkat tajam yaitu sebesar 180 persen dalam harga riil tahun 2002; lebih tinggi dari kenaikan harga minyak mentah dunia (157 persen). Kenaikan harga komoditi pertambangan terutama didorong oleh permintaan yang tinggi terutama dari China. Dalam tahun 2002 2005, permintaan alumunium tumbuh 7,6 persen per tahun; lebih tinggi dari dasawarsa sebelumnya (3,8 persen). Perekonomian China menyumbang sekitar separuh dari kenaikan konsumsi alumunium, tembaga, dan baja dalam empat tahun terakhir ini. Dalam jangka menengah, harga alumunium dan tembaga diperkirakan menurun mengarah pada biaya produksinya. Saat ini harga beberapa komoditi pertambangan berada pada tingkat yang tidak berkelanjutan dengan harga sekitar 1,5 2,75 kali lipat dari biaya produksinya. Faktor lainnya yang diperkirakan berperan dalam penurunan harga metal adalah rendahnya spekulasi di pasar komoditi nonmigas. Respon harga komoditi pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi tidak sekuat komoditi pertambangan. Pertama, konsumsi komoditi pertanian meningkat lebih lambat dibandingkan komoditi pertambangan. Kedua, respon sisi produksi untuk komoditi pertanian lebih cepat dibandingkan dengan pertambangan. Kenaikan komoditi pertanian selama beberapa tahun terakhir ini lebih didorong oleh melemahnya nilai tukar dolar AS dan meningkatnya biaya produksi terutama yang terkait dengan harga minyak mentah. Dengan perkiraan tersebut, harga komoditi nonmigas pada tahun 2007 diperkirakan menurun sebesar 4,8 persen. Gambaran harga komoditi nonmigas ini perlu mendapat perhatian karena ikut berperan dalam meningkatkan surplus neraca transaksi berjalan selama beberapa tahun terakhir ini. Meskipun harga komoditi nonmigas dalam tahun 2007 tidak turun, peningkatan ekspor non-migas diperkirakan tidak sebesar tahun 2006. Resiko meningkatnya harga minyak mentah dunia tetap ada. Meningkatnya permintaan minyak mentah oleh China dan India lebih dari yang diperkirakan, spare capacity OPEC yang masih rendah dibandingkan awal-awal tahun 2000, kemungkinan timbulnya gejolak produksi negara-negara penghasil minyak mentah, serta memburuknya faktor non-ekonomi, berpotensi mendorong kembali harga minyak mentah dunia. 1 Permintaan dan pasokan minyak mentah dunia dapat dilihat Tabel II.2; sedangkan spare capacity serta konsumsi dan produksi minyak mentah AS, China, dan India dapat dilihat pada Grafik II.1 Grafik II.4. 2 1 Regresi time-series yang dilakukan oleh Direktorat Ekonomi Makro dengan data harian tahun 2005 dan 2006 mengindikasikan harga minyak mentah WTI pada tahun 2007 antara USD 60 67/barel. Dalam tahun 2003 2005, perbedaan antara harga spot minyak mentah WTI dengan harga ekspor minyak mentah Indonesia sekitar USD 2,1 2,9/barel. 2 Spare capacity adalah selisih antara kapasitas produksi maksimum (kapasitas produksi yang dapat ditingkatkan dalam 1 bulan dan berkelanjutan hingga 3 bulan) dengan produksi yang dihasilkan. II 3

Tabel II.2. PERMINTAAN DAN PASOKAN MINYAK DUNIA (juta barel/hari) 2003 2004 2005 PERMINTAAN 79,3 82,4 83,6 OECD 48,6 49,3 49,6 Amerika Utara 24,5 25,4 25,5 Eropah 15,4 15,5 15,5 Pasifik 8,6 8,5 8,6 NON-OECD 30,7 33,1 34,0 FSU 3,6 3,8 3,8 Eropah 0,7 0,7 0,7 China 5,5 6,4 6,6 Asia Lainnya 8,1 8,6 8,8 Amerika Latin 4,7 5,0 5,1 Timur Tengah 5,4 5,8 6,1 Afrika 2,7 2,8 2,9 PASOKAN 79,8 83,2 84,5 OECD 21,6 21,3 20,3 Amerika Utara 14,6 14,6 14,1 Eropa 6,3 6,1 5,6 Pasifik 0,7 0,6 0,6 NON-OECD 25,6 27,0 28,0 FSU 10,3 11,2 11,6 Eropah 0,2 0,2 0,2 China 3,4 3,5 3,6 Asia Lainnya 2,6 2,7 2,7 Amerika Latin 4,0 4,1 4,3 Timur Tengah 2,0 1,9 1,8 Afrika 3,0 3,4 3,7 Processing Gain 1,8 1,8 1,9 OPEC 30,8 33,1 34,2 Minyak Mentah 27,1 28,9 29,7 NGL 3,7 4,2 4,5 Sumber: International Energy Agency, Desember 2006 2006 84,5 49,4 25,4 15,5 8,5 35,1 4,0 0,7 7,0 8,9 5,2 6,5 2,9 84,4 20,1 14,3 5,2 0,6 28,8 12,1 0,1 3,7 2,7 4,4 1,7 4,0 1,9 33,6 28,9 4,7 2007 85,9 49,6 25,8 15,4 8,4 36,3 4,0 0,7 7,4 9,1 5,3 6,8 3,0 85,5 20,4 14,5 5,3 0,7 29,9 12,5 0,1 3,7 2,7 4,6 1,7 4,5 1,9 33,3 28,4 4,9 juta barel/hari 6 5 4 3 2 1 0 Grafik II.1. SPARE CAPACITY OPEC 2002 2003 2004 2005 2006**) Tidak Termasuk Irak Termasuk Irak Juta Barel/Hari Grafik II.2. KONSUMSI DAN PRODUKSI MINYAK MENTAH AS 22 20 18 16 14 12 10 8 1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 Konsumsi Produksi Juta Barel/Hari Grafik II.3. KONSUMSI PRODUKSI MINYAK MENTAH CHINA 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 Konsumsi Produksi Juta Barel/Hari 3 2 1 Grafik II.4. KONSUMSI PRODUKSI MINYAK MENTAH INDIA 0 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 Konsumsi Produksi II 4

Melebarnya kesenjangan global tetap berpotensi mendorong ketidakstabilan nilai tukar dan keuangan internasional. Meskipun telah dilakukan langkah bersama untuk mengurangi kesenjangan global antara lain dengan mendorong penyesuaian sistem nilai tukar mata uang Yuan dan beberapa negara emerging market lainnya serta pengurangan defisit anggaran AS [mohon dilihat Perekonomian Indonesia Tahun 2006: Prospek dan Kebijakan], potensi ketidakstabilan moneter dan keuangan internasional tetap ada. Pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari melebarnya kesenjangan global tercermin dari gejolak bursa saham dan nilai tukar mata uang yang terjadi pada pertengahan Mei hingga Juni 2006 serta melemahnya nilai tukar dolar AS pada bulan Desember 2006. Gejolak juga dapat bersumber dari upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa negara untuk mengurangi pengaruh yang tidak menguntungkan dari berlebihnya arus modal jangka pendek, sebagaimana yang dilakukan oleh Thailand pada tanggal 19 Desember 2006. Melebarnya kesenjangan global tetap berpotensi mengakibatkan ketidakstabilan moneter dan keuangan internasional dalam jangka menengah. Beberapa skenario kesenjangan global dalam jangka menengah dapat dilihat pada Boks II.2. Boks II.2. SKENARIO BERKURANGNYA KESENJANGAN GLOBAL Gambaran menyeluruh dari berkurangnya kesenjangan global disampaikan oleh IMF, World Economic Outlook, September 2006. Pertama, skenario tanpa kebijakan. Defisit neraca transaksi berjalan AS diperkirakan akan menurun menjadi 4 persen PDB pada tahun 2015 dengan meningkatnya tabungan masyarakat dan membaiknya ekspor AS yang didorong oleh melemahnya dolar AS. Negara-negara emerging Asia tetap sebagai kreditor. Kedua, skenario penyesuaian mendadak. Skenario ini terjadi apabila kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi AS menurun drastis sehingga meningkatkan premi resiko sangat tinggi. Nilai tukar mata uang dunia diperkirakan akan bergejolak luar biasa yang pada gilirannya akan mendorong inflasi dan menuntut bank sentral di berbagai negara untuk menerapkan kebijakan moneter yang sangat ketat. Pada skenario ini, perekonomian AS diperkirakan akan melambat menjadi 1 persen dan negara emerging Asia menjadi 4 persen. Ekonomi dunia diperkirakan akan mengalami resesi yang cukup panjang. Ketiga, skenario penguatan kebijakan. Dalam skenario ini, defisit neraca transaksi berjalan AS diperkirakan menurun menjadi 1 persen PDB pada tahun 2015 dengan penyesuaian yang lebih longgar terhadap sistem nilai tukar mata uang terutama pada negara-negara emerging Asia, penurunan defisit anggaran AS hingga menjadi seimbang pada tahun 2012, penyesuaian struktural pada perekonomian Jepang dan Masyarakat Ekonomi Eropah, serta peningkatan pengeluaran oleh negara-negara pengekspor minyak [mohon dilihat Perekonomian Indonesia Tahun 2006: Prospek dan Kebijakan]. B. SASARAN PEMBANGUNAN EKONOMI TAHUN 2007 Secara ringkas sasaran pembangunan ekonomi yang hendak dicapai pada tahun 2007 adalah terciptanya lapangan kerja yang luas dan berkurangnya jumlah penduduk miskin dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas ekonomi yang terjaga. Dalam kaitan itu, perekonomian diupayakan tumbuh 6,3 persen dengan laju inflasi terjaga II 5

sebesar 7,0 persen. Sasaran ini diperlukan untuk mengurangi jumlah pengangguran terbuka menjadi 9,9 persen pada tahun 2007. C. TANTANGAN POKOK Dengan kemajuan yang dicapai pada tahun 2006 serta lingkungan global yang tetap ketat, tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun 2007 adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sampai dengan triwulan III/2006, pertumbuhan ekonomi lebih didukung oleh ekspor neto; belum didorong oleh investasi dan daya beli masyarakat yang memadai. Prasyarat perekonomian tumbuh lebih dari 6 persen. Sejak krisis tahun 1997/98, pertumbuhan ekonomi belum pernah mencapai 6 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai pada tahun 2005 yaitu sebesar 5,6 persen. 3 Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, semua unsur permintaan agregat perlu tumbuh tinggi. Selain investasi harus tumbuh tinggi; daya beli masyarakat juga harus meningkat dengan memadai. Pola pertumbuhan ekonomi setelah krisis dapat dilihat pada Boks II.3. Boks II.3. POLA PERTUMBUHAN EKONOMI SETELAH KRISIS Setelah krisis tahun 1997/98, pola pertumbuhan ekonomi dicirikan sebagai berikut. Pertama, investasi yang masuk lebih didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi dan kurang bertumpu pada permintaan domestik. Pasca krisis, investasi meningkat pada tahun 2000, 2004, dan 2005 yaitu pada saat perekonomian dunia tumbuh tinggi. Pada tahun-tahun tersebut ekonomi dunia tumbuh berturut-turut 4,8 persen, 5,3 persen, dan 4,9 persen. Pada kurun waktu tersebut, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto meningkat masing-masing sebesar 16,7 persen, 14,6 persen, dan 9,9 persen. Pada tahun 2001, ekonomi dunia mengalami resesi pendek disebabkan oleh technology shock dan kemudian pulih dalam dua tahun berikutnya. Pada tahun 2001 2003, investasi hanya tumbuh rata-rata 3,9 persen per tahun. Kedua, investasi yang masuk tidak selalu diikuti dengan peningkatan konsumsi masyarakat. Kecuali pada tahun 2004, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh berturut-turut sebesar 1,6 persen dan 4,0 persen pada tahun 2000 dan 2005. Pada tahun 2004, semua unsur permintaan agregat tumbuh tinggi didorong oleh harapan masyarakat yang besar. Dalam tahun 2004, konsumsi masyarakat tumbuh 5,0 persen. Ekspektasi masyarakat yang tinggi tersebut selanjutnya mendorong impor barang meningkat tajam dan bersifat mengurang terhadap PDB. Pada tahun 2004, impor barang dan jasa meningkat 26,5 persen, hampir dua kali lipat dari peningkatan ekspor barang dan jasa yang naik 16,7 persen. Pola pertumbuhan ekonomi tahun 2000 2005 dapat dilihat pada Tabel II.3. Secara teori, konsumsi masyarakat akan meningkat cukup tinggi setelah ada kepastian peningkatan pendapatan yang berkelanjutan (secara agregat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan). Dalam persamaan secara sederhana dinyatakan sebagai C t = E t [Y t+i (I t+i )]. Dari persamaan tersebut dapat diartikan bahwa konsumsi masyarakat akan dipengaruhi oleh kepastian terhadap keberlanjutan pertumbuhan 3 Perekonomian tahun 2005 berpotensi tumbuh 6 persen apabila stabilitas ekonomi pada tahun 2005 dapat dikendalikan dengan baik. II 6

ekonomi dengan penggerak investasi (investment accelerator), tidak saja pada tahun yang bersangkutan, tetapi juga pada beberapa tahun selanjutnya. Tabel II.3. POLA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2000-2005 (persen perubahan) 2000 2001 2002 2003 2004 Konsumsi Rumah Tangga 1,6 3,5 3,8 3,9 5,0 Pengeluaran Pemerintah 6,5 7,6 13,0 10,0 4,0 Pembentukan Modal Tetap Bruto 16,7 6,5 4,7 0,6 14,6 Ekspor Barang dan Jasa 26,5 0,6-1,2 5,9 13,5 Impor Barang dan Jasa 25,9 4,2-4,2 1,6 27,1 PDB 4,9 3,6 4,5 4,8 5,1 Sumber: diolah dari BPS Pertumbuhan Tahun 2000 atas tahun dasar 1993; tahun 2001-04 atas tahun dasar 2000 2005 4,0 8,1 9,9 8,6 12,3 5,6 Sebagai gambaran, dalam tahun 1986 1996, perekonomian tumbuh rata-rata sekitar 7,8 persen per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh investasi yang tumbuh rata-rata 10,9 persen per tahun, konsumsi masyarakat meningkat rata-rata sekitar 8 persen per tahun. Konsumsi masyarakat meningkat dengan kecepatan yang sama dengan pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu tersebut. Satu-satunya upaya untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat cukup tinggi adalah dengan memperkuat kebijakan-kebijakan yang benar-benar mampu meyakinkan bahwa pertumbuhan yang digerakkan oleh investasi akan berkelanjutan. Dengan cara ini masyarakat akan meningkatkan konsumsinya saat ini karena yakin bahwa pendapatannya akan terus meningkat secara berkelanjutan. Tanpa dukungan investasi dan daya beli masyarakat, pola pertumbuhan ekonomi tahun 2006 sangat rentan terhadap gejolak eksternal dan tidak akan berkelanjutan. Dukungan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Grafik II.5. Pertumbuhan PMTB (%), y-o-y Grafik II.5. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN INVESTASI 20 15 10 5 0-5 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 PMTB PDB 7,5 6,5 5,5 4,5 3,5 2,5 Pertumbuhan PDB (%, y-o-y) Kedua, menjaga stabilitas ekonomi terutama nilai tukar rupiah serta harga barang dan jasa. Perkembangan ekonomi tahun 2006 menunjukkan bahwa gejolak keuangan global seperti yang terjadi di Turki dan Brasil pada bulan Mei 2006 serta di Thailand pada bulan Desember 2006 berpengaruh terhadap stabilitas keuangan dan moneter negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Potensi gejolak keuangan dan moneter internasional dapat timbul baik dari kesenjangan global yang makin melebar maupun dari pergerakan arus modal, terutama arus modal jangka pendek, yang makin cepat. II 7

Stabilitas harga terutama kebutuhan pokok tetap membutuhkan perhatian yang serius. Meskipun dalam tahun 2006, laju inflasi terkendali, harga beras meningkat cukup tinggi. Dalam tahun 2006, harga beras meningkat sebesar 31,3 persen dibandingkan tahun 2005. Tingginya harga beras dapat berpengaruh pada kehidupan masyarakat kurang mampu terutama masyarakat miskin. Ketiga, meningkatkan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja yang semakin luas dan mengurangi kemiskinan. Dengan jumlah pengangguran yang masih besar, kualitas pertumbuhan perlu ditingkatkan agar kegiatan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi lebih banyak jumlah penduduk miskin. Meskipun dalam periode November 2005 Agustus 2006 pengangguran terbuka menurun sekitar 1 juta orang, jumlah penganggur terbuka masih mencakup sebanyak 10,9 juta orang (10,3 persen angkatan kerja). Pengurangan penganggur terbuka tahun 2006 lebih didorong oleh melambatnya pertambahan angkatan kerja. Dalam tahun 2006, angkatan kerja hanya meningkat sekitar 530 ribu orang, jauh lebih kecil dari rata-rata tahun 2002 2005 yang bertambah sebanyak 1,7 juta per tahun. Dalam tahun 2007, tantangan untuk menciptakan lapangan kerja semakin besar dengan tambahan angkatan kerja baru dan dorongan kenaikan Upah Minimum Provinsi. Pertumbuhan ekonomi harus mencapai lebih dari 6 persen dengan kualitas yang lebih tinggi dalam menciptakan lapangan kerja program-program pembangunan yang lebih baik dalam mengurangi kemiskinan. D. LANGKAH POKOK YANG PERLU DITEMPUH Pertama, meningkatkan implementasi dari langkah-langkah perbaikan iklim investasi sebagaimana yang tercantum dalam Inpres No. 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Beberapa rencana tindak yang penting dan masih tertunda perlu diselesaikan atau dipastikan penyelesaiannya. Upaya untuk meningkatkan pemahaman pada pihak legislatif mengenai pentingnya aspek kepastian dalam investasi perlu ditingkatkan. Adapun rencana tindak yang berada dalam kewenangan pemerintah perlu segera diselesaikan. Kepastian ini akan memberi signal yang kuat bagi realisasi persetujuan investasi, terutama PMDN, yang tercatat cukup besar pada tahun 2006. Secara ringkas rincian minat investasi tersebut adalah sebagai berikut. Dalam tahun 2006, nilai rencana investasi yang disetujui dalam rangka PMDN mencapai Rp 162,8 triliun, atau 36,4 persen lebih besar dari periode tertinggi sebelum krisis (rencana investasi dalam rangka PMDN tertinggi pada tahun 1997 yaitu sebesar Rp 119,0 triliun). Sementara nilai rencana investasi dalam rangka PMA mencapai USD 15,6 miliar, atau 46,4 persen dari periode tertinggi sebelum krisis (rencana investasi dalam rangka PMA tertinggi pada tahun 1997 yaitu sebesar USD 33,7 miliar). Perkembangan rencana investasi tahun 1996 2006 dapat dilihat pada Grafik II.6. PMA (US$ miliar) 44 33 22 11 0 Grafik II.6. NILAI RENCANA INVESTASI 1996 1998 2000 2002 2004 2006 PMA PMDN 200 150 100 50 0 PMDN (Rp Triliun) II 8

Rencana investasi dalam rangka PMDN terbesar pada industri kertas, barang kertas, dan percetakan (Rp 82,5 triliun, 50,7 persen); industri kimia dasar, barang kimis, dan farmasi (Rp 24,3 triliun, 14,9 persen); dan industri makanan (Rp 13,8 triliun, 8,5 persen). Adapun dalam rangka PMA, rencana investasi terbesar pada industri logam, mesin, dan elektronik (USD 2,9 miliar, 18,6 persen); konstruksi (USD 2,1 miliar, 16,4 persen); dan industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi (USD 1,5 miliar, 9,8 persen). Daerah yang menarik minat investasi untuk PMDN adalah Kalimantan Timur (Rp 53,8 triliun, 33,1 persen); Kalimantan Barat (Rp 21,3 triliun, 13,1 persen); dan Riau (Rp 20,9 triliun, 12,8 persen). Adapun dalam rangka PMA, daerah yang menarik minat investasi terbesar adalah DKI Jakarta (USD 2,7 miliar, 17,1 persen); Riau (USD 1,8 miliar, 11,8 persen); serta Jawa Barat dan Kalimantan Selatan (masing-masing sebesar USD 1,6 miliar, 10,3 persen). Sinyal membaiknya investasi pada tahun 2007 juga terlihat dari meningkatnya kapasitas produksi. Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan kapasitas produksi mulai meningkat sejak triwulan IV/2006. Kapasitas produksi terpakai untuk usaha pertambangan dan industri pengolahan pada triwulan IV/2006 mencapai 81,9 persen dan 69,9 persen. Perkembangan kapasitas produksi terpakai dapat dilihat pada Grafik II.7. 76 Grafik II.7. KAPASITAS PRODUKSI TERPAKAI Persen (%) 72 68 64 60 2003:1 2003:3 2004:1 2004:3 2005:1 2005:3 2006:1 2006:3 Total Industri Pengolahan Beberapa catatan terkait dengan minat investasi yang tinggi adalah sebagai berikut. Pertama, investasi bersifat lebih volatile dibandingkan unsur permintaan agregat lainnya. Kedua, persetujuan investasi tahun-tahun sebelumnya tidak menunjukkan pola yang pasti bahwa persetujuan investasi yang tinggi akan terealisasi pada tahun berikutnya. Tahun pada saat investasi meningkat tinggi yaitu tahun 2000 dan 2004 tidak didahului oleh nilai persetujuan investasi yang besar pada tahun sebelumnya. Di sini kekuatan kebijakan sangat berperan dalam merealisasikan rencana investasi. Terkait dengan investasi di bidang infrastruktur, pada awal bulan November 2006, proyek-proyek yang siap untuk ditawarkan telah dipertajam menjadi 111 proyek senilai USD 16,7 miliar yang terdiri dari 10 model proyek dan 101 potensi proyek masingmasing senilai USD 4,5 miliar dan USD 12,2 miliar. Penawaran tersebut mencakup proyek jalan tol, air minum, pembangkit tenaga listrik, perpipaan gas, transportasi, dan telekomunikasi. Disamping upaya-upaya untuk membenahi permasalahan pokok yang masih menghambat (pembebasan lahan dan regulasi), pendekatan terhadap calon investor secara berlanjut perlu terus ditingkatkan dengan unit yang profesional pada masing-masing proyek. Upaya ini diperlukan untuk menjaga kesinambungan dari infrastructure summit yang telah dilakukan. II 9

Kedua, meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal dengan mempertajam kebijakan belanja negara. Penyerapan anggaran perlu diupayakan sedini mungkin. Belanja negara yang dimanfaatkan lebih awal dapat membantu mendorong daya beli masyarakat melalui kegiatan-kegiatan pembangunan yang dibiayai. Dorongan fiskal terhadap perekonomian juga perlu diberikan pada belanja daerah. Dengan semakin besarnya fungsi pelayanan kepada masyarakat yang diberikan kepada daerah, peranan daerah untuk mendorong kegiatan ekonomi semakin besar. Dalam tahun 2007, dana perimbangan daerah mencapai Rp 258,8 triliun, relatif sama dengan belanja pemerintah pusat di luar subsidi, pembayaran utang, dan bantuan sosial (Rp 265,9 triliun). Keselarasan antara APBN dan APBD sangat penting untuk meningkatkan efektivitas dari penggunaannya. Ketiga, meningkatkan penyaluran kredit perbankan. Penyaluran kredit perbankan ditingkatkan dengan mendorong fungsi intermediasi perbankan untuk memberi tekanan yang lebih besar pada kegiatan investasi dan produksi. Dengan penurunan suku bunga kredit yang masih berlanjut pada tahun 2007, penyaluran kredit perbankan termasuk kredit konsumsi diperkirakan akan meningkat. Pertumbuhan kredit perbankan perlu diupayakan meningkat lebih dari 20 persen pada tahun 2007. Meskipun kegiatan ekonomi masyarakat tidak sepenuhnya dibiayai oleh perbankan, peranan perbankan tetap besar dalam mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen pada tahun 2007 [catatan: Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun 2007 sebesar 18 persen]. Penyelesaian kredit bermasalah pada bank-bank yang mempunyai NPL besar penting untuk membantu bank yang bersangkutan dalam menyalurkan kembali kredit kepada masyarakat. Hubungan credit channel terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Boks II.4 berikut ini. Keempat, meningkatkan daya saing dan diversifikasi pasar komoditi ekspor. Upaya peningkatan daya saing perlu dilakukan untuk mengimbangi perlambatan ekonomi dunia terutama perekonomian Amerika Serikat. Peningkatan daya saing dilakukan dengan mengurangi berbagai kendala yang menghambat arus barang dan jasa, termasuk peraturan-peraturan daerah yang menghambat, serta dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan. Diversifikasi pasar komoditi ekspor diperluas dengan mencari pasar baru di luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai kawasan yang tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir. Kelima, meningkatkan ketahanan sektor keuangan. Dengan meningkatnya potensi ketidakstabilan moneter dan keuangan internasional, perhatian perlu diberikan pada penyusunan langkah-langkah penanganan terhadap berbagai kemungkinan gejolak yang timbul disamping penguatan sistem deteksi dini dan penguatan kelembagaan sektor keuangan. Prioritas untuk menjaga stabilitas ekonomi juga diberikan pada upaya untuk menangani secara mendasar kenaikan harga beras yang tinggi pada tahun 2006. Keenam, mendorong daerah-daerah yang merupakan kantong pengangguran dan kemiskinan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin baik melalui kebijakan investasi daerah maupun APBD. Sebagian besar pengangguran terbuka dan penduduk miskin berada di Jawa. Dari Sakernas Agustus 2006, sekitar 62,7 persen pengangguran terbuka berada di Jawa (termasuk DKI Jaya, DIY, dan Banten) dengan pengangguran terbuka terbesar di Jawa Barat (23,4 persen atau hampir seperempat dari total penganggur terbuka). Di luar Jawa, penganggur terbuka yang cukup besar terdapat di Sumatera Utara (sekitar 632 ribu). Selanjutnya dari Susenas 2004, sebanyak 52,1 persen penduduk miskin juga II 10

berada di Jawa dengan jumlah terbesar di Jawa Timur, disusul Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan dalam jangka menengah panjang diimbangi oleh pemerataan pembangunan dengan mendorong pembangunan di luar Jawa lebih cepat. Boks II.4. CREDIT CHANNEL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI Dengan lemahnya hubungan antara uang beredar dan pertumbuhan ekonomi, transmisi kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi lebih dilihat dari kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada masyarakat. Data tahun 1995 2005 menunjukkan pola yang sejalan antara pertumbuhan riil kredit yang disalurkan perbankan dengan pertumbuhan ekonomi sebagaimana Grafik II.8. Pertumb Kredit-Inflasi/PDB Deflato 40 16-8 -32-56 -80 Grafik II.8. PERTUMBUHAN KREDIT DAN PDB -15 1992 1994 1996 1998 2000 2002 10 5 0-5 -10 Pertumbuhan PDB (%) Kredit-Inflasi PDB Kredit-PDB Deflator Regresi sangat sederhana pertumbuhan PDB sebagai fungsi dari pertumbuhan kredit riil adalah sebagai berikut Δy/y = 3,18 + 0,1686 Δc/c dimana Δy/y dan Δc/c menyatakan pertumbuhan PDB dan pertumbuhan kredit secara riil. Apabila persamaan tersebut diterapkan untuk tahun 2005, dengan pertumbuhan kredit nominal tahun 2005 sebesar 24,6 persen dan laju inflasi ratarata setahun sebesar 10,4 persen didapatkan pertumbuhan ekonomi 5,57 persen; relatif sama dengan realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 sebesar 5,7 persen. Apabila pertumbuhan kredit perbankan tahun 2007 dapat ditingkatkan sebesar 23,0 persen, dengan laju inflasi sebesar 6,5 persen pada akhir tahun 2007, pertumbuhan ekonomi tahun 2007 diperkirakan sekitar 6 persen. Meskipun hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kredit riil cukup kuat, pembiayaan ekonomi, termasuk investasi, tidak sepenuhnya dibiayai oleh perbankan. Sebagian dibiayai dari PMA, sumber pembiayaan jangka pendek, APBN, dan sumber pembiayaan sendiri. Dengan tingginya rencana PMDN tahun 2006 diperkirakan permintaan terhadap kredit perbankan meningkat lebih dari 20 persen. Dorongan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi tahun 2007 diperoleh dari penajaman kebijakan fiskal baik dalam bentuk belanja pemerintah pusat dan daerah. Dalam keseluruhan tahun 2007, pertumbuhan ekonomi berpotensi mencapai 6,3 persen. II 11

E. PROYEKSI EKONOMI TAHUN 2007 1. PERTUMBUHAN EKONOMI Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sasaran pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen membutuhkan peningkatan semua unsur permintaan agregat termasuk daya beli masyarakat. Dengan memperhitungkan kekuatan kebijakan yang telah dan akan ditempuh, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 akan digerakkan oleh sumber-sumber pertumbuhan sebagai berikut. Investasi dan konsumsi masyarakat diupayakan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan didukung oleh pengeluaran pemerintah. Investasi berupa pembentukan modal tetap bruto baik untuk memenuhi permintaan ekspor maupun permintaan dalam negeri diperkirakan tumbuh sebesar 12,3 persen. Dengan meningkatnya investasi, impor barang dan jasa diperkirakan tumbuh 14,2 persen; lebih tinggi dari ekspor barang dan jasa yang secara riil meningkat 9,9 persen. Sementara itu, pengeluaran pemerintah tetap memberi dorongan bagi perekonomian dengan peningkatan sebesar 8,9 persen. Penyerapan dana lebih awal akan membantu peningkatan daya beli masyarakat melalui kegiatan-kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh belanja negara dan daerah. Dengan ekspektasi masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, konsumsi masyarakat diperkirakan meningkat sebesar 5,1 persen. Dari sisi produksi, sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,7 persen antara lain didorong oleh sub-sektor perkebunan dan perikanan. Adapun industri pengolahan nonmigas diperkirakan mampu tumbuh 7,9 persen didorong oleh perbaikan iklim investasi dan permintaan ekspor yang masih meningkat relatif tinggi. Adapun sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 6,8 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen pada tahun 2007 dan jumlah penduduk sekitar 224,9 juta orang, pendapatan riil per kapita dalam harga konstan tahun 2000 diperkirakan Rp 8,7 juta. Dengan nilai tukar rupiah sekitar Rp 9.300,- per USD, PDB per kapita pada tahun 2007 diperkirakan lebih dari USD 1.800. Gambaran ekonomi makro dan struktur ekonomi, serta proyeksi ekonomi tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel II.4, Tabel II.5, dan Grafik II.9. Tabel II.4. PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2007 (persen perubahan, y-o-y) 2005 2006 2007*) Tw. I*) Tw. II*) Tw. III*) Konsumsi Masyarakat 4,0 3,2 4,1 4,9 5,7 Konsumsi Pemerintah 6,6 9,6 10,3 5,6 12,7 PMTB 10,8 2,9 10,0 11,7 13,2 Ekspor Barang dan Jasa 16,4 9,2 8,4 9,5 10,4 Impor Barang dan Jasa 17,1 7,6 10,7 12,2 12,0 PDB 5,7 5,5 6,0 6,1 6,4 *) Proyeksi Tw. IV*) 5,5 7,8 14,2 11,2 21,5 6,6 Total 5,1 8,9 12,3 9,9 14,2 6,3 II 12

Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT (%) 10 8 6 4 2 Grafik II.9. PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI 2007 0 2002:1 2003:1 2004:1 2005:1 2006:1 2007:1 PMTB Konsumsi RT PDB 15 5-5 Pertumbuhan PMTB (%) 2. NERACA PEMBAYARAN Proyeksi neraca pembayaran didasarkan pada perkiraan-perkiraan sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat serta menurunnya harga komoditi nonmigas diperkirakan akan memperlambat peningkatan penerimaan ekspor. Kedua, meningkatnya investasi akan mendorong kebutuhan impor. Ketiga, nilai imbal beli rupiah diperkirakan masih tetap menarik bagi investasi portfolio disamping investasi langsung asing. Dengan perkiraan tersebut, surplus neraca transaksi berjalan pada tahun 2007 diperkirakan menurun menjadi USD 8,6 miliar, lebih rendah dibandingkan tahun 2006 (USD 9,6 miliar). Di sektor ekspor, penerimaan ekspor non-migas pada tahun 2007 diperkirakan meningkat sebesar 12,0 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2006 (20,7 persen). Di sektor impor, pengeluaran impor nonmigas pada tahun 2007 diperkirakan tumbuh 15,6 persen; lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 (7,1 persen). Sedangkan defisit pada sektor jasajasa diperkirakan tetap tinggi dengan meningkatnya arus ke luar jasa-jasa transportasi dan masih tingginya pembayaran bunga pendapatan. Surplus neraca modal dan finansial diperkirakan menurun menjadi USD 0,4 miliar dibandingkan tahun 2006 (USD 2,5 miliar). Penurunan ini terutama didorong oleh defisit arus modal lainnya terutama dalam bentuk aset swasta; sedangkan investasi langsung asing dan portfolio (neto) diperkirakan mengalami surplus berturut-turut sebesar USD 5,6 miliar dan USD 3,7 miliar. Dari gambaran neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial tersebut, neraca keseluruhan (overall balance) pada tahun 2007 diperkirakan mengalami surplus sebesar USD 9,0 miliar sehingga cadangan devisa diperkirakan meningkat menjadi USD 51,6 miliar. Perkiraan neraca pembayaran tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel II.6. 3. MONETER Sejak pertengahan tahun 2006, kebijakan moneter mulai dilonggarkan dengan tekanan inflasi yang menurun dan meredanya siklus pengetatan moneter di Amerika Serikat. Dalam tahun 2007 kebijakan moneter diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi serta menjaga stabilitas harga dan nilai tukar mata uang dari potensi gejolak moneter dan keuangan internasional yang dapat timbul pada tahun 2007. Dalam keseluruhan tahun 2007, nilai tukar rupiah diperkirakan stabil sekitar Rp 9.200 per USD. Dengan tidak adanya pengaruh pelemahan rupiah secara tajam II 13

terhadap inflasi serta memperhitungkan kenaikan harga kelompok bahan makanan pada awal-awal tahun 2007, laju inflasi pada keseluruhan tahun 2007 diperkirakan sekitar 7 persen. Peningkatan permintaan yang tinggi terhadap perekonomian diperkirakan tidak akan mendorong laju inflasi yang tinggi dengan adanya kapasitas produksi yang belum maksimal digunakan pada tahun 2006 dan perbaikan infrastruktur yang berpengaruh pada distribusi barang dan jasa. Dengan melunaknya tekanan inflasi dan kebijakan suku bunga Fed yang netral, BI rate masih mempunyai ruang untuk menurun secara bertahap dengan laju yang lebih lambat dibandingkan tahun 2006. Langkah yang lebih penting adalah mempercepat penurunan suku bunga kredit agar pengaruhnya lebih cepat dirasakan bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan daya beli masyarakat. 4. KEUANGAN NEGARA Kebijakan fiskal tahun 2007 tetap dilaksanakan untuk menjaga ketahanan fiskal dengan memberi stimulan terhadap perekonomian melalui penyelarasan APBN dan APBD. Secara ringkas, gambaran APBN Tahun 2007 adalah sebagai berikut. Penerimaan negara diupayakan meningkat menjadi Rp 720,4 triliun atau naik Rp 65,5 triliun dibandingkan APBN-P Tahun 2006. Peningkatan terutama bersumber dari penerimaan pajak yang diupayakan meningkat menjadi Rp 509,5 triliun atau naik Rp 84,4 triliun dibandingkan APBN-P Tahun 2006. Sasaran peningkatan pajak tahun 2007 cukup berat. Selain pertumbuhan ekonomi harus tumbuh tinggi, pencapaian sasaran ini membutuhkan efektivitas pengumpulan pajak yang lebih tinggi. Pengeluaran negara direncanakan meningkat menjadi Rp 763,6 triliun atau naik Rp 64,5 triliun dibandingkan APBN-P Tahun 2006. Peningkatan diberikan terutama kepada belanja daerah yang naik sebesar Rp 38,0 triliun; sedangkan belanja pemerintah pusat hanya meningkat Rp 26,5 triliun. Dengan besarnya dorongan ekspansi fiskal dalam bentuk belanja daerah, keselarasan program pembangunan di daerah dengan prioritas pembangunan nasional sangat penting. Program-program pembangunan di daerah perlu diupayakan untuk mendukung pencapaian program-program nasional. Secara keseluruhan kebijakan belanja negara harus kuat dan tajam agar penerimaan pajak yang digalakkan dapat diwujudkan pada kegiatan pembangunan yang memberi dampak lebih luas bagi masyarakat. Dengan rencana pada sisi penerimaan dan pengeluaran tersebut, defisit APBN dalam tahun 2007 diperkirakan sebesar Rp 40,5 triliun atau 1,1 persen PDB. Defisit tersebut akan dibiayai terutama melalui penerbitan surat utang negara (SUN) sebesar Rp 40,6 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 40,3 triliun dengan kewajiban pembayaran pokok utang luar negeri yaitu Rp 54,8 triliun. Rincian keuangan negara tahun 2005 2007 dapat dilihat pada Tabel II.7. 5. KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen pada tahun 2007 dibutuhkan investasi sebesar Rp 989,6 triliun. Sebagian besar dari kebutuhan investasi tersebut (Rp 862,2 triliun atau sekitar 87,1 persen dari total kebutuhan investasi) diupayakan berasal dari masyarakat, termasuk swasta; sedangkan sisanya berasal dari pemerintah. Kebutuhan investasi masyarakat tersebut akan dipenuhi dengan sumber pembiayaan antara lain dari perbankan; investasi langsung asing (termasuk saham); dana luar negeri lainnya; serta lainnya (modal sendiri, penyertaan saham, emisi saham/obligasi). Rincian kebutuhan investasi dan sumber pembiayaannya dapat dilihat pada Tabel II.8. II 14

F. KEMUNGKINAN PERTUMBUHAN EKONOMI LEBIH LAMBAT DARI 6,3 PERSEN Terdapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun 2007 lebih rendah dari 6,3 persen. Faktor-faktor yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi antara lain: (a) lambatnya pemulihan investasi dan daya beli masyarakat yang pada gilirannya akan mengurangi peningkatan permintaan domestik; (b) melambatnya perekonomian dunia lebih dalam dari yang diperkirakan (pertumbuhan ekonomi dunia menjadi kurang dari 4 persen) yang berpengaruh besar pada sisi eksternal ekonomi nasional; serta (c) meningkatnya gejolak moneter dan keuangan internasional yang menuntut kebijakan moneter baik luar maupun dalam negeri yang sangat ketat. Berbagai faktor di atas dapat mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah pada kisaran Rp 11.000 Rp 12.000 per USD, laju inflasi pada akhir tahun 2007 antara 9 11 persen, BI rate kembali di atas satu digit; serta pertumbuhan ekonomi dalam keseluruhan tahun 2007 melambat di bawah 6 persen menjadi sekitar 5,7 5,9 persen. II 15

Tabel II.5. GAMBARAN EKONOMI MAKRO DAN STRUKTUR EKONOMI Realisasi Proyeksi 2003 2004 2005 2006 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI (%) 4,8 5,0 5,7 5,5 6,3 PERTUMBUHAN PDB SISI PENGELUARAN (%) Konsumsi Masyarakat 3,9 5,0 4,0 3,2 5,1 Konsumsi Pemerintah 10,0 4,0 6,6 9,6 8,9 Investasi 0,6 14,7 10,8 2,9 12,3 Ekspor Barang dan Jasa 5,9 13,5 16,4 9,2 9,9 Impor Barang dan Jasa 1,6 26,7 17,1 7,6 14,2 PERTUMBUHAN PDB SISI PRODUKSI (%) Pertanian 3,8 2,8 2,7 3,0 2,7 Industri Pengolahan 5,3 6,4 4,6 4,6 7,2 Nonmigas 6,0 7,5 5,9 5,3 7,9 Pertambangan dan Penggalian -1,4-4,5 3,1 2,2 2,4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,9 5,3 6,3 5,9 6,2 Bangunan 6,1 7,5 7,4 9,0 9,4 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 5,4 5,7 8,4 6,1 7,0 Pengangkutan dan Telekomunikasi 12,2 13,4 13,0 13,6 13,8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Usaha 6,7 7,7 6,8 5,6 6,0 Jasa-jasa 4,4 5,4 5,0 6,2 4,5 DISTRIBUSI PDB (%) Pertanian 15,2 14,3 13,1 12,9 12,5 Industri Pengolahan 28,3 28,1 27,7 28,0 27,7 Nonmigas 24,4 24,0 22,7 22,8 23,1 Lainnya 56,6 57,6 59,2 59,1 59,8 LAJU INFLASI (%) 5,1 6,4 17,1 6,6 7,0 II 16

Tabel II.6. PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN (USD miliar) Realisasi Proyeksi 2004 2005 2006 2007 Ekspor 70,8 87,0 102,7 110,8 Migas 16,3 20,2 22,2 20,5 Nonmigas 54,5 66,8 80,6 90,2 (Pertumbuhan, %) 11,5 22,5 20,7 12,0 Impor -50,6-69,5-73,0-80,1 Migas -11,2-16,0-15,8-14,0 Nonmigas -39,5-53,4-57,2-66,2 (Pertumbuhan, %) 24,4 36,0 7,1 15,6 Jasa-jasa -18,6-17,3-20,1-22,1 Pembayaran Bunga Pinjaman Pemerintah -2,8-2,7-2,6-2,1 Neraca Transaksi Berjalan 1,6 0,3 9,6 8,6 Neraca Modal dan Finansial 1,9 0,3 2,5 0,4 Neraca Modal 0,0 0,3 0,3 0,4 Neraca Finansial 1,9-0,0 2,1 0,1 Investasi Langsung -1,5 5,3 4,1 5,6 Arus Masuk 1,9 8,3 7,5 9,1 Arus Keluar -3,4-3,1-3,5-3,6 Portfolio 4,4 4,4 3,8 3,7 Aset Swasta 0,4-1,1-1,9-2,0 Liabilities 4,1 5,3 5,7 5,7 Pemerintah dan BI 2,3 4,8 4,5 2,8 Swasta 1,8 0,4 1,3 3,0 Lainnya -1,0-9,5-5,8-9,3 Aset Swasta 1,0-8,6-3,6-8,2 Liabilities -2,0-0,8-2,2-1,1 Pemerintah dan BI -2,7-0,8-2,5-1,7 Swasta 0,7 0,0 0,3 0,6 To t a l 3,4 0,6 12,1 9,0 Selisih Perhitungan -3,1 0,2 3,0 0,0 Neraca Keseluruhan 0,3 0,4 15,0 9,0 Cadangan Devisa 36,3 34,7 42,6 51,6 (persentase terhadap PDB) 0,6 0,1 2,6 2,1 Memorandum Item Exceptional Financing -1,0 1,7-7,6 0,0 IMF Neto -1,0-1,1-7,6 0,0 Penjadwalan Hutang 0,0 2,7 0,0 0,0 II 17

Tabel II.7. KEUANGAN NEGARA APBN 2005 1) APBN-P 2006 APBN 2007 Rp Triliun % PDB Rp Triliun % PDB 2) Rp Triliun %PDB 3) I. PENERIMAAAN NEGARA DAN HIBAH 495,0 18,1 659,1 21,1 723,1 20,5 A. Penerimaan Negara 493,7 18,1 654,9 21,0 720,4 20,4 1. Penerimaan Pajak 346,8 12,7 425,1 13,6 509,5 14,4 a. Pajak Penghasilan 175,4 6,4 213,7 6,9 261,7 7,4 b. Pajak Pertambahan Nilai 101,3 3,7 132,9 4,3 161,0 4,6 c. Lainnya 70,1 2,6 78,5 2,5 86,7 2,5 2. Penerimaan Bukan Pajak 146,9 5,4 229,8 7,4 210,9 6,0 a. SDA 110,6 4,1 165,7 5,3 146,3 4,1 - Migas 103,7 3,8 159,8 5,1 139,9 4,0 - Bukan Migas 6,9 0,3 5,9 0,2 6,4 0,2 b. Lainnya 36,2 1,3 64,1 2,1 64,7 1,8 B. Hibah 1,3 0,0 4,2 0,1 2,7 0,1 II. PENGELUARAN NEGARA 507,4 18,6 699,1 22,4 763,6 21,6 A. Belanja Pemerintah Pusat 356,9 13,1 478,3 15,3 504,8 14,3 1. Belanja Pegawai 55,9 2,0 79,1 2,5 98,5 2,8 2. Belanja Barang 30,6 1,1 56,0 1,8 71,9 2,0 3. Belanja Modal 36,9 1,4 69,8 2,2 76,8 2,2 4. Pembayaran Utang 57,6 2,1 82,5 2,6 85,1 2,4 5. Subsidi 120,7 4,4 107,6 3,5 102,9 2,9 6. Belanja Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7. Belanja sosial 24,3 0,9 41,0 1,3 50,7 1,4 8. Belanja lain-lain 30,8 1,1 42,3 1,4 18,8 1,4 B. Belanja Daerah 150,5 5,5 220,8 7,1 258,8 7,3 1. Dana perimbangan 143,3 5,2 216,8 7,0 250,3 7,1 a. Dana Bagi Hasil 49,8 1,8 59,6 1,9 68,5 1,9 b. Dana Alokasi Umum 88,7 3,3 145,7 4,7 164,8 4,7 c. Dana Alokasi Khusus 4,7 0,2 11,6 0,4 17,1 0,5 2. Dana Khusus dan Penyeimbang 7,2 0,3 4,0 0,1 8,5 0,2 III. KESEIMBANGAN PRIMER 45,2 1,7 42,5 1,4 44,6 1,3 IV. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN -12,4-0,5-40,0-1,3-40,5-1,1 V. PEMBIAYAAN 12,4 0,5 40,0 1,3 40,5 1,1 A. Pembiayaan Dalam Negeri 23,7 0,9 55,3 1,8 55,1 1,6 1. Perbankan -0,3 0,0 17,9 0,6 13,0 0,4 2. Non Perbankan 23,9 0,9 37,4 1,2 42,1 1,2 a. Privatisasi 6,6 0,2 1,0 0,0 2,0 0,1 b. Penjualan Aset Restrukturisasi 0,0 0,0 2,6 0,1 1,5 0,0 c. Surat Utang Negara 22,6 0,8 35,8 1,1 40,6 1,1 d. Penyertaan Modal Pemerintah -5,2-0,2 2,0-0,1-2,0-0,1 B. Pembiayaan Luar Negeri -11,3-0,4-15,3-0,5-14,5-0,4 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri 25,9 0,9 37,6 1,2 40,3 1,1 a. Pinjaman Program 12,3 0,4 12,0 0,4 16,3 0,5 b. Pinjaman Proyek 13,6 0,5 25,5 0,8 24,0 0,7 2. Pembayaran Pokok -37,1-1,4-52,8-1,7-54,8-1,6 Keterangan: 1) realisasi per 31 Desember; 2) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 3.119 triliun; 3) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 3.531 triliun II 18

Tabel II.8. KEBUTUHAN DAN SUMBER PEMBIAYAAN INVESTASI (Rp Triliun) Realisasi Proyeksi 2004 2005 2006 2007 KEBUTUHAN INVESTASI 464,6 654,8 796,8 989,6 % PDB 24,1 24,6 21,0 26,1 SUMBER PEMBIAYAAN INVESTASI 464,4 654,8 796,8 989,6 1. Pemerintah 83,2 78,6 110,7 127,4 % Total Investasi 17,9 12,0 13,9 12,9 2. Masyarakat 381,4 576,2 686,1 862,2 % Total Investasi 82,1 88,0 86,1 87,1 Perbankan 115,6 136,1 97,5 170,9 PMA (termasuk saham) 102,7 141,8 131,8 145,3 Dana Luar Negeri Lainnya 68,3 173,8 196,8 239,5 Lain-lain 94,8 124,5 260,0 306,5 II 19