ZONASI DAERAH BAHAYA LONGSOR DI KAWASAN GUNUNG TAMPOMAS KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

SESAR LEMBANG DAN RESIKO KEGEMPAAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB II. METODELOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II GEOLOGI REGIONAL

- : Jalur utama Bandung-Cirebon BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Perancangan Perkuatan Longsoran Badan Jalan Pada Ruas Jalan Sumedang-Cijelag KM Menggunakan Tiang Bor Anna Apriliana

ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG JAWA BARAT

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

BAB VI KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB II GEOLOGI REGIONAL

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GERAKAN TANAH DI CANTILLEVER DAN JALUR JALAN CADAS PANGERAN, SUMEDANG Sumaryono, Sri Hidayati, dan Cecep Sulaeman. Sari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

KARAKTERISTIK GEOLOGI DAERAH VOLKANIK KUARTER KAKI TENGGARA GUNUNG SALAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Karakteristik Geologi dan Analisis Resiko di Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka dan Sekitarnya Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Longsor

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Transkripsi:

ZONASI DAERAH BAHAYA LONGSOR DI KAWASAN GUNUNG TAMPOMAS KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT Lucky Lukmantara, Ir. Laboratorium Geologi Lingkungan, Jurusan Geologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran ABSTRACT Research area generally have a big slope. Based on Van Zuidam classification (1983), the research area can be divided into 3 angle class or slope: 1) area which have surging hilly morphology with of slope range from 25-35 %, 2) area which have precipitous hilly morphology with slope range from 35-90 %, and 3) area which have hilly morphology cut sharply or hilly very precipitous with slope 90 150 % Area which including into landslide-zone in generally reside at area which have precipitous hilly and surging hilly morphology, there are at group 2 and 3. Both of the area of compiler rock generally not yet lihtificated powerfully, water content is high enough especially in rain season and rock generally relative soften Keywords : Landslide-zone, morphology ABSTRAK Daerah penelitian sebagian besar memiliki sudut kemiringan yang besar. Berdasarkan klasifikasi van Zuidam (1983), daerah penelitian dapat dibagi ke dalam 3 kelas sudut kemiringan lereng, yaitu daerah bermorfologi perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar antara 25% - 35 %, daerah bermorfologi perbukitan terjal dengan kemiringan lereng berkisar antara 35 % - 90 %, daerah bermorfologi perbukitan tersayat tajam atau berbukit sangat terjal dengan sudut lereng antara 90 % - 150 %. Daerah yang termasuk kedalam zona longsor pada umumnya berada pada daerah bermorfologi perbukitan bergelombang dan perbukitan terjal, tepatnya pada kelompok 2 dan 3. Pada kedua daerah tersebut batuan penyusun umumnya belum terlitifikasi dengan kuat, kadar air di dalam tanah cukup tinggi terutama pada musim penghujan dan batuan umumnya relatif lunak. Kata Kunci : Zona longsor, morfologi PENDAHULUAN Gunung Tampomas adalah gunungapi tertinggi (1634 m) di Sumedang, Jawa Barat. Gunungapi ini merupakan rangkaian gunungapi di Jawa Barat yang pembentukannya dikontrol oleh aktifitas tumbukan dua lempeng yang posisinya berada di selatan Pulau Jawa. Saat ini bagian puncak Gunung Tampomas terlihat gundul dan tandus, hal ini disebabkan ditak adanya vegetasi karena batuan yang tersingkap sangat keras dan segar. Kecilnya tingkat pelapukan di bagian puncak dapat disebabkan oleh pengaruh iklim setempat disamping faktor litologinya sendiri yang resisten terhadap proses pelapukan. Stratigrafi dan litologi Gunung Tampomas, terdiri atas perselingan lava, breksi, tuf dan breksi lahar. Endapan piroklastik berupa breksi vulkanik dan breksi lahar pada umumnya belum terlifikasi dengan baik sehingga endapan gunungapi ini relatif tidak stabil terhadap goncangan. Kondisi seperti ini berpotensi besar untuk terjadinya longsor. Apabila endapan batuan tersebut membentuk morfologi dengan kemiringan lereng sedang hingga tinggi, besar kemungkinan akan terjadi longsor yang sangat besar apabila dipicu oleh adanya peristiwa gempa atau aktifitas manusia berupa penambangan bahan galian. Dengan latar belakang ini, penulis tertarik untuk melakukan pemetaan zonasi bahaya longsor kawasan Gunungapi Tampomas berdasarkan pada pengamatan topografi, analisis foto 105

Bulletin of Scientific Contribution. Vol. 5, No.2, April 2007: 105-110 udara dan citra landsat, analisis morfologi dan analisis struktur geologinya. METODA PENELITIAN Peristiwa longsor dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu kemiringan lereng, sifat fisik batuan/tanah, curah hujan, intensitas kekar dan sesar. Besarnya volume masa batuan/tanah yang berpindah tempat akibat peristiwa ini dapat terjadi dalam skala lokal maupun regional. Besar kecilnya volume batuan/tanah akibat peristiwa longsor ini tergantung pada penyebab timbulnya longsor itu sendiri. Dari beberapa kasus yang pernah terjadi, volume batuan/tanah dalam jumlah yang besar umumnya terjadi akibat getaran yang muncul akibat adanya peristiwa gempa tektonik dan gempa volkanik. Zona longsor akibat peristiwa gempa bumi umumnya membentuk suatu jalur yang bersesuaian dengan jalur sesar sebagai zona lemah. Oleh karenanya sangat penting melakukan analisis struktur geologi untuk mengetahui zona bahaya longsor, disamping kondisi morfologi dan batuan penyusunnya. Disamping bahaya longsor akibat peristiwa gempa bumi, peritiwa ini dapat pula dipicu oleh aktifitas manusia yang sifatnya merusak atau tanpa mempertimbangkan kondisi fisik lingkungannya. Hingga saat ini penelitian detail mengenai potensi rawan longsor di daerah penelitian belum pernah dibuat. Oleh karenanya melalui penelitian ini akan dibuat peta zona longsor dilakukan dengan menggabungkan beberapa parameter, antara lain : a. Menganalisis penyebaran batuan dari peta geologi, sehingga diketahui gambaran umum penyebaran sifat fisik batuannya. Untuk batuan yang berumur muda umumnya batuan belum terlitifikasi dengan baik dan apabila batuan tersebut memiliki kemiringan lereng yang besar maka potensi untuk longsor semakin besar. b. Menganalisis bentuk morfologi seingga diketahui daerah mana saja yang memiliki kemiringan lereng yang cukup besar. Kestabilan leeng salah satunya ditentukan oleh besarnya kemiringan lereng. Semakin besar kemiringan lereng maka semakin besar pula potensi untuk terjadi longsor. c. Menganalisis struktur geologi baik kekar maupun sesar. Kedua jenis struktur geologi tersebut merupakan zona lemah, sehingga rawan terhadap gerakan tanah/batuan. Untuk menyimpulkan zona rawan longsor, dilakukan penggabungan zona bahaya longsor dari ketiga parameter tersebut diatas. Dengan cara ini akan diketahui gambaran zona rawan longsor secara menyeluruh yang ditampilkan dalam bentuk peta zonasi daerah rawan longsor. HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah penelitian yang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Bogor, memiliki kondisi geologi yang cukup kompleks baik dari aspek morfologi, petrologi, stratigrafi dan geologi strukturnya. Di dalam pembuatan zonasi rawan gempa selain aspek geologi juga perlu diperhatikan kondisi geografisnya mencakup kondisi lingkungan, penggunaan lahan, social dan lain-lainnya. Berdasarkan tersebut maka masingmasing aspek yang terkait dengan pembuatan zonasi rawan gempa akan di bahas seperti di bawah ini. Geomorfologi Morfologi gunungapi Tampomas secara umum membentuk kerucut gunungapi yang ideal. Apabila diperhatikan dari jalan Raya Bandung-Cirebon, nampak tubuh gunungapi ini simetris dengan kemiringan lereng yang cukup 106

terjal terutama dibagian tengah dan puncaknya. Berdasarkan analisis peta topografi, pola kontur relatif melingkar dengan kerapatan kontur yang rapat. Dengan adanya pola kontur relatif melingkar inilah yang menampakan bentuk gunungapi ini terlihat sebagai kerucut gunungapi yang simetris, sedangkan kerapatan konturnya menunjukan bahwa kemiringan lereng pada bagian tersebut cukup terjal hingga sangat terjal. Pada daerah dengan elevasi 1000 m hingga 1634 m, umumnya berlereng besar hingga terjal. Sebagian besar lahan berupa hutan heterogen se-dangkan mendekati puncak vegetasi berkurang hingga tandus. Litologi pada elevasi ini terdiri atas aliran lava muda, abu-abu, sangat keras dan pelapukan sangat kurang. Kondisi fisik batuan ini yang menyebabkan tingkat pelapukan kurang sehingga tanah penutup di zona ini sangat tipis. Kondisi ini pula yang menyebabkan vegetasi sedikit hingga tidak ada. Kondisi morfologi pada lereng Gunung Tampomas pada elevasi antara 700 m 1000 m, merupakan daerah dengan lereng sedang hingga besar. Pada zona ini sebagian besar lahan bervegetasi, tanah pelapukan cukup tebal dan banyak ditemukan mata air. Litologi penyusun zona ini terdiri atas aliran lava muda berwarna abu-abu dan keras, pasir tufaan, lapili, bom, lava berongga, breksi vulkanik dan aglomerat. Kaki Gunung Tampomas terletak diantara ketinggian antara 400 m 700 m di atas permukaan laut. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang ditunjang dengan analisis peta topografi, nampak bahwa pola kontur di daerah ini tidak serapat di bagian tengah atau puncak gunungnya, disamping itu pola konturnya tidak melingkar seperti yang ditunjukan oleh pola kontur di bagian atasnya. Kondisi ini menunjukan bahwa bentuk morfologi di bagian ini relatif beragam dengan tidak memperlihatkan bentuk yang simetris. Selanjutnya dengan kerapatan kontur yang relatif jarang dibandingkan dengan kerapatan kontur di bagian atasnya, maka dapat disimpulkan bahwa kemiringan lerengnya relatif lebih landai dibandingkan dengan kemiringan lereng bagian tengah dan puncak Gunung Tampomas. Pada daerah ini sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan, pertanian, pemukiman, kehutanan dsb. Litologi penyusun zona ini terdiri atas aliran lava muda berwarna abuabu dan keras, pasir tufaan, lapili, bom, lava berongga, breksi vulkanik dan aglomerat. Untuk daerah barat laut Gunung Tampomas, tersingkap Formasi Kaliwangu dan Formasi Subang yang merupakan batuan sedimen klatik. Batuan sedimen ini tersingkap di permukaan akibat tektonik uplift melalui sesar naik. Struktur Geologi Struktur geologi daerah penelitian ditentukan keberadaannya berdasarkan hasil interpretasi citra inderaja. Data indikasi struktur sesar di lapangan sulit dijumpai mengingat sebagian besar daerah penelitian disusun oleh batuan vulkanik dan secara umum ditutupi oleh vegetasi yang cukup lebat. Interpretsi struktur dilakukan dengan melihat pola konturnya. Hasil analisis menunjukan adanya kelurusan struktur yang diperkirakan sebagai sesar normal. Sesar-sesar tersebut berarah relatih utara-selatan dan barat lauttenggara. Disamping berkembangnya sesar normal, di bagian baratlaut Gunung Tampomas, berkembang pula sesar naik berarah baratlaut-tenggara. Sesar naik ini menyingkapkan batuan sedimen klastik berumur Tersier (Formasi Subang dan Kaliwangu). Kondisi Fisik Dan Tata Guna Lahan Gunung Tampomas seluruhnya disusun oleh endapan vulkanik yang terbentuk secara periodik. Hasil akhir dari aktifitas vulkanik ini meng- 107

Bulletin of Scientific Contribution. Vol. 5, No.2, April 2007: 105-110 hasilkan morfologi kerucut dengan kemiringan lereng bervariasi. Berdasarkan morfologi dan batuan penyusunnya, maka wilayah Gunung Tampomas ini dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai macam kepentingan. Deskripsi geologi dan dan aspek sosialnya dijelaskan di bawah ini. Kemiringan Lereng Berdasarkan hasil perhitungan kemiringan lereng dengan menggunakan klasifikasi van Zuidam (1983), kemiringan lereng daerah penelitian dapat dibagi ke dalam 3 kelas, yaitu : Kelas 1, mencakup daerah bermorfologi perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar antara 25% -35 % atau dengan beda tinggi 50 m 200 m. Daerah bermorfologi perbukitan bergelombang ini menempati lereng bagian bawah dari Gunung Tampomas. Daerah ini terletak pada elevasi antara 300m hingga 700 m di atas permukaan laut. Kelas 2, mencakup daerah bermorfologi pegunungan atau perbukitan sangat curam, menempati elevasi berkisar antara 700 m hingga 1000 m. Sudut kemiringan lereng di daerah ini berkisar antara 35% hingga 90 % Kelas 3, mencakup daerah bermorfologi perbukitan tersayat tajam atau berbukit sangat terjal menempati elevasi antara 700 m 1000 m di atas permukaan laut. Daerah ini mempunyai sudut lereng antara 90 % - 150 %. Penggunaan Lahan Pemanfaatan lahan Gunung Tampomas dan sekitarnya dapat dizonaan menjadi 2 wilayah, yaitu : a. Wilayah 1, terletak pada elevasi lebih tinggi dari 600 m di atas permukaan laut. Daerah ini sebagian besar masih merupakan kawasan hutan heterogen, perkebunan dan di bagian puncak berupa lahan kosong yang tandus. b. Wilayah 2, terletak pada elevasi kurang dari 600 m di atas permukaan air laut. Wilayah ini sebagian besar sudah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian basan, perkebunan, pemukiman dan di beberapa wilayah dijadikan lokasi penambangan pasir/sirtu. Zonasi Bahaya Longsor Bahaya longsor akan timbul apabila peristiwa longsor yang terjadi mengakibatkan kerugian baik moril maupun material terhadap masyarakat di sekitar daerah tersebut, terlebih lagi apabila peristiwa longsor tersebut sampai menelan korban jiwa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa parameter yang digunakan dalam pemetaan bahaya longsor dititik beratkan pada perhitungan kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kepadatan penduduknya dan infrastrukturnya. Zonasi Bahaya Longsor Berdasarkan Kemiringan Lereng Berdasarkan parameter kemiringan lerengnya, seluruh daerah penelitian ini rawan longsor, hal ini disebabkan oleh sudut kemiringan lereng yang cukup besar, bahkan dibeberapa tempat sangat curam. Namun demikian daerah ini menjadi relatif stabil manakala batuan penyusunnya berupa batuan yang memiliki sifat fisik yang keras serta relatif tahan terhadap proses pelapukan dan erosi. Daerah yang termasuk aman terhadap peristiwa longsor adalah daerah yang memiliki kemiringan lereng kecil atau mempunyai kemiringan lereng besar namun disusun oleh batuan beku atau batuannya disusun oleh breksi vulkanik yang masih segar. Berdasarkan hasil analisis topografi dan hasil pemetaan batuan dipermukaan, maka daerah yang termasuk kedalam zona bahaya longsor dilihat hanya pada faktor kemiringan lerengnya saja adalah adalah wilayah yang termasuk ke dalam kelas 1 dan 2. Wilayah ini memiliki kemiringan 108

lereng yang besar hingga terjal. Sedangkan untuk wilayah kelas 3, memiliki kemiringan lereng yang rendah hingga sedang. Sehingga bila hanya ditinjau dari aspek kemiringan lerengnya termasuk katagori aman terhadap peristiwa longsor. Disamping fakltor kemiringan lerengnya yang juga perlu diperhatikan adalah kandungan air tanah. Peristiwa longsor akan mungkin terjadi apabila kandungai air di dalam tanah berlebih atau jenuh akan air. Dengan bertambahnya kadar air di dalam tanah, maka beban menjadi bertambah berat. Apabila kondisi ini ditunjang dengan sudut kemiringan lereng yang terjal serta sifat fisik batuannya yang lemah maka besar kemungkinan akan terjadi longsor. Kadar air di dalam tanah sangat tergantung pada intensitas curah hujan dan vegetasi. Apabila curah hujan di daerah tersebut tinggi maka tanah di daerah tersebut akan jenuh air. Pemanfaatan lahan yang tidak tepat juga dapat mempengaruhi kadar air di dalam tanah, misalnya lahan di permukaan dimanfaatkan untuk lahan pertanian basah. Zona Bahaya Longsor Berdasarkan Batuan Penyusun Dari faktor sifat fisik batuannya, maka daerah yang berada di zona kelas 1 termasuk yang paling aman dibandingkan daerah yang berada pada kelas 1 dan 2. Hal ini dipengaruhi oleh sifat fisik batuannya. Batuan penyusun pada zona kelas 1 terdiri atas batuan beku lava yang sangat keras dan breksi vulkanik yang masih segar. Selanjutnya batuan penyusun di dalam zona ini memiliki tingkat pelapukan batuannya sangat kecil, sehingga batuan yang tersingkap umumnya masih segar. Kecilnya tingkat pelapukan di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu selain oleh kekerasan batuannya, juga dapat disebabkan oleh penagruh iklim. Pada zona 1, tingkat kelembaban udara cukup rendah, hal ini disebabkan oleh tidak ada/sedikit vegetasi serta alur sungainya kering tidak berair (Gully). Batuan penyusun yang terdapat di dalam zona 2 dan 3 lebih variatif, yaitu terdiri atas lava, bresi vulkanik, aglomerat, pasir tufan, lapili dan bom. Sebagian besar batuannya terlitifikasi kuat, namun dibeberap wilayah terutama yang disusun oleh laharik memiliki sifat kekerasan yang rendah. Zonasi Bahaya Longsor Akibat Aktifitas Manusia Bahaya longsor selain diakibatkan oleh faktor alam, juga dapat disebabkan oleh adanya aktifitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adanya peristiwa longsor dengan kegiatan manusia adalah penambangan bahan galian yang menyebabkan terbentuknya morfologi dengan kemiringan lereng yang terjal. Dari hasil pengamatan lapangan nampak bahwa penggalian pasir gunung yang berasal dari endapan laharik cukkup rentan terhadap bahaya longsor. Tebing terjal yang terbentuk akibat penambangan dapat mengurangi kestabilan lereng sehingga masa berat dari batuan itu sendiri yang potensial untuk bergerak/longsor. Disamping faktor kemiringan lereng buatan, pengaruh litifikasi batuan juga berperan. Di dalam endapan laharik, umumnya batuan kurang tersemenkan sehingga dibeberapa tempat bersifat lepas. Kondisi inilah yang memperbesar potensi akan terjadinya longsor. Lokasi penambangan pasir/sirtu terletak di dalam zona 2 bagian bawah. Di dalam zonasi ini, kegiatan penambangan perlu diawasi oleh Pemda setempat, mengingat wilayah zona 2 merupakan daerah strategis sebagai tempat penyimpanan air tanah. Aktifitas manusia lainnya yang dapat memicu terjadinya longsor adalah penggunaan lahan yang kurang tepat. Untuk kawasan yang termasuk zona 2 dan 3, disarankan untuk tidak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian 109

Bulletin of Scientific Contribution. Vol. 5, No.2, April 2007: 105-110 basah. Lahan pertanian memerlukan air dalam jumlah yang besar. Apabila ini terjadi maka akan menambah berat sehingga daya tahan batuan akan berkurang dan selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya longsor. KESIMPULAN Berdasarkan morfologinya daerah penelitian dikelompokkan ke dalam 3 zona berdasarkan kemiringan lerengnya, yaitu : a. Kelas 1, mencakup daerah bermorfologi perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar antara 25% -35 % atau dengan beda tinggi 50 m 200 m. Daerah bermorfologi perbukitan bergelombang ini menempati lereng bagian bawah dari Gunung Tampomas. Daerah ini terletak pada elevasi antara 300m hingga 700 m di atas permukaan laut. b. Kelas 2, mencakup daerah bermorfologi pegunungan atau perbukitan sangat curam, menempati elevasi berkisar antara 700 m hingga 1000 m. Sudut kemiringan lereng di daerah ini berkisar antara 35% hingga 90 %. c. Kelas 3, mencakup daerah bermorfologi perbukitan tersayat tajam atau berbukit sangat terjal menempati elevasi antara 700 m 1000 m di atas permukaan laut. Daerah ini mempunyai sudut lereng antara 90 % - 150 % Berdasarkan parameter kemiringan lereng, batuan penyusun, aliran sungai dan aktifitas manusia, maka zona rawan longsor di kawasan Gunung Tampomas dan sekitarnya adalah wilayah yang berada di dalam zona 2 dan 3. Daerah yang termasuk kedalam zona longsor pada umumnya berada pada daerah bermorfologi perbukitan bergelombang dan perbukitan terjal. Pada kedua daerah tersebut batuan penyusun umumnya belum terlitifikasi dengan kuat sehingga berpotensi untuk terjadinya longsor. Dengan mempelajari peristiwa longsor yang pernah terjadi di daerah penelitian, maka perlu kiranya dibuat perencanaan yang matang dalam pemanfaatan lahan di daerah tersebut. Pemerintah dan masyarakat setempat harus ikut memikirkan langkah yang tepat untuk meminimalkan kerugian yang diakibatkan oleh peristiwa longsor. Beberapa perbaikan yang perlu dilakukan oleh pemerintah setempat adalah menempatkan pemukiman penduduk pada daerah yang bermorfologi landai, melakukan penghijauan dengan tanaman keras pada daerah bermorfologi sedang hingga terjal, mengurangi atau menghentikan sama sekali penebangan pohon pada daerah hutan lindung, mengurangi pembukaan lahan baru untuk pertanian atau ladang serta memberikan penyuluhan pada masyarakat setempat untuk tidak memanfaatkan lahan pada lereng bagian atas untuk lahan pertanian basah. DAFTAR PUSTAKA Djuhaeni dan Martodjojo, S., 1989, Stratigrafi Daerah Majalengka Dan Hubungannya Dengan tata Nama Satuan Litostratigrafi Di Cekunan Bogor, Geol. Indon, vol. 12, no.1, hal 227-252. Van Bemmelen, R.W.,1949, The Geology of Indonesia, Vol I-A, General Geology, The Haque, Martinus-Nijhoff. Van Zuidam, R.A, 1982 Consideration on Systematic Medium Scale Geomorphological Mapping, Z. Geomorph.NF, Vol. 20 110

1