BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2006

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2006"

Transkripsi

1 BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 26 Prospek ekonomi tahun 26 diperkirakan lebih baik dari tahun 25 meskipun tekanan eksternal masih cukup berat berupa harga minyak dunia yang diperkirakan masih tinggi dan siklus pengetatan moneter di AS yang masih berlanjut. Stabilitas ekonomi diperkirakan akan membaik dengan nilai tukar yang relatif stabil, laju inflasi yang terkendali, serta suku bunga yang menurun. Pertumbuhan ekonomi diupayakan mencapai 6,1 persen dalam tahun 26 dengan mendorong pertumbuhan ekonomi sejak awal tahun 26 melalui pemanfaatan pengeluaran pemerintah sejak awal tahun 26 serta peningkatan investasi dan penguatan daya beli masyarakat. Penguatan daya beli masyarakat dan peningkatan investasi yang lambat dapat menghambat pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi menjadi sekitar 5,7 persen. A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK Meskipun pertumbuhan ekonomi tahun 25 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 24, tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun 26 masih besar. Pertama adalah meningkatkan stabilitas ekonomi terutama dalam menjaga stabilitas harga dan nilai tukar rupiah. Tantangan ini cukup berat dengan masih besarnya tekanan eksternal terutama harga minyak dunia yang diperkirakan masih tinggi dan kemungkinan berlanjutnya siklus pengetatan moneter di negara-negara maju yang diperkirakan masih berlangsung paling tidak sampai dengan semester I/26. Sementara itu ekspektasi masyarakat terhadap inflasi masih tinggi berkaitan dengan rencana penyesuaian harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah (administered price) serta kenaikan gaji dan upah yang diberlakukan awal tahun 26. Kedua adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sejak triwulan I/25 hingga triwulan III/25, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat. Perlambatan ini antara lain disebabkan oleh permintaan domestik yang melemah, tercermin dari menurunnya kepercayaan konsumen, terbatasnya ekspansi fiskal, dan meningkatnya suku bunga di dalam negeri. Tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong permintaan domestik, perlambatan ekonomi dapat berlanjut. Survai yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan keyakinan konsumen yang cenderung melemah. Sampai bulan November 25, indeks keyakinan konsumen yang dikumpulkan oleh BI hanya mencapai 8,3. Indeks di bawah 1 menunjukkan pesimisme responden dilihat dari tingkat harapannya saat ini dan mendatang. II 1

2 Minat investasi, yang tercermin dari nilai persetujuan PMDN dan PMA belum menunjukkan kenaikan pada tingkat yang memadai. Dalam tahun 25, nilai persetujuan PMDN dan PMA meningkat sebesar 14,7 persen dan 3,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun 24. Meskipun meningkat, secara nominal tingkatnya masih lebih rendah dibandingkan nilai persetujuan investasi tahun 2 dan 21. Lebih lanjut, indeks tendensi bisnis yang dikumpulkan oleh BPS juga menunjukkan kecenderungan yang menurun. Untuk triwulan IV/25, indeks tendensi bisnis mencapai 98,6, turun dibandingkan triwulan III/25 (15,7). Seperti indeks keyakinan konsumen, indeks tendensi bisnis di bawah 1 menunjukkan pesimisme pelaku usaha. Dalam tiga triwulan pertama tahun 25, pengeluaran pemerintah dalam pendapatan nasional secara riil hanya meningkat sebesar,6 persen. Sejak triwulan III/24, pengeluaran pemerintah bersifat mengurang terhadap pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan terbesar pada triwulan I dan II/25. Sumbangan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sejak triwulan I/23 dapat dilihat pada Grafik II.1. 8 Grafik II.1. SUMBANGAN PENGELUARAN PEMERINTAH % :1 23:3 24:1 24:3 25:1 25:3 Pertumbuhan Ekonomi Andil Pengeluaran Pemerintah Disamping permintaan domestik yang melemah pada tahun 25, perekonomian nasional dalam tahun 26 juga dihadapkan pada permintaan eksternal yang relatif stagnan. Dalam tahun 26, perekonomian dunia diperkirakan hanya tumbuh 4,3 persen. Meskipun tingkat pertumbuhan ini relatif sama dengan tahun 25; namun lebih rendah dibandingkan tahun 24 (5,1 persen). Selanjutnya harga komoditi ekspor non-migas pada tahun 26 juga diperkirakan menurun. Ketiga adalah meningkatkan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja yang semakin luas dan mengurangi kemiskinan. Dengan jumlah pengangguran yang semakin bertambah, kualitas pertumbuhan perlu ditingkatkan agar kegiatan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi lebih banyak jumlah penduduk miskin. II 2

3 Dalam tahun 24, jumlah pengangguran terbuka mencapai 1,3 juta orang (9,9 persen dari total angkatan kerja). Pada bulan Februari 25, jumlah pengangguran terbuka meningkat menjadi 1,9 juta orang (1,3 persen) dan pada bulan Oktober 25 diperkirakan meningkat lagi menjadi 11,6 juta orang (1,8 persen) antara lain karena pengaruh kenaikan BBM. Sejak krisis, kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja masih rendah. Dalam tahun 2 24, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya hanya mampu menciptakan lapangan kerja rata-rata bagi sekitar 215 ribu orang; sedangkan dalam tahun 1994 untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu diciptakan lapangan kerja bagi sekitar 375 ribu orang. Dalam tahun 26, tantangan untuk menciptakan lapangan kerja semakin besar dengan tambahan angkatan kerja baru dan dorongan kenaikan Upah Minimum Provinsi akibat dari kenaikan harga BBM di dalam negeri. Dengan tambahan angkatan kerja baru rata-rata sekitar 2 juta orang per tahun, pertumbuhan ekonomi harus mencapai lebih dari 6 persen dengan kualitas yang lebih tinggi dalam menciptakan lapangan kerja. Kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja dapat dilihat pada Grafik II.2. Ribu Orang/1% Pertumbuhan Ekonomi Grafik II.2. PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA Per 1% Pertumbuhan Ekonomi Dalam pada itu, meskipun menunjukkan kecenderungan menurun dibandingkan saat terjadinya krisis, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 24 masih berjumlah sekitar 36,1 juta jiwa (16,7 persen). Pada bulan Februari 25, jumlah penduduk miskin menurun menjadi 35,1 juta jiwa (16, persen). Dengan bertambahnya pengangguran terbuka dan meningkatnya laju inflasi pada tahun 25, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan masih cukup besar. Perkembangan jumlah penduduk miskin tahun dapat dilihat pada Grafik II.3. Upah riil buruh tani sebagai salah satu indikator kemiskinan juga menunjukkan perkembangan yang relatif stagnan. Pada akhir September 25, upah riil buruh tani hanya meningkat 1,7 persen dibandingkan akhir tahun 24. Upah riil buruh tani Jawa menurun sebesar,3 persen, sedangkan di luar Jawa meningkat sebesar II 3

4 4,7 persen. Perkembangan perkembangan upah riil buruh tani sejak Januari 24 dapat dilihat pada Grafik II.4. Penduduk Miskin (juta orang) Penduduk Miskin Grafik II.3. PENDUDUK MISKIN % Penduduk Miskin % Penduduk Miskin Indeks (1996:1 = 1) Grafik II.4. INDEKS UPAH RIIL BURUH TANI 11 Jan'4 Mar Mei Jul Sep Nov Jan'5 Mar Mei Jul Sep Jawa Luar Jawa Nasional Untuk menghadapi tantangan-tantangan pokok tersebut di atas perlu ditempuh strategi pokok sebagai berikut. Pertama, memperbaiki stabilitas ekonomi dengan meningkatkan koordinasi dan efektivitas kebijakan fiskal dan moneter. Kedua, memperkuat peranan permintaan domestik secara seimbang untuk mendorong perekonomian dengan kemungkinan melambatnya permintaan eksternal. Dengan kebijakan moneter yang diperkirakan masih ketat sampai pertengahan tahun 26, kebijakan fiskal perlu memberi dorongan kepada perekonomian sejak awal tahun 26. Ketiga, mengurangi secara cepat ekonomi biaya tinggi untuk mendorong investasi dan meningkatkan daya saing ekspor non-migas. Strategi pokok tersebut dijabarkan dalam upaya-upaya sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi ditingkatkan terutama untuk menurunkan laju inflasi secara bertahap dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam kaitan itu, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter perlu ditingkatkan. Koordinasi dilakukan untuk mengendalikan likuiditas perekonomian dengan memperhatikan timing dari implementasi kebijakan fiskal dan moneter serta pengaruhnya terhadap perekonomian secara menyeluruh. Dengan ekspektasi terhadap inflasi yang masih tinggi pada triwulan I dan II/26 serta kemungkinan berlanjutnya siklus pengetatan moneter oleh negara-negara maju, kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan suku bunga yang II 4

5 secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap rupiah serta menjaga tekanan inflasi. Kedua, pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 26 perlu didorong oleh kebijakan fiskal. Meskipun kebijakan fiskal pada tahun 26 tetap diarahkan untuk mengurangi defisit anggaran sebesar,7 persen PDB, pengaruh peluncuran dana pada awal tahun 26 dapat memberi dorongan bagi kegiatan ekonomi dan pada gilirannya akan memberi pengaruh pada peningkatan daya beli masyarakat. Dengan tekanan inflasi yang masih besar pada awal tahun 26, rencana untuk mengucurkan dana APBN dalam triwulan I/26 perlu diarahkan pada kegiatankegiatan pembangunan yang tidak bersifat inflatoir. Dorongan fiskal terhadap perekonomian juga perlu diberikan pada belanja daerah dengan semakin besarnya fungsi pelayanan kepada masyarakat yang diberikan kepada daerah. Dalam kaitan itu, keselarasan antara APBN dan APBD sangat penting untuk meningkatkan efektivitas dari penggunaannya. Ketiga, iklim investasi perlu segera ditingkatkan agar mampu menarik penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai faktor pokok yang selama ini menghambat investasi antara lain prosedur perijinan yang panjang dan lama, ketidakpastian hukum, tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta antar sektor, iklim ketenagakerjaan yang belum kondusif bagi penciptaan iklim usaha yang sehat, administrasi perpajakan dan kepabeanan yang berbelit, serta dukungan infrastruktur yang kurang memadai perlu ditangani dengan segera. Pembenahan sektor riil ini semakin penting dengan semakin ketatnya persaingan antar negara untuk menarik investasi. Tantangan eksternal untuk menarik investasi dapat dilihat pada Boks II.1. BOKS II.1. TANTANGAN EKSTERNAL MENARIK INVESTASI Tantangan eksternal untuk menarik investasi ke Indonesia dalam tahun 26 dan tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat. Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) dunia menurun sejak tahun 2 dan stagnan sejak tahun 23. Meskipun perekonomian dunia tahun 24 membaik setelah mengalami resesi tahun 21, arus masuk penanaman modal asing (PMA) dunia pada tahun 24 masih 53,4 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2. Beberapa faktor yang mengakibatkan penurunan tersebut antara lain meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa aman dalam kegiatan penanaman modal. Kedua, meskipun arus masuk PMA ke negara berkembang dan Asia meningkat terutama pada tahun 24, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu. RRC diperkirakan tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia dalam tahun-tahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar II 5

6 dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja yang memadai. Arus masuk PMA ke RRC pada tahun 24 meningkat menjadi US$ 6,6 miliar atau naik sekitar 13,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dibandingkan arus masuk PMA ke Asia tahun 24 sebesar US$ 147,6 miliar, arus masuk ke RRC tersebut mencapai lebih dari 4 persen. Selain ke RRC, peningkatan arus masuk PMA juga terjadi di Korea Selatan yang naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 23 menjadi US$ 7,8 miliar pada tahun 24; Malaysia yang naik dari US$ 2,5 miliar menjadi US$ 4,6 miliar; serta Vietnam yang naik dari US$ 1,5 miliar menjadi US$ 1,6 miliar pada periode yang sama. Pada tahun 24 Indonesia mengalami arus masuk PMA (neto) sebesar US$ 1, miliar setelah mengalami net-outflow sejak tahun 1998 kecuali pada tahun 22. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan eksternal untuk mendorong investasi tahun 26 dan tahun-tahun mendatang bertambah berat dengan kecenderungan global arus masuk PMA yang menurun serta tingginya daya tarik RRC dan persaingan di kawasan regional dalam menarik PMA. Arus masuk PMA pada beberapa kawasan dunia dan beberapa negara di Asia dapat dilihat pada Tabel II.1. Tabel II.1. ARUS PENANAMAN MODAL ASING (US$ Miliar) Rt Dunia 31,9 69,9 186,8 1388, 817,6 Negara Maju 18,8 472,5 828,4 118, 571,5 Negara Berkembang 118,6 194,1 231,9 252,5 219,7 Afrika 5,9 9,1 11,6 8,7 19,6 Amerika Latin 38,2 82,5 17,4 97,5 88,1 Asia 74,1 12,2 112,6 146,1 111,9 RRC 32,8 45,5 4,3 4,7 46,9 Hongkong 7,8 14,8 24,6 61,9 23,8 Singapura 8,3 7,7 16,1 17,2 15, India 1,7 2,6 2,2 2,4 3,4 Korea Selatan 1,2 5, 9,4 8,6 3,7 Malaysia 5,8 2,7 3,9 3,8,6 Thailand 2,3 7,5 6,1 3,4 3,8 Vietnam 1,6 1,7 1,5 1,3 1,3 Indonesia 3,5 -,2-1,9-4,6-3, Sumber: UNCTAD, World Investment Report, ,1 547,8 155,5 13, 5,5 92, 52,7 9,7 5,8 3,4 3, 3,2,9 1,2, ,6 442,2 166,3 18, 46,9 11,3 53,5 13,6 9,3 4,3 3,8 2,5 2, 1,5 -, ,1 38, 233,2 18,1 67,5 147,5 6,6 34, 16,1 5,3 7,7 4,6 1,1 1,6 1, Dari Tabel II.1 dapat dilihat bahwa daya tarik investasi di Indonesia sebelum krisis ( ) dilihat dari arus masuk PMA, lebih baik dibandingkan Thailand. Namun dalam masa krisis dan setelah krisis daya tarik investasi Indonesia menurun, bahkan di bawah Vietnam. Dalam upaya untuk meningkatkan iklim investasi, pada rencana pembangunan tahun 26, prosedur perijinan investasi diupayakan untuk diperpendek dari 151 hari menjadi sekitar 3 hari. Dengan waktu selama 151 hari tersebut, prosedur perijinan investasi di Indonesia tercatat terlama kedua di Asia. Selain membutuhkan II 6

7 biaya yang tinggi, prosedur perijinan yang lama mengakibatkan dunia usaha tidak dapat secara cepat memanfaatkan peluang yang ada. Dengan diperpendek menjadi 3 hari, prosedur perijinan di Indonesia diperkirakan mampu bersaing dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing membutuhkan waktu selama 32 hari dan 33 hari. Selain memperpendek prosedur perijinan, perhatian perlu diberikan pada upaya mengurangi biaya perijinan dalam rangka mendorong usaha kecil dan menengah. Rincian prosedur perijinan investasi di Indonesia dan perbandingan prosedur perijinan investasi di Asia dapat dilihat pada Tabel II.2 dan Boks II.2. TABEL II.2. PROSEDUR MEMULAI USAHA DI INDONESIA Prosedur Waktu (hari) Biaya (Rp) 1. Mendapatkan nama perusahaan dari 7 5. Departemen Hukum 2. Menandatangani nota pendirian usaha di notaris Mendapatkan ijin domisili dari Lurah 1 Scr resmi tidak dipungut 4. Mendapatkan NPWP 14 Tidak ada 5. Menempatkan modal awal ke bank 4 Tidak ada 6. Membayar PNBP untuk pelayanan hukum Mendaftarkan ke Departemen Hukum untuk persetujuan pendirian perusahaan 8. Mendapatkan nomor registrasi perusahaan pada Departemen Perdagangan (PMA); Rp 15. (PMDN dan bukan PMA/PMDN) 9. Mengurus pada asosiasi untuk dipublikasi pada daftar perusahaan 1 Mendapatkan SIUP Mendaftarkan pada Departemen 1 Secara resmi tidak Ketenagakerjaan dipungut 12. Mendaftar program Jamsostek 1 Tidak ada Jumlah Sumber: FIAS (25) BOKS II.2. PROSEDUR PERIJINAN DAN BIAYA MEMULAI USAHA Biaya untuk memperoleh izin usaha/investasi di Indonesia tergolong tinggi tercermin dari prosedur yang lebih banyak, waktu yang lebih lama, dan biaya yang relatif tinggi. Untuk mendapatkan izin usaha di Indonesia dibutuhkan 12 prosedur, waktu 151 hari, dan biaya 126 persen pendapatan per kapita. Sementara itu, negara Asia lainnya seperti Malaysia hanya membutuhkan 9 prosedur, waktu 32 hari, tanpa biaya; Cina 12 prosedur, waktu 41 hari, biaya 15 persen pendapatan per kapita; Filipina 11 prosedur, waktu 5 hari, biaya 2 persen pendapatan perkapita; dan Thailand 8 prosedur, waktu 33 hari, biaya 7 persen pendapatan per kapita. Waktu dan biaya (baik dalam persentase terhadap pendapatan per kapita maupun dalam USD dapat dilihat pada Grafik II.5 II.7. II 7

8 Laos Indonesia Kamboja India Arab Saudi Yaman Bhutan Vietnam Papua Nugini Uni Emirat Arab Sri Lanka Filipina Iran Taiwan Syria Lebanon Cina Bangladesh Kuwait Israel Oman Thailand Malaysia Pakistan Korea Nepal Mongolia Hongkong Singapura Grafik II.5. WAKTU UNTUK MEMULAI USAHA Hari Kamboja Yaman Lebanon Indonesia Bangladesh Nepal Arab Saudi India Pakistan Syria Papua Nugini Vietnam Uni Emirat Arab Malaysia Filipina Laos Korea Cina Bhutan Sri Lanka Mongolia Iran Thailand Taiwan Israel Oman Hongkong Kuwait Singapura Grafik II.6. BIAYA UNTUK MEMULAI USAHA (dalam % pendapatan per kapita] Arab Saudi Uni Emirat Arab Lebanon Korea Kamboja Yaman Indonesia Malaysia Israel Hongkong Taiwan Syria Kuwait Oman Bangladesh India Singapura Filipina Nepal Pakistan Cina Papua Nugini Thailand Vietnam Iran Sri Lanka Bhutan Laos Mongolia Grafik II.7. BIAYA UNTUK MEMULAI USAHA Dolar AS Salah satu faktor yang menghambat bagi berkembangnya iklim investasi adalah banyaknya peraturan-peraturan daerah yang mengakibatkan iklim usaha tidak sehat. Hambatan peraturan daerah terhadap investasi dapat dilihat pada Boks II.3. BOKS II.3. PERATURAN DAERAH (PERDA) DIRASAKAN MENGHAMBAT INVESTASI Timbulnya peraturan daerah (perda) yang mengganggu investasi antara lain disebabkan oleh keinginan daerah untuk segera meningkatkan PAD yang selama ini hanya sekitar 1 3 persen APBD. Keinginan yang didorong oleh perspektif jangka pendek (myopic) ini mengakibatkan timbulnya berbagai pungutan di daerah yang berdampak buruk pada kegiatan ekonomi. II 8

9 Dari survai yang dilakukan oleh KPPOD (23), hanya sekitar 14,8 persen perda secara umum tidak bermasalah. Selebihnya bermasalah dengan bobot tertinggi pada kejelasan standar waktu, biaya, prosedur, dan struktur tarif (22,7 persen); acuan yuridis (15,7 persen); serta dampak yang negatif terhadap ekonomi (9,2 persen). Secara rinci statistik peraturan daerah bermasalah yang dilakukan oleh KPPOD dapat dilihat pada Tabel II.3. Tabel II.3. STATISTIK PERATURAN DAERAH (PERDA) BERMASALAH KPPOD Jenis Pelanggaran/Masalah Jumlah Persentase Secara Umum Tidak Bermasalah ,8 Relevansi Yuridis 3 2,9 Up to date Acuan Yuridis ,7 Kelengkapan Yuridis 58 5,6 Diskoneksi Tujuan dan Isi (Konsistensi Pasal) 32 3,1 Kejelasan Obyek 76 7,4 Kejelasan Subyek 5,5 Kejelasan Hak dan Kewajiban Wajib Pungut 81 7,9 Kejelasan Standar Waktu, Biaya, Prosedur, Struktur Tarif ,7 Kesesuaian Filosofi dan Prinsip Pungutan 46 4,5 Keutuhan Wilayah Ekonomi Nasional & Prinsip Free Internal Trade 24 2,3 Persaingan Sehat 9,9 Dampak Ekonomi Negatif 95 9,2 Menghalangi Akses Masyarakat, Perlindungan Lingkungan Hidup 11 1,1 Pelanggaran Kewenangan Pemerintahan 15 1,5 Jumlah Peraturan Daerah 13 1, Sumber: KPPOD, 23 Dari yang diterima oleh pemerintah, jenis perda yang paling banyak dikeluarkan oleh daerah berupa retribusi. Komposisi perda yang dikeluarkan oleh daerah dapat dilihat pada Tabel II.4. Tabel II.4. JUMLAH PERDA YG DITERIMA PEMERINTAH SAMPAI DENGAN JUNI 24 No Jenis Peraturan Daerah Jumlah Persentase 1 Pajak Daerah ,2 2 Retribusi Daerah ,8 3 Sumbangan Pihak Ketiga 21,6 4 Badan Usaha Milik Daerah 25,7 5 PAD lain-lain 7,2 6 Pencabutan Perda 15,4 7 Lain-lain 1 3, Jumlah Perda Diterima , Jumlah Perda yang Direkomendasikan Menkeu kepada Mendagri untuk Dibatalkan 293 8,6 Jumlah Perda yang Dibatalkan Mendagri atas dasar rekomendasi Menkeu, dan lainnya 255 7,5 Sumber: Direktorat Pendapatan Daerah DJPKPD Sesuai peraturan perundangan, Pemerintah melalui Mendagri dapat membatalkan perda-perda bermasalah berdasarkan evaluasi dari departemen/instansi teknis lainnya. Dari Tabel II.3. dan Tabel II.4. dapat dilihat bahwa perda yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri belum mencerminkan persentase yang memadai untuk mencegah timbulnya perda bermasalah. Sampai dengan bulan April 25, jumlah perda yang masuk mencapai Menteri Keuangan telah meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan 448 perda dan oleh Menteri Dalam Negeri telah dibatalkan sebanyak 34 perda. II 9

10 Keempat, mendorong ekspor non-migas melalui peningkatan daya saing dan diversifikasi pasar komoditi ekspor. Upaya peningkatan daya saing ini perlu dilakukan untuk mengimbangi perlambatan ekonomi dunia terutama perekonomian Amerika Serikat sebagai konsekuensi dari upaya untuk mengurangi kesenjangan global. Peningkatan daya saing dalam jangka pendek dan menengah dilakukan dengan mengurangi berbagai kendala yang menghambat arus barang dan jasa, termasuk peraturan-peraturan daerah yang menghambat, serta dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan. Diversifikasi pasar komoditi ekspor perlu diperluas dengan mencari pasar baru di luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai kawasan yang tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan daya saing perlu didorong oleh penerapan teknologi yang tepat dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi komoditi ekspor nasional. Kelima, mengembangkan insentif yang tepat dalam menarik investasi dan mendorong ekspor non-migas. Selain melalui penyederhanaan perpajakan, tarif dan insentif perpajakan perlu ditinjau agar mampu bersaing dengan negara-negara lain untuk menarik investasi. Saat ini tarif pajak penghasilan badan di Indonesia bersifat progresif, yaitu sebesar 1 persen, 15 persen, dan 3 persen. Sedangkan untuk tarif pajak penghasilan perorangan sebesar 5 persen, 1 persen, 15 persen, 25 persen dan 35 persen. Dibandingkan Malaysia (28 persen, single rate) dan Thailand (3 persen, single rate), tarif pajak penghasilan badan di Indonesia saat ini relatif bersaing, namun lebih tinggi dibandingkan Vietnam (25 persen) dan Singapura (22 persen). Dalam RUU Perpajakan, tarif pajak penghasilan perusahaan direncanakan sebagai tarif tunggal, sebesar 3 persen dan dalam jangka waktu 5 tahun diturunkan menjadi 25 persen; sedangkan tarif pajak penghasilan perorangan untuk lapisan pendapatan tertinggi (di atas Rp 2 juta) direncanakan diturunkan dari 35 persen menjadi 3 persen dalam jangka waktu 5 tahun. Disamping melalui penurunan tarif pajak secara bertahap, zona-zona ekonomi khusus dan kebijakan spasial dalam jangka menengah dan panjang perlu dikembangkan dalam rangka mendorong kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh agar tidak saja memberi manfaat bagi penguatan ekonomi nasional tetapi juga memberi peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Keenam, mendorong fungsi intermediasi perbankan agar memberi tekanan yang lebih besar pada kegiatan investasi dan produksi. Meskipun pemberian kredit oleh perbankan kepada masyarakat meningkat, namun penyalurannya lebih banyak pada kegiatan yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan kegiatan investasi dan produksi. Sampai dengan bulan Oktober 25, peranan kredit konsumsi meningkat menjadi 3, persen; lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1996 (1,3 persen). Secara keseluruhan rasio kredit terhadap PDB masih lebih rendah dibandingkan II 1

11 sebelum krisis. Perkembangan rasio kredit terhadap PDB dapat dilihat pada Grafik II.8. % Grafik II.8. RASIO KREDIT TERHADAP PDB Upaya untuk memberi perhatian kegiatan sektor riil dalam perubahan kebijakan moneter ke arah yang lebih ketat juga tercermin dari penerapan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan loan-to-deposit (LDR). Dalam Paket Kebijakan Moneter 3 Agustus, perbankan yang menyalurkan kredit lebih besar kepada kegiatan usaha dikenakan GWM yang relatif lebih rendah. 1 Dengan meningkatnya resiko di sektor riil, upaya untuk menyalurkan kredit perbankan perlu dijaga dengan menekan potensi peningkatan non-performing loan antara lain dengan menyalurkan kredit pada kegiatan-kegiatan usaha yang mempunyai resiko kecil. Sasaran peningkatan kredit sebesar 22 persen dalam tahun 26 diperkirakan dapat mendorong kegiatan ekonomi tanpa mengorbankan kualitas kredit yang diberikan. Upaya penurunan biaya intermediasi juga didorong dengan melakukan pembenahan di sektor riil untuk memperkecil resiko penyaluran kredit. Ketujuh, menjaga ketahanan sektor keuangan berkaitan dengan perubahan kebijakan moneter negara-negara industri maju dan kebijakan moneter di dalam negeri yang sebelumnya relatif longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat. Perubahan ini dapat mengakibatkan arus modal, terutama jangka pendek, yang masuk ke Indonesia ke luar kembali. Koordinasi antara otoritas kebijakan moneter, otoritas kebijakan fiskal, otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, serta otoritas lembaga penjamin simpanan perlu ditingkatkan agar mampu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani gejolak moneter yang mungkin timbul. 1 Sejak 6 September 25 GWM Rupiah dinaikkan: (a) LDR di atas 9 persen, dikenakan tambahan sebesar persen; (b) LDR 75 9 persen dikenakan tambahan 1 persen; (c) LDR 6 75 persen dikenakan tambahan 2 persen; (d) LDR 5 6 persen dikenakan tambahan 3 persen; (e) LDR 4 5 persen dikenakan tambahan 4 persen; serta (f) LDR kurang dari 4 persen dikenakan tambahan 5 persen. II 11

12 Kedelapan, meningkatkan kualitas pertumbuhan yang mampu mengurangi pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Kebijakan ketenagakerjaan perlu menekankan pada 3 (tiga) upaya pokok, yaitu mengendalikan kenaikan UMP agar tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju inflasi; memastikan agar biaya-biaya non-ump mengarah pada peningkatan produktivitas tenaga kerja; serta meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri. Upaya untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja juga perlu diprioritaskan dalam pemanfaatan APBN. Selain melalui penciptaan lapangan kerja, upaya mengurangi jumlah penduduk miskin perlu didorong dengan peningkatan efektivitas dalam pelaksanaan subsidi langsung tunai dan program penanggulangan kemiskinan lainnya, serta dengan pelibatan secara aktif pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di daerahnya. Terkait dengan sasaran penurunan jumlah pengangguran dan penduduk miskin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun yaitu menurunnya jumlah pengangguran terbuka dan penduduk miskin masing-masing menjadi 5,1 persen dan 8,2 persen pada tahun 29, program pembangunan perdesaan dan revitalisasi pertanian perlu mendapat perhatian yang sangat serius mengingat sebagian besar penganggur terbuka dan kemiskinan hidup di sektor pertanian dan berada di perdesaan. Dari jumlah pengangguran terbuka pada tahun 24, sebesar 6 persen pengangguran terbuka berada di Jawa dengan konsentrasi terbesar di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Adapun dilihat dari persentase desa kota, sekitar 47 persen penganggur terbuka berada di desa. Upaya untuk menarik pengangguran terbuka dan menurunkan jumlah penduduk miskin melalui kegiatan industri yang ada di perkotaan diperkirakan tidak akan mampu mencapai sasaran yang dimaksud. Dalam kaitan itu kegiatan industri di pedesaan dan off-farm lainnya perlu ditingkatkan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Dalam jangka menengah, upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran dan penduduk miskin perlu didorong dengan kebijakan spasial yaitu dengan mendorong pembangunan di luar Jawa. Tanpa adanya upaya ini, pembangunan akan terus-menerus hanya memecahkan masalah-masalah pembangunan jangka pendek yang relatif terpusat di Jawa. Upaya-upaya pokok tersebut di atas membutuhkan stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum yang memadai agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sudah terbentuk. B. LINGKUNGAN GLOBAL DAN DOMESTIK Pada tahun 26, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan relatif sama dengan tahun 25 dengan berkurangnya stimulus fiskal di beberapa negara maju, kenaikan suku bunga sebagai kelanjutan siklus pengetatan kebijakan moneter negara-negara industri maju, serta masih tingginya harga minyak dunia. II 12

13 Meningkatnya suku bunga di negara-negara industri maju diperkirakan akan mempengaruhi komposisi arus masuk modal swasta termasuk ke kawasan Asia. Meskipun arus modal swasta jangka panjang (neto) pada tahun 26 diperkirakan relatif tetap yaitu sekitar US$ 83,8 miliar, namun arus modal jangka pendek diperkirakan menurun. Secara keseluruhan arus masuk modal swasta (neto) ke negara-negara emerging market diperkirakan turun dari US$ 84,6 miliar pada tahun 25 menjadi US$ 34,1 miliar pada tahun 26 (World Economic Outlook, September 25). Dalam tahun 26, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan sekitar 4,3 persen. Perekonomian negara industri maju diperkirakan tumbuh 2,7 persen dengan perekonomian AS dan Jepang, sebagai mitra dagang utama Indonesia, yang diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 3,3 persen dan 2, persen. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 26 yang relatif sama dengan tahun 25 tersebut diperkirakan tetap mendorong volume perdagangan dunia. Permintaan impor negara-negara industri maju pada tahun 26 diperkirakan meningkat 5,8 persen termasuk dari negara-negara berkembang; sementara ekspor negara-negara berkembang diperkirakan tumbuh 1,3 persen. Secara keseluruhan volume perdagangan dunia pada tahun 26 diperkirakan meningkat menjadi 7,4 persen atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 25 yaitu 7, persen. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 26 yang relatif tetap tersebut diperkirakan berpengaruh terhadap harga komoditi non-migas di pasar internasional. Harga komoditi non-migas di pasar dunia diperkirakan menurun sebesar 2,1 persen; sedangkan harga minyak mentah dunia diperkirakan tetap tinggi. Berbagai perkiraan ekonomi dunia di atas memberikan gambaran mengenai pentingnya upaya untuk mempertahankan kinerja ekspor nasional yang cukup baik dalam tahun 26. Sementara itu lingkungan domestik tahun 26 diperkirakan akan membaik apabila tingkat harapan masyarakat dan kepastian usaha mampu dikelola dengan baik. Perkiraan ekonomi dunia dan pelaksanaan kedelapan upaya pokok tersebut di atas dalam lingkungan eksternal dan domestik sebagaimana yang diuraikan di atas diperkirakan akan menghasilkan besaran-besaran ekonomi makro sebagai berikut. HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA DIPERKIRAKAN SEKITAR US$ 57 PER BAREL. Menjelang akhir tahun 25, harga minyak dunia dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran sebagai berikut. Musim dingin yang tidak terlalu akut serta turunnya permintaan minyak dunia terkait dengan beberapa bencana alam yang terjadi di Amerika Serikat dan kelompok negara OECD diperkirakan akan mengimbangi kenaikan kebutuhan minyak di China dan India. Dengan perkembangan ini kenaikan permintaan minyak dunia tahun 25 yang semula diperkirakan mencapai 1,9 juta barel/hari melemah menjadi 1,2 juta barel/hari. Dalam tahun 26, permintaan minyak dunia diperkirakan meningkat sekitar 1,8 uta barel/hari. II 13

14 Di sisi suplai, dalam keseluruhan tahun 25, pasokan minyak dari negaranegara non-opec diperkirakan meningkat,1 juta barel/hari dan pada tahun 26 diperkirakan meningkat lagi sebesar 1,4 juta barel/hari. Pasokan OPEC (tidak termasuk NGL) dalam keseluruhan tahun 25 mencapai 28,4 juta barel/hari dan diperkirakan hanya meningkat sebesar,2 juta barel/hari pada tahun 26. Meskipun pasokan OPEC tahun 26 diperkirakan relatif sama dengan tahun 25, kemampuan produksi OPEC pada tahun 26 masih dapat ditingkatkan dengan adanya spare capacity sebesar 2,2 juta barel/hari termasuk kapasitas terpasang yang dapat ditingkatkan sebesar 1, juta barel/hari pada tahun 26 Berdasarkan perkembangan sisi permintaan, penawaran, dan stok minyak dunia, serta dengan perkiraan tidak adanya gejolak politik yang berarti di Timur Tengah, harga minyak dunia pada tahun 26 diperkirakan masih tetap tinggi. Dengan gambaran harga minyak dunia tersebut, harga ekspor minyak mentah Indonesia diperkirakan sekitar US$ 57 per barel. Perkembangan permintaan dan penawaran minyak dunia dapat dilihat pada Tabel II.5. Tabel II.5. PERMINTAAN DAN PASOKAN MINYAK DUNIA (juta barel/hari) ,9 79,2 82,2 48, 48,7 49,5 24,1 24,5 25,3 15,3 15,4 15,6 8,6 8,7 8,5 29,9 3,6 32,7 3,5 3,6 3,7,7,7,7 5, 5,6 6,4 8, 8,1 8,6 4,8 4,7 4,9 5,2 5,3 5,6 2,7 2,7 2,8 77, 79,6 83,1 21,9 21,6 21,3 14,5 14,6 14,6 6,6 6,3 6,1,8,7,6 24,5 25,5 27,1 9,4 1,3 11,2,2,2,2 3,4 3,4 3,5 2,5 2,6 2,8 3,9 4, 4,1 2,1 2, 1,9 3, 3, 3,4 1,8 1,8 1,8 28,8 3,7 32,9 PERMINTAAN OECD Amerika Utara Eropah Pasifik NON-OECD FSU Eropah China Asia Lainnya Amerika Latin Timur Tengah Afrika PENAWARAN OECD Amerika Utara Eropa Pasifik NON-OECD FSU Eropah China Asia Lainnya Amerika Latin Timur Tengah Afrika Processing Gain OPEC Minyak Mentah NGL Sumber: International Energy Agency 25,1 3,7 26,8 3,9 28,6 4, ,4 49,7 25,5 15,6 8,6 33,7 3,7,7 6,6 8,8 5, 5,9 2,9 2,4 14,1 5,7,6 28, 11,6,2 3,6 2,7 4,3 1,9 3,7 1,9 4, ,2 5,3 25,9 15,6 8,7 34,9 3,8,7 7, 9, 5,1 6,2 3, 2,4 14,4 5,4,6 29,3 12,1,2 3,6 2,8 4,5 1,8 4,3 1,9 5,1 NILAI TUKAR RUPIAH DIPERKIRAKAN SEKITAR RP 9.9,- PER DOLLAR AS. Dengan respon suku bunga di dalam negeri yang berjalan baik sejak Paket Kebijakan 3 Agustus 25, kurs rupiah diperkirakan stabil. Arus modal swasta diperkirakan akan meningkat baik dalam bentuk investasi langsung maupun II 14

15 portfolio sehingga mampu menutup kewajiban pemerintah yang jatuh tempo pasca debt moratorium serta mengamankan cadangan devisa. Pada tahun 26, rata-rara nilai tukar rupiah diperkirakan sekitar Rp 9.9,- per dollar AS. LAJU INFLASI DIPERKIRAKAN SEKITAR 8 PERSEN PADA AKHIR TAHUN 26. Dengan mempertimbangkan dampak lanjutan kenaikan harga BBM pada harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah pada awal tahun 26, nilai tukar rupiah yang relatif terjaga, serta komitmen dan konsistensi kebijakan moneter untuk mengarahkan ekspektasi inflasi jangka menengah, laju inflasi tahun 26 secara tahunan (y-o-y) diperkirakan menurun mulai triwulan II atau III/26. Dengan upaya untuk menjamin pasokan serta distribusi barang dan jasa termasuk pada perayaan hari besar keagamaan, laju inflasi pada akhir tahun 26 diperkirakan mampu dikendalikan menjadi sekitar 8 persen. BI RATE DIPERKIRAKAN SEKITAR 9,5 PERSEN PADA AKHIR TAHUN 26. Dengan kecenderungan laju inflasi yang menurun pada triwulan II/26 dan menurunnya resiko ketidakstabilan ekonomi dan moneter internasional, suku bunga riil dipertahankan pada tingkat yang memadai. Dengan perkiraan laju inflasi sekitar 8 persen pada akhir tahun 26 dan suku bunga riil sekitar 1,5 persen, BI rate pada akhir tahun 26 diperkirakan sekitar 9,5 persen. Beberapa besaran pokok yang mendasari proyeksi perekonomian tahun 26 dapat dilihat pada Tabel II.6 sebagai berikut. Tabel II.6 BESARAN-BESARAN POKOK (dalam persen perubahan) EKSTERNAL Pertumbuhan Ekonomi Dunia 3, 4, 5,1 4,3 4,3 Negara Industri Maju 1,5 1,9 3,3 2,5 2,7 Amerika Serikat 1,6 2,7 4,2 3,5 3,3 Uni Eropah,9,7 2, 1,2 1,8 Jepang -,3 1,4 2,7 2, 2, Negara Emerging Asia 6,6 8,1 8,2 7,8 7,2 Volume Perdagangan Dunia 3,3 5,4 1,3 7, 7,4 Impor Negara Industri Maju 2,6 4,1 8,8 5,4 5,8 Ekspor Negara Berkembang 6,6 1,8 14,5 1,4 1,3 Inflasi Negara Industri Maju 1,5 1,8 2, 2,2 2, Negara Berkembang 6, 6, 5,8 5,9 5,7 Harga Komoditi Non Migas,6 6,9 18,5 8,6-2,1 LIBOR (6 bulan,%) 1,9 1,2 1,8 3,6 4,5 DOMESTIK Nilai Tukar rupiah (Rp/US$) Laju Inflasi 1, 5,1 6,4 17,1 8, Harga Ekspor Minas (US$/barel) 24,6 28,8 37,7 52, 57, Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) 13, 8,3 7,4 12,8 9,5 Sumber: World Economic Outlook, IMF, Sept. 25 (asumsi eksternal); Bappenas (asumsi Domestik) II 15

16 C. PROYEKSI EKONOMI TAHUN PERTUMBUHAN E KONOMI Dengan koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil sebagaimana telah disebutkan terutama dalam mengatur permintaan agregat, perekonomian dalam tahun 26 diupayakan mampu tumbuh 6,1 persen, lebih tinggi dibandingkan perkiraan tahun 25 (5,7 persen). Investasi dan konsumsi masyarakat diupayakan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan didorong oleh pengeluaran pemerintah. Investasi berupa pembentukan modal tetap bruto serta ekspor barang dan jasa diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 12,1 persen dan 8,5 persen. Dengan meningkatnya investasi, impor barang dan jasa diperkirakan tetap tinggi dengan pertumbuhan sebesar 11,5 persen. Pengeluaran pemerintah didorong tinggi sebesar 12, persen dengan pencairan dana yang diupayakan sejak triwulan I/26. Luncuran dana yang diupayakan sejak awal tahun ini diharapkan dapat lebih menggerakkan roda perekonomian yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Dalam keseluruhan tahun 26, konsumsi masyarakat diperkirakan tumbuh sebesar 4,5 persen. Dari sisi produksi, dalam tahun 26 sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,3 persen didorong oleh kondisi iklim dan musim tanam yang lebih baik. Adapun industri pengolahan non-migas diperkirakan mampu tumbuh 7,8 persen antara lain oleh perbaikan iklim investasi dan meningkatnya ekspor non-migas. Adapun sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 6,6 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen pada tahun 26 dan jumlah penduduk sekitar 221,7 juta orang, pendapatan rill per kapita dalam harga konstan tahun 2 diperkirakan Rp 8,4 juta atau setara dengan USD Gambaran ekonomi makro dan perkiraan struktur ekonomi, serta proyeksi ekonomi tahun 26 dapat dilihat pada Tabel II.7 dan Grafik II.9. Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT (%) Grafik II.9. PERTUMBUHAN EKONOMI :1 23:1 24:1 25:1 26:1 PMTB Konsumsi RT PDB Pertumbuhan PMTB (%) II 16

17 2. NERACA PEMBAYARAN Pada tahun 26, surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan menurun menjadi US$ 2,1 miliar, lebih rendah dibandingkan perkiraan tahun 25 (US$ 2,3 miliar). Di sektor ekspor, penerimaan ekspor tahun 26 diperkirakan meningkat sebesar 1,8 persen atau melambat dibandingkan perkiraan tahun 25 (2,5 persen). Meningkatnya penerimaan ekspor terutama didorong oleh ekspor migas yang diperkirakan meningkat sebesar 19, persen dengan mulai beroperasinya beberapa sumur gas dan minyak bumi baru. Sementara itu ekspor non-migas diperkirakan meningkat sebesar 8, persen, lebih lambat dari tahun sebelumnya antara lain karena menurunnya harga komoditi non-migas di pasar internasional. Di sektor impor, meskipun melambat dibandingkan tahun 25, impor non-migas diperkirakan tetap tumbuh tinggi yaitu sebesar 13,7 persen. Sedangkan defisit pada sektor jasa-jasa diperkirakan meningkat dibandingkan perkiraan tahun 25 dengan masih tingginya impor barang dan belum pulihnya arus wisatawan asing paska Bom Bali kedua serta menurunnya daya tarik Pulau Batam. Surplus neraca arus modal dan finansial diperkirakan sebesar US$,5 miliar atau lebih rendah dibanding tahun 25 (US$ 3,3 miliar) dengan tidak adanya fasilitas penjadwalan utang pemerintah. Arus modal swasta neto diperkirakan meningkat menjadi US$ 3,6 miliar terutama bentuk PMA dan portfolio. Sementara itu, defisit arus modal publik diperkirakan meningkat menjadi US$ 3,1 miliar dengan dibayarkannya kewajiban utang yang ditunda pada tahun 25. Dari gambaran neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial tersebut, neraca keseluruhan (overall balance) pada tahun 26 diperkirakan menjadi surplus US$ 2,6 miliar dari semula defisit sebesar US$,5 miliar pada tahun 25. Dengan perkiraan tersebut, cadangan devisa diperkirakan meningkat menjadi US$ 36,2 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut diperkirakan cukup untuk membiayai sekitar 4,6 bulan impor (tidak termasuk pembayaran utang pemerintah). Perkiraan neraca pembayaran tahun 26 dapat dilihat pada Tabel II MONETER Sampai dengan triwulan II dan III/26, kebijakan moneter diperkirakan relatif ketat untuk menurunkan tekanan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan masih tingginya ekspektasi masyarakat terhadap inflasi serta kemungkinan berlanjutnya siklus pengetatan moneter di Amerika Serikat. Upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dipertahankan dengan kombinasi kebijakan fiskal yang relatif ekspansif pada awal tahun 25. Dalam keseluruhan tahun 26, nilai tukar rupiah diperkirakan lebih stabil sekitar Rp 9.9,- per USD. Dengan tidak adanya pengaruh exchange rate pass-through terhadap inflasi, tekanan inflasi diperkirakan berkurang sejak triwulan III/26. II 17

18 Stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga dan tekanan inflasi yang menurun memberi ruang bagi kebijakan moneter untuk melunak pada triwulan III atau IV/26. Dengan melunaknya tekanan inflasi, BI rate diperkirakan akan turun secara bertahap sejak triwulan III atau IV/26. Pada akhir tahun 26, laju inflasi diperkirakan sekitar 8, persen dan BI rate diperkirakan menjadi sekitar 9,5 persen. Untuk mencapai sasaran tersebut, berbagai instrumen moneter antara lain operasi pasar terbuka (OPT), sterilisasi valuta asing, dan intervensi rupiah perlu dioptimalkan agar peredaran uang mencerminkan kebutuhan likuiditas perekonomian. 4. KEUANGAN NEGARA Kebijakan fiskal tahun 26 tetap dilaksanakan untuk mewujudkan ketahanan fiskal (fiscal sustainability) dengan memberi stimulan terhadap perekonomian melalui penyelarasan APBN dan APBD. Stimulan fiskal diperlukan untuk mengimbangi kebijakan moneter yang relatif ketat sampai dengan semester I/26. Dalam tahun 26, belanja negara diperkirakan mencapai Rp 647,7 triliun, lebih tinggi dibandingkan perkiraan realisasi APBN 25 (Rp 565,1 triliun). Sekitar 2 persen belanja modal pemerintah pusat (Rp 1 triliun) akan diluncurkan pada triwulan I/26. Meningkatnya pengeluaran pemerintah pada triwulan I/26 diperkirakan memberikan stimulus terhadap perekonomian pada saat kebijakan moneter masih relatif ketat dan diperkirakan tidak memberi tekanan pada inflasi. Dorongan kebijakan fiskal lebih lanjut terhadap perekonomian juga berasal dari belanja daerah. Peranan belanja daerah ditingkatkan dari 27 persen tahun 25 menjadi 34 persen tahun 26 atau sekitar 5,8 persen PDB pada tahun 25 menjadi 7,2 persen PDB pada tahun 26. Dengan besarnya dorongan ekspansi fiskal dalam bentuk belanja daerah, maka keselarasan program pembangunan di daerah dengan prioritas pembangunan nasional sangat penting. Program-program pembangunan di daerah perlu diupayakan untuk mendukung pencapaian programprogram nasional. Peningkatan terbesar belanja daerah terutama pada Dana Alokasi Khusus dari Rp 4,8 triliun menjadi Rp 11,6 triliun terutama untuk memperbaiki dan membangun gedung sekolah yang rusak. Sementara itu, kenaikan belanja pemerintah pusat terutama dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Penerimaan negara dan hibah dalam tahun 26 diperkirakan meningkat menjadi Rp 625,2 triliun dari Rp 54,1 triliun pada tahun 25. Peningkatan tersebut terutama dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang dilakukan melalui perbaikan administrasi perpajakan dan upaya pemungutan pajak. II 18

19 Dengan kebijakan di sisi pengeluaran dan penerimaan tersebut, defisit APBN dalam tahun 26 diperkirakan turun menjadi,7 persen PDB (Rp 22,4 triliun) dari,9 persen PDB tahun 25 (Rp 24,9 triliun). Defisit tersebut akan dibiayai melalui penerbitan surat utang negara (SUN) sebesar Rp 24,9 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 35,1 triliun. Sejalan dengan upaya mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri, pembiayaan luar negeri neto diperkirakan defisit Rp 28,5 triliun didorong besarnya pembayaran cicilan utang luar negeri yaitu Rp 63,6 triliun. Ketahanan fiskal juga tercermin dari turunnya stok utang pemerintah dari 47,8 persen PDB pada tahun 25 menjadi 41,2 persen PDB pada tahun 26. Stok utang luar negeri diperkirakan menurun menjadi 2,2 persen PDB pada tahun 26 dari 22,6 persen PDB pada tahun 25 dan stok utang dalam negeri menjadi 21, persen PDB dari 25, persen PDB dalam periode yang sama. Pencapaian ketahanan fiskal pada tahun 26 perlu didukung oleh stabilitas ekonomi yang lebih baik. Nilai tukar rupiah yang stabil, suku bunga dan tingkat inflasi yang menurun akan mengurangi beban pengeluaran negara. Rincian keuangan negara tahun dapat dilihat pada Tabel II KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN Untuk membiayai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen pada tahun 26 dib utuhkan investasi sebesar Rp 85,4 triliun. Sebagian besar dari kebutuhan investasi tersebut (Rp 688,1 triliun atau sekitar 85,4 persen dari total kebutuhan investasi) diupayakan berasal dari masyarakat, termasuk swasta; sedangkan sisanya berasal dari pemerintah. Rincian kebutuhan investasi dan sumber pembiayaannya dapat dilihat pada Tabel II.1. D. KONSEKUENSI PERTUMBUHAN EKONOMI 6,1 P ERSEN Pertumbuhan ekonomi 6,1 persen pada tahun 26 diperkirakan belum cukup memadai untuk memecahkan masalah-masalah sosial mendasar. Dengan pertumbuhan tersebut diperkirakan tercipta lapangan kerja baru bagi sekitar 2 juta orang, relatif sama dengan tambahan angkatan kerja baru. Dengan demikian, jumlah penganggur terbuka pada tahun 26 diperkirakan relatif sama dengan tahun 25 yaitu sekitar 11,6 juta jiwa. Dalam kaitan itu, pemerintah perlu meninjau berbagai kebijakan di bidang ketenagakerjaan guna mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ketahanan fiskal akan terpengaruh karena perekonomian menjadi kurang mampu untuk mengurangi beban pembangunan termasuk pembayaran utang. II 19

20 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran dan penduduk miskin dalam jangka menengah perlu didorong dengan kebijakan spasial terutama dengan membangun perdesaan yang didukung dengan pembangunan pertanian dan industrialisasi perdesaan. E. KEMUNGKINAN PERTUMBUHAN EKONOMI LEBIH LAMBAT DARI 6,1 P ERSEN Terdapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun 26 lebih rendah dari 6,1 persen. Faktor-faktor yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi antara lain: (a) meningkatnya ketidakstabilan politik di Timur Tengah yang selanjutnya berpotensi mendorong harga minyak dunia serta meningkatnya ketidakstabilan moneter internasional yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, meningkatkan tekanan inflasi di dalam negeri, serta menuntut kebijakan moneter di dalam negeri untuk terus ketat; (b) meningkatnya ketidakstabilan keamanan di dalam negeri yang akan mempengaruhi iklim usaha di Indonesia; serta (c) lambatnya penguatan daya beli masyarakat dan perbaikan iklim investasi di Indonesia. Berbagai faktor di atas dapat mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah pada kisaran Rp 11. Rp 12. per USD, laju inflasi pada akhir tahun 26 antara 9 11 persen, BI rate antara persen pada akhir tahun 26; serta pertumbuhan ekonomi dalam keseluruhan tahun 26 melambat di bawah 6 persen menjadi sekitar 5,7 persen. II 2

21 Tabel II.7. GAMBARAN EKONOMI MAKRO DAN STRUKTUR EKONOMI Realisasi Proyeksi *) 26 PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan PDB (%) PDB/Kapita Harga Konstan 2 (Rp 3, , , , , PERTUMBUHAN PDB PENGELUARAN (%) Pertumbuhan Ekonomi 4,4 4,9 5,1 5,7 6,1 Konsumsi Masyarakat Konsumsi Pemerintah 3,8 13, 3,9 1, 4,9 1,9 3,8 4,1 4,5 12, Investasi 4,7 1, 15,7 11,2 12,1 Ekspor Impor -1,2-4,2 8,2 2,7 8,5 24,9 8, 12,5 8,5 11,5 PERTUMBUHAN PDB PRODUKSI (%) Pertanian 3,2 4,3 4,1 1,8 2,3 Industri Pengolahan 5,3 5,3 6,2 5,8 7, Nonmigas Lainnya 5,7 4,2 6, 4,8 7,7 4,9 6,7 6,7 7,8 6,6 DISTRIBUSI PDB (%) Pertanian 16, 15,9 15,4 14,6 14,1 Industri Pengolahan 29,7 28,8 28,3 29,2 29,3 Nonmigas Lainnya 26, 54,2 25, 55,2 24,6 56,3 24,9 56,2 25,6 56,6 STABILITAS EKONOMI Laju Inflasi, Indeks Harga Konsumen Nilai Tukar Nominal (Rp/US$) 1, , , , , 9.9 NERACA PEMBAYARAN Transaksi Berjalan/PDB (%) 4,2 3,9 1,5,7 1, Pertumbuhan Ekspor Nonmigas (%) -11, 3,4 11,5 17, 8, Pertumbuhan Impor Nonmigas (%) -15,8,1 24,4 19,9 13,7 Cadangan Devisa (US$ miliar) 28, 32, 36,3 34, 7 36,2 KEUANGAN NEGARA Keseimbangan Primer/PDB (%) 2, ,4 1,4 1,8 Surplus/Defisit APBN/PDB (%) -2,4-1,4-1,3 -,9 -,7 Penerimaan Pajak/PDB (%) 11, 11,1 12,2 12,8 13,1 Stok Utang Pemerintah/PDB (%) 74,6 65,1 54,3 47,8 41,2 Utang Luar Negeri 35,8 31,5 27, 22,6 2,2 Utang Dalam Negeri 38,8 33,6 27,3 25, 21, *) Perkiraan untuk PDB dan Neraca Pembayaran II 21

22 Tabel II.8. PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN (US$ miliar) Realisasi Proyeksi *) 26 Ekspor 59,2 64,1 72,2 87, 96,4 Migas 12,9 15,2 17,7 23,2 27,6 Nonmigas (Pertumbuhan, %) 46,3 3,4 48,9 5,5 54,5 11,5 63,7 17, 68,8 8, Impor , ,5-5,6-63,7-72,9 Migas -6,7-7,8-11,2-16,4-19,2 Nonmigas (Pertumbuhan, %) -29,,1-31,7 9,4-39,5 24,4-47,3 19,9-53,7 13,7 Jasa-jasa -15,7-16,5-18,4-2,8-21,5 Pembayaran Bunga Pinjaman -3,1-2,9-2,8-2,6-2,6 Neraca Transaksi Berjalan 7,8 8,1 3,1 2,3 2,1 Neraca Modal dan Finansial -1,1 -,9 2,6 3,3,5 Pemerintah -,2 -,8-1,8 2,1-3,1 Arus Masuk Arus Keluar 2,4-2,6 2,2-3, 3,8-5,6 5,1-2,9 4,7-7,8 Swasta -,9 -,1 4,4 1,2 3,6 PMA Neto Portofolio,1 1,2 -,6 2,3 1, 3,1 2,3 2,4 2,4 2,1 Lainnya -2,3 -,6,2-3,5 -,9 To t a l 6,7 7,2 5,7 6,4 2,6 Selisih Perhitungan -1,7 -,1-5,4-5,8, Neraca Keseluruhan 5, 7,2,3,6 2,6 Memorandum Item Exceptional Financing 2,6 3,7-1, -1,5-1,5 IMF Neto Penjadwalan Hutang -1, 3,6,6 3,1-1,, -1,1 2,7-1,5, Cadangan Devisa 32, 36,3 36,3 34,7 36,2 (Dalam Bulan Impor) 7,5 7,8 6,4 4,8 4,6 Cadangan Devisa Bersih 25,8 29,5 3,5 3, 32,6 Utang Luar Negeri 131,3 138,2 139,1 14,5 138,8 Pemerintah Swasta 74,7 56,7 81,7 56,6 78,1 61, 78,2 62,3 73,3 65,5 *) Perkiraan II 22

23 Tabel II.9. KEUANGAN NEGARA APBN 24 1) APBN P II 25 APBN 26 Rp % Rp % Rp %PDB I. PENERIMAAN NEGARA DAN HIBAH 47,9 17,7 54,1 2,4 625,2 2,6 A. Penerimaan Negara 1. Penerimaan Pajak 47,6 28,9 17,7 12,2 532,7 334,4 17,8 12,8 621,6 399,3 2,4 13,1 a. Pajak Penghasilan 134,9 5,9 18,2 6,8 21,7 6,9 b. Pajak Pertambahan Nilai c. Lainnya 87,6 558,4 3,8 2,5 12,7 51,5 3,9 11,9, 128,3 6,3 4,2 1,9 2. Penerimaan Bukan Pajak 126,7 5,5 18,7 6,5 25,3 6,8 a. Migas b. Bukan Migas 85,3 41,4 3,7 1,8 138,6 42,1 5, 1,5 151,6 53,7 5, 1,7 B. Hibah,3, 7,5,3 3,6,1 II. PENGELUARAN NEGARA 437,7 19, 565,1 21,3 647,7 21,3 A. Belanja Pemerintah Pusat 38,1 13,4 411,7 15,5 427,6 14,1 1. Belanja Pegawai 54,4 2,4 61,2 2,3 78, 2,6 2. Belanja Barang 16,6,7 42,3 1,6 48,1 1,6 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Utang 69,4 62,3 3, 2,7 54,7 61, 2,1 2,3 45, 76,6 1,5 2,5 5. Subsidi 85,5 3,7 119,1 4,5 79,5 2,6 6. Belanja Hibah 7. Belanja sosial 3, 1,1 27,3,9 8. Belanja lain-lain 19,8,9 43,4 23,3 36,5 1,2 B. Belanja Daerah 1. Dana perimbangan 129,7 122,9 5,6 5,3 153,4 146,2 5,8 5,5 22,1 216,6 7,2 7,1 a. Dana Bagi Hasil 36,7 1,6 52,6 2, 59,4 2, b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 82,1 4,1 3,6,2 88,8 4,8 3,3,2 145,7 11,6 4,8,4 2. Dana Khusus dan 6,8,3 7,2,3 3,5,1 III. KESEIMBANGAN PRIMER 32,5 1,4 36, 1,4 54,2 1,8 IV. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN -29,9-1,3-24,9 -,9-22,4 -,7 V. PEMBIAYAAN A. Pembiayaan Dalam Negeri 29,9 52,9 1,3 2,3 24,9 29,8,9 1,1 22,4 5,9,7 1,7 1. Perbankan 26,8 1,2 4,3,2 23,,8 2. Non Perbankan a. Privatisasi 26,1 3,5 1,1,2 25,5 3,5 1,,1 27,9 1,,9, b. Penjualan Aset 15,7,7 5,1,2 2,4,1 c. Surat Utang Negara d. Penyertaan Modal 6,9,3 22,1-5,2,8 -,2 24,9 -,4,8, B. Pembiayaan Luar Negeri -23, -1, -4,9 -,2-28,5 -,9 1. Penarikan Pinjaman Luar a. Pinjaman Program 23,5 5,1 1,,2 35,5 11,3 1,3,4 35,1 9,9 1,2,3 b. Pinjaman Proyek 18,4,8 24,3,9 25,2,8 2. Pembayaran Pokok -46,5-2, 4,4-1,5-63,6-2,1 Keterangan: 1) realisasi per 31 Desember; 2) menggunakan asumsi PDB nominal Rp triliun; 3) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 3.4 triliun II 23

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005 BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005 A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK TAHUN 2005 Meskipun secara umum pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dan stabilitas moneter dalam keseluruhan tahun 2004 relatif terkendali,

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004 BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004 Bab ini membahas prospek ekonomi Indonesia tahun 2004 dalam dua skenario, yaitu skenario dasar dan skenario dimana pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat. Dalam skenario

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2007

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2007 BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2007 Prospek ekonomi tahun 2007 lebih baik dari tahun 2006. Stabilitas ekonomi diperkirakan tetap terjaga dengan nilai tukar rupiah yang stabil, serta laju inflasi dan suku

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006 disempurnakan untuk memberikan gambaran ekonomi

Lebih terperinci

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang akan dicapai dalam tahun 2004 2009, berdasarkan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN KANTOR MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) DIREKTORAT PERENCANAAN MAKRO FEBRUARI

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro tahun 2005 sampai dengan bulan Juli 2006 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi membaik dari

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 Dalam tahun 2000 pemulihan ekonomi terus berlangsung. Namun memasuki tahun

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 Dalam triwulan II/2001 proses pemulihan ekonomi masih diliputi oleh ketidakpastian.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001 REPUBLIK INDONESIA PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001 World Economic Report, September 2001, memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2001 hanya mencapai 2,6% antara lain

Lebih terperinci

BAB I KONDISI EKONOMI MAKRO TAHUN 2004

BAB I KONDISI EKONOMI MAKRO TAHUN 2004 BAB I KONDISI EKONOMI MAKRO TAHUN 24 Kondisi ekonomi menjelang akhir tahun 24 dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sejak memasuki tahun 22 stabilitas moneter membaik yang tercermin dari stabil dan

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR... i iii iv vi vii BAB I RINGKASAN EKSEKUTIF... I-1 A. PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 2003... I-1 B. TANTANGAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB II PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 2003

BAB II PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 2003 BAB II PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 23 Secara ringkas stabilitas moneter dalam tahun 23 tetap terkendali, seperti tercermin dari menguatnya nilai tukar rupiah; menurunnya laju inflasi dan suku bunga;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2002 2004 Bab perkembangan ekonomi makro tahun 2002 2004 dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2002 dan dua tahun berikutnya.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2002 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN III/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN III/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 REPUBLIK INDONESIA PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN III/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 Pada awal triwulan III/2001 perekonomian membaik seperti tercermin dari beberapa

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAANN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJAA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGAR RAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel...

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB I RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB I RINGKASAN EKSEKUTIF BAB I RINGKASAN EKSEKUTIF A. PROSES PEMULIHAN EKONOMI TAHUN 2003 Dalam tahun 2003 stabilitas moneter tetap terkendali tercermin dari stabil dan menguatnya rupiah; menurunnya laju inflasi dan suku bunga;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008 memberi gambaran kondisi ekonomi makro tahun 2006,

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2004 2006 Bab mengenai perkembangan ekonomi makro tahun 2004 2006 merupakan kerangka ekonomi makro (macroeconomic framework) yang dimaksudkan untuk memberi gambaran

Lebih terperinci

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 Nomor. 02/ A/B.AN/VII/2007 Perkembangan Ekonomi Tahun 2007 Pada APBN 2007 Pemerintah telah menyampaikan indikator-indikator

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut

Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut Indonesia sedang mengalami penyesuaian ekonomi yang cukup berarti yang didorong oleh perlemahan neraca eksternalnya yang membawa perlambatan pertumbuhan dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Ekonomi Pemulihan ekonomi Kepulauan Riau di kuartal akhir 2009 bergerak semakin intens dan diperkirakan tumbuh 2,47% (yoy). Angka pertumbuhan berakselerasi

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 Penyusun: 1. Bilmar Parhusip 2. Basuki Rachmad Lay Out Budi Hartadi Bantuan dan Dukungan Teknis Seluruh Pejabat/Staf Direktorat Akuntansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JANUARI 2002

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JANUARI 2002 REPUBLIK INDONESIA PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JANUARI 2002 Posisi uang primer pada akhir Januari 2002 menurun menjadi Rp 116,5 triliun atau 8,8% lebih rendah dibandingkan akhir bulan

Lebih terperinci

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA Siaran Pers No. 16/104 International Monetary Fund UNTUK SEGERA 700 19 th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C. 20431 USA Dewan Eksekutif IMF Menyimpulkan Konsultasi Pasal IV 2015 dengan Indonesia

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014 ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014 Pendahuluan Akibat dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran 1 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia I.1

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 A. Perkembangan Perekonomian Saudi Arabia. 1. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan pertumbuhan ekonomi di Saudi Arabia diatur melambat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III 2004 185 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Tim Penulis Laporan Triwulanan III 2004, Bank Indonesia

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan salah satu kondisi utama bagi kelangsungan ekonomi di Indonesia atau suatu negara, sehingga pertumbuhan

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat

Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap kuat tetapi tekanan semakin meningkat Indikator ekonomi global telah sedikit membaik, harga komoditas telah mulai meningkat

Lebih terperinci

DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL TERHADAP KONDISI PERBANKAN DAN SEKTOR RIIL DI WILAYAH KERJA KBI KUPANG

DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL TERHADAP KONDISI PERBANKAN DAN SEKTOR RIIL DI WILAYAH KERJA KBI KUPANG DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL TERHADAP KONDISI PERBANKAN DAN SEKTOR RIIL DI WILAYAH KERJA KBI KUPANG Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat, ternyata berdampak kepada negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijaksanan moneter mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam

I. PENDAHULUAN. Kebijaksanan moneter mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijaksanan moneter mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pembangunan nasional bahwa sasaran pokok kebijaksanaa moneter adalah pemantapan stabilitas ekonomi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga,

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara selalu berbeda bila ditinjau dari sumber daya alamnya, iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur

Lebih terperinci

BAB III BEBERAPA ISU PENTING

BAB III BEBERAPA ISU PENTING BAB III BEBERAPA ISU PENTING A. INVESTASI 1. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT INVESTASI Pertumbuhan ekonomi yang lambat sejak krisis disebabkan oleh belum pulihnya investasi. Investasi (berupa pembentukan modal

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 110, 2005 APBN. Pendapatan. Pajak. Bantuan. Hibah. Belanja Negara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia Andri Helmi M, SE., MM Sistem Ekonomi Indonesia Pemerintah bertugas menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan sosial budaya kesejahteraan seluruh masyarakat. Siapa itu pemerintah? Bagaimana stabilitas di

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/10/PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan III 2010 Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 diperkirakan sebesar 6,1%. Inflasi berada pada kisaran 6,1-6,5% Perkembangan ekonomi global dan domestik yang semakin membaik, kinerja

Lebih terperinci

Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan Aviliani 10 Maret 2016

Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan Aviliani 10 Maret 2016 Prospek Perekonomian Indonesia dan Regulasi Perpajakan 2016 Aviliani 10 Maret 2016 SISTEM PEREKONOMIAN Aliran Barang dan Jasa Gross Domestic Bruto Ekonomi Global Kondisi Global Perekonomian Global masih

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2003 2005 Bab mengenai perkembangan ekonomi makro tahun 2003 2005 dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2003 dan dua tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Tingkat inflasi berbeda dari satu periode ke periode lainnya,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN APRIL 2002

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN APRIL 2002 REPUBLIK INDONESIA PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN APRIL 2002 Pada bulan April 2002 pemerintah berhasil menjadwal ulang cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah dalam Paris Club

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah dalam menggunakan pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri merupakan salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Hal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk menunjukan kuat atau lemahnya fundamental perekonomian suatu negara. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah Indonesia terbelit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian di Indonesia. Fluktuasi kurs rupiah yang. faktor non ekonomi. Banyak kalangan maupun Bank Indonesia sendiri yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat krisis keuangan global beberapa tahun belakan ini kurs, inflasi, suku bunga dan jumlah uang beredar seolah tidak lepas dari masalah perekonomian di Indonesia.

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005

NOTA KEUANGAN DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 NOTA KEUANGAN DAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian global yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan perkembangan dari proses perdagangan internasional. Indonesia yang ikut serta dalam Perdagangan internasional

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan I 2010 Inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5%. Mayoritas responden (58,8%) optimis bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun

Lebih terperinci

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2015 Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2015 Indikator a. Pertumbuhan ekonomi (%, yoy) 5,7 4,7 *) b. Inflasi (%, yoy) 5,0 3,35

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND

LAPORAN KINERJA BULANAN - PANIN Rp CASH FUND LAPORAN BULANAN - PANIN Rp CASH FUND Panin Rp Cash Fund bertujuan untuk memberikan hasil yang relatif stabil melalui penempatan terutama pada instrumen pasar uang. 10-Mar-2004 Pasar Uang 100% Obligasi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi merupakan hal yang harus dilakukan oleh setiap negara terutama negara berkembang seperti Indonesia agar dapat berdiri sejajar dengan negara maju

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kinerja ekonomi Indonesia yang mengesankan dalam 30 tahun terakhir sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan dan kerentanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1983-1997 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1983-2 1997 2. Arah Kebijakan 1983-1997 5 3. Langkah-Langkah Strategis 1983-1997

Lebih terperinci