Analisis Permintaan dan Penawaran Ternak Sapi di Nusa Tenggara Barat. (Analysis of Supply and Demand of Cattle In West Nusa Tenggara)

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

Dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

POTENSI PETERNAKAN SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN DAGING SAPI DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

ROAD MAP PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI KERBAU Kegiatan Pokok

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

FORUM KOMUNIKASI STATISTIK DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN 2016

HASIL DAN PEMBAHASAN

POTENSI SUMBERDAYA TERNAK KERBAU DI NUSA TENGGARA BARAT

Masterplan PENGEMBANGAN KAWASAN AGROEDUWISATA BANYUMULEK TAHUN PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

STRATEGI PENDEKATAN KETERSEDIAAN DAGING NASIONAL DI INDONESIA. Oleh: Rochadi Tawaf dan Hasni Arief ABSTRACT

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

IDENTIFIKASI GRADE SAPI BALI BETINA BIBIT DAN KOEFISIEN REPRODUKSI SAPI BETINA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

Bab 4 P E T E R N A K A N

PERTAMBAHAN ALAMIAH DAN DISTRIBUSI ANGKA KELAHIRAN SAPI BALI DI KOTA BAUBAU

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

SEBARAN POPULASI DAN POTENSI KERBAU MOA DI PULAU MOA KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Jumlah Ternak yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) menurut Provinsi dan Jenis Ternak (ekor),

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

ESTIMASI KETERSEDIAAN BIBIT SAPI POTONG DI PULAU SUMATERA

KELAYAKAN USAHA PETERNAKANN AYAM RAS PEDAGING POLA KEMITRAAN INTI-PLASMA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

INDONESIA Percentage below / above median

Impor sapi (daging dan sapi hidup) maupun bakalan dari luar negeri terns. meningkat, karena kebutuhan daging sapi dalam negeri belum dapat dipenuhi

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

PENELITIAN MUTU GENETIK SAPI ONGOLE DAN BRAHMAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

Pengamatan Sifat-sifat yang Mempunyai Nilai Ekonomi Tinggi pada Sapi Bali di Kota Mataram

PANDUAN. Mendukung. Penyusun : Sasongko WR. Penyunting : Tanda Panjaitan Achmad Muzani

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

ICASEPS WORKING PAPER No. 98

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BERITA RESMI STATISTIK

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

Fakultas Peternakan Nusa Tenggara Barat Sukardono, M. Ali, Lalu Wirapribadi, M. Taqiuddin ABSTRAK

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. berubah, semula lebih banyak penduduk Indonesia mengkonsumsi karbohidrat namun

ANALISIS PROFFITABILITAS USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG

M.A.S.T.E.R.P.L.A.N. Kerjasama FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM. dengan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian adalah suatu proses perubahan sosial. Hal tersebut tidak

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

LAPORAN AKHIR ROADMAP PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN SAPI POTNG DI KABUPATEN BIMA

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

METODE SPASIAL DALAM MEMETAKAN SEKTOR PETERNAKAN UNGGULAN DI INDONESIA. Oleh: Nur Faijah 1 Abdul Azim Wahbi 2

PROSPEK PENGEMBANGAN PUSAT-PUSAT PEMBIBITAN SAPI BALI DI LAHAN MARGINAL UNTUK MENDUKUNG PENYEDIAAN SAPI BAKALAN DI NUSA TENGGARA BARAT

PENDAHULUAN. Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang peternakan.

Profil Ternak Ruminansia Potong di Kabupaten Barito Selatan

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 2012

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

LAPORAN AKHIR ROADMAP PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

LAPORAN AKHIR ROADMAP PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN DOMPU

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Propinsi NTB Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

Pendapatan Regional/ Regional Income

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 59/Permentan/HK.060/8/2007 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Analisis Investasi Usahatani Pembibitan Sapi Peranakan Limousine di Kabupaten Sleman

Pendapatan Regional/ Regional Income

BAB I PENDAHULUAN. penting pembangunan. Sehingga pada tanggal 11 Juni 2005 pemerintah pusat

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGGARA MARET 2016

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Transkripsi:

Jurnal Ilmu dan Teknologi Jurnal Ilmu Peternakan dan Teknologi Indonesia Peternakan Volume 1 Indonesia (1) : 14 19; Desember 2015 ISSN : 2460-6669 Analisis Permintaan dan Penawaran Ternak Sapi di Nusa Tenggara Barat (Analysis of Supply and Demand of Cattle In West Nusa Tenggara) Muhammad Nur 1), Soekardono 2), Lalu Muhammad Kasip 3) 1). Program Magister Ilmu Ternak, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Mataram, 2). Laboratorium Sosial Ekonomi, 3). Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit 62. Mataram 83125 NTB. Telpon (0370) 633603; Fax (0370) 640592 Email: kardonowiyono@yahoo.com Diterima : 23 Februari 2015/ Disetujui: 21 Mei 2015 ABSTRACT The research aims to describe the technical coefficient of cattle population and production and to determine the relationship among technical parameters that affect population dynamics as well as supply and demand of cattle in West Nusa Tenggara. This research was analyzed the secondary data which published by Veterinary and Livestock Office West Nusa Tenggara Province during 2010-2014. The potential of breeds has increased on average 14.09 % of 102.342 heads in 2010 to 173.092 heads in 2014 while the realization of export has reached average 36.50 % in the last five years as well as the potential of cattle increased by 15.26 % from 76.050 in 2010 to 133.260 in 2014. At the same periods, the realization of cattle export has reached 45.67 % from targets which have been set. It was estimated that population growth rate at the end this period increased by 13.84 %. Meanwhile, the population growth derived from annual livestock updating is 10.02 %. To further enhance development of cattle, the government should : increase the economic value of cattle farming mainly in rural areas, promote partnerships with state-owned enterprises (BUMN), provide incentives for farmers by local regulation for breeding and fattening in order to provide added value while improve farmer s welfare. Key-words: supply and demand, population dynamics, technical coefficient. PENDAHULUAN Undang-Undang No. 22 2009 tentang Otonomi Daerah mengamanatkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sangat luas dalam mengelola sumber potensi daerah termasuk di dalamnya potensi ternak lokal sapi Bali. Dengan demikian, NTB dapat mengoptimalkan peternakan Sapi Bali sesuai dengan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi yang tersedia. Persoalan mendasar yang dialami dalam pembangunan peternakan sapi di NTB adalah usaha ternak sapi pada umumnya masih berupa peternakan rakyat dengan skala usaha kecil (2-5 ekor) dengan pemeliharaan sehari-hari secara tradisional. Disamping masalah tersebut terdapat indikasi terjadinya penurunan produktivitas dan reproduktifitas sapi Bali di NTB. Merujuk pada hasil penelitian Dwipa dan Sarwono (1993) dan Arman et al. (2006) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 13 tahun (1993-2006), ternak sapi di NTB telah mengalami penurunan panjang badan sekitar 8%, tinggi gumba 3%, dan lingkar dada 3%. Penurunan performansi ternak sapi tersebut diduga disebabkan oleh lemahnya manajemen usaha ternak sapi rakyat, terutama dalam menjaga ketersediaan betina bibit dan pejantan yang berkualitas. Walaupun produksi ternak sapi di NTB masih didominasi oleh peternakan rakyat, tetapi NTB merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang ditetapkan sebagai sumber sapi bibit betina dan juga sumber sapi potong untuk kebutuhan nasional. Permintaan sapi bibit dan sapi potong dari luar daerah cenderung me- 14

ningkat dari tahun ke tahun. Untuk merespon permintaan tersebut perlu dilakukan program pengembangan peternakan Sapi Bali secara sistematis untuk meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitasnya. Apabila tidak dilakukan upaya pengembangan yang dapat meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas ternak sapi, dikawatirkan akan terjadi pengurasan ternak sapi di NTB. Penelitian terhadap tingkat supply dan demand serta koefisien teknis yang menyangkut produksi dan reproduksi ternak sapi sangat diperlukan sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan program pengembangan ternak sapi di Nusa Tenggara Barat. Sementara ini pertumbuhan populasi ternak sapi di NTB diperhitungkan berdasarkan parameter-parameter yang lebih banyak diasumsikan. Komposisi induk betina produktif dalam tahun 2008 adalah sebesar 37 persen mengalami peningkatan 45 persen di tahun 2012. Calving interval yang semula ditetapkan 18 bulan mengalami perubahan dalam tahun 2012 menjadi 14 bulan. Kematian pedet yang semula 15%, pada tahun 2012 menurun menjadi 5% (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Perhitungan pertumbuhan populasi berdasarkan asumsi tersebut tentu dapat menimbulkan bias terhadap kondisi sebenarnya. Dalam upaya mengurangi tingkat bias tersebut, penelitian mengenai koefisien teknis dan permintaan-penawaran ternak sapi di NTB sangat diperlukan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metodologi kuantitatif melalui kajian terhadap data sekunder dinamika populasi ternak sapi periode 2010-2014 bersumber dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Analisa diskriptif dilakukan terhadap data-data tersebut terutama kaitannya dengan : koefisien teknis baik aspek produksi dan reproduksi ternak sapi; potensi Supply dan demand baik ternak bibit maupun ternak potong. HASIL DAN PEMBAHASAN Supply dan demand ternak bibit dan potong di NTB digambarkan melalui analisis dinamika populasi atas dasar parameter yang diperoleh dari hasil-hasil kajian di lapangan antara lain jumlah kelahiran, jumlah kematian khususnya pedet, tingkat konsumsi dalam daerah dan jumlah ekspor ke luar daerah baik dalam bentuk ternak bibit maupun ternak potong. Perkembangan populasi sapi potong di NTB dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan populasi ternak sapi di NTB tahun 2010 2014 Populasi Anak (ekor) 149.226 175.171 197.338 230.698 252.388 Jantan 51.244 60.154 67.766 79.222 86.67 Betina 97.982 115.017 129.572 151.476 165.718 Muda (ekor) 155.867 182.965 206.118 240.964 263.618 Jantan 53.525 62.83 70.781 82.747 90.526 Betina 102.342 120.135 135.337 158.217 173.092 Dewasa (ekor) 287.841 337.884 380.641 444.99 486.826 Jantan 98.845 116.029 130.712 152.81 167.176 Betina 188.996 221.855 249.929 292.18 319.65 Total (ekor) 592.934 696.02 784.097 916.652 1002.83 15

Pertumbuhan populasi yang dibahas dalam artikel ini adalah populasi berdasarkan pada analisis dinamika polulasi seperti tertera dalam Tabel 2. Analisis tersebut didasarkan kepada koefisien teknis produksi dan reproduksi, yaitu jumlah sapi betina produktif sebesar 30% dari populasi, jarak beranak 14 bulan, kematian pedet 10%, serta pemotongan dan pengeluaran ternak sesuai data yang tercatat pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB (Tabel 3 dan 4). Koefisien teknis di atas, tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Soekardono et al (2013), bahwa calving interval sapi potong yang dipelihara dalam kelompok di NTB ratarata adalah 12,7 bulan dan kematian pedet 11%. Data populasi awal yang digunakan dalam analisis ini adalah data pada tahun 2010, sebanyak 592.934 ekor. Tabel 2. Analisis dinamika populasi ternak sapi di Nusa Tenggara Barat No Komponen 1 Betina Produktif 178.579 209.627 236.153 276.076 302.031 2 Kelahiran 142.863 167.702 188.922 220.861 241.625 3 Kematian 14.286 16.770 18.892 22.086 24.162 4 Pemotongan 33.208 37.408 38.338 40.540 51.529 5 Pengeluaran 47.494 54.178 57.230 62.626 75.691 6 Produksi pedet 128.577 150.931 170.030 198.775 217.462 Jantan 64.288 75.466 85.015 99.387 108.731 Betina 64.288 75.466 85.015 99.387 108.731 7 Populasi akhir tahun 592.934 652.279 726.741 822.350 912.592 Sumber: Provinsi NTB (2010-2014 Tabel 3. Pemotongan ternak di Nusa Tenggara Barat Daerah Pemotongan Pulau Lombok (ekor) 25.136 28.427 27.924 29.704 33.85 Pulau Sumbawa (ekor) 8.072 8.981 10.414 10.836 17.679 NTB (ekor) 33.208 37.408 38.338 40.54 51.529 Sumber: Provinsi NTB (2010-2014) Tabel 4. Pengeluaran ternak sapi dari Nusa Tenggara Barat No. Jenis Sapi 1 Sapi Bibit (ekor) 3.978 7.131 9.989 16.744 9.885 2 Sapi Potong (ekor) 5.601 12.384 13.590 20.793 20.555 Jumlah (ekor) 9.579 19.515 23.579 37.537 30.440 Sumber: Provinsi NTB (2010-2014) Tujuan pengeluaran sapi bibit dari NTB adalah Kaltim, Kalsel, Kalbar, Gorontalo, Riau, Papua, dan Sultra. Sedangkan tujuan pengeluaran sapi potongadalah DKI, Jabar, Banten, Kaltim, dan Kalsel. Pengiriman ternak keluar daerah adalah realisasi permintaan dari NTB untuk beberapa daerah lain baik dalam bentuk ternak bibit maupun ternak potong. Pemerintah NTB berkewajiban menetapkan alokasi kuota berdasarkan usulan permintaan dari daerah 16

konsumen. Realisasi pengiriman sapi bibit maupun sapi potong dari NTB menunjukan trend yang meningkat sejak tahun 2010. Hal ini sejalan dengan kebijakan nasional yang menetapkan NTB sebagai salah satu daerah sentra produksi sapi potong selain Jawa Tengah, Tabel 5. Permintaan ternak sapi di Nusa Tenggara Barat Provinsi Sapi Bibit (ekor) 9.752 7.978 14.452 19.243 14.651 Kaltim 2.532 4.515 4.035 4.200 3.807 Kalsel 2.500 2.343 2.725 6000 1.718 Kalbar 1.542-1.832 1.120 2.257 Gorontalo 755 1.120 1.154 1.540 2.526 Riau 1.224-1.425 2.326 1.843 Papua Barat 567-1.513 1.832 1000 Sulteng 632-1.768 2.225 1.500 Sapi Potong (ekor) 7.856 15.356 15.814 24.148 23.314 DKI Jakarta 2.74 4.112 3.867 4.208 3.039 Jawa Barat 1.267 4.486 3.545 3.15 2.225 Banten 2.324 3.243 2.125 1.8 3.48 Kaltim 850 1.848 3.457 8.24 6.23 Kalsel 675 1.667 2.82 6.75 8.34 Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehetan Hewan Provinsi NTB (2010-2014) Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, DIY, Bali, dan NTT Pengeluaran ternak tersebut belum dapat memenuhi semua permintaan dari daerah lain. Permintaan sapi bibit betina hanya dapat dipenuhi sekitar 65% sedangkan sapi potong sekitar 80%. Perkembangan permintaan dari daerah lain terlihat dalam Tabel 5. Permintaan ternak sapi dari daerah lain ini merupakan peluang bagi NTB untuk terus mengembangkan ternak sapi seoptimal mungkin. Sementara ini pengusahaan sapi di NTB masih secara tradisional walaupun telah banyak berkembang sistem kandang kolektif. Pada kandang kolektif yang banyak terdapat di Pulau Lombok, peternak umumnya menyediakan pakan secara cut and carry sehingga kemampuan pemeliha-raan sangat tergantung pada ketersediaan pakan hijauan alami. Di Pulau Sumbawa, sebagian besar peternak memelihara sapi dengan cara ekstensif, melepas ternaknya sepanjang hari pada padang penggembalaan yang tersedia, termasuk di kawasan diperoleh nilai produksi sebesar Rp. 1.179.731.000.000,- per tahun. Dengan hutan. Jumlah pemeliharaan ternak per peternak masih relatif kecil, yaitu 2-3 ekor di daerah Pulau Lombok dan sekitar 5 ekor di daerah Pulau Sumbawa. Berdasarkan analisis dinamika populasi ternak sapi pada Tabel 2 di atas, terlihat bahwa NTB pada tahun 2014 memiliki potensi produksi pedet sebanyak 217.462 ekor. Dengan asumsi proporsi kelahiran betina dan jantan sama maka akan diperoleh pedet jantan 108.731 ekor dan pedet betina 108.731 ekor. Pedet betina sekitar 30% (32.619 ekor) harus dialokasikan untuk pengganti induk sedangkan pedet jantan 15% (16.310 ekor) harus dialokasikan untuk pengganti pejantan. Sisa dari jumlah tersebut dapat digunakan sebagai sapi potong untuk dipotong di dalam NTB sendiri dan dijual ke luar daerah sedangkan sapi bibit betina dapat dijual ke luar daerah. Dengan kata lain, bahwa dengan sapi induk produktif sekitar 302.031 ekor tersebut akan diperoleh produksi sapi sebanyak 168.533 ekor. Dengan harga sapi dara rata-rata Rp. 7.000.000,- per ekor maka akan perkiraan jumlah peternak sebanyak 200.000 orang, maka dapat diartikan bahwa setiap 17

peternak dapat memperoleh pendapatan dari usaha ternak sapi sebesar Rp. 5.898.655,- per tahun. Sesuai dengan potensi sumber daya pakan, sumber daya ternak, sumber daya peternak, dan kelembagaan yang dimiliki NTB, produksi sapi di NTB masih dapat ditingkatkan Apabila daya tampung tersebut dibandingkan dengan populasi sapi hasil analisis dinamika pada Tabel 2, yaitu 912.592 ekor atau setara dengan 638.814 UT pada tahun 2014, dan populasi kerbau, kuda, kambing dan domba yang tercatat pada Statistik Peternakan NTB tahun 2014 sebanyak 201.849 UT, maka NTB masih memiliki potensi pengembangan sebanyak 697.863 UT (1.538.527 UT 638.814 UT 201.849 UT). Potensi pengembangan sampai mencapai sekitar 1,5 juta ekor atau sekitar 1 juta Unit Ternak (UT). Potensi pengembangan ternak sapi sangat ditentukan oleh daya tampung wilayah. Daya tampung ternak pemakan hijauan di NTB dapat dilihat dalam Tabel 6 (Soekardono et al., 2013). tersebut dapat digunakan untuk pengembangan ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba. Misalnya, 60% potensi tersebut digunakan untuk pengembangan ternak sapi, maka di NTB masih dapat dikembangkan sapi potong sekitar 418.718 UT atau setara 586.205 ekor. Sedangkan 40% lainnya digunakan untuk pengembangan ternak kerbau dan kambing/domba. Tabel 6. Daya tampung ternak pemakan hijauan di Nusa Tenggara Barat No. Kabupaten/Kota Daya Tampung (ST) Populasi Ternak 2012 (ST) Potensi Pengembangan (ST) 1 Mataram 3.283 2.172 1.112 2 Lombok Barat 90.519 68.027 22.492 3 Lombok Utara 61.679 55.059 6.620 4 Lombok Tengah 116.999 115.267 1.732 5 Lombok Timur 132.158 90.626 41.532 P. Lombok 404.638 331.151 73.487 6 Sumbawa Barat 99.666 52.393 47.273 7 Sumbawa 433.685 206.405 227.281 8 Dompu 240.323 91.707 148.616 9 Bima 330.110 149.729 180.381 10 Kota Bima 30.104 13.079 17.025 P. Sumbawa 1.133.889 513.313 620.576 NTB 1.538.527 844.573 693.953 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai salah satu daerah provinsi sumber sapi bibit dan sapi potong, masih memiliki potensi pengembangan yang cukup besar. Dari populasi sapi sebanyak 912.592 ekor dengan jumlah sapi induk produktif 302.031 ekor dapat menghasilkan pedet sebanyak 217.462 ekor yang terdiri atas 108.731 ekor jantan dan 108.731 ekor betina. Dari jumlah pedet tersebut dapat menghasilkan: (1) sapi potong 136.706 ekor yang terdiri atas 86.985 ekor sapi jantan, 15.222 ekor sapi betina tidak produktif, 33.000 ekor sapi betina afkir, dan 1.500 ekor sapi pejantan afkir, dan (2) sapi betina bibit untuk dijual ke luar daerah sebanyak 60.889 ekor per tahun. Permintaan luar daerah untuk ternak sapi bibit pada tahun 2014 sebesar 14.651 ekor dan sapi potong sebanyak 23.314 ekor. Sementara 18

pemotongan sapi di dalam NTB sendiri pada tahun 2014 tercatat 51.529 ekor. Dengan demikian permintaan riel di pasaran sebanyak 89.494 ekor. Dengan membandingkan antara produksi ternak sapi dan permintaan riel di atas berarti di NTB masih terjadi surplus produksi sekitar 108.101 ekor. Surplus produksi ini dapat digunakan untuk meningkatkan populasi di tahun-tahun mendatang. Saran Untuk lebih meningkatkan pengembangan ternak sapi, Pemerintah harus menerapkan kebijakan: mengupayakan peningkatan nilai ekonomi usaha ternak di perdesaan, mendorong kemitraan dengan BUMN, menyediakan insentif bagi peternak melalui peraturan terutama untuk usaha penggemukan dan pembibitan guna memberi nilai tambah sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak. DAFTAR PUSTAKA Arman, C., I.B. Dania, dan H. Poerwoto, 2006. Profil Produksi, Reproduksi dan Produktivitas Sapi Bali di NTB. Laporan Penelitian, Kerjasama antara Dinas Peternakan Provinsi NTB dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Provinsi NTB, 2011. Statistik Peternakan 2011. Provinsi NTB, 2012. Statistik Peternakan 2012. Provinsi NTB, 2013. Statistik Peternakan 2013. Provinsi NTB, 2014. Statistik Peternakan 2014. Dwipa I, B. dan B. J. Sarwono, 1993. Musim dan bobot badan sapi Bali yang diantarpulaukan dari pulau Lombok. Jurnal Penelitian Unram. 1 (2): 1-10. Soekardono, M. Ashari, K.G. Wiryawan, L.M Kasip, Erwan, S. D. Hasan, dan N. Sadia, 2013. Monitoring dan Evaluasi Program/Kegiatan Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB 2013. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB. Soekardono, L.M. Kasip, U. Abdullah, dan Bulkaini, 2013. Analisis Koefisien Teknis Ternak Sapi Guna Penyusunan Parameter Teknis Peternakan dan Kesehatan Hewan di Nusa Tenggara Barat. Laporan Penelitian. Kerjasama antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB dan Fakultas Peternakan Unram. 19