BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945

dokumen-dokumen yang mirip
"Ojo Dumeh" Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa. Ivanovich Agusta

BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

Yang menentukan bentuk sistem ekonomi kecuali dasar falsafah negara dijunjung tinggi maka yang dijadikan kriteria adalah lembaga-lembaga khususnya

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi.

SISTEM PEREKONOMIAN. By : Angga Hapsila, SE. MM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-1

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEWARGANEGARAAN NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perdesaan (PNPM-MP) salah satunya ditandai dengan diberlakukannya UU No. 6

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

A. Latar Belakang. C. Tujuan Pembangunan KSM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SISTEM EKONOMI INDONESIA BY DIANA MA RIFAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB 10 PERANG DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

Data Kemiskinan, Survai atau Partisipatif? Oleh Ivanovich Agusta. Salah satu pelajaran berharga yang tersembul dari kisruh pemberian dana tunai

Kebijakan Desentralisasi dalam Kerangka Membangun Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah di Tengah Tantangan Globalisasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pokok-pokok Pikiran RUU Kebudayaan, Negara dan Rakyat 1 [sebuah catatan awam] 2. Oleh Dadang Juliantara

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang

BAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun

BAB I PENDAHULUAN. terhadap barang dan jasa, kesehatan, geografis, gender, dan kondisi lingkungan.

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

Materi Kuliah HAK ASASI MANUSIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

BAB I PENDAHULUAN. keadaan dimana masyarakatnya sentosa dan makmur serta berkecukupan, baik dalam

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kemiskinan menjadi salah satu alasan rendahnya Indeks Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Mengingat mutu pendidikan adalah hal yang penting, pembelajaran pun harus

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dalam upaya

Membangun Masyarakat Sejahtera Berdasarkan UU Perlindatayan 1 dan UU Desa

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016

KONSEP DASAR PERKOPERASIAN. 1. Pendahaluan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan sturktural dan kemiskinan kesenjangan antar wilayah. Persoalan

BAB VI PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang

Manifesto Aidit dalam Peranan Koperasi Dewasa Ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Sekilas Tentang UPK Sauyunan Kecamatan Bojongsoang

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Tahun Baru Imlek 2563 Nasional, Jakarta, 3 Februari 2012 Jumat, 03 Pebruari 2012

KEPALA DESA BANJAR KECAMATAN LICIN KABUPATEN BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DESA BANJAR NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

BAB I PENDAHULUAN. masuh belum cukupnya kualitas SDM yang menangani pembangunan. Disamping kualitas SDM, kualitas jenjang pendidikan di Dinas-dinas

KATA PENGANTAR. hidayah-nya. Rencana Strategis (Renstra) Dinas Sosial Tenaga Kerja dan

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

PENDAHULUAN. sumber daya dan dana yang ada. Faktor manusia atau tenaga kerja sebagai penggerak utama

Oleh : Arief Setyadi. Persyaratan Gender dalam Program Compact

Transkripsi:

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian Permasalahan penelitian kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Untuk memahami kompleksitas kemiskinan pada ranah praktik, pengetahuan tentang beragam diskursus kemiskinan tidak diperlakukan sebagai tipe-tipe ideal. Kemiskinan justru dianalisis bersamaan dengan kompleksitas saling hubung dan pengaruh antar diskursus. Oleh karena kekuasaan terintegrasi dalam setiap interaksi, maka hubungan antar diskursus maupun antara tataran diskursif dan praktik juga berupa hubungan kekuasaan (Foucault 2002d: 143). Kekuasaan beroperasi sesuai dengan kehendak untuk memunculkan landasan bagi berlangsungnya diskursus dan praktik (enabling surface of emergence) penanggulangan kemiskinan. Sejalan dengan kemunculan diskursus tertentu mulamula golongan miskin dalam diskursus tersebut memang muncul. Kehendak untuk menanggulangi kemiskinan selanjutnya mengarahkan kekuasaan untuk beroperasi mengelola atau menghilangkan kemiskinan yang telah muncul tersebut. Permasalahan penelitian ini berkaitan dengan tujuan pertama, yaitu menginterpretasi kemunculan keragaman diskursus, strategi penggunaan kekuasaan, dan praktik pengelolaan kemiskinan di pedesaan. Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah dibentuk oleh beragam diskursus dan praktik kemiskinan, sehingga interpretasi dapat dilakukan terhadap beragam upaya tersebut. Dalam waktu yang sangat panjang telah terbentuk diskursus berbagi kelebihan, yang berguna untuk mengelola warga yang kekurangan di dalam desa. Kekuasaan menyembunyikan golongan kekurangan dengan cara membantunya, sehingga mampu menghindari perbedaan yang mencolok antar tetangga. Arena pola nafkah penting untuk membantu, mengelola dan menyembunyikan golongan

194 miskin berupa budidaya di dalam desa atau migrasi sambil memberikan remitan ke dalam desa. Warga desa yang mengikuti aliran mistik atau hakikat justru sengaja hidup menyerupai golongan miskin. Diskursus menginginkan kesederhanaan ini berguna untuk mengelola tubuh pribadi agar semakin suci, sekaligus mengajak warga sedesa atau lain desa untuk menjalankan laku menuju kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari mereka mempraktikkan laku prihatin untuk menjaga jarak dari kebendaan, menjauhkan diri dari mencuri dan korupsi. Diskursus kemiskinan rasial dan etnis berkembang bersamaan dengan kemunculan permasalahan golongan Indo, hasil perkawinan (sering kali tidak resmi) antara pejabat Belanda dan wanita pribumi. Kekuasaan beroperasi melalui pengembangan prasangka abnormalitas etnis dan ras bagi tubuh-tubuh miskin. Normalisasi mengoperasikan kekuasaan untuk menciptakan panduan menuju golongan normal, yaitu keluarga batih yang bertempat tinggal secara menetap dan menjalankan berbagai fungsi domestik maupun kemasyarakatan. Dalam periode yang hampir sama, berkembang pula diskursus kemiskinan sosialis. Kemiskinan muncul sebagai masalah konsekuensi hubungan kelas miskin dengan feudal, kolonial dan kapitalis lain. Upaya penanggulangan kemiskinan mengarahkan kekuasaan untuk mengambil alat produksi dari kaum feudal dan kaum kapitalis (termasuk kapitalis global). Meskipun simpatisan dari kelas atas memandangnya sebagai persoalan, pada saat yang sama kelas miskin tidak melihat kemunculan eksploitasi tersebut. Oleh sebab itu kekuasaan dioperasikan dalam kegiatan penyadaran dan agitasi guna mendapatkan kepercayaan kelas miskin, serta mengorganisasikan kelas miskin dalam aksi perebutan alat produksi. Sejak dekade 1970-an berkembang diskursus potensi golongan miskin. Kekuasaan dioperasikan untuk mempercayai orang miskin dan menggali potensi mereka untuk mandiri. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) menggunakan diskursus ini untuk mengoperasikan pembukaan beragam akses modal usaha, akses prasarana ekonomis dan pendampingan. Kekuasaan diarahkan untuk memunculkan dan bekerjasama dengan golongan miskin dalam kelompok. Interaksi dalam kelompok menghasilkan kekuasaan untuk mengembangkan usaha sambil tetap menjaga solidaritas.

195 Sejak dekade 2000 kian menguat diskursus kemiskinan produksi. Pengetahuan tentang kemiskinan mengoperasikan kekuasaan untuk mengidentifikasi tubuh-tubuh miskin sebagai ketidakmampuan berproduksi. Upaya pengelolaan tubuh miskin selanjutnya mengarahkan kekuasaan untuk menyediakan prasarana produksi, dan sebagian pada permodalan mikro dan kecil. Golongan miskin dilatih agar memenuhi syarat untuk memasuki dan bersaing dalam produksi dan pemasaran. Modal usaha diberikan dalam program pemerintah untuk tubuh-tubuh yang telah memiliki usaha. Tujuan kedua dalam penelitian ini ialah menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam perang antar diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Pencapaian tujuan berguna untuk menjawab pertanyaan ketiga, yaitu mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus menerus. Di samping kekuasaan untuk memunculkan diskursus dan praktik tersebut, dalam penelitian ini kekuasaan juga dikaji dalam mendominasi pihak lain, sebagaimana tersaji pada bab sepuluh. Perang diskursus dan praktik selalu berbentuk hubungan aksi dan reaksi yang sulit berhenti. Kemenangan satu diskursus untuk aktif menafsir kemiskinan bersifat dinamis, karena pada saat yang sama juga muncul reaksi dari diskursus dan praktik lain dalam bentuk manipulasi tafsir. Hubungan kekuasaan antara satu diskursus dan praktik kemiskinan dengan lainnya tidak hanya mendominasi, melainkan sekaligus membuka permukaan bagi manipulasi tafsir baru yang menguntungkan diskursus dan praktik lainnya. Penelitian ini menunjukkan pengambilalihan tafsir bisa berlangsung pada tataran diskursus (dari partisipasi marhaen untuk aksi sepihak, menjadi partisipasi warga desa untuk menyerahkan upah kepada Program PNPM Perdesaan), tataran habitus (alasan bersolidaritas melalui mekanisme tanggung renteng dalam kelompok, diubah menjadi mekanisme pendisiplinan angsuran anggota kelompok), dan tataran arena (perencanaan partisipatoris untuk melatih kemandirian warga desa diubah tafsirnya menjadi wahana masukan program dalam perencanaan birokrasi daerah). Dengan demikian kemenangan satu diskursus dan praktik dalam perang ini selalu bersifat tertunda, bukan kemenangan total dan selesai. Selalu terdapat

196 reaksi dari diskursus dan praktik lainnya untuk turut serta menggunakan kemenangan tersebut. Sebagai contoh, meskipun seluruh kecamatan telah dimasuki diskursus kemiskinan produksi melalui PNPM sejak tahun 2008, pendisiplinan melalui UU Fakir Miskin pada tahun 2011 mengharuskan penerimaan panoptisme oleh Kementerian Sosial yang mendapatkan satu-satunya mandat pengelolaan kemiskinan di dalam negeri. Akhirnya, pertanyaan pertama dan pokok dalam penelitian ini ialah, mengapa kekuasaan yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Sesuai dengan sifat diskursus yang membangun ruang untuk berkuasa, semakin kuat diskursus kemiskinan berkembang, maka tubuh-tubuh miskin semakin banyak muncul. Konsekuensinya, perluasan domain kemiskinan dari individu bertambah keluarga, kelompok, usahawan kecil, hingga pemerintah daerah kian banyak memberikan identitas miskin kepada semakin banyak pihak. Penguatan diskursus kemiskinan sekaligus menunjukkan peningkatan kebutuhan akan tubuh-tubuh miskin. Dalam episteme produksi saat ini, tubuh-tubuh miskin di negara miskin justru dibutuhkan untuk mengefisienkan produksi barang dan jasa. Untuk menjaga agar harga buruh tetap rendah, di masa lalu dikembangkan nilai-nilai negatif terhadap buruh yang juga miskin tersebut, seperti pemalas, bodoh, dan dijauhi Tuhan. Mekanisme kekuasaan yang digunakan dalam perang antar diskursus dan praktik diterapkan untuk mengelola perluasan domain kemiskinan dan penanganannya. Subyek yang miskin tidak hanya menubuh pada individu, melainkan meluas dalam keluarga atau kelompok, hingga etnis. Identitas miskin juga meliputi buruh tani, petani kecil, hingga pedagang kecil. Penanganan kemiskinan tidak hanya dikelola antar tetangga, tetapi telah berbentuk panoptisme di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan global. Panoptisme menghubungkan pengelolaan dari tingkat lokal hingga global, sekaligus memudahkan pendisiplinan terhadap berbagai pihak yang mengelola kemiskinan melalui prosedur-prosedur penanganan yang kian formal dan kian rinci. Pada saat ini pendisiplinan program partisipatoris telah membuat tubuh-tubuh lain yang berbicara, merepresentasikan tubuh-tubuh miskin itu sendiri. Disiplin partisipatoris kembali menyembunyikan tubuh miskin.

197 Berkaitan dengan itu muncullah tujuan penelitian ketiga, yaitu memunculkan golongan miskin untuk menanggulangi kemiskinannya sendiri. Evaluasi terhadap diskursus dan praktik berbagi kelebihan menunjukkan operasi kekuasaan untuk menyembunyikan tubuh miskin dalam hubungan ketetanggaan. Diskursus dan praktik menginginkan kesederhanaan menyembunyikan tubuh miskin dalam laku nyepi, namun secara individual memunculkan tubuh miskin yang suci dalam laku ngrame. Diskursus serta praktik kemiskinan ras dan etnis menyembunyikan bahkan mengalihkan tubuh miskin dalam operasi prasangkaprasangka budaya. Berorientasi pada formalitas, diskursus kemiskinan produksi justru tidak pernah memunculkan tubuh miskin dalam arena-arena formal penanggulangan kemiskinan. Arena yang dibangun hendak memunculkan pemerintah daerah dan pusat. Tubuh orang miskin baru muncul dan aktif dalam diskursus serta praktik kemiskinan sosialis dan potensi golongan miskin. Perbedaan keduanya terletak pada penguatan salah satu sisi sifat kekuasaan. Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menguatkan kekuasaan untuk mendominasi, sementara diskursus potensi golongan miskin menguatkan kekuasaan untuk bersolidaritas. Melalui sudut pandang kekuasaan untuk bersolidaritas, potensi golongan miskin dapat mengoperasikan kekuasaan untuk memunculkan golongan miskin, mengembangkan habitus untuk mempercayai golongan miskin, serta menciptakan arena bagi kemunculan dan aktivitas atau gerakan tubuh-tubuh miskin. Epilog: Tubuh Miskin dan Konstitusi Peneliti telah menyajikan narasi beragam diskursus, habitus, dan arena kemiskinan, baik dalam dinamika kelompoknya sendiri, maupun dalam peran dengan kelompok lainnya. Distingsi satu kelompok ditunjukkan terutama oleh operasi kekuasaan untuk menciptakan metode pemunculan dan pengelolaan golongan miskin yang berbeda dari kelompok lainnya. Diskursus potensi golongan miskin, misalnya, meminta warga desa aktif menghitung sendiri tubuh miskin di wilayahnya, sementara diskursus kemiskinan produksi menyediakan tenaga pencacah untuk mengukur tubuh miskin yang dipasifkan.

198 Sementara itu, perang yang tak kunjung usai antar kelompok diskursus dan praktik 1 dapat menunjukkan kelonggaran atau cairnya mekanisme untuk mendominasi sekaligus memanipulasi penggunaan tafsir, pemikiran, dan pengorganisasian kemiskinan. Sikap yang dianjurkan peneliti ialah terus menerus menggali pemikiran dan praktik kemiskinan yang sesuai atau bertentangan dengan diskursus yang diikuti. Dalam konteks ini telah diketahui cairnya makna kemiskinan telah menjadi arena perang rezim kebenaran diskursus dan praktik. Khusus untuk diterapkan di bumi Indonesia, selayaknya diskursus dan praktik tersebut mampu memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dalam batang tubuh konstitusi telah dinyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia memiliki mandat untuk memunculkan dan mengelola tubuh fakir miskin, tubuh peserta sistem jaminan sosial, tubuh lemah dan tubuh yang tidak mampu. Pengelolaan tubuh miskin sekaligus mengarahkan ekonomi nasional menuju keadilan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh amandemen menjadi Bab XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Adi Sasono mewakili CIDES dalam rapat MPR 28 Pebruari 2002 menyatakan hubungan ekonomi dan kesejahteraan sosial tersebut (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945 2010: 737). Dalam kajian yang dilakukan oleh CIDES, saya menyimpulkan bahwa pasal-pasal ekonomi seperti juga paham lain, itu tidak bisa diletakkan dalam semangat yang netral dan bebas milih. Cara para pendiri republik kita ini merumuskan adalah refleksi dari keyakinan milih yang dianut. Jadi kita tidak bisa mempertimbangkan dalam semangat yang sifatnya bebas milih. Sistem yang dirumuskan berorientasi kepada pasal-pasal yang terkait. Jadi pendidikan Pasal 23 tentu terkait dengan Pasal 33. Penjudulan dari Bab XIV Kesejahteraan Sosial, itu menunjukkan bahwa ekonomi haruslah diletakkan dalam fungsi untuk membangun kesejahteraan sosial, bukan suatu yang berdiri sendiri.. Oleh karena itu, saya memahami bahwa pembahasan pasal ekonomi itu selalu berkaitan dengan pendidikan dan itu berkaitan 1 Ivanovich Agusta, Persilangan Diskursus Kemiskinan, Kompas, 15 Juli 2010 halaman 6.

199 dengan Pasal 34 yang di bawah judul kesejahteraan sosial sebagai fungsi dari usaha ekonomi. Walaupun merupakan mandat konstitusi, namun pengelolaan golongan miskin oleh negara disesuaikan dengan kemampuan pemerintah. Hal ini dimungkinkan oleh terciptanya Pasal 34 Ayat 4, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Afandi dari Fraksi TNI/Polri memberikan penjelasan dalam pengusulan ayat tambahan ini (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945 2010: 743). Kemudian untuk Pasal 34, "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara". Kami sarankan perlu dipertimbangkan Ayat (1) ini untuk ditambahkan kata-kata, "dan diatur dengan undang-undang". Tanpa ada tambahan kata-kata tersebut, seolah-olah ketentuan itu bersifat mutlak dan pasti dapat diberlakukan dan negara mempunyai kemampuan. Padahal pada kenyataannya tidak demikian. Dalam arti bahwa negara belum mempunyai kemampuan yang penuh sehingga ketentuan tersebut berlaku relatif sesuai dengan perkembangan kemampuan negara dan pengaturan yang berlaku. Dengan tambahan kata-kata, "dan diatur dengan undang-undang", maka akan bermakna bahwa semangatnya atau tujuan puncaknya memang demikian, yaitu semua fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, namun dalam pelaksanaannya diatur sesuai kondisi kemampuan negara. Dalam perkembangan mutakhir, program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan dari tingkat desa hingga nasional. Sayangnya, tidak diwajibkan hadirnya tubuh miskin atau tokoh di antara golongan miskin selama perjalanan mekanisme perencanaan pembangunan tersebut. Menurut UU 13/2011 tentang fakir miskin, tubuh miskin didisiplinkan dalam permukiman dan rumah panti. Akan tetapi, berlawanan dari penenggelaman tubuh miskin itu, diskursus potensi golongan miskin pernah memunculkan tubuh miskin dalam kerjasamanya dengan berbagai orang luar. Pengalaman ini dapat digunakan untuk menguatkan

200 posisi tubuh miskin dari dalam golongan mereka sendiri, agar bersambut dengan upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Perkembangan mutakhir tersebut memberikan pelajaran untuk memanfaatkan konsep kekuasaan dalam penelitian ini guna menjalin solidaritas antar berbagai pihak bukan kekuasaan untuk mendominasi pihak lain. Solidaritas diarahkan untuk memunculkan tubuh miskin, 1 dan mendampinginya membuka sendiri potensi kemandirian, serta bersama-sama menuju kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. 2 1 Ivanovich Agusta, Personifikasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Kompas, 13 Juli 2011 halaman 7. 2 Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla. Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera: Visi, Misi dan Program. Jakarta, 20 Mei 2004.