PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

EFEKTIVITAS UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DI WILAYAH SURAKARTA

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SKRIPSI PERANAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

IMPLEMENTASI PASAL 31 KUHAP TENTANG PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN ATAU TANPA JAMINAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang penting bagi sebuah kemajuan bangsa.seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. maupun bahaya baik berasal dari dalam mupun luar negeri. Negara Indonesia dalam bertingkah laku sehari-hari agar tidak merugikan

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ATAS TANAH HAK MILIK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DAN PENGADILAN AGAMA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

PELAKSANAAN PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN. (Studi Kasus Tindak Pidana Penipuan di Pengadilan Negeri Klaten dan. Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh : ANDHIKA WIDYA KURNIAWAN C 100030189 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah berdasarkan hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dengan demikian, atas dasar hal tersebut, maka semua perbuatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun negara harus berdasarkan hukum. 1 Salah satu alat hukum adalah aparat penegak hukum, dimana apabila ada suatu perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana, maka berhak untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai alat penegak hukum yang dimana perbuatan tersebut telah diatur dan disahkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, tindak pidana (delik) terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu antara lain delik aduan dan delik biasa. Delik aduan sendiri mempunyai arti bahwa suatu tindak pidana, dimana aparat penegak hukum tidak akan dapat melaksanakan proses peradilan apabila tidak ada aduan, sedangkan delik biasa (delik bukan aduan) adalah merupakan tindak pidana yang tidak memerlukan laporan dari korban untuk melaksanakan proses peradilan. 2 Salah satu ketentuan yang mengatur bagaimana aparatur penegak hukum melaksanakan tugasnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara 1 Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. 2 Sudaryono, dan Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana, Surakarta: Fakultas Hukum UMS, hal. 111. 1

2 Pidana (KUHAP) yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana, dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara tersebut secara jujur dan tepat sehingga suatu tindak pidana dapat terungkap dan pelakunya dijatuhi putusan yang seadil-adilnya. 3 Penanganan suatu perkara tindak pidana dimulai dari proses penyelidikan untuk mencari tindak pidana, dimana proses penyelidikan itu sendiri dilakukan apabila adanya pengaduan mengenai tindak pidana aduan atau laporan dari masyarakat ataupun diketahui secara langsung oleh aparat penegak hukum. Setelah melakukan proses penyelidikan, maka dilanjutkan ke proses penyidikan, dimana dalam proses penyidikan aparat penegak hukum mencari bukti-bukti untuk memperkuat dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Setelah ditemukan bukti-bukti yang cukup, maka dilanjutkan ke proses penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan terdakwa ke Pengadilan. Dalam proses persidangan, Majelis Hakim akan melakukan pemeriksaan dan memutuskan perkara apakah terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan dari hasil proses pemeriksaan yang dimulai dari proses pendakwaan, proses pembuktian untuk mengetahui adanya perbuatan yang menjurus ke arah tindak pidana yang kemudian dilanjutkan ke proses pemutusan perkara yang berisi mengenai dapatkah terdakwa dikenakan sanksi pidana. 3 Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 25.

3 Dalam proses persidangan, hal yang penting adalah dalam proses pembuktian, sebab jawaban yang akan ditemukan dalam proses pembuktian merupakan salah satu hal yang utama untuk Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan: 4 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa ketentuan tersebut demi tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. 5 Sementara itu, Pasal 184 KUHAP menyatakan: 6 (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan Pasal 1 butir 27 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. 4 Hartanto & Murofiqudin, 2001, Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Undang-Undang Pelengkapnya, Surakarta: Muhamadiyah University Press. 5 Penjelasan Pasal 183 KUHAP. 6 Hartanto & Murofiqudin, Op.Cit.

4 Sementara itu, dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus yang dimiliki oleh seorang saksi ahli tidak dapat dimiliki oleh sembarangan orang, karena merupakan suatu pengetahuan yang pada dasarnya dimiliki oleh orang tertentu. Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa, tidak dikenakan hukuman terhadap barang siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, disebabkan karena kurang sempurnanya kemampuan berfikir atau karena sakit ingatannya. Berdasarkan penjelasan Pasal 44 ayat (1) di atas, untuk dapat mengetahui kurang sempurna kemampuan berfikir atau sakit ingatan, maka diperlukan suatu keahlian khusus. Dalam hal ini orang yang memiliki keahlian khusus, yaitu ahli psikiatri forensik. Dengan demikian, maka ahli psikiatri forensik memiliki peran dan kedudukan khusus dalam penyelesaian perkara pidana. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji lebih dalam mengenai saksi ahli, dengan judul PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Karanganyar).

5 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji atau diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam menyelesaikan perkara pidana? b. Bagaimana proses permohonan pemeriksaan ahli psikiatri forensik? c. Apakah hambatan-hambatan ahli psikiatri forensik dalam proses pembuktian perkara pidana? C. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif, dengan penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam menyelesaikan perkara pidana. b. Untuk mengetahui proses permohonan pemeriksaan ahli psikiatri forensik. c. Untuk mendiskripsikan hambatan-hambatan ahli psikiatri forensik dalam proses pembuktian perkara pidana.

6 2. Tujuan Subjektif a. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam kaitannya dengan peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara pidana. b. Untuk memperluas wacana pemikiran dan pengetahuan penulis dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, khususnya mengenai peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara pidana. c. Untuk memperoleh data yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. D. Manfaat Penelitian Di dalam melakukan penelitian ini, penulis mengharapkan ada manfaat yang dapat diambil baik bagi diri penulis sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat penelitian ini dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini akan bermanfaat dalam memberikan pengetahuan tentang peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara pidana.

7 b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Acara Pidana dan umumnya dalam Hukum Pidana. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini akan berguna dalam memberikan jawaban terhadap masalah yang akan diteliti. b. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi dan gambaran kepada masyarakat pada umumnya dan semua pihak yang berkepentingan pada khususnya dalam peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara pidana. E. Landasan Teoritis Di dalam teori hukum pidana, dalam menilai kekuatan pembuktian alatalat bukti yang ada dikenal beberapa sistem pembuktian, antara lain: a. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie); b. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu (conviction intime); c. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee); d. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief Wettelijk);

8 Sedangkan di dalam Pasal 184 KUHAP yang dijelaskan bahwa alat bukti yang sah yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan hal tersebut, apabila melihat membaca bunyi Pasal 1 butir 28, Pasal 133 ayat (1) dan Pasal 179 ayat (1) KUHAP, dapat dijelakan bahwa saksi ahli adalah seorang dokter, baik itu dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman ataupun bukan. Pasal 133 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dapat memberi keterangan ahli adalah ahli ilmu kedokteran kehakiman, sehingga dengan demikian, jelaslah bahwa menurut Pasal 133 KUHAP bahwa dokter umum bukan termasuk dari bagian saksi ahli. Namun apabila diteliti lagi mengenai bunyi Pasal 133 KUHAP yang jelas-jelas menyatakan bahwa penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kahakiman atau ahli lainnya. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa bunyi Pasal 133 KUHAP tidak sejalan dengan penjelasannya. Dengan demikian, maka dapat diartikan bahwa suatu bunyi pasal tertentu yang tidak sejalan dengan penjelasannya, maka bunyi pasal yang sudah jelaslah yang dianut terhadap maksud si pembuat undang-undang (penjelasannya). 7 Sementara itu, untuk masalah permintaan bantuan seorang saksi ahli hanya dapat diajukan secara tertulis dengan menyebutkan jenis bantuan atau pemeriksaaan yang dikehendaki. Misal, terjadi kasus tindak pidana kekerasan 7 Hadi Sutrisno, 1997, Makalah Keterangan Saksi Ahli Dalam Upaya Membantu Suatu Kasus Tindak Pidana, Bojonegoro: Fak. Hukum Universitas Bojonegoro, hal.42.

9 yang mengakibatkan korban meninggal dunia, maka dengan demikian permintaan bantuan terhadap saksi ahli dalam hal ini saksi ahli forensik harus diperjelas. Maksud diperjelas adalah sebatas bantuan apa yang diperlukan untuk sebagai barang bukti tertulis atau lisan, apakah pemeriksaan yang dilakukan oleh saksi ahli forensik hanya sebatas pemeriksaan luar (pemeriksaan fisik) atau pemeriksaan luar dan dalam (autopsi). 8 Keterangan saksi ahli yang dapat disebut sebagai alat bukti yang sah dalam Pengadilan dapat berupa: 1. Secara Tertulis (Visum Et Repertum) 2. Secara Lisan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa saksi ahli mempunyai fungsi yang penting dalam proses peradilan, baik itu dalam masa penyidikan sampai dengan adanya putusan yang divoniskan Hakim dalam suatu Pengadilan. Dalam proses pembuktian persidangan, keterangan saksi ahli dapat dikelompokan menjadi beberapa macam, yaitu antara lain: 9 a. Sebagai alat bukti yang terbagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu surat dan keterangan ahli. b. sebagai keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti. c. sebagai keterangan yang hanya menguatkan keyakinan Hakim. d. sebagai keterangan yang tidak berfungsi apa-apa. 8 Ibid, hal.35. 9 Ibid, hal.43

10 F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris atau non doktrinal yang bersifat deskriptif kualitatif. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris. Peneliti selain mempelajari beberapa perundang-undangan dan buku-buku yang merupakan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, juga melakukan penelitian lapangan dalam rangka mengolah dan menganalisis data yang dikemukakan sebagai pembahasan. 2. Jenis Penelitian Untuk memperoleh data yang diperlukan guna penulisan ini, menggunakan bentuk penelitian deskriptif. Pengertian penelitian deskriptif sendiri adalah bahwa penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori lama atau dalam penyusunan teori baru. 10 Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan yang selengkaplengkapnya tentang peran dan kedudukan saksi Ahli Psikiatri Forensik dalam penyelesaian perkara pidana. 3. Jenis data Dalam penelitian ini, penulis membagi beberapa jenis data yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: 10 Soerjono Soekanto, 1984, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hal. 52

11 a. Data Sekunder 1) Bahan Hukum Primer Yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari: a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana b) Undang-Undang Kehakiman c) Yurisprudensi (Hakim Pengadilan Negeri) 2) Bahan Hukum Sekunder Meliputi dokumen-dokumen dan literatur-literatur yang ada hubungannya dengan masalah hukum acara pidana khususnya berkaitan dengan ahli psikiatri forensik. 3) Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum. b. Data Primer Merupakan data-data yang berupa fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari lapangan dan sumber data, sehingga diharapkan nantinya penulis dapat memperoleh hasil yang sebenarnya dari obyek yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti tentang implementasi dari proses pra persidangan sampai dengan persidangan yang menyangkut tentang penggunaan ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara pidana yang diperoleh dari lokasi

12 penelitian, dalam hal ini adalah data dari POLRES dan Pengadilan Negeri. 4. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan Pengumpulan data dengan cara mencari, menghimpun, mempelajari bahan hukum primer yang berupa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Kehakiman dan Yurisprudensi (Hakim Pengadilan Negeri). Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi dokumen-dokumen dan literatur-literatur yang ada hubungannya dengan masalah hukum acara pidana khususnya berkaitan dengan ahli psikiatri forensik dan bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum, terutama yang berkaitan dengan masalah peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara tindak pidana. b. Penelitian Lapangan Dalam penelitian lapangan, penulis menggunakan metode wawancara (Interview), yaitu tehnik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung dan lisan dengan responden, yaitu hakim, dan ahli psikiatri forensik yang berkaitan dengan peran ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara pidana guna memperoleh

13 informasi atau keterangan yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. 11 5. Tehnik Analisa Data Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadiankejadian. Dalam arti penelitian deskriptif adalah akumulasi data dasar dalam cara deskriptif semata-mata tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, melakukan hipotesis, membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasi, walaupun penelitian bertujuan untuk menemukan hal-hal tersebut dapat juga mencakup juga metode-metode deskriptif. G. Sistematika Skripsi Sistematika penyusunan skripsi ini tertuang dalam empat (4) bagian yang tersusun dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan, dan di setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Agar dapat memberikan gambaran mengenai skripsi ini nantinya, maka penulis akan memberikan gambaran secara garis besarnya sebagai berikut: Bab Pertama mengenai Pendahuluan dari proposal penelitian ini yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, 11 S. Nasution, 2001, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Jakarta: PT. Buana Aksara, hal 113.

14 Manfaat Penelitian, Landasan Teoritis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum. Bab dua berisikan Tinjauan Pustaka, yang akan diuraikan tentang Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana yang meliputi: Pengertian dan Bentuk Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana. Tinjauan Umum Tentang Saksi Ahli yang meliputi: Pengertian Saksi Ahli dan Rahasia Jabatan. Tahap- Tahap Penyelesaian Perkara Pidana yang meliputi: Pemeriksaan Pendahuluan, Penuntutan, Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Tinjauan Umum Tentang Kriminalistik meliputi: Arti Kriminalistik, Peranan Saksi Ahli Dalam Membantu Pengungkapan Perkara Pidana, Psikiatri Forensik. Bab tiga berisikan mengenai Hasil Penelitian dan Pembahasan antara lain: Pertama, Peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam menyelesaikan perkara pidana. Kedua, Proses permohonan pemeriksaan ahli psikiatri forensik. Ketiga, Hambatan-hambatan ahli psikiatri forensik dalam proses pembuktian perkara pidana. Bab keempat merupakan Penutup, yang berisikan Kesimpulan dan Saran yang akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran penulisan dalam hal peran dan kedudukan ahli psikiatri forensik dalam penyelesaian perkara pidana.