BAB II. Tinjauan Pustaka. Tinjauan umum tentang asuransi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD

TINJAUAN YURIDIS PENJAMINAN POLIS ASURANSI DALAM PEMBERIAN FASILITAS KREDIT PADA PERUSAHAAN ASURANSI BRINGIN LIFE

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

Istilah dan Pengertian Asuransi ASURANSI. 02-Dec-17

Istilah dan Pengertian Asuransi ASURANSI. Hubungan antara Risiko dengan Asuransi 11/8/2014

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin pesat, dan untuk itu masyarakat dituntut untuk bisa mengimbangi

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI JIWA DAN KLAIM ASURANSI JIWA

Dokumen Perjanjian Asuransi

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Asuransi dan Pengaturan Asuransi. sehingga kerugian itu tidak akan pernah terjadi.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI MENURUT HUKUM

BAB II PEMBAHASAN ASURANSI JIWA SECARA UMUM. sangat singkat sekali dan hanya terdiri dari tujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

MAKALAH HUKUM KOMERSIAL HUKUM ASURANSI. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Komersial Dosen Pembimbing : Disusun oleh : Kelompok 8

BAB II PERJANJIAN ASURANSI DAN BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN ASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ASURANSI

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang serius ialah lembaga jaminan. Karena perkembangan ekonomi akan

PELAKSANAAN ASURANSI TERHADAP DEBITUR SECARA TANGGUNG RENTENG DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 1278 KUH PERDATA

BAB II ASURANSI KONVENSIONAL

TINJAUAN PUSTAKA. Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda Verzekering atau Assurantie. Oleh

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan telah berkembang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI. Asuransi atau dalam bahasa Belanda Verzekering yang berarti

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK-HAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI JIWA. bahasa Belanda disebut verzekering yang berarti pertanggungan atau asuransi dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

BAB I PENDAHULUAN. material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan

BAB II PENGATURAN ASURANSI DI INDONESIA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi. diharapkan. Disamping itu dapat pula berupa peristiwa negatif yang

BAB II RUANG LINGKUP HUKUM ASURANSI Oleh : SURAJIMAN

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB VI POLIS ASURANSI

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG ASURANSI DI INDONESIA. Asuransi dalam bahasa Belanda disebut verzekering

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Verzekering (bahasa Belanda) berarti pertanggungan dalam suatu asuransi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

BAB II LANDASAN TEORI. dengan sudut pandang yang mereka gunakan dalam asuransi. Adapun definisi

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

I. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam KUHD asuransi jiwa diatur dalam Buku 1 Bab X pasal pasal 308

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN POLIS ASURANSI JIWA DALAM PENUNTUTAN KLAIM (STUDI PADA PT. PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE DENPASAR)

BAB II LANDASAN TEORI. kondisi teori-teori yang mendukung di dalam mengkaji masalah wanprestasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa dan mewujudkan pembangunan nasional.dalam poladasar

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Manfaat Dan Mekanisme Penyelesaian Klaim Asuransi Prudential. Ratna Syamsiar. Abstrak

HUKUM ASURANSI. Lecture: Andri B Santosa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah

BAB II KARAKTERISTIK ASAS INDEMNITAS DALAM PERJANJIAN ASURANSI. yang dilakukan oleh tertanggung. Asas asas dalam asuransi adalah: ganti kerugian.

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB I PENDAHULUAN. dibidang asuransi. Mulai sejak zaman sebelum masehi yaitu pada masa kekaisaran

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

ANALISIS HUKUM PEMBERATAN RISIKO DALAM ASURANSI JIWA PADA PERUSAHAAN AJB BUMIPUTERA 1912 BANDAR LAMPUNG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang. sedang membangun terutama bidang pendidikan dan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya selalu dipenuhi dengan risiko. Risiko adalah kemungkinan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DI DALAM PEMBAYARAN KLAIM PADA ASURANSI JIWA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie

BAB X ASURANSI A. DEFINISI ASURANSI

Transkripsi:

BAB II Tinjauan Pustaka Tinjauan umum tentang asuransi A. Pengertian Asuransi Istilah asuransi atau pertanggungan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu dari kata verzekering. Di indonesia, para sarjana tidak ada keseragaman dalam pemakaian istilah pertanggungan. Dalam uraian skripsi ini nanti tidak dibedakan istilah asuransi atau pertanggungan, keduannya digunakan secara bergantian. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa : Asuransi atau dalam bahasa Belanda Verzekering berarti pertanggungan. dalam suatu asuransi terlibat dua pihak, yaitu yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa pihak yang lain akan mendapatkan penggantian suatu kerugiaan, yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan akan saat terjadinya. Suatu kontra prestasi dari pertanggungan ini, pihak yang ditanggung itu, diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi. 7 berikut: Sementara itu Muhammad Muslehuddin memberikan pengertian asuransi sebagai 7 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1986, hal.1

istilah asuransi menurut pengertian railnya, adalah iuran bersama untuk meringankan beban individu kalau-kalau beban tersebut menghancurkannya. Konsep asuransi yang paling sederhana dan umum adalah suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bisa ditimpa kerugian, kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka, maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok. 8 Defenisi (perumusan otentik) dari asuransi termuat dalam Pasal 246 KUHD, yang berbunyi sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan dirinya kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu. Meskipun dalam definisi tersebut di atas, seolah-olah hanya terdapat satu pihak saja yaitu penanggung yang terikat, tetapi jika diselami maksud sebenarnya dari perumusan itu, maka pihak tertanggung juga terikat untuk melakukan sesuatu terhadap pihak lain. Dari pengertian asuransi yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD itu, Wirjono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa ada 3 unsur dalam asuransi yaitu : Unsur ke 1 : Pihak terjamin (verzekerde), berjanji membayar uang premi kepada penjamin (verzekeraar), sekaligus atau berangsur-angsur. Unsur ke 2 : Pihak penjamin (verzekeraar) berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak terjamin (verzekerde) sekaligus atau berangsur-angsur apabila terlaksana unsur ke 3. 8 Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern, Lentera, Jakarta, 1999, hal. 3

Unsur ke 3 : Suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi. 9 Rumusan yang diberikan oleh pasal 246 KUHD di atas adalah pengertian asuransi secara umum. Pasal 246 KUHD ini belum memberikan pengertian yang lengkap, karena lebih menekankan pada asuransi kerugian saja, sedangkan pengertian asuransi jiwa atau sejumlah uang tidak tercukup didalamnya oleh karena itu dalam UU.No.2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian diberikan suatu defenisi yang lebih lengkap, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yaitu : Asuransi atau pertanggung adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan nama pihak penanggung mengikatkan diri kepada penanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung, karena kerugian, kerusakan atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atau meninggalkan atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Seperti dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, maka transaksi yang terjadi antara penanggung dengan tertanggung harus memenuhi syarat tersebut (Pasal 1320 KUH Perdata). Dan apabila ini telah terjadi maka kedua belah pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Kalau Pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa tiada kata sepakat yang sah apabila kesepakatan itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Maka khusus bagi perjajian asuransi syarat-syarat tersebut masih dirasakan kurang, sehingga oleh Pasal 251 KUHD masih dipertegas lagi dengan mengatakan : bahwa tertanggung harus memberikan keterangan yang benar dan jujur, dan apabila ada hal-hal yang 9 Wirdjono Prodjodikoro, Loc Cit, hal 5

disembunyikannya menyebabkan perjajian batal. Ketentuan ini berlaku untuk semua perjajian asuransi dengan tujuan untuk melindungi pihak penanggung. Ada dua hal yang diberikan dari ketentuan itu yaitu : 1. Tertanggung hendaknya jangan memberikan keterangan yang keliru atau tidak benar kepada penanggung. 2. Tertanggung hendaknya jangan/tidak memberitahu hal-hal yang mempunyai sifat sedemikian rupa, sehingga perjajian itu tidak akan ditutup atau tidak mungkin diadakan dengan syarat-syarat yang sama, mengetahui keadaan sebenarnya walaupun ada itikad baik dari tertanggung dan apabila hal ini terjadimaka batallah perjajian asuransi yang dibuat. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa, perjajian asuransi merupakan perjajian timbal balik yaitu perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama melakukan prestasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Pihak pertama sebagai pihak yang ditanggung, mengalihkan beban atau resikonya kepada pihak kedua yaitu penaggung. Dari rumusan Pasal 1 Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menunjukkan bahwa pada dasarnya asuransi atau pertanggung merupakan suatu upaya dalam rangka menanggunlangi adanya resiko, yaitu kemungkinan kehilangan atau kerugian atau kemungkinan penyimpangan harapan yang tidak menguntungkan karena kemungkinan penyimpangan harapan merupakan suatu kehilangan. Antara asuransi dengan resiko mempunyai keterkaitan yang sangat erat, karena asuransi itu sendiri justru menanggunlangi adanya resiko, dan tanpa adanya resiko, asuransi atau pertanggungan tidak diperlukan kehadirannya.

Pada hakikatnya, semua asuransi bertujuan untuk menciptakan suatu kesiapansiagaan dalam menghadapi berbagai resiko yang yang mengancam kehidupan manusia, terutama resiko terhadap kehilangan atau kerugian yang membuat orang secara sungguh-sungguh memikirkan cara-cara yang paling aman untuk mengatasinya. 10 Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengatakan bahwa tujuan semula dari pertanggungan itu adalah tujuan ekonomi, yaitu bahwa seseorang menghendaki supaya resiko yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu dapat diperalihkan kepada pihak lain dengan diperjanjikan sebelumnya dengan syarat-syarat yang dapat disepakati bersama. 11 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pengertian hukum asuransi atau pertanggungan mengandung satu arti yang pasti, yaitu sebagai salah satu jenis perjanjian dengan tujuan berkisar pada manfaat ekonomi bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Menurut KUH Perdata, perjanjian asuransi diklasifikasi sebagai perjanjian untunguntungan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1774 : Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak bergantung dari suatu kejadian yang belum tentu. demikian adalah; Perjajian pertanggungan; Bunga cagak hidup; Perjudian dan pertaruhan, Persetujuan yang pertama diatur dalam KUHD. 1997, hal. 28 10 Mehr & Cammack-A. Hasyimi, Dasar-dasar Asuransi, Balai Aksara, Jakarta, 1981. hal. 13 11 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Beberapa Aspek Hukum Dagang di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta,

Menurut Pasal 1774 KUHPdt di atas, perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung atau ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi beberapa pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Selain asuransi, yang termaksuk dalam perjanjian untung-untungan adalah bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan perjudian adalah perbuatan berjudi, yaitu permainan dengan bertaruh uang (seperti main kartu, main dadu, dan sebagainya). 12 Sedangkan pertaruhan adalah perbuatan bertaruh atau memasang taruh, yaitu uang dan sebagainya yang dipasang pada ketika berjudi. 13 Meskipun asuransi dan perjudian ditempatkan dalam pasal yang sama sebagai perjanjian untung-untungan, namun antara kedua perbuatan itu terdapat perbedaan yang prinsipil, yang menyebabkan asuransi diterima oleh undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1788 KUHD Undang-Undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu utang yang terjadi karena perjudian dan pertaruhan. yaitu : Beberapa perbedaan antara asuransi (khususnya asuransi kerugian) dan perjudian a. Dilihat dari segi tidak pastinya prestasi Pada asuransi, tidak pastinya prestasi hanya ada pada pihak penanggung. Penanggung akan membayar prestasi yang akan mungkin jauh lebih besar dari yang diterimanya, manakala peristiwa yang tidak pasti terjadi. Sedangkan pihak yang tertanggung, tetap akan membayar prestasi (premi) kepada penanggung baik terjadi atau tidak terjadinya peristiwa itu. 12 W.J.S. Poerwadarminta, Kampus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 424 13 W.J.S. Poerwadarminta, Loc cit, hal 1023

Pada perjudian tidak pastinya prestasi ada pada semua pihak (peserta perjudian). Para penjudi menggantungkan kewajiban untuk melakukan prestasi, manakala suatu peristiwa yang tidak pasti terjadi, dengan mana telah menyebabkan timbulnya ketidak-samaan nilai dari prestasi diantara mereka. b. Dilihat dari segi prinsip Indemnitas (pembatasan ganti rugi) Pada asuransi, penanggung akan membayar ganti kerugian berdasarkan jumlah atau besarnya kerugian yang sesungguhnya di derita oleh tertanggung, yang disebut dengan prinsip (asas) indemnitas. Sedangkan pada perjudian, asas indemnitas ini tidak ada, karena pihak menang akan menerima pembayaran berdasarkan jumlah pertaruhan atau menurut yand diperjanjikan diantara para penjudi. c. Dilihat dari segi resiko Pada asuransi, resiko atau kemungkinan tertimpa berbagai bahaya menyebabkan hilangnya kekayaan atau timbulnya kerugian, telah ada sejak semula dan akan tetap ada, terlepas dari apakah suatu kekayaan itu dipertanggungkan atau tidak. Pada perjudian, resiko hilangnya kekayaan (dalam hal ini uang pertaruhan), adalah suatu yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Resiko itu baru ada, setelah seorang penjudi itu mengeluarkan uang pertaruhannya, yang sebenarnya dapat dihindarkan, kalau ia mau berbuat untuk itu. d. Dilihat dari segi tujuan Pada asuransi, dengan mengeluarkan premi seorang tertanggung sama sekali tidak mengharapkan terjadinya peristiwa yang tidak pasti, walaupun dengan terjadinya itu, ia dapat menuntut ganti kerugian dari penanggung. Tujuan asuransi adalah semata-mata untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjadi kerugian karena peristiwa yang tidak pasti dan bukan

mengharapkan terjadinya peristiwa itu. Apa yang diperoleh tertanggung dalam hal terjadinya kerugian atas dirinyaitu, tidak dapat dipandang sebagai keuntungan. e. Dilihat dari segi fungsi uang premi Pada asuransi, setelah pembayaran premi, seorang tertanggung mendapatkan jaminan untuk memperoleh penggantian atas setiap kerugian yang terjadi karena peristiwa yang dipertanggungkan. Premi, dalam hal ini berfungsi sebagai modal atau biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pengamanan. Pengamanan ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan mempunyai jangkauan yang jauh bagi kelangsungan hidup perekonomian, yang kegunaannya itu tidak akan berkurang, baik dalam hal terjadi atau tidak terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan itu. Pada perjudian, jika seorang penjudi kalah dalam permainan, maka uang taruhan yang telah dikeluarkan itu, merupakan sesuatu yang hilang secara percuma. Dengan jalan apapun ia tidak akan dapat memperoleh kembali kehilangan itu. Satu-satunya yang dapat dikatakan sebagai imbangan ialah harapan untuk mendapatkan kemenangan pada permainan berikut. Tetapi harapan ini akan membawa penjudi itu untuk terus bermain dalam jangka waktu yang lama dan tidak terkendali. 14 Pengklasifikasian perjanjian asuransi atau pertanggungan sebagai perjanjian untunguntungan yang disamakan dengan perjudian dalam Pasal 1774 KUHPdt, menimbulkan beberapa pendapat yang membedakan antara keduanya. Menurut Sri Rejeki Hartono pengklasifikasian perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan sebagai perjanjian untung-untungan adalah tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam perjanjian itu sendiri. Perjanjian untung- 14 Amiruddin Abdul Wahab, Tinjauan Tentang Aspek-aspek Hukum Dalam Asuransi Kecelakaan Bermortor di Indonesia, Disertai, Universitas Airlangga, Surabaya 1990, hal 39

untungan lebih mengarah pada pertaruhan atau perjudian. Tujuan perjanjian untung-untungan selalu berkaitan dengan keuangan yang dihubungkan dengan terjadi atau tidaknya dengan suatu peristiwa yang belum pasti, dan keberadaan dari peristiwa tersebut baru dimulai setelah ditutupnya perjanjian tersebut, jadi bersifat spekulatif. Berbeda halnya dengan perjanjian pertanggungan yang mempunyai tujuan yang lebih pasti, yaitu mengalihkan resiko yang sudah ada yang berkaitan dengan kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap berada pada posisi yang sama. B. Dasar Hukum Asuransi Sumber hukum asuransi adalah dasar kekuatan atau dasar berpijak kegiatan penyelenggaraan asuransi. Secara umum di indonesia sekarang ini, perjanjian asuransi diatur dalam dua kodifikasi, yaitu KUHPerdata dan KUHD. Di samping itu sejak tahun 1992 juga telah keluar Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Untuk lebih jelasnya, dasar hukum perjanjian asuransi di indonesia antara lain : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) a. Buku III Bab I tentang perikatan-perikatan pada umumnya. b. Buku III Bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). a. Buku I Bab IX Pasal 246 s/d 286, memuat tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya. b. Buku I Bab X Pasal 287 s/d 308, memuat tentang pertanggungan terhadap biaya kebakaran, hasil pertanian dan pertanggungan jiwa.

c. Buku II Bab IX Pasal 592 s/d 685, memuat tentang pertanggungan terhadap bahayabahaya laut dan bahaya-bahaya perbudakan. d. Buku II Bab X Pasal 686 s/d 695, memuat pertanggungan terhadap bahaya-bahaya pengangkutan di darat dan di sungai-sungai serta perairan pedalaman. 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tanggal 11 Februari 1992 tentang Usaha Perasuransian. 4. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 tentang penyelenggaraan usaha peasuransian. a. Keputusan-keputusan Menteri Keuangan sebagai petunjuk pelaksanaan Undang- Undang dan Peraturan Pemerintah. b. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1250/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang Usaha Asuransi Jiwa. c. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 77/KMK.011/1987 tanggal 10 Februari 1987 tentang Perizinan Agen Asuransi Jiwa di indonesia. d. Surat Dirjen Moneter Dalam Negeri Departemen Keuangan RI No. 626/MK-11/1987 tanggal 15 September 1987 tentang Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 77/KMK-011/1987. e. Surat Edaran Dirjen Moneter Dalam Negeri Departemen Keuangan RI No. SE- 365/MD/1981 tentang Kode Etik Agen Asuransi Jiwa. C. Pengertian Asuransi Jiwa Khusus mengenai pertanggungan jiwa, Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengemukakan sebagai berikut : Perjanjian pertanggungan jiwa dapat diartikan sebagai suatu perjanjian dimana suatu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar uang secara sekaligus atau periodik,

sedang pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar premi dan pembayaran itu tergantung pada mati atau hidupnya seseorang tertentu atau lebih. 15 Sementara itu H.M.N. Purwosutjipto memberikan pengertian tentang asuransi jiwa sebagai berikut : Asuransi jiwa adalah suatu perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama berjalannya asuransi membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah dilampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang telah ditunjukan oleh penutup asuransi sebagai penikmat. 16 Selain itu menurut pendapat H. Abdul Muis menyatakan pertanggungan jiwa termasuk dalam golongan sommen verzekering yaitu suatu persetujuan pertanggungan menanggung untuk membayar sejumlah uang yang jumlahnya sudah ditentukan terlebih dahulu, apabila sesuatu hal yang belum pasti telah terjadi sommen verzekering (pertanggungan sejumlah uang) dimana pertanggungan atas hidup atau jiwa seseorang atas kesehatan seseorang, terhadap invalid seseorang yang pada pokoknya mengenai pribadi seseorang yang sama juga halnya dengan pertanggungan sejumlah uang. Sommen verzekering dalam bidang pertanggungan jiwa ini dapat digolongkan dua jenis pertanggungan yaitu : 15 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Beberapa Aspek Hukum Dagang di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1997, hal. 28 16 H.M.N. Poerwosutjipto, Op Cit, hal 1

a. Pertanggungan jiwa yang murni, karena disamping unsur pertanggungan tidak lagi mempunyai unsur yang lain; b. Pertanggungan jiwa yang tidak murni disamping mempunyai unsur pertanggungan masih terdapat unsur lain; Pertanggungan jiwa yang murni adalah pertanggungan terhadap kematian dalam jangka waktu tertentu. Dalam pertanggungan ini ada kemungkinan perusahaan pertanggungan tidak usah membayar apabila si tertanggung tidak meninggal dunia dalam jangka waktu tertentu. Dalam pertanggungan jiwa tidak murni soal unsur yang tidak pasti (onzekervooval) itu bukanlah apakah ia akan mati ( karena semua orang pasti akan mati). Tetapi apabila ia mati dalam semua hal uang pertanggungan itu harus dibayar. Perusahaan pertanggung tentu akan memperhitungkan akan hal ini dan karenanya akan menyediakan sebahagian dari premi untuk membayar jumlah itu kelak. Sebagai suatu perjanjian, maka asuransi juga dikuasai oleh ketentuan mengenai persyaratan sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan 4 syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subyektif karena menyangkut orangorang (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian. Dan apabila syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan. Syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat obyektif karena menyangkut dengan perjanjian itu sendiri yang menjadi objek dari perbuatan hukum itu. Jika salah satu

dari kedua syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian yang diadakan itu dianggap tidak ada. perjanjian yang demikian adalah batal demi hukum (absolut nietighied), yang berarti tidak perlu lagi dimintakan pembatalannya oleh para pihak. 17 Jadi dalam asuransi jiwa yang dipertanggungkan adalah kemungkinan terjadinya kerugian oleh suatu peristiwa yang belum tentu terjadi yang disebut dengan resiko. Resiko yang ditimbulkan terletak pada unsur waktu. Mengenai pengertian resiko Herman Darmawi menulis beberapa defenisi resiko yang dikemukakan oleh Vaughan sebagai berikut : 1. Risk is the chance of loss (resiko adalah kerugian) 2. Risk is the possibility of loss (resiko adalah kemungkinan kerugian) 3. Risk is uncertainty ( resiko adalah ketidakpastian) 18 Dari ketentuan Pasal 302 KUHD tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa asuransi jiwa itu berbentuk : a. Asuransi jiwa yang disadarkan untuk selama hidupnya seseorang yang pembayaran klaim asuransi digantungkan pada meninggalnya seseorang itu. b. Asuransi jiwa yang hanya berlangsung untuk tenggang waktu tertentu ditentukan dalam perjanjian. D. Polis Asuransi 1. Fungsi Polis 17 H. Abdul Muis, Bunga Rampai Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Medan Area, Medan 2001, hal. 41-42 18 Herman Darmawi, Manajemen Resiko, Bumi Aksara Jakarta, 2000, hal. 19

Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Selanjutnya 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 menentukan polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengadung kata-kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penaggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya. Berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interprestasi, sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi. Disamping itupolis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan Asuaransi. Namun Pasal 257 KUHD ayat (1) menyatakan bahwa perjanjian pertanggungan itu telah ada, segera setelah adanya kata sepakat, bahkan sebelum polis itu ditandatangani. Tetapi lain halnya menurut Pasal 258 KUHD ayat (1) yang mengatakan bahwa untuk membuktikan adanya perjanjian pertanggungan, harus dibuktikan dengan surat, akan tetapi semua upaya pembuktian akan diperkenankan bilamana ada permulaan pembuktian dengan surat. Dari bunyi pasal ini jelas bahwa polis bukan merupakan syarat sahnya perjanjian tetapi merupakan sekedar alat bukti dalam perjanjian pertanggungan. Bahkan Emmy Pangaribuan S, mengatakan bahwa polis itu merrupakan alat bukti yang sempurna tentang apa yang mereka perjanjikan dalam polis itu. Asuransi mulai ditentukan oleh tanggal yang disebut dalam nota penutupan sedangkan mulainya kontrak asuransi ditentukan oleh pembayaran premi pertama misalnya kontrk

asuransi ditentukan oleh pembayaran premi pertama, misalnya dalam nota penutupan dinyatakan mulai asuransi; 1 Maret 1988. Seandainya tertanggung meninggal pada tanggal 15 Februari 1988 maka tidak ada kewajiban perusahaan untuk membayarnya. Cara Penutupan Asuransi 1. Mereka yang bermaksud menutup kontrak asuransi jiwa diwajibkan mengisi dan menandatangani surat permintaan dan formulir-formulir lainnya yang khusus disediakan untuk keperluan itu, dan selanjutnya menyampaikannya kepada perusahaan. Bentuk formulir yang disediakan untuk diisi dan ditanda tangani dalam hal : a. Penutupan asuransi tanpa pemeriksaan kesehatan (non medical) adalah : i. Surat Permintaan (S.P) ii. Surat Keterangan Kesehatan Calon Tertanggung (SKK) b. Penutupan Asuransi dengan pemeriksaan dokter (medical) adalah : i. Surat Permintaan (S.P) ii. Laporan 2. Semua keterangan persyaratan dan kesanggupan yang dicantumkan didalam surat permintaan dan formulir-formulir lainnya yang telah ditanda tangani oleh calon pemegang polis, menjadi dasar dari kontrak asuransi jiwa antara perusahaan dan pemegang polis. 3. Jika kemudian ternyata keterangan, pernyataan dan kesanggupan yang dicantumkan maupun didalam formulir-formulir lainnya yang dibuat dalam rangka kontrak asuransi jiwa ini tidak benar atau palsu, maka perusahaan mempunyai hak untuk membatalkan kontrak ini. 4. Dalam hal kesalahan keterangan, peryataan dan kesanggupan tersebut pada point 3 ternyata dibuat dengan tidak sengaja oleh pemegang polis, menurut pertimbangan perusahaan kontrak ini berlaku terus dengan pembetulan, disesuaikan dengan dengan

keadaan sebenarnya. Jika karena pembetulan atas kehendak pemegang polis kontrak asuransi ini dihentikan, maka terhadap asuransi ini diberlakukan pasal-pasal mengenai penghentian kontrak dengan ketentuan segala sesuatunya didasarkan atas keadaan yang sebenarnya. 2. Isi Polis Menurut ketentuan Pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat berikut ini : 1) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi. 2) Nama tertanggung untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga. 3) Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan. 4) Jumlah yang diasuransikan 5) Bahaya-bahaya/evenemen yang ditanggung oleh penanggung. 6) Saat bahaya/evenemen mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penaggung. 7) Premi asuransi. 8) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara pihak. Disamping syarat-syarat khusus tersebut, dalam polis harus dicantumkan juga berbagai asuransi yang diadakan lebih dahulu, dengan ancaman batal jika tidak dicantumkan. Berbagai asuransi yang dimaksud adalah seperti tercantum dalam pasal KUHD berikut ini : 1) Reasuransi (Pasal 271 KUHD) 2) Asuransi rangkap (Pasal 252 KUHD) 3) Asuransi Insolvabilitas (Pasal 280 KUHD) 4) Asuransi kapal yang sudah berangkat berlayar (Pasal 603 KUHD)

5) Asuransi kapal yang belum tiba ditempat tujuan (Pasal 606 KUHD) 6) Asuransi atas keuntungan yang diharapkan (Pasal 615 KUHD) 3. Jenis Polis Dalam praktek asuransi, setiap perusahaan Asuransi telah menyusun polisnya masingmasing dengan syarat-syarat khusus dan pula. Berdasarkan syarat-syarat khusus dan klausulaklausula tertentu yang dicantumkan dalam polis timbullah bermacam-macam jenis polis yang berbeda antara satu sama lain, bahkan menunjukan persaingan antara sesama lain, bahkan menunjukan persaingan antara satu sama lain, bahkan menunjukan persaingan antara sesama penanggung. Demikian juga tertanggung, ada yang merasa sulit memiliki perusahaan Asuransi yang mana akan dijadikan penanggung karena masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. 1) Polis Maskapai Dinamakan polis maskapai karena polis ini dibuat dan diterbitkan oleh maskapaimaskapai asuransi. Selain syarat-syarat yang diharuskan oleh Undang-undang, Polis maskapai memuat beberapa ketentuan khusus yang berlaku bagi maskapai yang menciptakan syarat-syarat tersebut. Dalam operasi kerjanya perusahaan Asuransi yang mengunakan Polis Maskapai ini banyak mengalami kesulitan, sehingga lambat laun polis maskapai ini ditinggalkan dan orang mulai mengarah pada perbuatan dan penggunaan polis seragam. 2) Polis Bursa Polis mempunyai syarat-syarat yang seragam dan digunakan pada bursa asuransi. Ada dua macam polis bursa yaitu Polis Bursa Amsterdam dan Polis Bursa Rotterdam. Kedua Polis ini digunakan pada asuransi pengangkutan laut dan asuransi kebakaran. Kedua polis ini dinamakan demikian karena Polis Bursa Amsterdam digunakan di Bursa Asuransi Amsterdam, sedangkan Polis Bursa Rotterdam digunakan di bursa Asuransi Rotterdam.

Polis-polis ini masih terus dikembangkan dengan menambah syarat-syarat yang telah diseragamkan itu secara berurutan dengan diberi nomor urut dan dicetak. Dalam dunia usaha-usaha Asuransi di indonesia dewasa ini, Polis-polis standar yang demikian itu digunakan oleh Perusahaan Asuransi. Disamping itu Dewan Asuransi Indonesia (PAI) juga telah menetapkan Polis Standar untuk Asuransi Kebakaran dan Asuransi Kendaraan bermotor. 3) Polis Lloyds Polis Lloyds adalah polis yang digunakan di Bursa Lloyds London. Polis ini telah dikembangkan sendiri dibawah merek Lloyds dan hanya digunakan oleh perusahaan Asuransi yang menjadi The Lloyds Corpepration. Polis Lloyds digunakan untuk asuransi pengangkutan laut, asuransi kebakaran dan asuransi terhadap bahaya-bahaya lain. Polis Lloyds untuk asuransi penggangkutan laut diatur oleh Marine Insurance Act 1906. Tentang Polis Pertanggungan Jiwa diatur didalam Pasal 304 KUHD yang menyebutkan : a) Hari ditutupnya pertanggungan b) Nama si tertanggung c) Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan d) Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si penanggung e) Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan Di dalam sub 2 disebut tertanggung yang ternyata kalau dihubungkan dengan apa yang disebut di dalam sub-sub yaitu nama orang yang jiwa nya dipertanggungkan, tidak lain daripada bahwa yang dimaksud orang yang mengambil pertanggungan tersebut, yang menurut sistem undang-undang adalah orang yang berkepentingan walaupun kenyataannya di dalam praktek kedua sifat itu tidak selalu jatuh bersama.

Apabila kita perhatikan bunyi Pasal 304 KUHD maka tidak ada sebutkan bahwa polis harus ditanda tangani oleh tiap-tiap penanggung seperti yang diatur didalam Pasal 255 ayat 2 KUHD mengenai isi Polis pada umumnya. Tetapi ini tidak berarti bahwa Polis dari pertanggungan jiwa itu tidak perlu dibubuhi tanda tangan penanggung. Walaupun demikian penyebutan itu hanya merupakan penunjuk bukan hukum yang memaksa seperti yang diatur dalam Pasal 603, 605, 606 masing-masing dari KUHD untuk pertanggungan laut. Tanpa ada hal-hal itu pertanggungan tetap sah dan tidak batal. 4. Gadai Polis Tergolong sebagai benda yang dapat digadaikan ialah tagihan, polis dalam hal ini merupakan surat tanda bukti adanya penagihan, dan kurangnya polis dapat juga merupakan benda yang dapat digadaikan. Pengadaian polis dalam hal ini dimaksudkan untuk memberi jaminan kepada debitor pemberi gadai, sebelum hutangnya lunas. Apabila debitor meninggal dunia, maka seluruh hutang sisanya dibayar dengan uang pertanggungan. Penggadaian polis hanya akan mengikat penanggung, bila hal itu diperjanjikan secara tegas-tegas ; baik didalam polis sendiri maupun dengan surat yang tersendiri. Sedangkan menurut kebiasaan dari Asuransi Rakyat untuk memperkenalkan polis-polis yang dikeluarkan dipergunakan sebagai obyek penggadaian. E. Asas-asas Dalam Hukum Asuransi Dalam hukum asuransi terdapat tiga asas pokok yaitu asas indemnitas, asas kepentingan dan asas itikad baik. 1) asas indemnitas

Kata indemnitas berasal dari bahasa latin yang berarti ganti kerugiaan. inti asas indemnitas adalah seimbang antara kerugian yang betul-betul diderita tertanggung dengan jumlah ganti kerugiaannya. 19 Dalam hukum asuransi, asas indemnitas tersirat dalam Pasal 246 KUHD yang memberi batasan tentang asuransi atau pertanggungan, yaitu sebagai perjanjian yang bermaksud memberikan penggantian untuk suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan yang mungkin diderita oleh tertanggung sebagai akibat terjadinya suatu bahaya yang pada saat ditutupnya perjanjian tidak dapat dipastikan apakah akan terjadi atau tidak. 20 Asas ini hanya berlaku terhadap asuransi kerugian saja, tidak berlaku terhadap asuransi sejumlah uang. Ada 3 macam kerugian yang timbul karena kehilangan atau kerusakan harta benda dalam asuransi kerugian yaitu : 1) Kerugiaan atas barang itu sendiri. 2) Kerugiaan pendapatan dan pemakaian, karena hancurnya barang itu sampai barang itu dapat diganti 3) Kerugiaan yang menyangkut tanggung jawab terhadap orang lain. Semua jenis kerugian tersebut dapat dituntut penggantiannya jika resiko terhadap timbulnya kerugian itu pertanggungkan secara tegas. Dengan adanya asas indemnitas ini, maka jumlah ganti rugi yang diberikan penaggung kepada tertanggung, tidak melebihi besarnya kerugian yang sebenarnya diderita oleh tertanggung. Dengan kata lain, asas indemnitas bermaksud semata-mata untuk memulihkan keadaan tertanggung yang tertimpa kerugian kembali seperti keadaan sebelum terjadinya kerugian itu, sehingga jumlah kekayaan tertanggung tetap terpelihara. 19 H.M.N. Poerwosutjipto, Op Cit, hal 58 20 Gunanto, Asuransi Kebakaran di Indonesia, Tirta Pustaka, Jakarta, 1984, hal 34

Gunanto berpendapat, perjanjian yang memungkinkan tertanggung menjadi lebih kaya daripada sebelum tertimpa musibah dapat membuat tertanggung justru mengharapkan terjadinya musibah. hal tersebut tidak dapat ditoleransi. 21 Penentuan besarnya ganti kerugiaan pada jumlah yang sesungguhnya diderita oleh tertanggung ini sifatnya adalah memaksa. Setiap penyimpangan atau pelepasan dari ketentuan tersebut adalah batal. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 252, 253, dan 254 KUHD. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut jelaslah bahwa penggantian lebih tinggi dari jumlah kerugian atau harga kepentingan yang sesungguhnya tidak diperbolehkan. Sementara penggantian kerugian lebih rendah dari kerugian yang sesungguhnya diderita dapat terjadi, apabila diadakan pertanggungan di bawah harga. Hal ini diatur dalam Pasal 253 ayat 2 KUHD, tetapi ketentuan itu tidak bersifat memaksa, karena hal itu dapat dilanggar dengan membuat janji secara tegas untuk pembayaran penuh yang disebut dengan primer risque sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 253 ayat 3 KUHD. 2) Asas Kepentingan Asas kepentingan dalam hukum asuransi diatur dalam Pasal 250 dan 268 KUHD. Pasal 250 KUHD menyebutkan : Apabila seseorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberi ganti rugi. 21 Ibid, hal. 36

Selanjutnya dalam Pasal 268 KUHD disebutkan, suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya, dan tidak dikecualikanoleh undang-undang. J.E. Kaihatu menyebutkan, kepentingan adalah suatu hubungan atau ikatan yang sah dan sedemikian rupa maupun langsung atau tidak dengan barang yang dipertanggungkan itu. 22 Sementara itu H.M.N Purwosutjipto mengartikan kepetingan sebagai hak atau kewajiban tertanggung yang dipertanggungkan. 23 Jika kedua pendapat itu disatukan, maka hubungan atau ikatan yang sah itu sama dengan hak dan kewajiban seseorang atas benda yang dipertanggungkan. Pengertian hubungan yang sah atau hak berkaitan dengan hukum yaitu sesuai atau dibenarkan oleh hukum. Jadi bila seseorang yang memiliki suatu benda yang dilarang Undang-undang, maka orang itu secara hukum tidak mempunyai hubungan yang sah atau tidak berhak atas benda tersebut. Dengan demikian menurut hukum asuransi, seorang tertanggung harus menunjukkan : a) Benda tertentu, yang patut dipertanggungkan. b) Kepentingan, yaitu hubungannya yang sah dengan benda tersebut sehingga jika benda itu tertimpa bahaya, terhadap mana diadakan pertanggungan, maka ia berhak menerima ganti kerugian yang sewajarnya. 3) Asas Itikad Baik Asas itikad baik diatur dalam Pasal 251 KUHD yang berbunyi sebagai berikut : Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang 22 J.E. Kaihatu, Asuransi Kebakaran, Djambatan, Jakarta, 1964, hal 13 23 H.M.N. Poerwosutjipto, Op Cit, hal 92

demikian sifatnya sehingga seandainya si tertanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan. Yang dimaksud dengan itikad baik adalah kemauan baik dari setiap pihak untuk melakukan perbuatan hukum agar akibat dari kehendak/perbuatan hukum itu dapat tercapai dengan baik. unsur yaitu : Menurut Amiruddin Abdul Wahab, dari Pasal 251 KUHD dapat diperoleh beberapa a) Bahwa dalam perjanjian pertanggungan sangat diperlukan adanya asas itikad baik. b) Bahwa pelanggaran terhadap asas tersebut terjadi dalam hal tertanggung memberikan keterangan keliru/tidak benar, atau tidak memberitahukan/mengungkapkan hal-hal yang diketahuinya. c) Sifat dari hal-hal itu dapat mempengaruhi keputusan si penanggung. d) Bahwa asas itu harus diperhatikan sejak sebelum perjanjian ditutup. e) Bahwa pelanggaran terhadap asas tersebut mengakibatkan batalnya perjanjian itu. 24 Syarat-syarat umum sahnya perjanjian pada umumnya diatur oleh Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPdt, Syarat tersebut dalam Pasal 1320 KUHPdt adalah sebagai berikut : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. 24 Aminuddin Abdul Wahab, Op Cit, hal 59

Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. Dalam perjanjian setidaknya ada dua orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Kedua belah pihak yaitu penanggung dan tertanggung dalam mengadakan perjanjian harus setuju atau sepakat terhadap hal-hal pokok dalam perjanjian yang diadakan. Orang dikatakan tidak memberikan persetujuan/sepakat, kalau orang memang tidak menghendaki apa yang disepakati. Kesesuaian kehendak saja dari dua orang belum menimbulkan suatu perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia, kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk saling bertemu harus dinyatakan. Sehubungan dengan syarat kesepakatan ini KUHPdt dalam Pasal 1321 menentukan bahwa, tiada sepakat yang sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Kesepakatan yang hendak dicapai tersebut harus bebas dari unsur-unsur paksaan, penipuan dan kekhilafan. Ad.2. Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian Para pihak dalam membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Pasal 1329 KUHPdt mengatakan bahwa setiap orang adalah berwenang untuk membuat perikatan jika oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Para pihak dianggap cakap apabila telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah, sehat jasmani dan rohani serta tidak berada di bawah pengampunan. Ad.3. Suatu hal tertentu Suatu perjanjian harus mengenai hal-hal tertentu, artinya ada objek yang jelas yang diperjanjikan, dalam hal ini adalah jiwa seseorang. Dengan demikian timbullah hak dan

kewajiban kedua belah pihak yaitu penanggung dan pemegang polis yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang jiwanya dipertanggungkan (tertanggung). Suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan bahwa, perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak jelas apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Ad.4. Suatu sebab yang halal Sebab adalah sesuatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, namun yang dimaksud sebab dalam Pasal 1320 KUHPdt bukan yang mendorong orang untuk membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti isi perjajian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Termasuk dalam sebabsebab yang tidak halal adalah sebab yang palsu dan sebab yang terlarang. Suatu sebab dikatakan palsu apabila sebab itu diadakan oleh para pihak untuk menutupi sebab yang sebenarnya. Sebab yang terlarang adalah sebab yang bertentangan dengan kesusilaan, undang-undang maupun ketertiban umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sebab yang halal disini adalah isi dari perjanjian penanggungan jiwa ini tidak dilarang undang-undang, tidak beertentangan dengan ketertiban umum dan nilai-nilai kesusilaan. 4) Asas Subrogasi Di dalam KUHD, asas ini secara tegas diatur dalam Pasal 284 : Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan menerbitkan kerugian tersebut ; dan si

tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu. Asas subrogasi bagi penanggung, seperti diatur pada Pasal 284 KUHD tersebut di atas adalah suatu asas yang merupakan konsekuensi logis dari asas indemnitas. Mengingat tujuan perjanjian asuransi itu adalah untuk memberi ganti kerugian, maka tidak adil apabila tertanggung, karena dengan terjadinya suatu peristiwa yang tidak diharapkan menjadi diuntungkan, artinya tertanggung disamping sudah mendapat ganti kerugian dari penanggung masih memperoleh pembayaran lagi dari pihak ketiga (meskipun ada alasan hak untuk itu). Subrogasi dalam asuransi adalah subrogasi berdasarkan undang-undang, Oleh karena itu asas subrogasi hanya dapat ditegakkan apabila memenuhi dua syarat berikut : a) Apabila tertanggung disamping mempunyai hak terhadap penanggung masih mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga. b) Hak tersebut timbul karena terjadinya suatu kerugian Jadi pada perjanjian asuransi, atas subrogasi dilaksanakan baik berdasarkan undangundang maupun berdasarkan perjanjian. 25 F. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Asuransi Jiwa Pada perjanjian asuransi tatanan hubungan hukum antara para pihak. Tatanan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban. Menurut Sudikno Merkusumo, tatanan yang diciptikan oleh hukum baru menjadi kenyataan apabila kepada subyek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi 25 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, 1995, hal 107-108

yang isinya di satu pihak hak, sedang di pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. 26 Urain di atas menunjukan bahwa dalam suatu hubungan hukum perjanjian hak dan kewajiban selalu berada pada posisi yang bersebelahan. Hak pada satu pihak akan merupakan kewajiban pada pihak lain. Hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada satu pihak, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban pada pihak lain. Berkaitan dengan hak dan kewajiban, lebih lanjut Sudikno Mertukusumo mengatakan bahwa hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan peraturan atau kaedah, melainkan merupakan perimbagan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban dipihak lawan. Kalau ada hak maka ada kewajiban kepada seserorang oleh hukum. 27 Dalam suatu perjanjian asuransi atau pertanggungan diatur hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat di dalamnya yaitu penanggung dan tertanggung. Pasal 26 KUHD antara lain menetapkan bahwa pertanggungan itu suatu perjanjian, penggung berkewajiban untuk mengganti kerugian bila terjadi evenemen (peristiwa yang tidak tentu terjadi menjadi kenyataan) yang merugikan tertanggung serta berhak untuk mendapatkan uang santunan. Kemudian dalam Pasal 257 ayat KUHD menetapkan bahwa hak dan kewajiban itu mulai berlaku pada saat perjanjian pertanggung ditutup. Sehubungan dengan hal ini H.M.N Purwusutjipto berpendapat bahwa hak dan kewajiban itu bersifat timbal balik antara penanggung dan tertanggung dengan perincian sebagai berikut : a) Kewajiban membayar uang premi dibebankan kepada tertanggung atau orang yang berkepentingan. b) Kewajiban pemberitaan yang lengkap dan jelas dibebankan kepada tertanggung. 26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta 1991, hal 39 27 Ibid, hal 40

c) Kesalahan-kesalahan yang tidak termasuk dalam kesalahan orang yang berkepentingan, tidak dapat dilimpahkan pada orang yang berkepentingan. d) Tertanggung bukan orang yang berkepentingan dalam pertanggungan, tidak dibebani yang disebut dalam Pasal 283 KUHD yaitu berkewajiban mengusahakan segala sesuatu untuk mencegah dan mengurangi kerugian yang mungkin terjadi. e) Tertanggung mempunyai hak untuk menuntut penyerahan polis, sedang orang yang berkepentingan mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian kepada penanggung. 28 Sementara itu M. Isa Arif memberikan perincian mengenai hak dan kewajiban dari tertanggung, sebagai berikut : a) Kewajiban adalah : Berusaha untuk membatasi kerugian. Membayar premi pada waktunya. b) Hak dari tertanggung adalah berhak atas penggantian kerugian. Sedangkan dari penanggung, hak dan kewajiban sebagai berikut : a) Kewajiban adalah : Mengganti biaya yang dikeluarkan oleh tertanggung untuk menghalang atau membatasi kerugian. Mengganti kerugiaan, jika itu memang terjadi. b) Penanggung yang menganti suatu kerugian mendapat semua hak yang dipunyai oleh tertanggung terhadap orang yang menyebabkan kerugian. 29 28 H.M.N Purwosutjipto, Op Cit, hal 35 29 M. Isa Arif, Bidang Usaha Perasuransian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal 97